webnovel

Takut Kehilangan

“Ayah, Bunda ... mmh, Roro Ayu sudah menjadi istriku. Bisakah kami tinggal di rumah sendiri? Aku sudah menyiapkan rumah untuk keluarga kecil kami dan hidup mandiri,” tutur Nanda saat makan malam bersama dengan keluarga Ayu.

Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang selama beberapa saat.

“Kalian sudah berdiskusi? Bunda tidak bisa melarang kalau memang ini keinginan kalian,” tutur Bunda Rindu. “Asalkan kalian punya waktu untuk mengunjungi kami.”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil menggenggam tangan Ayu. “Bunda tenang saja! Kami akan sering berkunjung ke sini. Rumah kami tidak terlalu jauh. Kami bisa mengunjungi kalian sesering mungkin.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan suaminya itu. Walau bagaimana pun, dia adalah seorang istri dan sudah selayaknya berbakti. Cepat atau lambat, seorang wanita memang akan diboyong pergi saat mereka sudah berkeluarga. Bersyukurnya, ia tidak perlu tinggal bersama mertua karena Nanda sudah menyiapkan rumah untuk mereka berdua.

Bunda Rindu tersenyum menatap wajah Ayu. “Kamu jaga dirimu baik-baik! Lagi hamil muda, tidak boleh terlalu kelelahan! Sudah resmi resign dari perusahaan?”

Ayu mengangguk. “Sudah, Bunda.”

“Baguslah. Jadi, kamu bisa fokus mengurus suami dan anakmu,” tutur Bunda Rindu. “Oh ya, kapan mau pindah rumah?”

“Secepatnya, Bunda,” jawab Nanda. “Mungkin, besok.”

“Nanti Bunda Rindu ke sana juga. Sebelum ditinggali, ada baiknya kita mengadakan pengajian lebih dulu,” tutur Bunda Rindu.

“Pengajian?” batin Nanda dalam hati. Pria bejat seperti dia mengadakan pengajian? Oh, God! Apa kata pasukan bir dan wine yang biasa menemaninya party?

Ayu mengangguk. “Nanti Ayu bilang ke Mama Nia dan Papa Andre juga supaya mereka juga datang ke rumah kami.”

“Mmh ... emangnya harus ada acara pengajian segala?” tanya Nanda.

“Iya, dong. Supaya kehidupan rumah tangga kalian itu penuh berkah, dikasih rejeki yang melimpah dan selalu harmonis,” jawab Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Nanda tersenyum kecut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak pernah mengadakan acara pengajian. Jika bukan karena keinginan orang tua, dia enggak melakukan hal tersebut. Boro-boro mau pengajian, belajar agama saja dia selalu kabur dari kelas. Bagaimana bisa pria bejat seperti dia mendapatkan istri yang begitu baik dan sholehah? Rasanya, jodoh kali ini tidak tepat. Ia masih ingin bersenang-senang di luar sana tanpa harus terbebani dengan tanggung jawab keluarga. Tapi kenyatannya, dia akan menjadi seorang ayah dan harus bertanggung jawab pada keluarganya.

Setelah menjalani serangkaian acara yang rumit dan penuh drama, Nanda dan Ayu akhirnya resmi menempati rumah baru mereka.

Nanda langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur begitu semua tamu sudah pulang dari rumahnya. “Gila! Seumur hidup, aku baru ini pakai baju koko terlama. Kenapa harus ngadain pengajian? Malu sama temen-temen klub aku, Yu. Harusnya kita bikin wine party biar seru.”

Ayu tersenyum sambil duduk di sisi Nanda. “Kalau kamu mau bikin party wine, jangan di rumah ini!”

“Kenapa? Ini rumahku.”

“Kamu pergi aja ke klub malam yang biasa kamu kunjungi!” sahut Ayu sambil meletakkan piyama ke atas perut Nanda. “Gantilah!”

Nanda menatap piyama di atas perutnya dan menghela napas. “Aku capek dan ngantuk banget. Nggak usah ganti baju.” Nanda menyodorkan kembali piyama itu. Ia memperbaiki posisi tubuhnya dan langsung memejamkan mata.

Ayu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Nanda. Ia merapikan tubuhnya terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap di samping pria itu.

