Bhatari dan Ajeng saling melihat satu sama lain dan tersenyum.
"Betul, kamu adalah pemimpin kita di masa depan. Otak genius mu dapat menyelamatkan negeri kami. Jangan sia-siakan hidupmu." Ucap Bhatari dan tersenyum
"Bagaimana jika aku gagal?" Ucap Genta pesimis.
Genta berdiam cukup lama, menatap keduanya bergantian. Genta binggung, jujur saja ini terlalu membuatnya kaget. Rasa putus asa yang sebelumnya menggerogoti tubuhnya hilang sudah berganti rasa kaget dan secercah cahaya yang mungkin saja bisa membuat dia keluar dari semua masalahnya. Tapi kemudian keraguaan itu datang lagi, mungkin kah ini perjalanan menempuh penebusan dosa untuk manusia yang memotong takdir Tuhan terlebih dahulu? Ragu Genta kembali menatap dua perempuan yang baru saja ia temui itu, sebenarnya ada perasaan lega yang muncul karena melihat mereka berdua, perasaan akrab seakan-akan memang telah berteman lama, tapi Genta membuang itu jauh-jauh, seingatnya sejauh ia berjalan selama 23 tahun ini, ia tak pernah bertemu dengan manusia berjenis Ajeng apa lagi Bhatari dengan rambut birunya yang sungguh nyentrik, Genta bingung apakah orang tua Bhatari tidak marah karena anaknya berambut pirang aneh seperti itu?
"Apa yang kamu pikirkan, Genta?" tanya Ajeng memecahkan kekacauan antara Genta dan isi kepalanya.
Tampak lama terdiam,
"Aku ragu, bagaimana jika ternyata aku tidak seperti yang kalian harapkan?" ulangnya lagi tampak jelas jika Genta memang sangat pesimis, ambisinya dan semua hal yang ia percayai tentang dirinya telah hancur terkoyak-koyak beberapa tahun belakangan. Tak ada lagi yang sanggup ia ubah atau pun ia benahi.
Hening lalu tercipta, Bhatari dan Ajeng lalu bertatapan saling melempar senyum. Dengan curiga Genta mengambil jarak dengan pelan,
"Kenapa kalian saling menatap seperti itu?"
"Tenang saja, Genta. Kami akan mencoba mengembalikan ingatan kamu," jawab Bhatari lagi-lagi tersenyum.
"Kalian pikir kalian siapa? Dukun?" tanya Genta tidak percaya, di dunianya manusia yang bisa mengembalikan kekuatan hanyalah cenayan, dukun dan berbagai sekte aliran sesat. Dilihatnya Ajeng dan Bhatari mendekat ke arahnya,
"Tenang lah, Genta. Percaya lah pada kami seperti kami percaya pada kelebihanmu," ujar Ajeng.
"Semoga saja ini tidak sakit," lanjut Ajeng
"Sepertinya tidak akan sakit, kak." Balas Bhatari
"Akhirnya hari ini datang ya," ujar Ajeng lagi dan Bhatari mengangguk.
Bingung, Genta lalu menatap keduanya, "maksud kalian apa sih?"
"Kamu percaya kalo kita sebelumnya sudah saling kenal dan akrab?" bergantian Bhatari yang bertanya
"Tidak," Genta kembali mengangguk.
"Reaksi tubuh kamu setuju, Genta. Artinya tubuh kamu tahu jika kita memang saling kenal sebelumnya." Ujar Ajeng.
"Tak perlu takut, Genta. jika kami ingin menyakitimu, untuk apa kami mencarimu sejauh dan selama ini. Bhatari bahkan kehilangan warna asli rambutnya hanya untuk melintasi waktu untuk menemukan kamu. Percayalah, kami mencarimu karena hanya kamu yang bisa melakukan semuanya."
"Berarti rambut itu bukan di pirang menggunakan bleacing dan..?"
Bhatari lalu tertawa, "ini terjadi karena terlalu sering pergi ke dimensi lain dan melewati pararel waktu yang jauh, kehitaman pada rambutku memudar dan berganti menjadi ungu seterusnya terus pudar berganti menjadi warna biru. Biar lah pasti di dunia mu ini terlihat keren bukan?"
"Keren apanya? Kamu terlihat seperti ABG labil yang keluar dari rumah dengan dalih ingin bebas dari kekangan orang tua, whahahhaha."
"Sayangnya saya tak punya orang tua yang harus saya kaburi dengan rambut berwarna biru ini."
Genta lalu terdiam, tawanya terhenti seketika, "maafkan saya."
"Tak mengapa, santai saja. Saya sudah terbiasa." Balas Bhatari santai.
"Baiklah, sebelum kami membawamu ke lab, ada yang harus kami lakukan terlebih dahulu dan kamu harus mengambil bagian." Ujar Ajeng mengakhiri pembahasan mengenai hal sensitif bagi Bhatari. Ajeng harus menyelesaikan misi sesuai petunjuk yang ada di mimpinya.
