Revenge deceives love. Always does.
-Author-
***
"Bu Ratna dan Mas Hasan sudah bercerai?" tanya Ratna lebih penasaran lagi dengan menahan segenap emosi yang sudah tertumpuk di dadanya.
Ratna menggeleng pelan dengan kepala masih tertunduk sendu. "Kami hanya menikah siri, Bu."
"Ya Tuhan ... dan kalian masih dalam status menikah?" Bibir Retha yang terlanjur menganga tak mampu mengatup saking tercengangnya.
"Bu Retha, maaf ... saya tidak —" Kalimatnya terputus oleh aksi Retha yang mendadak berdiri dari posisi berlututnya.
"Saya akan bicara dengan Mas Hasan. Ini nggak bisa dibiarkan."
Merasa panik dan takut dalam waktu bersamaan, Ratna pun turut berdiri untuk menghentikan aksi nekat Retha yang sangat ia khawatirkan dampaknya.
"Bu Retha, tolong jangan Bu. Saya nggak mau urusan antara saya dan Mas Hasan jadi tambah kusut."
"Kenapa kusut, Bu?" tanya Retha dengan mata memicing penasaran.
"Ya karena ..." Ratna mendesah berat lalu menarik Retha untuk kembali duduk berdampingan dengannya. "Masalah antara saya dan Mas Hasan tidak mudah untuk diselesaikan. Terlalu banyak halangannya."
"Penjelasan Bu Ratna jadi bikin saya makin penasaran. Tolong Bu, cerita yang detail. Saya perlu tahu semuanya tentang Mas Hasan," bujuk Retha dengan wajah agak memelas. Membuat Ratna kini yang memicing penasaran.
"Maaf Bu, tapi ini masalah pribadi saya. Sepertinya saya tidak punya kewajiban untuk cerita ke Ibu."
Jawaban Ratna menyentak kesadaran Retha. Wanita yang terlihat lebih tua darinya itu memang benar. Retha tidak memiliki hak sama sekali untuk memaksa Ratna bercerita tentang masalah pribadinya. Ia harus hargai itu. Bisa-bisa wanita itu menaruh curiga lebih banyak pada Retha jika ia tidak pandai menahan-nahan diri.
"Bu Ratna benar. Saya minta maaf." Retha tertunduk malu lalu keluar desahan lemah dari mulutnya. Meski segala luapan rasa sudah tercampur-aduk di dadanya.
"Mohon maaf juga kalau saya terkesan lancang. Bukannya Ibu dengan Mas Hasan hanya rekan bisnis? Atau ..." Ratna terdiam sejenak sebelum ragu-ragu melanjutkan, "... lebih dari itu?"
Retha yang sebenarnya masih terombang-ambing gelombang emosi, kembali mengangkat wajah lesunya hingga kedua manik matanya bertemu dengan wajah penasaran Ratna. Benar saja dugaannya, Retha mulai curiga padanya. Dan semua akibat dirinya yang terlalu terburu-buru mengejar jawaban.
"Kami memang cuma rekan bisnis. Hanya sebatas itu," jawab Retha tegas.
Meragukan jawaban Retha jujur, Ratna memejamkan mata sejenak seraya menarik napas dalam lalu menghembus perlahan. "Kalaupun lebih dari itu tidak apa-apa, Bu. Saya juga tahu Mas Hasan punya istri-istri lainnya. Bahkan status mereka sudah resmi di KUA, tidak seperti saya."
"Bu Ratna tahu?" Kedua bola matanya membulat lebar.
"Mas Hasan sendiri yang cerita sama saya."
Ratna kembali terpancing rasa penasarannya. "Bu Ratna nggak marah? Bu Ratna mengijinkan?"
Sebelum menjawab, Ratna menyeruput wedang jahe yang sedari tadi sudah mereka anggurkan hingga rasanya tidak terlalu nikmat lagi untuk diteguk. Kerongkongannya yang kian mengering perlu dibasahi untuk menurunkan luapan emosinya yang mulai naik ke permukaan.
"Saya nggak berhak untuk melarang. Toh, pernikahan kami juga hanya sebuah formalitas atas nama agama saja. Selebihnya ... tidak ada ikatan apapun di antara kami. Ikatan perasaan pun tidak."
Pelan-pelan Retha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Meskipun rasa ingin-tahunya semakin kuat, ia bersabar membiarkan Ratna menggunakan waktu seperlunya untuk menamatkan cerita.
"Baiklah. Jujur, saya sebenarnya malu untuk bercerita tentang ini. Tapi sepertinya Bu Retha perlu tahu, kalau hubungan antara saya dan Mas Hasan tidak seperti yang Bu Retha pikirkan. Kami hanya dua manusia asing yang terjebak situasi hingga harus menjalankan sebuah hubungan yang bahkan tidak memiliki harapan sebelum dimulai. Andro bukanlah buah cinta kami. Andro hanyalah korban dari situasi." Kedua tangan dingin Ratna menggenggam tangan Retha disertai kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
"Jadi saya mohon sama Bu Ratna. Tolong jaga cerita ini, jangan sampai anak saya Andro tahu."
"Nak Andro tidak mengenal Ayahnya?" Retha membalas genggaman wanita itu yang mulai menghangat. Namun Ratna perlahan menarik lepas. Kepalanya tertunduk lemah.
"Entahlah dia ingat atau tidak. Mas Hasan pergi saat Andro masih kecil. Waktu itu saya sendiri bingung, bagaimana menjelaskan hal itu pada bocah berusia lima tahun. Lalu Levi menyarankan saya untuk berbohong saja pada Andro jika ayahnya sudah meninggal."
"Sejak itu Mas Hasan tidak pernah bertemu dengan Nak Andro?"
Ratna menggeleng lemah lalu kembali berpikir. "Saya tidak tahu."