Hingga jam sepuluh pagi, Ayu masih terlelap dengan nyaman di pelukan Nanda. Entah apa yang terjadi semalam selama mereka tidur dalam satu ranjang. Terpisah jauh dari sudut ke sudut, tiba-tiba sudah saling menempel tanpa mereka sadari.

Nanda memicingkan mata sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Ia langsung menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamar tersebut. “Jam sepuluh!?” batinnya.

Nanda meringis saat tangan kirinya terasa sangat keram dan Ayu sedang tertidur lelap dengan kepala di atas dadanya. “Kenapa dia bisa di sini? Pantesan pegel banget,” batinnya. Ia langsung menggeser kepala Ayu perlahan agar menjauh dari tubuhnya. Kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ayu langsung membuka mata begitu ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ia langsung terlonjak begitu menoleh ke arah jam dinding dan waktu sudah menunjukkan jam sepuluh pagi. “Astaga! Aku bangun kesiangan!?”

Ayu bergegas melangkah menghampiri pintu kamar mandi dan mengetuknya. “Nanda ...!”

“Hmm.”

“Ke kantor?”

“He-em.”

“Mau sarapan apa?” tanya Ayu.

“Nggak usah! Aku bisa sarapan di luar!” seru Nanda dari dalam kamar mandi.

Ayu menghela napas. Hari pertama menjalani kehidupan baru dengan Nanda, ia malah bangun kesiangan. Meski begitu, ia berusaha menyiapkan sarapan secepat mungkin untuk suaminya sebelum pria itu berangkat ke kantor perusahaannya.

Beberapa menit kemudian, Nanda turun dari kamar dengan pakaian jas rapi. Ia menghentikan langkahnya saat melihat Ayu sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. “Yu, kamu masak?”

“Iya. Sorry, aku kesiangan. Jadi, aku masak apa adanya aja untuk kamu. Makanlah!” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda tersenyum miring sambil memperhatikan sepiring nasi goreng yang disiapkan oleh Ayu untuknya. “Aku udah bilang nggak usah masak. Aku mau makan di luar.” Ia langsung melangkah begitu saja.

“Tapi ...”

“Ayu, aku nggak suka diatur, ya! Aku sudah bertanggung jawab menikahimu. Apa pun yang akan aku lakukan, kamu nggak perlu ikut campur!” sahut Nanda.

Ayu menghela napas melihat sikap Nanda. “Kamu ngajak tinggal di rumah sendiri supaya bisa semena-mena sama aku, Nan?”

Nanda menghentikan langkahnya sejenak. “Nah, itu tahu. Kalau aku nggak meminta kamu melakukan sesuatu, maka kamu nggak perlu melakukan apa pun untukku. Aku ada janji mau ketemu Arlita. Aku makan di luar,” ucapnya dan beranjak pergi.

“Nan, Arlita itu mantan pacar kamu. Aku ini istri kamu, Nan. Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

“Dia bukan mantanku. Aku belum putusin dia. Kalau kamu nggak bego, aku nggak bakalan nikah sama kamu!” sahut Nanda sambil melangkah keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil menyetabilkan hatinya. “Kamu gila, ya!? Aku juga punya pacar saat nikah sama kamu. Tapi kami udah nggak berhubungan lagi. Kamu punya istri, punya pacar juga? Emang dasar Nanda brengsek! Kenapa aku bisa terjebak jadi istri dia!?” umpatnya kesal.

Ayu merintih kecil saat perutnya tiba-tiba terasa perih. Ia langsung menghampiri meja makan dan menikmati nasi goreng buatannya seorang diri sebab Nanda tak ingin menyentuhnya sedikit saja.

Ayu membuka ponsel dan memeriksa update story di sosial media milik Arlita. Benar saja, wanita itu baru saja update story dengan pakaian cantik dan full riasan di wajahnya. Ditambah lagi dengan caption yang menunjukkan kalau ia sedang menuju ke salah satu restoran mewah yang ada di Galaxy Mall. Ayu tak bisa berbuat banyak. Toh, pernikahan ini juga bukan keinginannya. Akan lebih baik jika Nanda pergi dengan Arlita dan menceraikannya. Ia bisa mengurus anaknya sendiri dengan baik tanpa harus makan hati setiap hari.

***

Nanda melangkah masuk ke dalam restoran yang sudah ia pesan sebelumnya bersama Arlita. Ia langsung menghampiri Arlita yang sudah menantinya lebih dahulu.

