Setelah menyelesaikan quest membunuh Kuma, mereka pun melanjutkan perjalanan. Likyter yang memimpin jalan… tepatnya terpaksa berjalan di depan, karena dengan begitu Prila yang berada di belakang bisa mengawasi setiap gerak-gerik Likyter sambil terus berada di dekat Alice.
"Prila, tolong berhenti menatapku dengan tatapan mengerikan," minta Likyter.
"Apa maksudmu dengan menatapmu dengan tatapan mengerikan? Aku tidak melakukan itu, aku hanya mengawasimu agar tidak berani melakukan hal yang tidak senonoh kepada Alice atau bahkan kepadaku," jawab Prila.
"Sudah kubilang itu hanya kecelakaan!" protes Likyter sambil berbalik badan.
"Jangan melihat ke arah kami, terus lihat ke depan, serangga tengik!!" kesal Prila.
Likyter langsung kembali mengarah ke depan. "Kalau tak percaya, tanya saja Alice!"
"Likyter… mesum," ucap singkat Alice sambil memeluk dadanya.
Likyter langsung menundukkan kepala, menerima rasa sakit di hatinya. "Lalu, kita akan ke mana…?" tanya Likyter lemas.
"Kalau tidak salah, di depan sana ada desa Yi. Kita akan ke sana untuk mencari anggota party lagi atau hanya sekedar menyelesaikan quest untuk menambah uang kita," jawab Alice.
"Selain itu, desa Yi juga dikenal sebagai desa yang memiliki bahan yang bagus untuk senjata. Mungkin saja di sana ada bahan yang kau cari untuk upgrade senjatamu," tambah Prila.
Lalu, di depan mereka ada sebuah kota kecil dihiasi tanaman-tanaman yang sudah berguguran. Bisa dibilang, kota kecil itu sedang musim gugur. Melihat itu, Likyter keheranan.
"Nah, itu desa Yi," jelas Prila.
"Eh, desa? Itu kan kota," heran Likyter. "Dan kenapa kelihatannya sedang musim gugur? Bukankah seharusnya musim semi."
"Desa di sini, maksudnya bukan desa tempat tinggal kampung. Melainkan sebutan untuk tempat yang memiliki musimnya sendiri. Kau tahu sendiri, kan? Seluruh pulau di negeri ini menyatu membentuk sebuah negara bernama Fantasy. Berkat itu, ada beberapa titik di negara ini yang terganggu iklimnya," terang Alice. "Sedangkan kota, adalah sebutan tempat yang tidak terganggu iklim cuacanya. Jadi, musimnya teratur."
"Tunggu, seharusnya kau sudah tahu hal ini, karena ini sudah menjadi pengetahuan umum."
"Se-Sepertinya… aku lupa atau tidak memperhatikan dengan benar saat penjelasan itu di kelas, heheheh. Kalau diingat waktu kecil, aku tidak menyangka negeri Fantasy akan tercipta. Selain itu, ada makhluk bukan manusia hidup di dunia ini dan sekarang kita hidup bersama dengan mereka."
"Benar juga. Padahal waktu aku kecil, ras selain manusia itu dianggap hanya ada di dongeng dan buku cerita," sambung Alice.
"Sudahlah, kalian berdua, ayo kita masuk ke desa. Kita lanjutkan pembicaraan di dalam saja," ucap Prila sambil mendahului mereka masuk desa Yi.
Alice pun menyusul Prila. Melihat itu, Likyter mengira kalau masa kemarahan Prila soal itu sudah dilupakan atau berakhir. Likyter pun segera menyusul mereka, tapi langkahnya langsung terhenti setelah menyadari satu hal yang mengganjal.
"Tunggu, bagaimana dengan monster? Mereka semua datang dari mana? Kalau tidak salah, menurut sejarah monster muncul sebelum perang dunia III. Apa sebab perang dunia III terjadi karena munculnya monster di dunia?"
"Likyter, kenapa kau diam di sana? Ayo cepat masuk!" panggil Alice.
"Ah, iya, aku ke sana!"
Mereka pun menelusuri desa Yi. Dapat dilihat banyak sekali orang dan ras lainnya sedang berlalu-lalang, selain itu ada juga bangunan-bangunan kecil dan tumbuhan yang daunnya sudah menjadi coklat.
"Oh iya, kalau misalnya kita ke sini untuk mencari anggota party, bagaimana cara mendapatkannya? Apa kita tanya satu persatu petualang yang ada di sini?" tanya Likyter kepada Alice.
