webnovel

Akad Yang Tak Berjodoh

"Aku seperti sedang bermimpi tapi mataku basah menyaksikan akadku sendiri"

goesjaya92 · Urban
Not enough ratings
385 Chs

Bab 27 [Bertemu kembali]

"

"Bik Asih, selepas ini bisa langsung pulang saja. Mungkin kami akan sampai malam dan makan malam biar sekalian di luar."

"Terima kasih, Den. Non Kinan jaga diri, jangan sampai terpisah dari Ayah, ya. Hati-hati di jalan. Aden juga jangan ngebut-ngrbut" pesan bik Asih lembut.

"In sya Allah, bik. Do'a kan agar selalu dalam lindungan-Nya."

Bik Asih tersenyum lembut. Tuannya ini sejak lama ia mengabdikan diri padanya, semenjak ia masih berusia tujuh tahun hingga sekarang anaknya pun dirinya yang merawat. Tak ayal hal itu membuatnya merasakan ikatan batin seperti seorang ibu unutk putranya.

"Iya nek Acih." Kinan meminta uluran tangan bik Asih lalu menciumnya.

"Kami berangkat ya, Bik. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah memasuki mobil, Hakim memasangkan seatbelt pada Kinan yang terduduk di bangku samping kemudi. Deru mesin mobil dinyalakan sebelum melaju pelan membelah jalanan.

Dalam perjalanan dengan kecepatan di bawah rata-rata itu di penuhi dengan suara nyaring Kinan yang merdu menyanyikan berbagai macam lagu islami yang sering dibawakan Diva dan beberapa kartun lainnya, sebuah kartun islami yang mendidik dasar keimanan, diakustikin dengan tepukan tangannya yang mungil. Terkadang Hakim ikut menyanyi bila ada lagu yang dikenalnya.

"Kinan sayang, mau beli cemilan dulu sebelum kita bermain?" tanya Hakim menghentikan Kinan bernyanyi.

"Hmm." Gadis cilik itu terlihat menimang. "Gak ada yang Inan mau Anyah."

"Kok gitu? Atau mau puding aja, gak? Kinan kan suka puding." Hakim menyarankan, "Ayah tahu di mana tempat yang pudingnya enak banget, loh. Mau gak?"

Kinan mengangguk tertarik. "Mau Anyah."

"Okey. Kita beli puding dulu baru main sampai Kinan puas ya."

Di perempatan jalan lalu lintas, Hakim mengambil jalur ke kanan menuju toko yang di maksud. Lurus sekitar dua puluh tiga meter dan berhenti tepat di depan sebuah café dengan stiker nama Ruella's Pudding pada kaca pintu masuknya.

Setelah memarkirkan mobil. Hakim menggandong Kinan sampai depan pintu masuk dan setelahnya Kinan meminta jalan kaki saja. Lantas, dengan bergandengan mereka menuju tempat kasir. Akan tetapi langkah Kinan yang terhenti disusul suaranya polosnya memanggil seseorang dengan sebutan 'Bunda' sedikit menyentak Hakim. Pria itu menoleh pada seseorang yang dipanggil 'Bunda' oleh anaknya.

Keterkejutannya bertambah saat mendapati siapa yang dimaksud putrinya. Ia bisa melihat juga bagaimana wajah di sana ikut terkejut meski sekilas. Namun gadis itu belum menyadari keberadaannya.

Sang gadis tersenyum lebar dan mengulurkan tangnnya menyentuh pipi gembil Kinan. "Kenapa, dek?"

Hakim berjongkok, menyamaratakan tingginya dengan tubuh Kinan. "Sayang, ini bukan Bunda. Ini tante Ratih. kakanya Bunda dan tantenya Kinan." Hakim menjelaskan.

"Mas Hakim?" Ratih terpekur. Ia merasakan sedikit sengatan tengah mencubit jantungnya. Ada rasa sesak yang menjalar, tapi tidak sesakit dulu. "Ngapain di sini?" lanjut Ratih dengan merotasikan irisnya, mencari keberadaan seseorang yang teramat dirinduinya.

"Jika yang kamu cari Ratna. Dia tidak ikut. Kami hanya bepergian berdua. Kenalin ini anakku, namanya Kinan."

Ratih mengangguk mafhum, wajar bagi seorang anak dan ayah memiliki me timenya sendiri. Ia tersenyum lebar ke arah gadis cilik yang menggemaskan ini. "Assalamu'alaikum, Kinan. Ini Tante. Kakaknya Bunda, Kinan. Kamu apa kabar? Sudah segede ini."

Kinan tak menggubrisnya. Ia justru beralih pada Ayahnya. "Anyah, Inan oyeh minta diendong Tante?"

Hakim tersenyum. "Coba tanyaiin langsung sama, Tantenya. Kinan dibolehin, gak?"

