webnovel

AIR MATA PENGABDIAN SEORANG ISTRI

Rubi telah resmi menjadi istri dari Jaya Kusumo. Setiap kali berhubungan badan, Rubi kerap mengeluarkan cairan kental berbau busuk dari area kewanitaannya. Hingga pada suatu saat, Rubi mendapat kabar bahwa dirinya mengidap kanker serviks stadium tiga dan divonis tidak akan bisa hamil. Namun, Jaya tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Justri pria 28 tahun itu semakin mencintai istrinya. Mereka kerap menghabiskan waktu dengan segala hal yang berbau romansa. Keadaan itu membuat Anti (Ibu Kandung Jaya) terbakar api. Selain tidak setuju putranya menikah dengan Rubi, Anti juga semakin membenci menantunya itu saat tahu bahwa Rubi divonis mandul. Hingga pada suatu hari, wanita itu menjebak anak serta menantunya sendiri. Sebuah nomor baru menghubungi Rubi dan mengatakan bahwa suaminya sedang sekarat di tepi jalan dekat taman. Rubi diminta untuk segera datang. Di sisi lain, Anti juga mengabarkan Jaya bahwa istrinya sedang berduaan dengan pria lain. Cepat-cepat Anti meminta Jaya untuk hadir di taman yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Saat berada di sana, Rubi kembali menghubungi sosok pembawa berita tadi. Ia tidak melihat ada tanda-tanda manusia di sini. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Tubuh Rubi dipeluk oleh pria tak dikenal. Rubi berusaha mengelak, tapi tenaganya bukan apa-apa bagi lelaki tegap tersebut. Bersamaan dengan badan Rubi yang tenggelam dalam dekapan sang pria asing, saat itu pulalah Jaya datang bersama Anti. Betapa hancur dan terkejutnya Jaya ketika melihat wanita yang disayang sedang berada dalam pelukan laki-laki lain. Anti berakting seolah Rubi memang berselingkuh. Tanpa sepengetahuan Jaya, Mamanya sendirilah yang merencakan hal tersebut. Sejak kejadian itu, Jaya berubah total. Ia mulai tidak memedulikan Rubi. Jaya juga mudah terguncang saat orang-orang mencibir tentang istrinya yang tidak bisa hamil. Dan, di sanalah Anti mengambil kesempatan untuk mendekatkan Jaya dengan Agnes, teman lama Jaya. Tak butuh waktu lama, Jaya langsung jatuh cinta dengan perempuan itu. Keduanya menikah, tapi Rubi tak juga dicerai. Pengantin baru itu membuat Rubi bak pembantu di rumahnya sendiri. Rubi kerap disiksa, disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak ia sanggupi. Hingga pada suatu hari, Rubi merasa bahwa penyakitnya semakin menjadi-jadi. Ia tidak ingin membuat beban siapapun. Karenanya, ia ngotot minta dicerai meskipun hatinya tidak ikhlas berpisah dengan Jaya. Dikarenakan Jaya yang sudah puas menzalimi Rubi, ia lantas saja mengindahkan permintaan istrinya itu. Jaya dengan entengnya menalak Rubi di hadapan Agnes. Agnes benar-benar menjadi Ratu di rumah itu. Ia hidup dengan gelimpangan harta. Namun, seketika perasaan ingin menguasai harta Jaya sepenuhnya mendadak muncul. Agnes mulai berpikiran untuk merebut sertifikat rumah suaminya. Suatu malam, Agnes menyuguhkan kopi untuk Jaya. Seberes minuman itu tandas, kepala Jaya mendadak pusing. Pria itu terkapar secara tiba-tiba. Agnes tertawa puas. Rencanaya untuk meracuni Jaya berhasil. Dan, saat itulah Agnes beraksi. Dia membawa sertifikat rumah beserta seluruh emas batangan yang ada di sana. Keesokan harinya Jaya diusir dari kediamannya sendiri oleh orang asing. Rupanya Agnes telah menjual rumah itu dengan harga fantastis. Jaya yang baru saja sadar dari pingsannya, lantas saja dikejutkan dengan kabar buruk itu. Sejak itu, Jaya jadi frustasi. Setelah berhasil menemukan rumah baru Rubi, Jaya bertekuk lutut guna meminta maaf. Sayang seribu sayang, Rubi sudah tidak ingin kembali pada pria itu. Dan, jadilah Jaya semakin depresi. Jaya kerap menghabiskan waktu dengan tertawa, kemudian menangis. Ngomongnya mulai ngelantur. Badannya kurus hanya menyisakan tulang. Jaya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Dua bulan setelah itu, ia dikabarkan meninggal dunia karena mengalami kebocoran lambung. Semenjak Rubi pergi dari sisinya, hidup Jaya jadi berantakan. Ia tidak nafsu makan. Akhirnya pria itu tewas mengenaskan dengan menggenggam foto Rubi yang ia dapatkan dari buku nikahnya dulu.

