"Posisimu salah! Kalau begitu musuh akan dengan mudah menjatuhkan pedangmu."
"Eh, begini?"
"Salah! Pijakanmu kurang kuat. Musuh mana pun pasti akan langsung menjatuhkanmu di tempat."
"Hah! D-dari mana Paman tahu?"
"Lihatlah kaki kecil yang gemetar itu! Lututmu kurang ditekuk. Itu sebabnya kakimu gemetar."
"Haduh, aku menyerah, deh. Jadi prajurit itu susah sekali."
Lelaki yang baru menginjak usia tujuh belas tahun itu membaringkan tubuhnya ke tanah, tepat di sebelah pedang besi bekas latihan. Ia memandang langit yang terhalang rerantingan pohon dengan dongkol. Tatapannya tajam, dipadu dengan iris merah menyala, seolah ada api yang berkobar di sana. Selain itu, rambut sebahunya juga merah pekat, selaras dengan alis dan bulu mata.
"Ronan Claidestein, kau tidak boleh bicara begitu," tegur seorang pria berperawakan besar. Rambutnya gondrong dengan janggut lebat sampai leher.
"Pokoknya aku menyerah! Jadi prajurit itu bukan takdirku," bantah Ronan.
"Omong kosong! Kau adalah satu-satunya orang yang akan membalaskan dendam kerajaanmu, Vestaria. Kau adalah putra Veronica Claidestein. Apa kau lupa itu, hah?!" Pria berjanggut itu menatapnya dengan marah.
"Tentu saja aku ingat. Tapi bagaimana caranya? Berpedang saja aku tidak beres, apalagi balas dendam." Ronan mendengus pasrah seraya bangkit dari tanah.
"Maka dari itu aku memintamu latihan keras! Mengeluh saja takkan membuahkan hasil."
"Oh, Paman Bane, bicaramu sangat mudah. Kalau begitu, kenapa bukan kau saja yang melakukannya? Aku lebih suka bergulat dengan beruang daripada mendengar suara besi yang cerewet ini!" Ronan menendang pedangnya hinggat terlempar. "Aku menyerah. Titik."
Pria gondrong bernama Bane itu lantas naik pitam. Wajanya memerah, diiringi napas yang menderu-deru ganas. Ronan sontak terperanjat. Itu jelas bukan pertanda baik, pikirnya.
"Jaga bicaramu, Bocah! Akan kutendang pantat sok pintarmu itu!"
"A-ampun, Paman! T-tolong! Tolong!" Ronan lekas-lekas tancap gas meninggalkan sang Paman.
"Hey! Awas kau! Dasar bocah kurang ajar!" Paman Bane mengejarnya bak banteng kepanasan.
Ronan menapaki tanah hutan cemara dengan cepat. Matanya menelisik sekitar, berusaha menemukan celah untuk lolos dari kejaran sang Paman. Meski didominasi oleh cemara, juga ada sejumlah pohon besar nan lebat yang tumbuh di hutan tersebut. Pohon itulah yang dicari-cari Ronan.
"Hey, kemari kau!" Paman Bane mengejar tanpa jeda. Kaki besarnya menggilas tanah cokelat kekuningan.
"Sial! Paman Bane memang jago mengejar orang," gerutu Ronan. "Tapi dia tidak pernah berhasil menangkapku." Manik merah lelaki itu mengarah pada pohon cemara tua yang menjulang di depannya.
Ronan segera menjangkau dahan berlumutnya, lalu naik ke atas pohon dengan tangkas. Kendati pegangannya sempat tergelincir, lelaki itu tetap sukses bertengger di puncak. Kini, ia dapat tersenyum lebar, menyaksikan Paman Bane yang mengamuk-ngamuk di bawah.
"Hey, Paman! Apakah prajurit sepertimu bisa memanjat pohon?" Ronan memanas-manasi.
"Tentu saja!" semprot sang Paman. "Tapi waktu aku masih muda. Ayolah, Ronan! Aku sudah terlalu tua untuk ini. Cepat turun dan lanjutkan latihanmu. Jika tidak, kau takkan bisa mengontrol—eh!"
"Mengontrol apa?" Ronan penasaran.
"Ah, lupakan saja! Cepat turun!" Paman Bane coba mengalihkan topik.
"Jawab aku dulu. Mengontrol apa, Paman? Apa lanjutan dari perkataanmu tadi?" Ronan bersikeras.