Lalu ia kembali terdiam, teringat tiga hari yang lalu saat suaminya itu muncul kembali di hadapannya setelah sekian matahari terbit mereka berpisah. Apakah Andro sudah bertemu dengan pria itu? Ratna lupa memastikan karena saat itu fokusnya mendadak beralih pada kondisi Andro pasca kecelakaan.
"Bu Retha, sebaiknya kita tidak usah membahas masalah ini lagi. Saya khawatir Andro kenapa-kenapa kalau tahu." Ratna mengernyit takut.
"Bu Ratna nggak perlu cemas. Saya mengerti kok. Terima kasih Ibu sudah mau cerita ke saya."
"Bu ... ada satu hal yang saya mau minta tolong ke Bu Retha. Bisa?"
"Kalau saya bisa bantu, saya pasti bantu."
"Tolong bicara dengan Mas Hasan. Ini terkait masa depan Andro."
.
=============================
.
Amara melempar tubuhnya ke atas ranjang yang masih sangat empuk. Kasur baru pasti, demikian pikirnya. Lumayanlah untuk menyandang punggungnya yang masih pegal-pegal akibat kelamaan duduk saat melukis seharian kemarin.
"Kenapa sih kamu nggak nginep di hotelnya Mama aja? Kan gratis," imbuh Amara sesaat setelah menutup mata untuk menghayati sensasi spring-bed di bawah punggungnya.
"Biar Mama kamu tahu kalau kita lagi ribut?" balas Arga yang segera membuka kemeja yang terasa ketat di tubuhnya.
Pagi ini lagi-lagi Amara memberikannya baju lama milik Kakeknya. Dan ternyata kemeja itu malah mencetak jelas bentuk tubuh atas Arga hingga otot-otot lengan serta dada bidangnya menjadi santapan mata orang-orang yang mereka lalui di lobi bawah. Arga terpaksa tetap mengenakan kemeja lawas itu karena tidak punya pilihan lain.
"Kamu kan tinggal bohong ke Mama. Bilang aja lagi ada perlu apa gitu," jawab Amara setelah berguling lalu terduduk di pinggir ranjang.
"Dosa bohong sama orangtua." Arga menarik sebuah kaos santai dari kopernya yang dalam posisi terbuka.
"Bohong sama siapa aja juga dosa kali."
"Nah itu tahu."
Amara berlari kecil menghampiri suaminya yang masih bertelanjang dada, merebut kaos itu dan melemparnya ke atas ranjang, lalu melingkarkan tangannya mengelilingi punggung Arga. Dengan manja, Amara membenamkan kepalanya di tengah dada bidang suaminya.
"Aah ... surga dunia," lontar Amara menghela napas lega dengan wajah penuh senyum.
Arga balas melingkari pinggang istrinya lalu menghirup dalam aroma wangi shampo dari rambut istrinya yang sudah lepas jilbab. "Kamu wangi."
Selama beberapa menit keduanya menikmati posisi itu dalam hening. Menyalurkan tumpukan rasa yang membuncah di dalam dada hanya melalui sebuah pelukan. Sesederhana itu, sebuah pelukan memberi efek terapi yang dahsyat bagi jiwa-jiwa yang merindukan dalam kehampaan.
"Sayang ...," Wajah Amara mendongak untuk menatap baik-baik muka rupawan suaminya yang tak pernah bosan ia pandangi.
"Hm?"
"I love you so much." Amara berjinjit untuk meraih bibir ranum suaminya yang kian mengundang hasrat.
Arga membalasnya lembut lalu mengangkat tubuh istrinya untuk dibawanya ke atas ranjang. Setelah melepas bibirnya untuk kembali menghirup napas dalam, Arga membalas tatapan panas istrinya dengan penuh kelembutan.
"Ana uhibbuki fillah, ya zaujatii," bisiknya lembut tepat di sebelah telinga kanan Amara.
Tak perlu mencari di kamus bahasa Arab, Amara yakin makna kalimat itu begitu indah dan dalam. Buktinya jantungnya kini memacu cepat setelah mendengar bisikan lembut dari suaminya.
"Sayang ... aku jadi deg-degan."
Arga tersenyum manis. "Bagus. Aku suka kalau kamu malu-malu begini."
Amara tidak malu lagi dengan wajahnya yang mudah merona. Matanya masih memandang lekat hingga akhirnya Arga kembali menciumnya lembut, menuntaskan hubungan suami istri itu di atas ranjang, untuk yang kedua kalinya hari ini.
Dua jam kemudian Amara perlahan membuka kelopak matanya yang masih terasa terganjal. Berat sekali. Beberapa titik di badannya terasa pegal. Matanya yang masih sibuk mengerjap itu sontak membulat lebar ketika menatap layar HP yang baru saja diraihnya dari atas nakas. Amara menarik tubuhnya bangkit cepat hingga terduduk di pinggir ranjang. Diliriknya ke sebelah kanan, suaminya masih terbaring pulas.
Mumpung suaminya masih sibuk di alam mimpi, Amara berlari cepat ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Namun baru beberapa langkah kakinya berderap, kepalanya terasa lemah berputar-putar. Langkahnya terasa lunglai. Tubuhnya terasa ringan seakan bisa terbang jika ditiup angin. Sesuatu dari dalam perutnya bergejolak seperti minta dikeluarkan. Amara berusaha menahan sensasi yang tidak enak itu, namun tak sanggup. Kembali Amara mempercepat langkah semampunya menuju kamar mandi.
Suara pintu dibanting menyentak kasar di telinga Arga sehingga membangunkan dirinya dari tidur yang lelap. Kelopak matanya yang telah terbuka lebar mencari-cari keberadaan sang istri di sebelahnya. Arga panik sesaat saat tangannya hanya menemukan bantal dan selimut. Namun beberapa detik kemudian menghela lega saat terdengar suara bilasan air dari dalam kamar mandi. Padahal ia sudah khawatir kalau-kalau Amara akan kabur lagi. Tapi cepat-cepat diurungkannya pikiran buruknya itu, mengingat mereka kini sudah berbaikan.