Kinan beralih ke arah Ratih, ia menggerakkan tubuhnya ragu dengan bibir yang dikulum. "Tante, Inan boyeh inta endong?"

"Tentu saja keponakan Tante yang cantik. Sini?" Ratih mengangkat Kinan dan membawanya dalam pangkuan.

"Ehem. Hai Kinan manis." Azzam berdekhem. Ia bersuara setelah merasa dirinya punya celah untuk masuk dalam pembicaraan reunian dua orang di hadapannya ini. Ia tetiba merasa dirinya terasingkan meski sejenak. Ada kelegaan dalam dirinya setelah mencuri dengar percakapan mereka.

"Oh, iya. Mas Azzam, kenalin ini Mas Hakim adik ipar aku. Mas Hakim ini Mas Azzam." Ratih memperkenalkan kedua pria di hadapnnya ini.

Azzam dan Hakim berjabat tangan saling memperkenalkan diri.

"Almer Khalil Muazzam. Panggil saja Azzam. Mas ini adik iparnya, kan?"—Hakim menggangguk—"mari duduk."

Azzam menggeser bokongnya ke kursi sebelah Ratih dan mempersilakan Hakim duduk di tempatnya. Tidak ada sesi lempar tanya lebih lanjut. Barangkali tak perlu saling tahu lebih dari sekadar nama. Toh juga presentase kemungkinan bertemu tidak banyak. Jadi untuk apa repot-repot bertanya hal personal. Fokus kedua pria itu terpaku pada Ratih dan Kinan.

Sementara itu, Kinan dengan eratnya memeluk leher Ratih. Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang Tante yang terbalut jilbab. Ia menyalurkan segala rindu yang selama ini ditumpuk untuk sang Bunda. Meski ini bukan bundanya, tapi Kinan hanya ingin merasakan kehadiran bundanya sedikit saja lewat wajah yang teramat mirip dengan potret besar yang tergantung di dinding ruangan kerja Ayah, yang ia tahu itu bunda, orang yang telah sangat berjasa melahirkan Kinan.

"Kinan?" Ratih mencoba memanggil.

"Ya, Tente?" Kinan melepaskan pelukannya, memperbaiki posisi pada pangkuan Ratih.

"Kinan mau makan puding?"

Kinan mengangguk dan Ratih mulai menyuapinya sedikit per suapan, menyesuaikan dengan mulut kecil gadis cilik itu.

~***~

Sementara itu di waktu yang bersamaan, di sebuah gedung kantor perusahaan. Tepat di lantai 15. Erlina tengah dilanda jengkel setengah mati. Ia mesti merelakan hari liburnya demi menambal kesalahan yang dibuat atasannya yang tengil itu. Resiko menjadi pegawai magang meski sendirinya telah memiliki banyak jam tebang di beberapa perusahaan swasta lainnya.

Dirinya bersama seorang teman dipaksa masuk kantor untuk menyiapkan sisa persiapan proses pengangkatan Direktur baru esok hari. Kini ia sedang berkutat dengan komputer, menyusun pidato sambutan oleh dewan direksi sebelumnya.

Sementara temannya yang satu sibuk membuat desain banner—Selina, namanya. Keduanya memiliki kesibukan masing-masing. Malam ini, persiapan semuanya harus sudah rampung dengan sempurna tanpa ada celah cacat sedikit pun.

Sesepria jangkung memasuki ruangan dengan membawa tiga cup kopi di tangan serta sekantong camilan berlogo perusahaan ind*food pada kantong kreseknya. Suara bassnya yang segar seketika memenuhi ruangan yang tadinya sunyi.

"Ayo isi perut dulu sebentar baru lanjut kerja!"

Satu cup kopi dan dua buah roti ia letakkan pada meja Seli, gadis berambut sebahu itu teramat fokus pada komputernya dengan kaca mata bulat yang bertengger manis pada hidung. Lantas tatkala menyadari sesuatu menggiurkan tersaji di hadapan, ia mendelik protes, "Aduh pak Zibraan. Lain kali kalo mau kasih jatah makan cemilan gini, mestinya porsi untuk saya dilebihin. Kan tanggung, ini mah cuma buat keselip di gigi doang. Gak bisa nyampe perut."

Zibran menaruh hal yang serupa pada meja Erlina dan sisanya ia peruntukkan untuk diri sendiri. Ia mendaratkan bokongnya pada kursi sebelah Erlina tatkala menyahut, "Tunggu gajian ya, Sel. Lo emang harus banyak makan biar pipi yang tembem itu makin tembem. Jangan kek seseorang yang meski makan banyak tapi gak berkembang-kembang. Tetep aja cungkring."

