webnovel

Bab 10

Agnia sudah berada di kontrakannya sejak dua jam yang lalu. Ia mengingat perkataan Dirga sewaktu di mobil. Saat itu Agnia tidak menjawab.

Sementara Dirga memberikan kartu namanya dan berkata, 'jika Anda berubah pikiran, hubungi saya. Pikirkan baik-baik tawaran saya. Kesempatan ini hanya satu kali. Jangan sampai anda menyesal.'

Begitu lah kira-kira perkataan Dirga. Agnia melihat kartu nama yang ada di tangannya. "Aku harus apa?"

Jujur Agnia bimbang. Pandangan Agnia beralih ke arah pakaia Adelia. Di pikiranya sekarang terbayang tubuh Adelia yang ia rengkuh dalam angana-angan.

Agnia tersenyum getir. Sungguh malang nasib anaknya. Tak bisa lahir ke dunia ditambah memiliki ayah kurang ajar seperti Ivan. Pria itu tidak sekali pun menanyakan di mana Adelia di kubur. Malah bersenang-sennag dengan Rosa.

Mengingat nasibnya Adelia yang menyedihkan membuat Agnia mengepalkan tangan. KIni Agnia sudah memutuskan untuk menerima tawaran Dirga.

Dengan segera Agnia menghubungi Dirga untuk bertemu dan keesokan sorenya kedua orang tadi berencana bertemu di sebuah cafe tak jauh dari kantor Dirga.

Agnia baru saja tiba sepuluh menit yang lalu. Tak berselang lama, Dirga akhirya datang.

"Maaf menunggu lama. Ada hal yang harus saya kerjakan dulu."

"Tidak masalah. Saya maklum. Anda kan orang sibuk. Justru saya merasa tak enak meminta bertemu di tengan kepadatan pekerjaan Anda."

"Jangan merasa tak enak hati," sanggah Dirga cepat. "Anda yakin menerima tawaran saya?"

"Ya. Saya sangat yakin. Saya pernah berjanji untuk membalas semua kejahatan Ivan, tapi tak tahu bagaimana caranya."

"Untuk itu lah saya ada di sini membantu Anda." Dirga tersenyum tipis. "Pertama-tama hal yang diperlukan adalah uang."

"Uang?"

"Ya, uang. Untuk bisa membalas dendam, Anda harus berada di atas Ivan. Bagaimana caranya? Tentu dengan uang. Saya akan memberi modal untuk Anda membuka usaha. Saya yakin Anda orang cerdas dan bisa sukses. Hanya perlu sedikit bantuan."

"Entah lah. Saya tidak pernah berbisnis sebelumnya. Saya takut jika gagal."

"Itu artinya Anda harus melupakan tentang rencana balas dendam."

Agnia terdiam. Ia tak ingin mundur. Semalam Agnia melihat postingan Ivan yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mantan suaminya itu begitu bahagia.

Tentu saja, Ivan mendapat mangsa baru yang kekayaannya jauh di atas Agnia.

"Baiklah. Saya setuju. Terima kasih telah mau membantu saya."

"Sama-sama."

Jika kalian pikir Dirga akan menawarkan pernikahan, jelas kalian salah. Ia tak ingin seperti itu. Dirga ingin membuat wanita malang di depannya berhasil dengan kerja keras.

*****

Tiga tahun kemudian.

Tak terasa sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuannya dengan Dirga. Setelah itu, Agnia belum bertemu lagi. Modal yang diberikan Dirga digunakan Agnia sebaik-baiknya.

Ia membangun restoran yang kini sudah menjadi restoran berkelas dan akan membuka cabang di kota berbeda.

Omset yang diterima perbulan pun tidak sedikit. Meski menunya tergolong mahal, tak pernah sepi pengunjung.

"Terima kasih Pak Dirga. Berkat Bapak saya bisa sampai di titik ini. Saya banyak belajar dari Anda." Agnia berbicara pada foto Dirga yang disimpannya di laci.

Bukan bermaksud apa-apa, hanya ingin memberikan laporan saat usahanya sedikit demi sedikit berkembang. "Andai kita bisa bertemu. Saya akan berterima kasih secara langsung."

"Maaf mengganggu Bu Agnia, ada seseorang yang mencari Anda."

Kening Agnia mengernyit bingung. "Siapa?"

"Beliau tidak menyebutkan nama. Hanya ingin bertemu dengan Bu Agnia."

"Saya akan menemui dia. Kamu bisa bekerja kembali."