Sambil menunggu aktivitas istrinya di kamar mandi, Arga menyalakan TV untuk melihat-lihat deretan acara yang ditayangkan di berbagai saluran TV berbayar dari hotel itu. Lalu matanya menemukan film komedi lawas yang dulu sering ia tonton di masa remaja. Telunjuknya berhenti menekan tombol remote. Beberapa kali Arga tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan-adegan yang dulu sudah berulang kali ditontonnya, tapi tak pernah membosankan. Sayangnya film komedi lawas itu acap kali menampilkan pemeran cameo wanita dengan balutan busana seksi sebagai bahan komersil untuk penonton, membuat Arga kembali menggerakkan telunjuknya menekan remote untuk mencari saluran dengan acara lebih berfaedah lainnya.
Dan pencariannya berhenti di saluran National Geographic yang sedang menayangkan acara The Food Files. Kali ini bahasannya seputar kitchen-gadgets. Arga yang memang sudah terbiasa hidup mandiri dan rajin memasak, berusaha menyimak baik-baik penjelasan si host wanita berambut bondol.
Setelah lima belas menit menonton hingga acara itu habis, Amara masih belum kunjung keluar dari kamar mandi. Membuat Arga akhirnya memutuskan untuk mengecek kondisi istrinya.
"Sayang, masih mandi?" Arga mengetuk pintu lalu memanggilnya dari luar kamar mandi.
Tak terdengar jawaban, bahkan terkesan sunyi, sekali lagi Arga mengetuk dan menyeru nama istrinya. "Amara ... Sayang?"
Beberapa detik kemudian, perlahan pintu kamar mandi terbuka dari dalam. Amara yang sudah berbalut handuk kimono tengah bersandar lemas di dinding dengan tangan kanan berpegangan pada kenop pintu.
"Sayang, kamu pucat. Sakit?" Kembali Arga berwajah panik lalu mendekati istrinya.
"Nggak tau, nih. Abis muntah-muntah. Perut nggak enak banget." Amara menjawab lirih dengan deru napas letih.
Tidak kembali bertanya, Arga langsung membopong istrinya untuk kembali direbahkan di atas ranjang. Selanjutnya melepaskan lilitan handuk yang membungkus rambut istrinya yang masih setengah basah. Handuk basah itu ia sampirkan di atas bahunya.
"Kamu punya minyak angin nggak?" Arga merogoh-rogoh isi tote-bag istrinya yang tergeletak di atas nakas tanpa terlebih dahulu meminta ijin. Namun Amara yang sedang terkulai lemah membiarkan saja. Padahal biasanya Amara melarang siapapun menyentuh tote-bag merah kesayangannya.
"Aku nggak pernah bawa-bawa begituan," jawab Amara lemah dengan mata terpejam.
"Kenapa?"
"Nggak suka baunya."
Arga menghembus napas pelan lalu beralih menuju kotak penyimpanan condiment di atas meja. "Aku bikinin teh ya."
"Tawar aja. No sugar."
Arga menuruti permintaan istrinya. Ia menyalakan teko elektrik yang sudah diisi air mineral, membuka bungkus teh celup, lalu meletakkan isinya di dalam cangkir. Sembari menunggu air panas, Arga bergerak menghampiri Amara di atas ranjang, lalu duduk di pinggir. Tangan kanannya ditempelkan di atas dahi istrinya.
"Nggak demam kok."
"Siapa bilang aku demam," balas Amara sedikit sewot.
"Masuk angin?" tanya Arga sambil menggenggam tangan istrinya yang terasa dingin, lalu menggosok-gosok dengan telapak tangannya untuk menyalurkan kehangatan.
"Mungkin."
Arga kembali memasukkan tangan istrinya masuk ke dalam selimut lalu ia bangkit untuk lanjut menyeduh air panas yang sudah matang ke dalam cangkir.
"Minum dulu biar enakan." Cangkir itu disimpan di atas nakas.
Lalu tangannya bergerak untuk membantu Amara duduk dan bersandar di kepala ranjang. Dan kembali meraih cangkir berisi teh hangat itu untuk diseruput perlahan oleh Amara.
"Alhamdulillah," ucap Amara bersyukur setelah merasakan sensasi hangat melewati kerongkongannya.
"Minum pelan-pelan, habis itu tidur lagi," tutur Arga lembut sembari membantu istrinya.
"Aku mau sholat dulu." Amara menahan cangkir itu ketika Arga kembali menyodorkan ke mulutnya.
"Sudah enakan?"
"Mendinganlah." Amara menyibak selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
"Benar sudah enakan?" tanya Arga dengan pandangan menelisik.
Amara mengangkat kedua tangannya untuk merangkum wajah Arga. "Nih. Udah nggak dingin kan tanganku?"
Setelah merasakan suhu di telapak tangan istrinya, Arga mengangguk setuju.
Amara bangkit dari duduknya untuk kembali berjalan menuju kamar mandi. Sementara Arga yang masih waspada, mengekori langkahnya dari belakang. Membuat Amara kembali memutar balik tubuhnya.
"Kamu ngapain?"
"Jagain kamu."
"Emangnya aku buronan mesti dijagain. Aku nggak pa-pa. Bisa sendiri kok."
Arga mengernyit bingung dengan perubahan sikap Amara yang tiba-tiba.
"Udah duduk aja kamu," perintah Amara lagi, merasa jengkel dengan sikap suaminya yang dirasanya over-protective.
Mengingat kondisi Amara yang sedang sakit, Arga mengurungkan niatnya untuk balas mendebat seperti biasanya. Ia kembali mendudukkan diri di atas ranjang dengan mata yang masih awas terhadap pergerakan istrinya yang kini sudah menutup pintu kamar mandi.