"Oke, aku percaya kepada kalian." Balas Genta yakin, entah dari mana keyakinan itu datang, dari rambut pirang biru Bhatari kah, atau dari kerutan dan guratan urat yang terlihat jelas di bagian kepala dan wajah Ajeng.
Ajeng dan Bhatari lalu memberikan komando agar Genta duduk. Genta menurut, mereka bertiga akhirnya duduk melingkar di atas ranjang. Kedua perempuan itu meletakkan salah satu tangan mereka ke pundak Genta. Ajeng sebelah kanan, Bhatari sebelah kiri, Genta yang tidak tau apa-apa hanya diam duduk bersila dengan jemari saling berkaitan. Dilihatnya Bhatari dan Ajeng menutup kedua matanya, memulai mengambil nafas panjang dan membuangnya, Genta tau yang Bhatari dan Ajeng lakukan adalah pernafasan otot perut yang sering digunakan untuk mengawali yoga atau pun meditasi dan memerlukan konsentrasi penuh. Tanpa aba-aba, Genta juga menirukan hal yang sama.
Tenag. Hening. Damai. Ringan.
Genta merasa berdamai, seperti dikepakkan berbagai sayap berwarna cemerlang, sejuk membuatnya merasa damai, hingga rasa terbakar di belakang lehernya mulai terasa sedikit demi sedikit. Genta tiba-tiba ingin membuka mata dan memegang belakang lehernya yang terasa sakit. Tapi ia tak mampu menggerakan badan, konsentasianya kembali ia pusatkan pada pernafasan, ia hiraukan rasa sakit yang menjilat-jilat di belakang lehernya, konsentrasi yang ingin ia pusatka ke otak agar syarafnya mengerti dan bisa membuka mata. Sedetik kemudian matanya membelalak terbuka, rasa terbakar itu mulai terasa, memasuki semua pori-pori tubuhnya, berdesir melalui aliran darah, detik ketika matanya terbuka terang menerobos masuk dan menggedor tubuhnya. Kembali tertarik dengan damai melorotkan tubuhnya berubah menjadi Genta remaja, anak-anak, dan balita, dan masih dalam kandungan, tersedot lagi-lagi dan lagi, semua perasaan marah, sedih, damai, bahagia dan semuanya. Semuanya hilang, ia kembali pada titik nol saat dirinya baru saja bergumul bersama banyaknya sperma lain yang ingin dibuahi di ovum. Waktu berjalan cepat, lambat, tergesah dan santai. Tak bisa lagi dijelaskan dengan pemaknaan kata yang telah ada, semua terdistorsi, hanya ada Genta yang berjalan lambat menuju ovum, dan ketika telah sampai dunia kembali berpendar tertarik menuju pohon yang sebelumnya telah ia temui. Perasaan damai dan ketukan antara jemari dan pohon menggema, "tuk tuk tuk."
Pohon itu terbelah kali ini benar-benar terbelah menjadi dua, jatuh dan membukakan jalan yang sangat lebar. Lorong itu merekah menampakkan seorang lelaki yang sedang bercengkrama bersama dua orang perempuan, terkadang mereka terlihat tertawa sedetik kemudian ketiganya mengerut, kebingungan dan saling melempar argumen sedetik kemudian ketiganya tampak kembali tertawa, terlihat akrab.
"Kita akan kembali, memulai semuanya dari nol. Kita tidak sanggup lagi, satu satunya hal yang bisa kita lakukan adalah memulai dari nol. Kita akan memulai peradaban baru dengan pengetahuan." Ucap lelaki itu, suaranya menggema, seakan menjadi pusat di dunia itu.
"Aku takut kita tidak akan bertemu." Balas perempuan berambut kepang dua.
"Tenang lah, Ajeng. Kita akan saling menemukan."
"Bagaimana caranya?" tanya perempuan yang satunya dengan rambut berwarna biru. Keduanya tampak gelisah.
"Sejauh ini manusia hanya menggunakan 20% otaknya, dan aku sudah menemukan cara untuk membuat manusia menemui titik maksimal yaitu 80%. Ini penemuan yang sangat luar biasa Ajeng, Bhatari. Ini luar biasa, dengan hal ini kita akan menjadi partiker melebur dan kembali utuh, kita bisa ke mana saja, memasuki apa saja. Semunya bisa kita kontrol dengan ini." Genta menjelaskan dengan antusias sambil menunjuk kepalanya, "semua bisa kita hendle menggunakan otak." Lanjutnya.
"Sayangnya kita menemukan ini ketika manusia hampir punah," balas Bhatari sedih.
"Kita akan memulai semuanya," ujar Genta yakin.
"Lalu bagaimana caranya?" tanya mereka bersamaan.
"Aku akan menyuntikkan ini kepada kalian. Untukmu, Ajeng. Ini akan aku suntikkan di bagian posterior cortical hot zone. Kamu bisa mengendalikan mimpi, memprediksi, mengendalikan masa depan, kamu bisa mengendalikan semua hal dengan alam bawah sadar secara sadar."