"Baik, Bu Agnia."

Agnia berjalan menuju lantai satu di mana orang yang ingin menemuinya berada. Ia menghampiri seorang pria yang memunggunginya.

Agnia berhenti. "Maaf, apa Anda mencari saya?"

Pria tadi tidak menjawab dan langsung membalikkan badan. "Lama tidak bertemu ya Agnia."

Agnia melebarkan mata. Tak percaya dengan penglihatannya. "Pak Dirga ... Anda benar Pak Dirga kan?"

Dirga tersenyum tipis. Lucu sekali melihat raut terkejut Agnia. "Iya, ini saya."

"Ayo silakan duduk Pak." Keduanya duduk berhadap-hadapan.

Dirga menatap sekeliling restoran Agnia. "Saya tak menyangka dalam waktu tiga tahun bisa memiliki restoran berkelas."

Agnia tersenyum tipis. "Itu berkat Pak Dirga. JIka saja Bapak tak membantu saya, sudah tentu saya tidak bisa berkembang seperti sekarang."

"Jangan terlalu memuji. Jika Anda tak berotak cerdas, saya yakin juga tidak akan berhasil. Ouya, saya dengar Anda akan membuka cabang baru di luar kota."

"Iya. Benar. Pak Dirga bisa datang jika tidak sibuk."

"Tentu aku akan datang."

Agnia memanggil salah-satu pelayan dan mengatakan untuk melakukan sesuatu. Sementara Dirga memerhatikan penmpilan Agnia yang menarik dan wajah yang semakin ... cantik? Diam-diam Dirga memuji kecantikan yang terpancar dari diri AGnia.

"Tidak salah aku membantumu, Agnia," ujar Dirga dalam hati.

"Ada hal yang harus saya bicarakan. Kita bisa bicara di rungan saya. Apa Pak Dirga punya waktu?"

"Tentu. Mari bicara."

*****

Merek berdua kini berada di rungan Agnia. Pelayan datang membawa makanan dan minuman yang dipesan Agnia. Setelah pelayan tadi pergi, Agnia berkata. "Silakan dimakan Pak Dirga."

"Kelihatannya enak."

"Semoga Anda suka."

Dirga mencoba steak. "Hm, steaknya enak. Tidak heran kalau ramai pengunjung."

"Terima kasih atas pujiannya. Kami juga senang membuat pelanggan merasa puas."

"Oiya, tadi mau bicara. Bicara soal apa?"

Agnia mengambil cek dan menuliskan nominal uang. "Ini Pak. Modal yang Anda berikan saya kembalikan. Mohon diterima ya."

"Saya membantu Anda dengan tulus, tak mengharapkan imbalan apa pun."

"Saya tahu, tapi tolong terima. Saya merasa harus mengembalikan uang Pak Dirga."

Dirga mengembuskan napas. "Saya akan terima dengan satu syarat."

Agnia menatap DIrga dengan pandangan bingung. "Syarat? Syarat apa?"

"Mulai sekarang jangan panggil saya Pak Dirga. Saya bukan bapak atau atasan kamu dan jangan bicara terlalu formal pada. JIka setuju akan saya terima ceknya."

"Masalahnya ... saya merasa tidak enak."

"Kalau begitu ambil kembali cek itu. Saya tidak butuh dan tidak akan menerima."

Wajah Dirga mnejadi datar tak terbaca. Agnia menjadi tidak enak. "Baik saya akan ... maksudku, aku akan mencoba berbicara lebih santai."

Dirga tersenyum. "Nah begitu. Sini ceknya." Dirga menerima cek tersebut.

"Sebaiknya kita segera makan Pak ... maksudku, Dirga."

Dirga mengangguk. Mereka makan tanpa bicara sepatah kata pun. Keduanya menikmati makanan masing-masing hingga selesai.

"Ada hal yang ingin aku tanyakan." Agnia belum terbiasa memakai 'aku'. "Kenapa kamu mau membantuku? Maksudku, kita nggak cukup dekat untuk bisa dikatakan teman." Lagi-lagi lidah Agnia terasa aneh saat bicara informa pada Dirga.

Dirga menyesap jusnya. "Ada alasan kenapa aku mau membantumu."

"Alasannya?"

"Karena Salsa, adikku yang malang." Dirga menutup mata sejena. Butuh keberanian untuk menceritakannya. "Adikku menjadi alasannya. Kamu mengingatkanku pada Salsa." Dirga tersenyum getir.