Arga menghela napas bingung. Kenapa istrinya tiba-tiba marah? Bukannya wanita senang jika diperhatikan suaminya? Apalagi saat sedang sakit seperti ini. Padahal tadi pagi, tadi siang, mereka sedang mesra-mesranya. Kenapa sekarang ...
"Ngelamunin apa?" tegur Amara yang ternyata sudah kembali berdiri di hadapannya.
"Hm?" Arga mendongak untuk menatap baik-baik wajah istrinya yang masih setengah sewot.
"Kamu lagi ngelamunin apa?" tanyanya sekali lagi yang langsung disambut gelengan kepala oleh Arga lalu ia bangkit berdiri.
"Nggak ada. Aku mandi dulu. Tunggu bentar ya."
"Aku mau sholat duluan aja. Lama nungguin kamu. Kenapa juga nggak mandi dari tadi."
Arga kembali mengerut dahi mendengar jawaban istrinya yang campur aduk antara sewot dan menggumam kesal. Padahal dalam hati ia tidak terima. Bagaimana mau mandi, sedangkan sejak membuka mata dari tidurnya, ia sibuk mengurus istrinya yang katanya sedang masuk angin.
Cewek itu memang nggak jelas begitu ya? Apa faktor mau datang bulan? Arga membatin sendiri.
"Ya sudah. Kamu duluan," jawab Arga mengalah lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi seraya geleng-geleng kepala.
.
===============================
.
Anggita sesekali membagi fokusnya antara jalanan di depannya dengan pria yang duduk termenung di sampingnya.
Bocah ngapa sih? Muka udah kayak kucekan baju di papan gilasan. Amara mencibir dalam hatinya kala memperhatikan wajah kusut itu.
Dan kali ini, Anggita sudah tak sanggup untuk tidak menggaruk rasa penasarannya terhadap pria kaku yang selalu ia panggil Android itu.
"Lo lagi ada masalah?"
Andro menggeleng pelan lalu mendesah, tanpa menoleh sama sekali pada lawan bicaranya.
"Jangan bohong. Muka lo udah mirip kucing persia."
Kali ini komentar Anggita sukses membuatnya menolehkan wajah. "Kucing persia?"
"Lo nggak tau mukanya kucing persia? Yang hidungnya pesek?"
Andro mengangkat kedua bahunya, malas menanggapi. Ada hal lain yang sudah beberapa hari ini sangat mengusik pikirannya. Sedangkan Anggita mendengkus kesal dengan sikap Andro yang tidak peduli. Sebenarnya sudah biasa Andro bersikap begitu padanya sejak awal mereka kenal. Hanya saja, sejak kecelakaan motor itu, sikap Andro sangat membingungkannya. Kadang manis, kadang pahit. Padahal biasanya pahit terus seperti rasa kopi Americano + extra-shot favorit kakaknya.
"Ya udah kalo lo nggak mau cerita. Bukan urusan gue juga." Anggita kembali fokus dengan kemudi di tangannya.
"Memangnya kalo saya cerita kamu mau dengar?" Tanpa diduga, Andro justru merespon. Padahal tadi Anggita sudah berprasangka jelek.
"Dengar juga tinggal dengar aja. Telinga gue nggak jalan kemana-mana ini. Lagian di sini cuma ada kita berdua," balas Anggita tak acuh.
Andro menarik dalam lalu menghembus napas sekali sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita.
"Pak Hasan yang datang sama Mamamu kemarin itu, masih ingat?"
"Ingetlah, sama si om-om hot itu."
Mendengar komentar tak senonoh itu Andro mendelik tak suka, namun Anggita justru tersenyum miring.
"Tua-tua gitu, dia masih gagah tau. Body-nya juga oke."
Andro berdeham kencang untuk mengingatkan Anggita agar tidak berbicara vulgar. Makin lama Andro semakin memaklumi isi kepala Anggita yang sering gesrek.
"Bisa saya lanjut cerita?"
"Silahkan." Anggita menjawab dengan senyum lebar namun matanya masih sibuk mengawasi jalanan di By Pass Ngurah Rai.
"Saya pernah menemukan foto dia di dalam lemari ibu saya."
"Terus?"
Kembali Andro menghembus napas berat. "Sepertinya dia ayah saya."
"Yakin lo? Jangan asal nebak. Kali aja dia pacar lama nyokap lo, ye kan?" balas Anggita asal lalu tertawa mengejek.
"Saya yakin."
"Buktinya apa?"
"Di foto itu dia menggendong saya yang masih balita."
"Set dah, cuma gara-gara itu. Kali aja dia tetangga lo dulu. Atau dia temennya almarhum bokap lo. Nah kebetulan dia gendong-gendong lo pas lagi main ke rumah lo. Terus di foto deh buat kenang-kenangan."
Andro menyorot tajam pada wanita yang sibuk menyetir di samping kanannya itu. "Untuk apa ibu saya menyimpan selembar foto tetangganya?"
Anggita mengangkat kedua bahunya tinggi. "Ye meneketehe, Android. Kenapa nggak lo nanya sendiri sama nyokap lo?"
"Ibu saya nggak akan jawab jujur."
"Tau dari mana? Jangan berprasangka jelek sama orangtua lo sendiri."
"Bukannya Mbak Anggita juga suka begitu ke Bu Retha?"
Merasa percakapan itu mulai menciptakan suasana gerah, Anggita memilih untuk menepikan mobilnya agar bibirnya leluasa untuk mengumpat dan matanya fokus untuk melotot.
"Apa lo bilang tadi?" tantang Anggita kesal.
"Bukannya Mbak Anggita juga suka berprasangka buruk ke Bu Retha?" ulang Andro semakin memperjelas tudingannya. Sehingga Anggita menggigit bibir bawahnya kesal.
"Bisa nggak sih lo fokus ke cerita lo aja? Nggak usah bawa-bawa urusan gue sama emak gue."