"Lanjutan apanya?! Aku cuma salah bicara tadi." Paman Bane berkelit.
"Kalau begitu aku tidak mau turun. Aku akan tidur di sini, seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Aku takkan pulang ke rumah." Ronan duduk santai di atas dahan pohon.
"Hoy, Ronan! Dasar anak bandel!" omel Paman Bane. " Ya, sudah. Tak ada gunanya berargumen denganmu. Kau memang keras kepala." Pria bermantel dari kulit binatang itu menghela napas, lalu melangkah pergi.
"Blee!" Ronan menjulurkan lidahnya. "Ingat, Paman! Aku tidak akan pernah mau menjadi praju—ah!" Lelaki berbadan kurus itu tiba-tiba sempoyongan.
"Ronan?" Paman Bane menoleh ke belakang. "RONAN!" Ia sontak memelesat tatkala Ronan jatuh dari atas dahan, sehingga berhasil menangkapnya tepat waktu.
"Aargh! Kepalaku sakit," keluh Ronan.
"Kita akan pulang. Tolong bertahan sebentar. Aku akan mengobatimu di rumah."
Paman Bane menggerakkan kakinya dengan sigap, mengarungi hutan cemara yang sangat luas. Bersama Ronan di gendongannya, pria kekar itu berlari dengan membabi buta, membuat beberapa pohon cemara muda tumbang ditabraknya. Berselang sepuluh menit, mereka akhirnya sampai di rumah.
Alih-alih sebuah rumah, tempat tinggal mereka lebih cocok dipanggil pondok. Terlihat dari atapnya yang terbuat dari jerami kering dan dinding kayu yang disusun alakadarnya. Kala Paman Bane membuka pintu reot, maka deraknya terdengar sumbang sekali. Pria itu membaringkan Ronan di atas kasur dari kulit binatang.
"Kau harus beristirahat, Ronan. Maaf karena aku terlalu menekanmu," bisiknya, kemudian beralih ke tungku perapian untuk mengisi ulang kayu bakar.
"Raja Daemon Pertama," gumam Ronan, sontak membekukan sang Paman.
"Apa katamu tadi?" Paman Bane mengernyit.
"Entahlah. Nama itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku," ujar Ronan, terdengar lesu.
"Begitu, ya." Paman Bane sepakat melupakan hal tersebut, dan kembali mengurus kayu bakarnya. "Sebaiknya kau tidur."
"Ya, aku sangat mengantuk. Hoaahemm~ Selamat tidur, Paman."
"Selamat tidur, Ronan," sahut Paman Bane sembari menyulut korek, lalu menyalakan perapian.
Pria tua bermantel bulu itu duduk di lantai, memandangi kobaran api yang berderik-derik. Refleksi cahaya yang menyala di matanya mengisyaratkan kebimbangan. Paman Bane hanya diam, tenggelam dalam ritme perapian yang kian menghanyutkan. Sesaat burung pelatuk mematuk kayu di pekarangan, ia pun bangkit dengan letih.
"Betapa bodohnya aku. Kutukan itu adalah sebuah kepastian," gumamnya sendu.
Pria itu melangkah ke luar pondok untuk mengambil cangkul, lalu berjalan ke kebun belakang. Ada beraneka jenis sayur di sana. Mulai dari wortel yang baru tumbuh, lobak-lobak hijau, sampai pohon apel yang menjulang tinggi. Semuanya indah dalam lingkup pagar pembatas dari balok kayu yang dipaku seadanya.
Paman Bane menghampiri baris gundukan tanah kedua, yang dekat pintu masuk, di samping barisan seledri. Ia memang senang membuat gundukan, meski tidak tahu harus menanam apa. Namun, semua itu bukan keisengan belaka. Ada sesuatu yang disembunyikan pria itu, dan kini ia ingin mengambilnya kembali.
Paman Bane mulai mencangkul gundukan tanah tersebut. Teriknya matahari tak membuat keringatnya menetes. Orang itu terus mengayunkan cangkul, memindahkan tumpukan tanah sedikit demi sedikit. Tak terasa, setelah menit-menit yang panjang berlalu, cangkul Paman Bane berdentang membentur sesuatu.
"Aku terlambat. Aku tidak dapat melatihnya," ujar Paman Bane seraya menggali lapisan tanah dengan jari-jarinya.