"Hmm… aku tidak tahu…" jawab Alice pasrah.
"Kalau begitu, kita cari quest saja dulu. Mungkin selama kita melakukan quest bisa bertemu petualang yang cocok bergabung dengan party kita," pendapat Prila.
"Ide yang bagus, Prila," puji Likyter.
"A-Aku tidak akan senang dengan pujianmu itu, serangga tengik! Hmph!" elak Prila sambil memalingkan pandangannya.
"Ah, Likyter, lihat!" ucap Alice. Likyter dan Prila melihat ke arah yang ditunjuk Alice. "Sepertinya di toko itu ada bahan yang dibutuhkan untuk upgrade senjatamu," lanjut Alice.
Sebuah toko kecil dengan papan besar bertuliskan 'Surya' berukuran besar dan 'Menyediakan batu logam terbaik' berukuran kecil di bawahnya, berada di samping mereka. Selain itu ada beberapa jenis batu logam tersimpan di keranjang tersusun rapih di etalase, dapat dilihat di balik kacanya.
"Tapi sepertinya akan cukup lama, karena kelihatannya toko itu sedang ramai," ucap Likyter.
"Bagaimana kalau kita berpencar? Aku dan Alice mencari penginapan, sekaligus mencari quest. Dan kau yang mencari bahan yang dibutuhkan," saran Prila.
"Ide yang bagus. Kalau begitu, nanti hubungi aku kalau sudah dapat quest yang bagus. Kalau bisa, yang memburu monster." Likyter pun pergi memasuki toko itu.
Setelah masuk ke toko itu, Likyter bisa melihat banyak sekali petualang yang melihat-lihat jenis-jenis batu logam di etalase. Likyter pun memeriksa satu persatu label nama batu logam, mencari yang ada di daftar pemberian Yiger. Sampai akhirnya Likyter berhenti di depan etalase bertuliskan 'Hard Steel' dan di sebelahnya 'Kristal Tuang'.
"Hmm… harganya mahal… Satunya saja 250.000 Gil. Sedangkan yang dibutuhkan dua Hard Steel dan tiga Kristal Tuang, berarti… 1.250.000 Gil?!" keluh Likyter. "Padahal ukurannya kecil." Likyter mengambil satu Hard Steel, ukurannya segenggam tangan warnanya merah kehitaman.
"Bagaimana kalau aku kasih secara gratis?"
Berkat ucapan itu, Likyter kaget dan hampir saja menjatuhkan Hard Steel di tangannya. Dengan wajah masih terkejut, Likyter melihat ke arah orang yang berdiri di sampingnya. Dia seorang pria tua yang sudah bungkuk, memakai kaos putih, celana coklat panjang, rambut seluruhnya beruban, matanya sipit, dan memakai tongkat di tangan kanan sebagai penompa tubuhnya.
"Eh, beneran?" tanya Likyter memastikan.
"Iya. Kebetulan aku punya lima Hard Steel dan lima Kristal Tuang," jawab pria tua itu. "Aku akan memberikan semua itu kalau kau berhasil menyelesaikan quest dariku," lanjutnya.
"Quest apa?! Beritahu aku!"
"Hahahah, kau semangat sekali, aku suka. Quest-nya adalah membantu hantu penghuni villa tua."
"Oke, jadi apa yang harus aku lakukan?!"
"… Kau aneh sekali. Padahal, semua petualang yang sebelumnya aku tawari quest ini akan langsung menolaknya. Apa kau tidak takut?"
"Tidak. Malah, aku ingin bertemu dengan ras hantu! Karena sewaktu kecil, aku suka sekali cerita horror!"
"Baguslah, kakek senang mendengarnya. Oh, masalah itu, aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan."
"… Bentar, kakek kan yang membuat quest itu, tapi kenapa tidak tahu?"
"Yah… kau pasti sering dengar kalau hantu itu gentayangan kalau punya penyesalan yang tidak terselesaikan, kan? Jadi, tugasmu adalah mencari tahu penyesalannya dan bantu hantu itu."
"Oh, begitu. Tunggu, kakek pernah melihat hantu itu?"
"Kalau secara langsung belum, tapi hantu ini selalu meresahkan warga desa ini. Beberapa orang pernah mendengar suara aneh di villa itu, melihat bayangan di balik jendela atas villa, dan melihat cahaya merah kejinggan menyala di salah satu jendela," terang kakek tua itu. "Maka dari itu, supaya menghilangkan keresahan warga sekitar, aku membuat quest ini untuk menenangkan hantu itu."