"Bisa nggak sih Mbak Anggita fokus mendengarkan aja?" tantang Andro tak gentar membalas pelototan Anggita.
Anggita menyandarkan diri ke bantalan jok, menekan kunciran pony-tail di belakang kepalanya. Desah napasnya lelah. Matanya dipejam sesaat. Dirinya perlu ditenangkan.
"Oke. Lanjutin cerita lo. Gue nggak akan bersuara sampai lo kelar."
Andro tersenyum puas dengan kemenangannya.
"Saya tetap yakin kalo dia ayah kandung saya. Dan saya akan mencari buktinya."
Berusaha menepati janjinya, Anggita menahan diri untuk tidak berkomentar. Meskipun ada banyak kata-kata yang ingin ia luapkan umtuk membalas omong kosong yang sedang dibahas oleh pria itu.
"Dan saya mau minta tolong sama Mbak Anggita."
Mendengar namanya kembali disebut, Anggita membuka lebar kedua matanya lalu menoleh pada pria itu.
"Bisa kan kamu bantu saya?"
"Tergantung," jawab Anggita dengan sebelah sudut bibir terangkat.
"Tergantung?"
"Tergantung bantuan macam apa yang lo minta."
Andro membalas senyum miringnya dengan sebuah aksi nekat. Ia melepas sabuk pengaman lalu memajukan wajahnya mendekati Anggita. Namun perlahan Anggita memundurkan kepalanya hingga tersudut di jendela. "Mau apa lo?" Anggita menatap nanar.
Andro mengangkat tangan kanannya menuju wajah Anggita. Perlahan ia menyibak lembut poni panjang yang menutupi dahi Anggita. Lalu bibirnya tersenyum kecil saat matanya menatap intens keseluruhan wajah Anggita.
"You're beautiful, Anggita."
"Apaan sih lo?" Anggita menampik tangan itu menjauh dari wajahnya namun dengan gesit jari-jemari Andro justru meraih belakang kepalanya untuk mendekat.
Meski takut, Anggita merasa tatapannya terkunci oleh mata indah pria itu. Hypnotized!
Perlahan Andro memajukan wajahnya hingga mereka berjarak sangat dekat, bahkan pucuk hidung keduanya saling menyentuh. Hangatnya hembusan deru napas menembus kulit wajah.
Dengan gerakan menggoda, Andro membuka mulutnya.
"Be my girlfriend, please."
Entah setan mana yang tinggal di kepalanya sehingga Anggita tak berdaya menolak saat bibirnya disentuh lembut oleh bibir pria itu. Bahkan tubuhnya bergeming kaku tak mampu bergerak. Padahal kedua tangannya bebas bergerak andai saja ia mau mendorong kasar tubuh pria itu menjauh darinya. Namun Anggita yakin jika dirinya sedang dihipnotis. Sama seperti korban-korban para maling hipnotis, dirinya tak berdaya saat sesuatu direnggut paksa darinya.
Tidak, bukan begitu. Anggita sadar betul dirinya tidak dipaksa untuk menerima ciuman itu. Alam bawah sadarnya-lah yang dengan sukarela memberi. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak. Jantungnya mengalami palpitasi. Anggita tak sanggup melawan reaksi tubuhnya sendiri.
Hanya sesaat namun efeknya melesat ke setiap organ tubuh keduanya. Merasakan irama jantungnya berpacu tak menentu, Andro menarik bibirnya menjauh. Matanya menatap lembut dihiasi sebuah senyum kecil.
"Anggap aja ini latihan."
Anggita yang kini bersemu merah berusaha meneguk ludah yang mengganjal berat di lehernya. Kedua alisnya terangkat, bingung dengan kata-kata pria itu.
"Hah?" responnya kaget.
"Latihan jadi pacar saya."
Kening Anggita mengernyit tak mengerti dengan maksud Andro.
"Saya perlu kamu pura-pura jadi pacar saya. Dengan begitu, saya akan mendapat jalan untuk dekat dengan Pak Hasan," jelas Andro lagi.
"Maksud lo ... gue cuma pura-pura jadi pacar lo? Gitu?" Telapak tangan Anggita terkepal erat seiring dengan naiknya luapan amarah di dadanya.
"Iya." Andro mengangguk enteng.
"Kenapa pura-pura?" tantang Anggita mulai sengit.
"Karena nggak mungkin kita pacaran beneran."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Karena nggak ada cinta di antara kita."
"Jadi lo maunya ada dusta di antara kita?" Kepalan di tangannya semakin mengerat.
Andro tersenyum licik. Tatapan lembutnya tadi berubah tajam.
"Terus maksud lo nyium gue barusan apa?"
"Latihan," jawabnya lagi enteng.
Anggita menggeram berang hingga tak sadar jika telapak tangannya sudah terangkat cepat menuju pipi pria itu.
Plaaakkk!
"Brengsek! Keluar lo dari mobil gue!"
--------------------------------------------------------
Revenge deceives love. Always does.
-Author-
***
"Bu Ratna dan Mas Hasan sudah bercerai?" tanya Ratna lebih penasaran lagi dengan menahan segenap emosi yang sudah tertumpuk di dadanya.
Ratna menggeleng pelan dengan kepala masih tertunduk sendu. "Kami hanya menikah siri, Bu."
"Ya Tuhan ... dan kalian masih dalam status menikah?" Bibir Retha yang terlanjur menganga tak mampu mengatup saking tercengangnya.
"Bu Retha, maaf ... saya tidak —" Kalimatnya terputus oleh aksi Retha yang mendadak berdiri dari posisi berlututnya.
"Saya akan bicara dengan Mas Hasan. Ini nggak bisa dibiarkan."
Merasa panik dan takut dalam waktu bersamaan, Ratna pun turut berdiri untuk menghentikan aksi nekat Retha yang sangat ia khawatirkan dampaknya.