Wanda_Handayani24 · Teen
Not enough ratings
363 Chs

AMARAH ANTI

Batin Jaya berteriak, tatkala kedua kakinya berpijak di rumah sang Mama. Sangat membingungkan harus memulai semuanya dari mana. Jaya hanya ingin antara menantu dan mertua saling akur.

Pria bertubuh jenjang itu mengimbangi langkah Papanya masuk ke rumah. Mencari keberadaan Anti guna meminta maaf. Sebenarnya ia juga kesal dengan kebohongan yang Anti ciptakan. Namun, lebih baik ia mengalah daripada keadaan semakin runyam.

"Hebat kamu ya, Mas! Tidur di mana tadi malam, hem?"

Begitu keduanya sampai di ruang tamu, tiba-tiba saja suara Anti terdengar kesal. Dan kerap sekali wajah kecut itu ia tampilkan.

Atmosfir rumah terasa panas, meskipun sudah dilengkapi dengan AC. Hardi menancapkan sedotan pada mulut aqua cup yang tersedia di meja. Sementara itu, Jaya tampak gelisah. Belum berbicara saja, Mamanya sudah seperti singa kebakaran jenggot.

"Mas kan sudah bilang kalau ingin bermalam di rumah Jaya. Kau tidak membaca pesan, ya?" Hardi berusaha tampil setenang mungkin. Ia menyilangkan sepasang kaki.

Gegas Anti mengecek ponsel yang kebetulan sedang tergenggam di tangannya. Sungguh ia tidak tahu jika Hardi mengirimkannya sebuah pesan. Andai saja Anti membacanya lebih dulu, pasti lah ia tak akan mengizinkan suaminya menginap di rumah orang lain. Sengaja ia menunggu Hardi menghubungi. Nyatanya wanita itu terjebak dalam egonya sendiri. Menyesal, karena tidak melihat chatt yang dikirimkan oleh suaminya.

Memimpikan rumah tangga yang mulus sepertinya tak akan mungkin tercapai. Anti merasa hubungannya dengan Hardi semakin keruh semenjak kehadiran Rubi di tengah-tengah mereka. Agaknya Hardi sudah terlampau berlebihan karena bermalam di rumah orang lain tanpa didampingi istri.

"Kau gila apa, Mas? Di sana ada Rubi dan dia orang asing," lagi-lagi Anti terpancing emosi.

Hardi menegakkan badannya sejenak, meletakkan aqua cup yang nyaris tandas tersebut di atas meja. Lama-lama tingkah Anti semakin aneh. Masak menginap di rumah putra kandungnya saja pun sudah tidak boleh. Lagipula, kenapa Anti pakai acara merajuk segala? Kalau tidak, pasti dia akan diajak juga oleh Hardi.

"Jangan membuat masalah lagi, ya. Mas sedang lelah," ucapnya seraya menarik napas dalam.

"Oh, hahaha. Kau lelah karena menjaga menantu sialanmu itu,"

"Ma. Jangan bicara begitu," tiba-tiba saja telinga Jaya berdengung saat mendengar istrinya kembali dikata-katai.

"Apa? Kalau kedatanganmu hanya untuk memojokkan Mama lagi, lebih baik pulang saja sana,"

"Tidak boleh begitu, Anti. Masak anaknya datang diusir. Kalau Jaya tidak mau mengunjungi kita lagi, bagaimana?" Hardi mencoba menengahi.

Wanita paruh baya itu berjalan mendekati suami dan putranya. Benar-benar keras kepala, pikir Anti. Kapan mereka akan sadar bahwa Rubi itu hanyalah penjual cilok keliling yang menumpang hidup pada Jaya?

"Bisa tidak kalian ini memahami maksudku? Rubi itu tidak pantas untuk keluarga kita,"

Obrolan kembali panas. Anti menatap tajam ke arah Hardi dan Jaya. Dua tangannya terkacak di pinggang. Semakin kesal apabila wajah Rubi mendadak terbayang.

Perlahan Jaya menggiring Mamanya untuk ikut duduk di sofa bersama mereka.

"Mama," ucapnya lirih sambil memegang punggung tangan Anti. "Maafkan aku yang telah membuat Mama emosi, ya. Aku sama sekali tidak bermaksud melawan. Hanya saja, aku ingin Mama dan Rubi akur, layaknya seorang ibu dengan anak kandung. Apa Mama mau anak Mama ini terus-terusan dimanfaatkan oleh gadis di luaran sana, hem? Papa juga tidak berniat untuk membuat Mama sedih. Papa hanya memposisikan dirinya sebagai mertua dari Rubi," sambungnya dengan nada yang dibuat selembut mungkin.

