webnovel

Ai no Kiseki

Hinata lahir dari keluarga yang masih menjunjung budaya patriarki. Segala aspek tentang anak laki-laki diutamakan sementara seorang anak perempuan bagi keluargnya, tidak lebih dari sebuah objek 'mereka sekadar ada'. Suatu hari, gadis itu mengalami kecelakaan, berakhir buta serta lumpuh pada kedua kakinya. Keluarganya amat terpukul, tetapi mereka kembali mengingat jika seorang anak perempuan tidak begitu penting, gadis itu berakhir dikurung dan mungkin menjadi gadis dari keluarga bangsawan yang tak lagi diurus. Walaupun keluarganya tidak pernah memberikan sedikit kasih sayang dan rasa iba, Hinata sama-sekali tidak merasa begitu sakit hati, sebab dianggap tetap ada di keluarga itu lebih dari cukup. Namun seorang laki-laki muncul di toko bunga temannya. Laki-laki itu membawanya pergi ke suatu tempat yang disebut sebagai rumah sesungguhnya. Laki-laki itu pula menunjukkan sebentuk kehidupan yang sesungguhnya dalam arti keluarga, kehangatan, kasih sayang, dan saling melindungi, sementara selama ini, Hinata tidak pernah mendapatkan semua itu dari keluarganya.

BukiNyan · Anime & Comics
Not enough ratings
33 Chs

BAB 2

Kediaman Keluarga Hyuuga

Hampir ada tiga pelayan masuk berbondong-bondong membawa kimono berbeda-beda warna, bahkan motif pada ujung kimono. Hinata pasti disuruh memilih mana yang bagus, mana yang disukainya, kalaupun sudah berhasil memilih, pendampingnya yang kasar dan perhitungan dengannya tidak akan mengizinkannya.

Ketika anak-anak lain pergi ke tukang jahit untuk menjahit gaun—bahkan ada dari mereka pergi ke Milan untuk memesan gaun yang paling indah—Hinata tetap mengenakan kimono buatan penjahit turun-temurun keluarganya. Kimono adalah baju yang paling sopan daripada gaun-gaun Barat yang kebanyakan menunjukkan belahan dada, pundak, serta ketiak seperti mereka tidak mengenakan apa pun, itu menurut wanita tua seperti Mrs. Shiori Koharu yang tidak pernah berpikir terbuka akan dunia yang selalu diperbarui.

"Aku tidak bisa memilih." Hinata bergumam sambil gadis itu mengambil duduk pada kursi rias di kamarnya.

"Kenapa Anda tidak bisa memilih? Ayo, pilih salah satu yang bagus menurut Anda."

"Shiori pasti ujung-ujungnya yang tidak akan menyetujui, ketika aku akan mengenakan pilihanku." Pelayan-pelayan itu kemudian saling berpandangan. "Jadi, aku tidak akan memilihnya meskipun ingin. Biarkan Shiori yang menentukannya."

"Tapi Mrs. Shiori ditugaskan untuk menjaga adik perempuan Anda, saya rasa Anda tidak perlu khawatir, jadi pilih salah satu dari kimono sutra ini." Hinata melirik tiga kimono berbeda warna itu, agaknya masih belum percaya bahwa dia bisa memilih tanpa campur tangan Shiori, sang pendampingnya yang selalu mengingatkan dirinya akan pentingnya menjaga sikap serta menjaga keinginan terbesarnya. Semuanya harus sesuai dengan yang diajarkan oleh wanita tua itu, pentingnya mengingat setiap baris peraturan super menyebalkan sebagai seorang anak perempuan yang lahir di garis kebangsawanan.

Hinata kemudian mengangkat tangannya, menunjuk pilihannya, "yang itu saja." Kimono berwarna ungu dipilihnya, dengan obi agak berwarna kecokelatan dengan sebuah tali kepang berwarna putih melingkar di tengah-tengah obi. "Aku akan mengenakan yang itu."

"Pilihan Anda sangat bagus. Ini adalah kimono yang paling mahal."