"Bu Retha, tolong jangan Bu. Saya nggak mau urusan antara saya dan Mas Hasan jadi tambah kusut."
"Kenapa kusut, Bu?" tanya Retha dengan mata memicing penasaran.
"Ya karena ..." Ratna mendesah berat lalu menarik Retha untuk kembali duduk berdampingan dengannya. "Masalah antara saya dan Mas Hasan tidak mudah untuk diselesaikan. Terlalu banyak halangannya."
"Penjelasan Bu Ratna jadi bikin saya makin penasaran. Tolong Bu, cerita yang detail. Saya perlu tahu semuanya tentang Mas Hasan," bujuk Retha dengan wajah agak memelas. Membuat Ratna kini yang memicing penasaran.
"Maaf Bu, tapi ini masalah pribadi saya. Sepertinya saya tidak punya kewajiban untuk cerita ke Ibu."
Jawaban Ratna menyentak kesadaran Retha. Wanita yang terlihat lebih tua darinya itu memang benar. Retha tidak memiliki hak sama sekali untuk memaksa Ratna bercerita tentang masalah pribadinya. Ia harus hargai itu. Bisa-bisa wanita itu menaruh curiga lebih banyak pada Retha jika ia tidak pandai menahan-nahan diri.
"Bu Ratna benar. Saya minta maaf." Retha tertunduk malu lalu keluar desahan lemah dari mulutnya. Meski segala luapan rasa sudah tercampur-aduk di dadanya.
"Mohon maaf juga kalau saya terkesan lancang. Bukannya Ibu dengan Mas Hasan hanya rekan bisnis? Atau ..." Ratna terdiam sejenak sebelum ragu-ragu melanjutkan, "... lebih dari itu?"
Retha yang sebenarnya masih terombang-ambing gelombang emosi, kembali mengangkat wajah lesunya hingga kedua manik matanya bertemu dengan wajah penasaran Ratna. Benar saja dugaannya, Retha mulai curiga padanya. Dan semua akibat dirinya yang terlalu terburu-buru mengejar jawaban.
"Kami memang cuma rekan bisnis. Hanya sebatas itu," jawab Retha tegas.
Meragukan jawaban Retha jujur, Ratna memejamkan mata sejenak seraya menarik napas dalam lalu menghembus perlahan. "Kalaupun lebih dari itu tidak apa-apa, Bu. Saya juga tahu Mas Hasan punya istri-istri lainnya. Bahkan status mereka sudah resmi di KUA, tidak seperti saya."
"Bu Ratna tahu?" Kedua bola matanya membulat lebar.
"Mas Hasan sendiri yang cerita sama saya."
Ratna kembali terpancing rasa penasarannya. "Bu Ratna nggak marah? Bu Ratna mengijinkan?"
Sebelum menjawab, Ratna menyeruput wedang jahe yang sedari tadi sudah mereka anggurkan hingga rasanya tidak terlalu nikmat lagi untuk diteguk. Kerongkongannya yang kian mengering perlu dibasahi untuk menurunkan luapan emosinya yang mulai naik ke permukaan.
"Saya nggak berhak untuk melarang. Toh, pernikahan kami juga hanya sebuah formalitas atas nama agama saja. Selebihnya ... tidak ada ikatan apapun di antara kami. Ikatan perasaan pun tidak."
Pelan-pelan Retha mencerna cerita yang baru saja didengarnya. Meskipun rasa ingin-tahunya semakin kuat, ia bersabar membiarkan Ratna menggunakan waktu seperlunya untuk menamatkan cerita.
"Baiklah. Jujur, saya sebenarnya malu untuk bercerita tentang ini. Tapi sepertinya Bu Retha perlu tahu, kalau hubungan antara saya dan Mas Hasan tidak seperti yang Bu Retha pikirkan. Kami hanya dua manusia asing yang terjebak situasi hingga harus menjalankan sebuah hubungan yang bahkan tidak memiliki harapan sebelum dimulai. Andro bukanlah buah cinta kami. Andro hanyalah korban dari situasi." Kedua tangan dingin Ratna menggenggam tangan Retha disertai kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
"Jadi saya mohon sama Bu Ratna. Tolong jaga cerita ini, jangan sampai anak saya Andro tahu."
"Nak Andro tidak mengenal Ayahnya?" Retha membalas genggaman wanita itu yang mulai menghangat. Namun Ratna perlahan menarik lepas. Kepalanya tertunduk lemah.
"Entahlah dia ingat atau tidak. Mas Hasan pergi saat Andro masih kecil. Waktu itu saya sendiri bingung, bagaimana menjelaskan hal itu pada bocah berusia lima tahun. Lalu Levi menyarankan saya untuk berbohong saja pada Andro jika ayahnya sudah meninggal."
"Sejak itu Mas Hasan tidak pernah bertemu dengan Nak Andro?"
Ratna menggeleng lemah lalu kembali berpikir. "Saya tidak tahu."
Lalu ia kembali terdiam, teringat tiga hari yang lalu saat suaminya itu muncul kembali di hadapannya setelah sekian matahari terbit mereka berpisah. Apakah Andro sudah bertemu dengan pria itu? Ratna lupa memastikan karena saat itu fokusnya mendadak beralih pada kondisi Andro pasca kecelakaan.
"Bu Retha, sebaiknya kita tidak usah membahas masalah ini lagi. Saya khawatir Andro kenapa-kenapa kalau tahu." Ratna mengernyit takut.
"Bu Ratna nggak perlu cemas. Saya mengerti kok. Terima kasih Ibu sudah mau cerita ke saya."
"Bu ... ada satu hal yang saya mau minta tolong ke Bu Retha. Bisa?"
"Kalau saya bisa bantu, saya pasti bantu."
"Tolong bicara dengan Mas Hasan. Ini terkait masa depan Andro."
.
=============================
.