“Siang, Sayang ...!” sapa Arlita dengan hangat dan langsung merangkul Nanda dan menciumi pipi pria itu. “Aku kangen, Nan.”

“Aku juga kangen sama kamu,” balas Nanda sambil tersenyum manis ke arah Arlita dan duduk di sofa yang ada di sana.

Arlita tersenyum dan terus merangkul lengan Nanda. “Nan, Ayu tahu kalau kamu pergi sama aku?”

“Tahu. Aku sudah bilang sama dia.”

“Kamu yakin hubungan kita ini akan baik-baik saja?” tanya Arlita sambil bergelayut manja di tubuh Nanda. “Kenapa kamu malah hamilin dia, sih? Bukannya hamilin aku aja. Kita ‘kan bisa segera menikah kalau aku hamil, Nan.”

“Aku nggak sengaja, Lit. Malam itu aku mabuk dan aku pikir itu kamu. Nggak tahunya itu Ayu. Kamu tahu ‘kan Ayu itu ceweknya sahabatku. Hubunganku sama Sonny jadi kacau gara-gara si Ayu bego itu. Apa susahnya beli pil KB di apotek supaya nggak hamil atau gugurin aja kandungannya? Urusan selesai dan aku nggak harus terjerat dalam pernikahan menyebalkan ini!” tutur Nanda sambil meraih gelas jus yang ada di atas meja dan meminumnya perlahan.

“Kenapa menyebalkan? Ayu itu masih keturunan bangsawan. Keluargamu pasti merasa terhormat dan bahagia punya menantu seperti dia. Apalagi papa dan mamamu itu, sampai sekarang mereka nggak suka sama aku. Ditambah lagi sudah punya menantu Ayu. Kamu yakin akan bercerai sama Ayu setelah dia melahirkan?”

Nanda mengangguk. “Baru sebulan aku nikah sama dia. Kepalaku udah pusing, Lit. Keluarga itu terlalu banyak aturan dan aku capek pura-pura jadi suami yang baik.”

“Kalau kamu capek pura-pura, tunjukkin aja aslimu, Nan!”

“Maksudmu?”

“Kamu dan Ayu memang tidak saling mencintai. Untuk apa berpura-pura? Kalian bisa berpisah setelah anak kalian lahir. Kamu bisa bebas jalan sama aku, Ayu juga bisa bebas jalan sama Sonny ‘kan? Kita bisa kembali ke kehidupan masing-masing seperti dulu,” jawab Arlita sambil tersenyum manis.

Nanda menoleh ke arah Arlita sejenak sambil berpikir. “Ada benernya juga, sih. Aku juga nggak nyaman hidup sama perempuan membosankan kayak Ayu. Gimana kalau nanti malam, aku tidur di apartemen kamu?”

“Serius!? Apartemenku juga milikmu, Nan. Tentu saja kamu boleh tidur di sana kapan saja. Aku pasti menyambutnya dengan senang hati. Tapi ... apa kamu tidak takut dengan mertua dan orang tuamu jika menginap di tempatku? Aku tidak ingin dipersalahkan oleh mereka.”

“Aku sudah tinggal di rumah sendiri bersama Ayu. Tidak akan ada masalah jika perempuan itu tidak mengadu yang macam-macam ke orang tua. Aku lebih bebas untuk bergerak dan tidak perlu berpura-pura menyayangi Ayu. Aku pusing, Lit.”

Arlita menghela napas. “Kalau kamu pusing di rumahmu sendiri, datang aja ke tempatku! Tempatku akan selalu terbuka untuk kamu dan kita bisa menikmati waktu bersenang-senang. Bagaimana?”

Nanda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Setelah pulang dari kantor, aku akan ke tempatmu.” Ia tersenyum manis dan mengecup bibir Arlita.

Arlita mengangguk. Ia merangkul Nanda dengan hangat dan tersenyum manis. Ia sangat bahagia saat Nanda masih mencarinya untuk mendapatkan kehangatan. Ia tidak peduli dengan Ayu. Sejak awal Nanda adalah miliknya dan Ayu yang sudah merebut kekasihnya itu. Ia akan melakukan apa pun untuk merebut Nanda kembali dari tangan Ayu. Tidak rela jika pria yang sudah lama mengisi harinya itu diambil oleh wanita lain. Lagipula, hidup Arlita selalu bergantung dengan Nanda sejak dulu. Jika Nanda benar-benar pergi, ia tidak punya apa-apa untuk menghidupi dirinya dan gaya hidupnya yang mewah sejak berpacaran dengan Nanda.