"Baiklah, akan kami kerjakan!"
"Kau yakin? Petualang yang sebelumnya meragukan perkataanku ini."
"Karena aku merasa kalau kakek tidak berbohong."
Kakek itu pun tersenyum. "Kau benar-benar anak yang baik," puji kakek. "Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan minta kepadaku, termasuk hal yang diperlukan untuk menyelesaikan quest-ku."
"Oke."
"Ayo, biar aku antarkan ke villa itu."
Mereka berdua pun ke luar. Kakek itu memimpin jalan, sedangkan Likyter mengikuti di belakang sambil mengirim pesan kepada Alice dan Prila. Sampai akhirnya mereka sampai di depan pintu pagar hitam tinggi. Di balik pintu pagar itu ada sebuah bangunan mirip kastil kecil yang sudah penuh dengan debu, tanaman menjalar, dan kondisi sudah sedikit rusak.
"Itu villanya," terang kakek itu.
"Hehhh, besar sekali…" kagum Likyter. "Oh iya, kakek tahu siapa yang dulunya menghuni villa ini?"
"Dulu villa itu ditinggali oleh sepasang suami-istri, Akbar dan istrinya Fitri. Mereka berdua adalah petualang yang sudah pensiun. Mereka sangat ramah sekali, bahkan semua warga di sekitar sini dekat sekali dengan mereka. Selain itu, Akbar selalu memperbaiki peralatan rumah tangga setiap diminta tolong dan Fitri selalu membantu menjaga anak-anak warga sekitar bila orangtua anak-anak sedang sibuk."
"Lalu, di mana mereka sekarang?"
"Mereka sudah meninggal akibat penyakit yang sudah lama mereka miliki. Kami benar-benar tidak mengiranya, padahal mereka terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat sangat semangat sekali."
"Kapan mereka meninggal?"
"Sebulan yang lalu."
"Apa villa itu terkunci?"
"Tentu. Aku punya kuncinya." Kakek itu menunjukkan sebuah kunci perak.
"Oh iya, apa me-"
"Likyter!" panggil seseorang memotong kalimat Likyter.
Mereka berdua langsung melihat ke arah orang yang memanggil. Prila dan Alice berlari kecil mendekati mereka. "Alice, Prila, kakek ini adalah klien kita. Kakek, mereka berdua adalah teman party-ku, Alice dan Prila," ucap Likyter memperkenalkan.
"Salam kenal," ucap kakek itu. "Mohon bantuannya," lanjutnya.
"Apa kalian sudah menemukan penginapan yang kosong?"
"Tidak, semuanya penuh," jawab Alice.
"Kebetulan sekali. Kalian bisa tidur di villa itu. Listriknya belum dicabut, jadi masih bisa berfungsi. Ini kuncinya," sela kakek itu sambil menyerahkan sebuah kunci. "Kalau begitu, saya pergi dulu. Semoga sukses." Kakek itu pun pergi.
"Syukurlah, kita tidak tidur di luar," senang Alice.
"Likyter, villa itu milik kakek tadi?" tanya Prila setelah melihat villa itu.
"Bukan…" jawab Likyter mengalihkan pandangannya.
"Lalu, milik siapa? Apa villa itu penginapan?"
"Bi-Bisa jadi… tepatnya penginapan untuk siapa saja yang mau menerima quest dari kakek itu."
"Memangnya quest-nya apa? Kenapa tidak diberitahu di sms?"
"Ya… Ah, kita masuk saja dulu dan lihat kondisi kamarnya, hari mulai malam. Nanti aku jelaskan di dalam."
***
"APAAA?!!" kaget mereka berdua selesai mendengar penjelasan Likyter.
Prila langsung mencengkram kerah depan pakaian Likyter. "Kenapa malah diterima?!!" kesal Prila sambil menguncang-guncang Likyter.
"Yah… ayahku bilang jangan pernah menolak permintaan orang tua, terlebih dari seorang kakek atau nenek."
"Harusnya kau bilang kepada kami dulu!"
"Yah… kalau aku bilang dulu, nanti malah ditolak, kasihan kakek itu."
"Ternyata kau sudah merencanakannya!!" kesal Prila kembali mengguncang Likyter. "Kau harusnya berpikir kalau quest ini mencurigakan!! Apa perkataannya bisa dipercaya?"