Amara melempar tubuhnya ke atas ranjang yang masih sangat empuk. Kasur baru pasti, demikian pikirnya. Lumayanlah untuk menyandang punggungnya yang masih pegal-pegal akibat kelamaan duduk saat melukis seharian kemarin.
"Kenapa sih kamu nggak nginep di hotelnya Mama aja? Kan gratis," imbuh Amara sesaat setelah menutup mata untuk menghayati sensasi spring-bed di bawah punggungnya.
"Biar Mama kamu tahu kalau kita lagi ribut?" balas Arga yang segera membuka kemeja yang terasa ketat di tubuhnya.
Pagi ini lagi-lagi Amara memberikannya baju lama milik Kakeknya. Dan ternyata kemeja itu malah mencetak jelas bentuk tubuh atas Arga hingga otot-otot lengan serta dada bidangnya menjadi santapan mata orang-orang yang mereka lalui di lobi bawah. Arga terpaksa tetap mengenakan kemeja lawas itu karena tidak punya pilihan lain.
"Kamu kan tinggal bohong ke Mama. Bilang aja lagi ada perlu apa gitu," jawab Amara setelah berguling lalu terduduk di pinggir ranjang.
"Dosa bohong sama orangtua." Arga menarik sebuah kaos santai dari kopernya yang dalam posisi terbuka.
"Bohong sama siapa aja juga dosa kali."
"Nah itu tahu."
Amara berlari kecil menghampiri suaminya yang masih bertelanjang dada, merebut kaos itu dan melemparnya ke atas ranjang, lalu melingkarkan tangannya mengelilingi punggung Arga. Dengan manja, Amara membenamkan kepalanya di tengah dada bidang suaminya.
"Aah ... surga dunia," lontar Amara menghela napas lega dengan wajah penuh senyum.
Arga balas melingkari pinggang istrinya lalu menghirup dalam aroma wangi shampo dari rambut istrinya yang sudah lepas jilbab. "Kamu wangi."
Selama beberapa menit keduanya menikmati posisi itu dalam hening. Menyalurkan tumpukan rasa yang membuncah di dalam dada hanya melalui sebuah pelukan. Sesederhana itu, sebuah pelukan memberi efek terapi yang dahsyat bagi jiwa-jiwa yang merindukan dalam kehampaan.
"Sayang ...," Wajah Amara mendongak untuk menatap baik-baik muka rupawan suaminya yang tak pernah bosan ia pandangi.
"Hm?"
"I love you so much." Amara berjinjit untuk meraih bibir ranum suaminya yang kian mengundang hasrat.
Arga membalasnya lembut lalu mengangkat tubuh istrinya untuk dibawanya ke atas ranjang. Setelah melepas bibirnya untuk kembali menghirup napas dalam, Arga membalas tatapan panas istrinya dengan penuh kelembutan.
"Ana uhibbuki fillah, ya zaujatii," bisiknya lembut tepat di sebelah telinga kanan Amara.
Tak perlu mencari di kamus bahasa Arab, Amara yakin makna kalimat itu begitu indah dan dalam. Buktinya jantungnya kini memacu cepat setelah mendengar bisikan lembut dari suaminya.
"Sayang ... aku jadi deg-degan."
Arga tersenyum manis. "Bagus. Aku suka kalau kamu malu-malu begini."
Amara tidak malu lagi dengan wajahnya yang mudah merona. Matanya masih memandang lekat hingga akhirnya Arga kembali menciumnya lembut, menuntaskan hubungan suami istri itu di atas ranjang, untuk yang kedua kalinya hari ini.
Dua jam kemudian Amara perlahan membuka kelopak matanya yang masih terasa terganjal. Berat sekali. Beberapa titik di badannya terasa pegal. Matanya yang masih sibuk mengerjap itu sontak membulat lebar ketika menatap layar HP yang baru saja diraihnya dari atas nakas. Amara menarik tubuhnya bangkit cepat hingga terduduk di pinggir ranjang. Diliriknya ke sebelah kanan, suaminya masih terbaring pulas.
Mumpung suaminya masih sibuk di alam mimpi, Amara berlari cepat ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Namun baru beberapa langkah kakinya berderap, kepalanya terasa lemah berputar-putar. Langkahnya terasa lunglai. Tubuhnya terasa ringan seakan bisa terbang jika ditiup angin. Sesuatu dari dalam perutnya bergejolak seperti minta dikeluarkan. Amara berusaha menahan sensasi yang tidak enak itu, namun tak sanggup. Kembali Amara mempercepat langkah semampunya menuju kamar mandi.
Suara pintu dibanting menyentak kasar di telinga Arga sehingga membangunkan dirinya dari tidur yang lelap. Kelopak matanya yang telah terbuka lebar mencari-cari keberadaan sang istri di sebelahnya. Arga panik sesaat saat tangannya hanya menemukan bantal dan selimut. Namun beberapa detik kemudian menghela lega saat terdengar suara bilasan air dari dalam kamar mandi. Padahal ia sudah khawatir kalau-kalau Amara akan kabur lagi. Tapi cepat-cepat diurungkannya pikiran buruknya itu, mengingat mereka kini sudah berbaikan.
Sambil menunggu aktivitas istrinya di kamar mandi, Arga menyalakan TV untuk melihat-lihat deretan acara yang ditayangkan di berbagai saluran TV berbayar dari hotel itu. Lalu matanya menemukan film komedi lawas yang dulu sering ia tonton di masa remaja. Telunjuknya berhenti menekan tombol remote. Beberapa kali Arga tertawa terbahak-bahak menyaksikan adegan-adegan yang dulu sudah berulang kali ditontonnya, tapi tak pernah membosankan. Sayangnya film komedi lawas itu acap kali menampilkan pemeran cameo wanita dengan balutan busana seksi sebagai bahan komersil untuk penonton, membuat Arga kembali menggerakkan telunjuknya menekan remote untuk mencari saluran dengan acara lebih berfaedah lainnya.