Betapa Hinata senang dapat mengenakan apa yang dipilihnya untuk pergi ke pesta dansa. Meski anak-anak lain mungkin akan menggunjing dirinya yang lagi-lagi mengenakan kimono—meski kimono itu seharga gaun-gaun mahal teman-temannya yang didatangkan langsung dari Italia—teman-temannya akan mengolok-olok dirinya dengan kata yang dapat Hinata ingat, "kau selalu tidak berubah, sekali-kali kau harus mengatur cara berpakaianmu sendiri, dan berhenti mengikuti interupsi pendamping sialanmu itu."

□■□■□■□■□

MALAM PESTA DANSA SETELAH KELULUSAN

Aula St. Konoha High School yang disulap seperti Negeri Dongeng

Ternyata dugaan Hinata salah, dan dugaan anak-anak lain juga salah—padahal para anak perempuan menunggu acara pesta dansa digelar setelah upacara kelulusan paginya. Dan begitu acara berlangsung, idola mereka tidak hadir, dikabarkan akan melakukan penerbangan ke Rusia, tentu saja membuat hati semua anak perempuan itu sakit.

"Tidak mungkin dia tidak datang, 'kan?" gadis-gadis itu ribut di pojok tempat acara, wajah mereka cemas dengan kabar yang didapatkan oleh mereka dadakan. "Bagaimanapun dia tidak seharusnya melewatkan pesta perpisahan, setelah ini kita tidak akan bertemu kembali, satu demi satu dari kita akan pergi ke kampus yang berbeda." Gerutu gadis yang sama, sementara Hinata berdiri di samping meja penganan, potongan kue yang diambilnya dan diletakkannya di atas piring kertas tidak membuatnya berselera untuk mencicipinya setelah itu.

"Hinata," seorang teman menyapa, Sakura Haruno, teman baiknya. "Kau sudah tahu kalau Naruto pergi ke Rusia?" Hinata mengangguk, masih menyunggingkan senyuman, terlihat tenang, tapi Sakura mengetahuinya, perasaan gadis itu yang mungkin sama kecewa dan cemasnya seperti anak perempuan lainnya. "Tidak ada yang tahu jadwal penerbangannya, tapi kami tahu kapan lebih tepatnya. Tolong jangan bilang siapa-siapa kalau sebenarnya dia mengambil penerbangan malam."

"Apa kau asal menebak?"

"Tidak, tapi aku dan Sasuke diberitahu olehnya. Kami akan pergi ke sana, menyelinap untuk keluar dari pesta menyebalkan ini."

"Oh," Hinata bergumam absurd. "Lalu, untuk apa kau memberitahuku? Cepat pergi, dia mungkin menunggu kau dan Sasuke datang."

"Apa kau tidak mau ikut?" sementara Sasuke seolah menawari. "Bukankah kau juga temannya?" Hinata menunduk, jemari lentiknya meremas sabuk kimono. "Kenapa kalian masih terlibat saling diam?"

"Aku..." Hinata mencermati wajah Sasuke yang merengut penasaran. "Aku masih... tidak enak padanya karena kejadian sebulan yang lalu, dia dimarahi oleh Mrs. Shiori gara-gara aku."

"Kukira soal itu sudah lewat," tukas Sakura tiba-tiba. "Lagi pula dia tidak pernah sekalipun mengungkitnya, tidak pernah sekalipun merasa terluka karena tamparan dari Mrs. Shiori."

Sebulan yang lalu adalah kejadian di mana saat Hinata keluar dari rumah tanpa pendampingnya, meskipun dia mengingat betul seorang gadis bangsawan tidak diperbolehkan keluar sendirian pada jam malam. Itu bisa saja menjadi kesalahan yang mungkin tidak bisa dimaafkan.

Namun pada hari itu, Hinata seperti gadis-gadis kebanyakan yang ingin pulang malam sehabis main bersama seorang teman. Di tengah perjalanan justru dia bertemu dengan Naruto Uzumaki, pemuda yang dikenalnya sebagai idola sekolah, ketua dari tim basket yang mengharumkan nama sekolahnya.

Pemuda itu mengajaknya pergi jalan-jalan ke tempat-tempat yang tak pernah Hinata kunjungi, lalu di tengah perjalanan, mereka bersama-sama menikmati minuman kaleng yang tak pernah sekalipun Mrs. Shiori mengizinkannya untuk mencicipi.