Hingga tanpa sadar, air mata Anti nyaris saja menetes mendengar ungkapan panjang lebar Jaya. Spontan ia menaikkan kepala, menatap langit-langit rumah. Cairan asin itu tidak boleh jatuh. Dia harus kelihatan tegar di depan suami dan putranya sendiri.

"Benar yang dikatakan oleh Jaya. Cobalah buka hatimu untuk Rubi. Dia itu gadis baik-baik. Mas juga tidak pernah bermaksud untuk membuatmu tersinggung, Sayang,"

Betapa Anti sangat diistimewakan oleh Hardi dan Jaya, sekalipun ia telah berbuat salah. Keduanya duduk di sisi Anti, menenangkan wanita itu agar tidak diliputi gejolak api.

Tadinya Anti berniat untuk menangkis tangan Jaya. Namun, ia teringat dengan perkataan Melani. Anak gadisnya itu meminta agar Mamanya tidak banyak emosi. Mereka bisa menyelesaikan secara diam-diam. Mau tak mau Anti mengindahkan perkataan Hardi dan Jaya. Ia berharap kedua lelaki itu tak lagi salah paham dengan dirinya. Namun, bukan berarti Anti akan berhenti membenci Rubi. Hingga titik darah penghabisan pun, Anti tak akan pernah bisa menyayangi anak satu itu.

"Baiklah, tapi jangan pernah kau hadirkan Rubi di rumah ini lagi," Anti masih egois.

"Loh. Kenapa begitu? Ini kan rumah suaminya juga," Hardi meneliti wajah istrinya. Apakah wanita itu sedang bergurau?

Belum sempat Hardi menemukan jawaban, tiba-tiba saja Anti sudah bangun dari duduknya dan kembali ke kamar.

"Sudahlah, Pa. Mungkin Mama masih diliputi emosi. Yang penting, sudah tidak seperti kemarin," Jaya berusaha menenangkan.

***

Keesokan harinya, Jaya membangunkan Rubi yang masih tertidur pulas. Wajah menggemaskan Rubi membuat Jaya ingin menjawil pipi perempuan itu. Namun ia urungkan niat, mengingat kondisi Rubi yang masih belum stabil.

"Perlu kubantu untuk mandi?" Jaya bersuara.

Sepasang netra Rubi membola. Gegas ia menyembulkan diri ke dalam toilet. Jangan sampai suaminya ikut andil dalam masalah ini. Bukannya mandi, yang ada mereka malah senam lima jari di dalam sana.

Seusai membersihkan tubuh, dara itu menemui suaminya yang sudah duduk di meja makan untuk sarapan pagi. Banyak sekali menu yang telah disiapkan oleh Mbok Ijah. Rubi sampai heran melihatnya.

"Siapa yang akan memakan semua ini?" Rubi memilih duduk di sebelah Jaya.

"Kita berdua,"

Rubi harus mengembalikan seluruh energinya yang terkuras seusai dilanda sakit. Oleh karena itu, Jaya sengaja meminta Mbok Ijah untuk menyediakan asupan yang bergizi untuk wanitanya tersebut.

"Kau harus menghabiskannya. Kalau tidak, lihat saja apa yang akan kulakukan nanti malam," Jaya mengancam. Membuat Rubi mau tak mau melahap semua menu yang telah tersedia.

"Ugh! Dasar otak mesum," perempuan itu mencibir dalam hati.

Bingung harus memulai dari mana, akhirnya Rubi memilih roti panggang telur sebagai menu pembuka. Makanan yang mengandung biji-bijian tersebut memang cocok untuk dijadikan santapan sarapan pagi. Akan lebih nikmat jika ditambahkan dengan bubuk cabai agar memiliki sensasi pedas di mulut.

Selanjutnya, Rubi mendaratkan sendok pada sup sayur bening. Makanan ini tak kalah sehat dan cocok untuk orang sakit seperti Rubi. Masakan yang terdiri dari buncis, wortel, kentang dan daun bawang tersebut dapat memberikan asupan nutrisi yang cukup. Tak lupa pula Mbok Ijah menambahkan ayam di dalamnya. Membuat kuahnya menjadi semakin berlemak dan lezat.

"Bagaimana sarapan pagi ini? Menyenangkan, bukan?" Jaya mengulum senyum, saat mendapati istrinya yang begitu lahap.

***

Bersambung