Benda yang terkubur di dalam sana terbilang cukup besar dan panjang. Bahkan, Paman Bane harus memikulnya saat mengeluarkan benda tersebut dari dalam tanah. Ia menjatuhkannya ke bawah, sehingga debam nyaring terdengar. Selain besar, itu juga berat.
"Kutukan tujuh belas tahun tiba lebih cepat dari dugaanku. Entah bagaimana jadinya setelah ini." Paman Bane terus bicara ketika tangannya sibuk membuka balutan kain lusuh yang membungkus benda temuannya. "Jika menggunakan pedang kecil saja dia tidak mampu, bagaimana caranya bertarung dengan yang sebesar ini?"
Apa yang baru saja diangkat Paman Bane dari gundukan tanah adalah sebuah pedang berukuran gigantik yang berkilat bak kobaran api. Besinya merah menyala-nyala, seolah baru diturunkan dari tungku pembakaran. Selain itu, gagang pedangnya dihiasi gugusan rubi seukuran jempol, berpadu dengan sepasang tanduk yang meliuk di pangkal pedang.
"Firecalibur. Pusaka terkuat Raja Daemon Pertama. Pedang yang pernah memusnahkan bangsa malaikat di langit. Apakah Ronan akan siap untuk ini?"
BRUAKK!
Sejurus akhir kalimat Paman Bane, tiba-tiba saja sesuatu menembus atap pondok, meninggalkan percikan api yang membakar jerami keringnya. Lantas saja pria itu jadi panik. Ia langsung mengambil air dari bak pengairan kebun lalu menyirami atap yang mulai mengeluarkan bau gosong itu.
"Ronan! Keluar! Ronan!" Paman Bane membanting pintu, berusaha menemukan keponakannya. Namun, yang ia dapat hanyalah kasur yang terbakar. "Sial! Di mana dia!?"
Detik itu juga sebuah spekulasi bertengger di otaknya. Tentu, ia takkan salah duga kali ini. Mulai dari sosok menyerupai bola api yang memelesat dari dalam pondok, hingga kasur Ronan yang habis terbakar. Kutukan tujuh belas tahu telah tiba, pikirnya.
Selepas memandamkan api di pondoknya, Paman Bane tertatih-tatih menuju pekarangan. Ia mendongak ke langit dengan cemas, keringat bermanik-manik di pelipisnya.
"Di mana kau, Ronan? Kembalilah," kisiknya.
Telinga Paman Bane mendengar desing secara samar-samar. Menurutnya itu mirip suara koloni lebah yang menyerbu dengan garang. Namun, desingnya berubah jadi letupan kayu yang dilumat api. Benar-benar suasana yang kacau, dan panas. Sangat panas, malahan, sampai-sampai Paman Bane tak sadar mantel bulunya sudah banjir keringat. Tanah pijakannya pun mulai retak-retak.
"Aku di sini, Paman."
"WHOAH!" Paman Bane terperanjat. "Siapa kau!? Hah! R-Ronan? I-itu kau?!"
Apa yang ada di hadapan Paman Bane bukanlah manusia. Dia memang berdiri dengan dua kaki, tetapi seluruh tubuhnya diselimuti api. Api merah yang menyala-nyala, membuat mata siapapun akan kemerahan merefleksikannya.
Suhu di sekitar mereka mendadak naik, sangat panas. Burung pelatuk yang dari tadi sibuk melobangi pohon langsung kabur karena bulunya mulai rontok. Pepohonan seketika layu, pun demikian dengan anak sungai yang berada tak jauh dari mereka, surut tak bersisa. Hanya ada Paman Bane—mematung—terhenyak memandangi sosok mengerikan di hadapannya.
"Ronan," lirihnya. Mata pria itu kuyup akibat air mata, tak sanggup menahan silaunya api yang berkobar. Janggutnya pun rontok sehelai demi sehelai. "I-itu benar-benar kau."
Kaki Paman Bane mulai goyah. Ia tersungkur, tak kuasa menahan tekanan gas yang berasal dari kobaran api. Makhluk itu, meski tidak besar, nyatanya sudah lebih mengerikan dari hewan buas manapun. Bahkan, terik apinya nyaris menyaingi matahari. Terang saja lepuhan-lepuhan kecil mulai menggerayangi kulit Paman Bane. Satu atau dua menit lagi, jika tidak angkat kaki dari sana, pria itu pasti akan mati gosong.