"Ayo, kuantar pulang." Saat Hinata tersadar telah pergi jauh, ia merasa ketakutan, sialnya tidak mengingat setiap jalan meliuk-liuk seperti ular menuju rumahnya yang tak lagi terlihat. Dan ketika Naruto tahu di mana tempat tinggalnya, Hinata merasa tenang. Kalau dia disuruh untuk jadi pemandu, jelas dia tidak pandai menemukan rumahnya sendiri, ia pasti akan diserang rasa malu.

"Ini rumahmu, 'kan?"

"Bagaimana bisa kau tahu alamat rumahku?"

"Hei," pemuda itu membuang tawa sambil mengibaskan salah satu tangannya. "Jangan lupakan kalau aku mantan ketua asosiasi di sekolah kita. Aku tahu di mana tempat tinggal teman-temanku." Kata pemuda itu, terlihat benar-benar bangga. "Ya sudah, cepat masuk, aku merasa kalau keluargamu pada panik, dan mereka sedang mencarimu."

"Apa kau tahu kalau aku kabur dari rumah tadi?"

"Tahu!" seru pemuda itu. "Aku bisa melihat kau tanpa persiapan, hanya mengenakan jaket rajut tipis, bahkan kau tidak membawa uang, aku kira kau tidak merencanakannya, pasti sekarang orang rumahmu bakal mencari-carimu, kau bisa kena marah nanti terlalu lama di luar."

Bertepatan dengan itu, Mrs. Shiori membuka pintu pagar pada bagian samping pagar besi raksasa di rumah keluarga Hyuuga. Dengan muka durjana dia mendekati Naruto, lalu menampar pemuda tak bersalah itu sangat keras sambil memaki, "Dasar tidak sopan!" Mrs. Shiori berteriak lantang sementara Hinata tidak berkutik. "Berani sekali kau membawa pergi anak perempuan selarut ini?"

"Mrs. Shiori..." Hinata bergetar di tempatnya, memandangi raut wajah Naruto yang masih terlihat terkejut. "Mrs. Shiori..."

"Miss Hinata, Anda harus segera masuk ke dalam, kakak Anda ataupun ayah Anda sedang khawatir begitu tahu bahwa Anda tidak berada di dalam kamar. Kami semua sangat khawatir, tentu saja butuh penjelasan sebanyak mungkin, mengapa Anda bisa keluar dari kamar!"

Hinata ditarik masuk, meninggalkan Naruto yang masih membeku.

Hinata betul-betul mengingat kejadian itu, meski pada saat itu ia tidak terserang rasa malu jika mengingat kejadian penuh kesalahpahaman tersebut.

Keesokan harinya saat dia dan Naruto sering kali berjumpa, Hinata mulai menghindari tatapan laki-laki itu. Namun hatinya berkata lain, dan seharusnya meminta maaf atas kejadian yang sudah terjadi.

Karena tidak memiliki keberanian, Hinata memutuskan menulis selembar surat, menyelipkannya seperti anak perempuan lainnya dengan nyali meluap-luap. Tapi, tidak pernah sekalipun dia berhasil untuk melakukannya bahkan sampai sebulan, bahkan ketika dia tahu mereka telah lulus di hari yang sama, dan keesokan harinya, belum tentu mereka dapat berjumpa.

Begitu Sakura dan Sasuke meninggalkan pesta, Hinata merasa kesal pada dirinya sendiri mengapa dia tidak menyetujui saran Sakura untuk ikut, karena terlalu lama berpikir. Seharusnya ia segera menerima ajakan teman-temannya tadi untuk ikut bersama dengannya mengantar kepergian Naruto. Seharusnya tidak apa-apa melakukan kesalahan sekali lagi, ini demi dia bisa meminta maaf pada pemuda yang tak harusnya dipersalahkan itu.

Beberapa menit kemudian keberanian itu menyelusup memberikan tekad bulat untuk ikut kabur.

Hinata menaiki taksi untuk sampai di bandara, tetapi sangat disayangkan, bahwa Naruto Uzumaki tak dapat ditemukannya meski napasnya kembang-kempis karena berlari beberapa saat.

Ketika dia putus asa, Sakura dari jauh melambaikan tangannya, "Hinata!" suaranya yang keras dan melengking membuat Hinata menoleh, sesaat Hinata tampak tenang, tetapi saat menyadari bahwa Sakura hanya bersama Sasuke, Hinata mulai ketakutan. "Maaf, aku harus memberikan kabar, kalau kau terlambat."