Merasa dirinya di sindir, Erlina mendelik tak terima, "Sel, jangan perut mulu di nutrisiin. Kepala juga butuh nutrisi, supaya gak berpikiran pendek seperti seseorang. Kelalaian yang diperbuatnya sendiri malah di bagi ke orang lain."

"Ya itu gunanya karyawan. Siap sedia membantu pekerjaan bosnya. Kan biar silaturrahmi antar karyawan dan atasan itu makin lengket," elak Zibran.

"Mas Zibran. Mas Zibran, 'kan bukan boss. Mas, 'kan Cuma ketua tim perencanaan satu," ralat Selina dengan mulut penuh makanan.

"Emang gue bukan bossnya, tapi gue tetep atasan kalian. Jadi kalo mau masih kerja di sini mesti baik-baik ama gue."

"Dih, ogah. Yang ngegaji juga bukan," sarkas Erlina.

"Lo kalo kerja itu jangan protes mulu. Ntar gak kelar-kelar tuh kerjaan. Lagian, gue, 'kan udah baik hati mau beliin cemilan. Kurang baik apa lagi coba, gue sebagai atasan." Ia menyugar rambutnya khas cara orang kaya yang justru terlihat lebay.

Erlina yang melihatnya mendelik jijik. Ia membuka bungkus roti dan mulai menyantapnya perlahan dengan tangan kanan, lalu tangan sebelahnya ia gunakan untuk menggerakkan kursor—meneliti ulang hasil pekerjaannya.

"Gak ada tahu terima kasihnya banget. Udah dibeliin cemilan juga," gumam Zibran dengan suara yang sengaja dikeraskan.

"Ikhlas gak, sih? Perlu saya bayar?"

"Nggak! Becanda. Makan. Lanjut makannya. Bila perlu, ntar gue pesenin lagi go food." Zibran jadi sedikit menciut, entah kenapa ia seperti mengusik induk singa hari ini. apakah ia salah meminta gadis itu membantu pekerjaannya? Ia, 'kan hanya sedikit mengganggu karyawan maganya sendiri. Kalaupun ia kerjakan sendirian di kantor segede ini, ia jamin dirinya tidak bisa bertahan lama dalam kurun waktu satu jam.

"Waaah pak Zibran emang baik banget, ya. Saya pesen pizza sama humberger jumbo aja ya, pak." Selina menyahut dari balik mejanya dengan mulut penuh. Makannya belum dikunyah habis sudah pesan lagi.

"Selina embem. Nanti bayar sendiri langsung ke abang drivernya, yah."

"Yah peliit!"

"Kerja, Sel! Kerja! Makan mulu yang dipikirin. Heran deh,"

Selina mendelik. Kesal sekali dirinya jika sudah dikatain hanya memikirkan makanan saja, meski nyatanya itu suatu fakta yang tak terbantahkan. Tetap saja, ia merasa harga dirinya dilukai oleh atasannya yang tidak tahu diri ini setelah memaksanya kerja lembur di hari libur begini.

"Er, coba gue liat hasil kerja, Lo,"

"Nih." Erlina sedikit menggeser kursinya, memberikan ruang untuk sang atasan bisa melihat hasil kerjanya.

"Pak, lihatnya bisa, 'kan sanaan dikit. Gak usah mepet ke sini," cerca Erlina. Kian jengkel ia melihat tingkah Zibran yang menurutnya sudah kelewat batas. Biasanya, ia tidak begitu menghiraukan perbuatan atasannya itu dan tidak memasukkannya ke dalam hati. Ia akan berdebat sepanjang hari tanpa ada rasa dongkol sedikit pun. Mungkin karena cara dia menanggapi candaan pria itu hari ini sedikit berbeda dari biasanya, atasannya itu terlihat sedikit menciut. Kasihan juga melihatnya. Ia jadi merasa sedang melampiaskan amarahnya.

"Iya sori, sori gak sengaja. Loe sensi banget sih hari ini. Baru putus cinta ya, Loe?"

"ENGGAK, YA!"

"Ya udah sih kalo enggak, ngapain teriak. Pecah nih kuping gue."

Arrrrrghhhh! Erlina ingin pulang saja!

"Eh mau ke mana? Kerjaan masih banyak," tanya Zibran ketika Erlina mengangkat bokongnya dan melangkah menjauh.

"Toilet! Mau ikut?"

"Boleh sih gue temenin. Ayok!"

"Diem di situ!" Erlina menghentakkan kakinya dan segera berlalu menuju toilet. Khawatir pria itu sungguhan mengikutinya.

"Sel, loe tahu gak dia kenapa? Aneh banget deh."

"Gak tahu, pak. Lagi palang merah mungkin."

"Palang merah? Apaan tuh?"

"Urusan cewek mah, bapak mana tahu."

Zibran mendelik. Ia sendiri jadi ikutan kesal mendapat jawaban ambigu begitu. Jiah, urusan cewek.