***

Ayu mondar-mandir di ruang tamunya dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan di rumahnya seorang diri. Rumah ini belum banyak furniture dan ia tidak tahu harus melakukan apa di rumah itu. Sudah seharian bersantai-santai dan ia merasa sangat bosan. Biasanya, dia selalu pergi bekerja. Hari ini barulah terasa dan menyesal telah melepaskan karirnya demi berbakti pada suami.

“Lebih baik aku ke pasar aja, deh. Cari bahan masakan untuk makan malam. Mungkin, Nanda mau menemaniku makan malam.” Ayu tersenyum lebar. Ia segera melangkah ke kamar untuk mengambil dompet dan melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.

Pasar sayuran terletak tak jauh dari komplek perumahan tersebut. Ia memilih untuk berjalan kaki. Ia bisa menikmati suasana dengan santai dan mengulur waktunya di luar rumah. Rumah yang besar dan sepi itu terasa sangat membosankan untuknya.

Suasana di pasar tetap saja ramai meski sudah sore. Ayu memilih beberapa sayuran, buah dan daging untuk ia masak. Ia tidak tahu makanan kesukaan Nanda dan hanya bisa memikirkan makanan yang disukai oleh kebanyakan orang. Berharap, Nanda akan menyukai hasil masakannya.

Di saat bersamaan, Nanda yang baru saja pulang dari kantor bersama Arlita, langsung menangkap bayangan tubuh Ayu yang sedang berada di tepi jalan di pasar yang ia lewati. Ia langsung menghentikan mobilnya dan melepas safety belt yang melingkar di pinggangnya.

“Kenapa, Nan?” tanya Arlita.

“Istriku,” jawab Nanda sambil menunjuk ke arah Ayu dan segera keluar dari dalam mobil tersebut.

“Ay, kamu ngapain di sini?” tanya Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membalikkan tubuh wanita itu agar menatap ke arahnya.

“Nanda?”

“Kenapa? Kaget lihat aku?” tanya Nanda lagi.

Ayu menggeleng santai. “Aku lagi cari bahan makanan untuk makan malam kita. Sudah pulang kerja?” Matanya langsung menangkap tubuh Arlita yang baru saja keluar dari mobil Nanda. Ia langsung menghela napas dan memilih untuk melangkah pergi meninggalkan pria itu.

“Hei, kamu mau ke mana!?” seru Nanda sambil mengejar langkah Ayu dan menghadangnya.

“Aku mau pulang.”

“Pulang sama aku!” pinta Nanda sambil menyambar pergelangan tangan Ayu.

“Nggak usah, Nan. Kamu lagi sama pacarmu. Aku nggak mau ganggu.”

“Oh. Jadi, kamu mau juga diganggu sama cowok lain? Lihat! Kamu keliaran pakai daster seksi kayak gini. Nggak sadar kalau sudah bersuami!?” sahut Nanda kesal.

Ayu mengernyitkan dahi dan menatap daster yang ia kenakan. Daster itu memang hanya di atas lutut dan tanpa lengan. Menurutnya biasa saja. Toh, Arlita juga mengenakan pakaian yang jauh lebih seksi darinya. Kenapa Nanda harus mempermasalah daster yang ia kenakan? Pria ini benar-benar membuatnya sangat kesal.

“Pulang sama aku!” pinta Nanda sambil menyeret lengan Ayu dan membawanya menghampiri mobilnya.

Arlita menaikkan kedua alisnya saat ia berhadapan langsung dengan Ayu. Ia hanya berdiri santai menatap wanita yang telah merebut kekasihnya dengan cara yang licik dan kejam.

“Lit, kamu pulang naik taksi, ya!” pinta Nanda sambil membuka pintu mobil dan memasukkan tubuh Ayu ke dalamnya.

Ayu menghela napas saat ia sudah duduk di dalam mobil. Meski ada Arlita di sana, ia tidak berani melakukan apa pun. Hanya bisa menundukkan kepala setiap kali bertemu dengannya. Sebab, ia sudah merebut Nanda dari tangan Arlita dan hatinya masih merasa bersalah.