"Apakah... apakah dia benar-benar sudah pergi?"

"Sekitar lima menit yang lalu."

Hinata menunduk, ingin menangis.

"Tenanglah, aku sudah katakan padanya, kalau kau sedang dirundung rasa bersalah atas kejadian sebulan yang lalu, dan tidak memiliki keberanian untuk meminta maaf ataupun datang menemuinya, jadi aku mewakilinya untukmu."

"Tapi..." Hinata berseru gemetar. "Tapi bukan itu yang ingin aku sampaikan padanya."

"Lalu, kau ingin menyampaikan apa?"

Hinata merengut, dan yang dipikirkannya bukan tentang meminta maaf, tapi ini tentang perasaannya yang ingin diungkapkannya, bukan juga karena tidak memiliki keberanian, ia mengingat bagaimana Mrs. Shiori memberitahu dirinya, kalau-kalau perbuatan semacam itu bakal mempermalukan keluarga Hyuuga, dan sepanjang malam ia terus memikirkannya, hingga tahu-tahu tidak lagi memiliki kesempatan.

Mengetahui keterlambatan itu, membuat Hinata menangis dan memutuskan keluar dari lobi bandara dengan berlari, dan yang ditemukannya di luar adalah hujan deras mengguyur kota Tokyo—hujan yang seharusnya tidak muncul di saat musim semi tiba. Namun setiap rintik hujan itu mampu menutupi setiap tetesan air mata yang berjatuhan, Hinata mungkin bisa memaafkannya.

Ketika Sakura dan Sasuke tidak lagi berada di belakangnya, Hinata memutuskan untuk berhenti. Gadis itu mulai mengatur napasnya, mengatur keadaannya, tetapi dirinya mulai kedinginan, mulai merasa tidak berdaya, serta sangat begitu sia-sia datang ke bandara, kabur dari pesta dansa, rasa-rasanya ia dapat mendengar suara Mrs. Shiori yang marah dan terus menggema di dalam kepalanya bagai seribu jarum yang menyakitkan, wanita tua itu sedang mendisiplinkan dengan ketat sampai beberapa hari ke depan. Pasti setelah ini!

"Tidak apa-apa!" Hinata menunduk. "Tidak apa-apa kalau Mrs. Shiori memarahi aku, karena aku tidak peduli lagi."

"Hinata!" suara Sakura membuat Hinata terkejut, gadis itu kembali berlari. "Hinata, kau mau ke mana?"

Tidak satu pun orang boleh melihatnya, keadaan kacau yang menyerangnya amat sedikit memalukan.

Hinata kembali melangkah menjauhkan diri dari dua temannya tanpa mengetahui bahwa situasinya sangat berbahaya untuk dirinya.

Ia berdiri pada tepi trotoar, lalu berhenti di tengah jalan ketika tiba-tiba Hinata terkejut saat lampu mobil menyorot matanya, membuatnya pedih dan berakhir menutup mata. Entah setan mana yang menjadikan Hinata tidak bergerak, tetap berdiam diri, seolah dia siap untuk mati.

Di saat yang sama, Sakura mencoba berlari untuk meraih tangan temannya, tapi semuanya terlambat. Ketika mobil mengerem mendadak, itu tidaklah membuat semuanya akan baik-baik saja, justru yang dilihat oleh Sakura, tubuh Hinata seperti permen kapas yang layu diterpa oleh angin di tengah hujan.

Tubuh gadis itu yang mungil terseret sebelum akhirnya terguling-guling seperti benda mati.

Orang-orang di sekitar kejadian terpaku sementara Hinata dapat merasakan tubuhnya seolah remuk. Matanya yang sebelumnya dipenuhi oleh air mata kini hanya ada darah yang merembes keluar dengan sangat pedihnya.

Oh lihat, langit masih menangis, langit masih gelap kemerahan, dan itu mengerikan.

"Seseorang tolong panggil ambulans!" Hinata dapat mendengar suara Sakura di sekitarnya, tapi dia tidak bisa melihat apa-apa selain gelap. Akan tetapi setidaknya, dia tidak mendengar suara Mrs. Shiori yang menceramahi dirinya panjang lebar, Hinata merasa begitu damai dan tenteram.