"Sudah kubilang, aku yakin seratus persen kakek itu tidak berbohong."
"Jadi kau hanya menggunakan insting saja?!!" kesal Prila kembali mengguncang Likyter.
"P-Prila, ja-jangan berisik… na-nanti hantunya terganggu dan datang ke sini untuk mengganggu kita," peringat Alice gemetar ketakutan.
Prila langsung melepaskan cengkraman dari kerah Likyter. "Ba-Baiklah, maaf… Ah, bu-bukannya aku takut dengan hantu. Tapi, aku akan diam supaya Alice tenang…" elak Prila. "Oh iya, kamar ini masih terlihat bagus untuk disebut dihuni hantu. Apalagi saat kita masuk, semua ruangannya masih rapih dan bersih. Dan listrik villa ini masih berfungsi."
"Kan baru satu bulan, bukan bertahun-tahun," balas Likyter. "Kalau begitu, kalian tunggu di sini. Aku akan cari hantu itu."
Hendak Likyter ke luar, langsung dihentikan oleh Alice dan Prila dengan memegang tangannya. "Kami ikut!" ucap mereka bersamaan.
"Eh, kalian yakin? Bukannya kalian takut hantu?"
"Ka-Kami tidak takut! Jadi kami akan menemanimu biar kau tidak takut!" jawab mereka serempak.
(Justru kalian yang ketakutan,) protes Likyter dalam hati. "Baiklah. Jangan jauh-jauh dariku."
Mereka bertiga pun keluar kamar. Letak kamar itu ada di lantai kedua, jadi mereka harus turun ke bawah untuk memulai penjelajahan mencari hantunya. Selama di perjalanan, Likyter tidak bisa tenang karena harus berjalan didampingin dua gadis dari belakang. Mereka berdua mencengkram keras bahu dan lengan Likyter sambil bersembunyi di balik punggungnya, jadi Likyter harus merasakan sakit yang luar biasa.
Setelah beberapa menit, mereka sudah menelusuri seluruh ruangan lantai pertama, tidak lupa sambil menyalakan lampu setiap ruangannya agar tidak gelap saat nanti malam. Tapi, mereka tidak menemukan hantu yang dimaksud sang klien. Berkat itu, Likyter bisa sedikit merasa lega karena cengkraman dari mereka berdua melonggar.
"Se-Sepertinya ha-hantu itu tidak ada, jadi quest ini tidak bisa dikerjakan. Sebaiknya kita ke tempat kakek itu dan membatalkan quest-nya," saran Prila.
"Hm, Prila benar!" pendapat Alice langsung mengangguk setuju.
"Aku kan sudah bilang, kalian tunggu saja di kamar…" ucap Likyter sambil menahan rasa sakit.
"Kami tidak bisa membiarkan kau sendiri, kau pasti takut!" terang mereka serempak.
(Bukannya terbalik?) pikir Likyter. "Kalau begitu, kita ke lantai dua. Kalau seluruh ruangan lantai dua tidak ada hantunya juga, besok kita tolak quest-nya."
Mereka pun pergi ke lantai dua. Kali ini Likyter tidak merasakan cengkraman kuat dari mereka berdua, karena mereka sedikit terlihat tenang dibanding sebelumnya. Walau begitu, mereka berdua masih terlihat sedikit ketakutan, terbukti dari cara mereka melihat sekitar dengan was-was.
Sekarang mereka memasuki ruangan yang cukup gelap karena cahaya matahari sore yang seharusnya masuk menembus jendela terhalangi oleh gorden. Ditambah, lampu ruangan tidak dinyalakan. Likyter pun menyalakan lampu ruangan dan beberapa rak buku terjajar rapih dapat dilihat dengan jelas oleh mereka.
"Sepertinya di sini juga tidak ada," ucap Likyter.
"Ka-Kalau begitu, kita kembali ke kamar saja," saran Alice.
"Kalian duluan saja, aku ingin melihat-lihat buku yang ada di sini dulu. Mungkin ada buku yang menarik untuk dibaca."
Mereka berdua pun pergi ke kamar tanpa was-was lagi. Sedangkan Likyter langsung berjalan menuju rak-rak itu, sambil melihat-lihat buku-buku yang terpajang. Namun, langkahnya terhenti setelah melihat boneka manusia besar berambut perak panjang duduk bersandar di rak buku. Dengan penasaran, Likyter berjalan mendekatinya dan jongkok di depannya.
"Kenapa bi- WAAAA!!"