“Nan, kamu nyuruh aku pulang naik taksi? Bukannya kamu sudah sepakat mau nginap di tempatku dan kita makan malam bareng?” tanya Arlita sambil melirik Ayu yang sudah berada di dalam mobil Nanda.

“Makan malam bisa lain kali. Ini urusan rumah tanggaku. Kamu pulang naik taksi aja, ya! Pesan makanan yang enak atau buat party sama teman-temanmu supaya kamu nggak bosan. Nanti aku transfer uang untuk party kamu,” jawab Nanda.

“Serius!?” tanya Arlita sambil tersenyum lebar.

Nanda mengangguk. “Bersenang-senanglah! Aku selesaikan urusan rumah tanggaku dulu!” Ia langsung melangkah ke sisi lain dan masuk ke dalam mobil. Kemudian, ia bergegas membawa mobilnya itu pergi dari sana.

“Nan, kamu nggak putusin Lita?” tanya Ayu. Ia akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama tertahan di dalam hatinya.

“Nggak. Dia bisa menjadi hiburan dan menemaniku bersenang-senang di luar. Di rumah bersamamu, semuanya terasa membosankan,” jawab Nanda santai.

“Kalau gitu, nggak usah pulang ke rumah sekalian!” sahut Ayu.

“Kamu ...!?” Nanda langsung menoleh ke arah Ayu dan menatap geram.

“Aku juga lebih tenang nggak ada kamu di rumah,” sahut Ayu dengan suara tercekat.

“Bagus.” Nanda manggut-manggut. “Aku juga bisa tinggal di tempat Lita kalau memang itu mau kamu! Muak sama istri pembangkang kayak kamu!”

Ayu langsung membuang wajahnya ke arah luar jendela. Air matanya menetes perlahan. Ia tidak menyangka jika akan diperlakukan seperti ini oleh Nanda setelah mereka tinggal di rumah sendiri. “Bunda, aku mau pulang ...” lirihnya dalam hati.

Nanda menghela napas sambil memarkirkan mobil di halaman rumahnya. “Nggak usah nangis, Ay!” pintanya lembut.

“Aku mau balik ke rumah orang tuaku, Nan.”

“Hah!? Kita baru sehari tinggal di rumah ini. Kamu udah mau pulang ke rumah orang tuamu?” tanya Nanda. “Kamu jangan kekanak-kanakkan gitu, dong! Aku minta maaf sama kamu! Nggak perlu balik ke rumah orang tua!” pintanya. Ia tidak ingin mendapatkan masalah baru jika Ayu sampai keluar dari rumahnya. Ia harus menghadapi keluarga mertua dan orang tuanya sekaligus. Membayangkannya saja, ia sudah sakit kepala.

“Aku nggak betah tinggal di rumah ini. Rumah ini terlalu sepi. Sarapan, makan siang dan makan malam ... aku selalu sendirian. Kamu sibuk dengan pacarmu. Lalu, buat apa aku masih tinggal di rumah ini? Menjadi istri yang tidak dihargai. Lebih baik kita selesaikan saja hubungan kita jika memang tidak ada kebahagiaan. Toh, aku dan keluargaku bisa menghidupi anak ini meski tanpa ayahnya,” tutur Ayu sambil keluar dari mobil dan melangkah perlahan memasuki pintu rumahnya.

Nanda buru-buru mengejar langkah Ayu hingga lupa mematikan mesin mobilnya. “Yu, jangan pergi, ya! Aku bisa dibunuh sama Papa Andre kalau hubungan kita berantakan. Aku janji akan temani kamu sarapan, makan siang dan makan malam. Asalkan kamu jangan pergi dari sini! Oke?” pinta Nanda sambil mengikuti langkah Ay menuju dapur rumah mereka.

Ayu tak menyahut. Ia memilih untuk menyibukkan diri di dapur dan tidak mendengarkan Nanda yang terus mencoba merayunya agar tetap tinggal di rumah itu. Ia tahu, Nanda hanya takut kehilangan kedudukannya di perusahaan keluarganya jika hubungan mereka berantakan. Bukan karena kehilangan sosok istri dalam hidupnya. Andai dia bisa memilih, ia tidak ingin menjalani pernikahan yang sangat menyakitkan ini.

((Bersambung...))