"Dan kamu Bhatari, ini akan aku suntikkan lansung ke bagian otak kecilmu. Ada bagian yang bisa mengontrol kesadaran tubuh, kamu bisa mengambil alih tubuhmu dalam berbagai bentuk dan dimensi, kamu bisa melebur, kamu bisa menembus apa saja."
Keduanya lalu menatap Genta, saling berpandang tidak percaya.
"Tenang saja, aku akan menyuntikkan dosis yang lebih banyak untuk diriku. Kita akan memulai semuanya sama-sama, kita akan menyelamatkan peradaban." Genta memeluk keduanya dengan senang dan antusias, keduanya ikut senang jika memang inilah hal yang Genta pilih. Perasaan senang itu membuncah, memenuhi rongga dada, pecah melebihi kapasitas.
Bunga mulai bermekaran menarik para kumbang dan kupu-kupu untuk menikmati sarinya. Awan bersorak melingkar bersatu terpecah dan berubah menjadi berarak kemerahan, langit menggelap. Rumput bergemericik mesrah bersamaan dengan nafas yang mulai naik turun, pelan, kencang, tergesa, lembut, ritme tak beraturan.
"Aku akan mengambar bunga tulip ini tanda kasih sayangku pada kalian," lelaki itu berucap sembari mengaduk wadah berisi arang dan air tebu. Disampingnya sebuah benda sepanjang telapak tangannya terletak, berbentuk pipih dengan ujung tipis yang dipanasi dengan bara api.
Kedua wanita itu berbaring tengkurap, lelaki itu mendekat, dilukisnya masing-masing pada bagian kiri untuk wanita berambut biru dan pada bagian kanan untuk wanita berkepang dua, masing-masing terletak dibagian belakang telinga. Selepas gambar itu selesai, ia lalu menyuntikkan 0.45 mil pada bagian-bagian tertentu.
"Tenang, ini akan membuat kita saling mengingat." Ujar lelaki itu selanjutnya. Nampak tato berbentuk akar telah lebih dahulu menempel di belakang lehernya, tato melingkar berbentuk akar dengan pola bulatan, saling melitit dengan rantingnya yang tampak kaku.
"Aku tahu setelah ini kita tidak akan bertemu, semoga gambar ini akan membuat ingatan kita saling terhubung," kalimat itu menggema "semogaa kitaaa akan saling terhubung." Tak lama gambar-gambar itu saling mengisi dirinya dengan warna putih keabuan mandai kedukaan, menjalar perlahan mengisi bagian akar dan ranting, kelopak, batang dan dedaunan, perasaan terbakar ikut menggerogoti bagian tertentu yang dialiri gambar. Sakit, perih, tersayat, kilasan kehidupan tampak, seorang petani yang sedang memanen hasil ladangnya, seorang pengembala menarik peliharannya ke kandang, gedung tua kembali bangkit puing-puingnya menyatukan diri, lumut yang sebelumnya menggerogoti kembali menciut dan hilang. Manusia kembali lahir, kembali sibuk, saling bercengkrama bercakap-cakap dengan segelas teh dan pisang goreng di depan beranda, ayam kembali berkokok dengan merdu. Semuanya lalu bergetar tertarik dan menghampaskan tiga manusia yang sedang duduk di atas ranjang saling memegang, syok dengan badan lemas dan mata sembab.
Mereka saling menatap, Genta mendekat memeluk keduanya, perasaan akrab itu ternyata benar. Mereka telah sangat dekat sebelumnya, saling memiliki satu sama lain, saling melindungi.
"Aku tahu kenapa kita saling melupakan." Ujar Genta selanjutnya. Bhatari dan Ajeng masih tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan isi kepala mereka. Genta melepaskan pelukannya, menatap keduanya "itu adalah efek dari dosis obat yang saya suntikkan. Saya meminta maaf." Ujar Genta lagi memegang tangan kedua perempuan itu.
"Kalian kenapa?" tanya Genta kemudian menatap keduanya yang tetap bisu.
"Ternyata, kamu yang membuat ini?" tanya Bhatari sembari menyentuh bagian kiri kepalanya. Genta tersenyum simpul, "maaf kan saya. Boleh saya lihat lagi gambarnya?" tanya Genta. Bhatari dan Ajeng berbalik bersamanya, di dapatinya bunga tulip tak lagi berwarna, hanya berupa gambar kosong.
"Wah, kita telah saling menemukan. Gambarnya telah kosong, kita telah mengambil masing-masing warnanya untuk ingatan yang telah kembali." Mata Genta lalu berkaca-kaca.
"Mari kita kembali ke lab," sahut Genta selanjutnya.
Ajeng dan Bhatari lalu mengangguk, tersenyum. Pertanyaan besar itu terjawab sudah. Ini misi mereka bersama, saling menemukan dan mengingat. Ini pula arti dari bunga kembar di masing-masing belakang telinga mereka. Genta lalu berdiri, tampak jelas akar saling melilit itu tak lagi memiliki warna. Kosong berganti mereka dengan kepenuhan ingatan yang baru saja mereka peroleh.