"Uhuk! Uhuk! Arrghh!" Paman Bane tercekat. Napasnya tinggal seujung jari. Ia harus menahan betapa perihnya kulit terkelupas, sementara asap mematikan terus menjejali hidung dan mulutnya. "H-hentikan. H-hentikan, Ronan. Uhuk! Ronan, berhenti!"
SWUSH!
Angin kencang menderu dari arah makhluk asing itu, mematikan seluruh api di tubuhnya, meninggalkan sesosok orang yang paling dikenal Paman Bane. Itu adalah Ronan Claidestein, keponakannya sendiri. Ronan berdiri tegak, menyaksikan pamannya yang terkapar di tanah, batuk-batuk.
"Kenapa kau tidak memberitahuku, Paman?" ujarnya, terkesan menginterogasi.
"Uhuk! Ma-maafkan aku. A-aku baru ingin m-memberitahu—"
"Sudah terlambat. Aku adalah putra Raja Daemon Pertama, Raja iblis terkuat di neraka. Mengapa kau merahasiakan hal sebesar itu?!" Ronan berang. "Oh, sudahlah! Aku akan mendatangi Elloria dan membakar semua penduduknya. Selamat tinggal."
"TUNGGU, RONAN! TUNGGU!" teriak Paman Bane.
"Ada apa lagi?! Bukankah kau ingin aku membalaskan dendam Vestaria?" Ronan yang hendak terbang sontak memadamkan api di telapak kakinya.
"K-kau tidak bisa melakukannya. Ada banyak orang Vestaria yang t-tinggal di sana. Jika kau mengamuk, uhuk! maka mereka semua akan mati."
"Orang-orang Vestaria ... di Ellioria?" Ronan mengernyit. "T-tapi mengapa?!"
"Haaah!" Paman Bane menghela napas nyaring sesaat hidungnya tidak mampet lagi. "Mereka adalah orang yang berpura-pura menyerah dan menjadi rakyat Elloria. Merekalah yang bertugas menyuplai informasi soal perkembangan Elloria."
"Informasi untuk apa?" Ronan penasaran.
"Informasi untuk kudeta. Elloria punya seseorang yang sama sepertimu, putra Raja Iblis juga. Untuk itu, kami harus bersabar sampai kutukan tujuh belas tahunmu tiba. Kau adalah kartu as kami, Ronan." Paman Bane terseok-seok mendekati keponakannya itu. "Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu, Ronan, di kebun belakang. Ikuti aku."
Ronan yang masih kebingungan hanya bisa mengekor di belakang ketika sang Paman memandunya sambil terpincang-pincang. Pria itu sesekali meringis karena lepuhan di wajahnya benar-benar perih. Sesaat sampai di kebun bekakang, tampaklah Firecalibur yang tergeletak di tanah.
"Kekuatan Raja iblis akan sempurna jika mereka menguasai pusaka mereka sendiri. Itulah pusakamu, Ronan. Firecalibur. Pedang paling mematikan seantero alam semesta." Paman Bane duduk di dekat pusaka milik Ronan, menyeretnya mendekati lelaki itu.
"Pedang?" Ronan memandang sang Paman dengan sejuta tanda tanya.
"Takdirmu memang bukan menjadi prajurit, tetapi kau wajib menguasai teknik berpedang untuk mencapai potensi maksimalmu. Sekarang, bagaimana kau akan bertarung dengan pedang sebesar ini?"
"Cih! Aku tidak butuh pedang," tampik Ronan dengan pongahnya. "Kekuatan apiku saja sudah cukup."
"Cukup untuk memusnahkan seluruh manusia di benua ini, tentu, kau benar. Tapi, Ronan, tugasmu adalah mengalahkan musuh, bukan membantai umat manusia. Dengan Firecalibur, kau dapat mengontrol kekuatanmu. Sesederhana itu."
"Aku tidak mau berurusan dengan pedang lagi. Itu membosankan!" ketus Ronan. "Tenang saja. Aku akan berhati-hati saat mengurus semua musuhku. Akan kubakar mere—"
DUKK!
"Bhakk!"
"Ronan!" teriak Paman Bane.
Cahaya hijau tiba-tiba saja menabrak Ronan dan membawanya menjauh. Lelaki itu tersedak sesaat badannya membentur batang pohon hingga berdebuk keras. Cahaya macam apa yang mampu menerbangkan manusia secepat itu?
(TBC)