Dan pencariannya berhenti di saluran National Geographic yang sedang menayangkan acara The Food Files. Kali ini bahasannya seputar kitchen-gadgets. Arga yang memang sudah terbiasa hidup mandiri dan rajin memasak, berusaha menyimak baik-baik penjelasan si host wanita berambut bondol.
Setelah lima belas menit menonton hingga acara itu habis, Amara masih belum kunjung keluar dari kamar mandi. Membuat Arga akhirnya memutuskan untuk mengecek kondisi istrinya.
"Sayang, masih mandi?" Arga mengetuk pintu lalu memanggilnya dari luar kamar mandi.
Tak terdengar jawaban, bahkan terkesan sunyi, sekali lagi Arga mengetuk dan menyeru nama istrinya. "Amara ... Sayang?"
Beberapa detik kemudian, perlahan pintu kamar mandi terbuka dari dalam. Amara yang sudah berbalut handuk kimono tengah bersandar lemas di dinding dengan tangan kanan berpegangan pada kenop pintu.
"Sayang, kamu pucat. Sakit?" Kembali Arga berwajah panik lalu mendekati istrinya.
"Nggak tau, nih. Abis muntah-muntah. Perut nggak enak banget." Amara menjawab lirih dengan deru napas letih.
Tidak kembali bertanya, Arga langsung membopong istrinya untuk kembali direbahkan di atas ranjang. Selanjutnya melepaskan lilitan handuk yang membungkus rambut istrinya yang masih setengah basah. Handuk basah itu ia sampirkan di atas bahunya.
"Kamu punya minyak angin nggak?" Arga merogoh-rogoh isi tote-bag istrinya yang tergeletak di atas nakas tanpa terlebih dahulu meminta ijin. Namun Amara yang sedang terkulai lemah membiarkan saja. Padahal biasanya Amara melarang siapapun menyentuh tote-bag merah kesayangannya.
"Aku nggak pernah bawa-bawa begituan," jawab Amara lemah dengan mata terpejam.
"Kenapa?"
"Nggak suka baunya."
Arga menghembus napas pelan lalu beralih menuju kotak penyimpanan condiment di atas meja. "Aku bikinin teh ya."
"Tawar aja. No sugar."
Arga menuruti permintaan istrinya. Ia menyalakan teko elektrik yang sudah diisi air mineral, membuka bungkus teh celup, lalu meletakkan isinya di dalam cangkir. Sembari menunggu air panas, Arga bergerak menghampiri Amara di atas ranjang, lalu duduk di pinggir. Tangan kanannya ditempelkan di atas dahi istrinya.
"Nggak demam kok."
"Siapa bilang aku demam," balas Amara sedikit sewot.
"Masuk angin?" tanya Arga sambil menggenggam tangan istrinya yang terasa dingin, lalu menggosok-gosok dengan telapak tangannya untuk menyalurkan kehangatan.
"Mungkin."
Arga kembali memasukkan tangan istrinya masuk ke dalam selimut lalu ia bangkit untuk lanjut menyeduh air panas yang sudah matang ke dalam cangkir.
"Minum dulu biar enakan." Cangkir itu disimpan di atas nakas.
Lalu tangannya bergerak untuk membantu Amara duduk dan bersandar di kepala ranjang. Dan kembali meraih cangkir berisi teh hangat itu untuk diseruput perlahan oleh Amara.
"Alhamdulillah," ucap Amara bersyukur setelah merasakan sensasi hangat melewati kerongkongannya.
"Minum pelan-pelan, habis itu tidur lagi," tutur Arga lembut sembari membantu istrinya.
"Aku mau sholat dulu." Amara menahan cangkir itu ketika Arga kembali menyodorkan ke mulutnya.
"Sudah enakan?"
"Mendinganlah." Amara menyibak selimut yang menutupi setengah tubuhnya.
"Benar sudah enakan?" tanya Arga dengan pandangan menelisik.
Amara mengangkat kedua tangannya untuk merangkum wajah Arga. "Nih. Udah nggak dingin kan tanganku?"
Setelah merasakan suhu di telapak tangan istrinya, Arga mengangguk setuju.
Amara bangkit dari duduknya untuk kembali berjalan menuju kamar mandi. Sementara Arga yang masih waspada, mengekori langkahnya dari belakang. Membuat Amara kembali memutar balik tubuhnya.
"Kamu ngapain?"
"Jagain kamu."
"Emangnya aku buronan mesti dijagain. Aku nggak pa-pa. Bisa sendiri kok."
Arga mengernyit bingung dengan perubahan sikap Amara yang tiba-tiba.
"Udah duduk aja kamu," perintah Amara lagi, merasa jengkel dengan sikap suaminya yang dirasanya over-protective.
Mengingat kondisi Amara yang sedang sakit, Arga mengurungkan niatnya untuk balas mendebat seperti biasanya. Ia kembali mendudukkan diri di atas ranjang dengan mata yang masih awas terhadap pergerakan istrinya yang kini sudah menutup pintu kamar mandi.
Arga menghela napas bingung. Kenapa istrinya tiba-tiba marah? Bukannya wanita senang jika diperhatikan suaminya? Apalagi saat sedang sakit seperti ini. Padahal tadi pagi, tadi siang, mereka sedang mesra-mesranya. Kenapa sekarang ...
"Ngelamunin apa?" tegur Amara yang ternyata sudah kembali berdiri di hadapannya.
"Hm?" Arga mendongak untuk menatap baik-baik wajah istrinya yang masih setengah sewot.
"Kamu lagi ngelamunin apa?" tanyanya sekali lagi yang langsung disambut gelengan kepala oleh Arga lalu ia bangkit berdiri.
"Nggak ada. Aku mandi dulu. Tunggu bentar ya."
"Aku mau sholat duluan aja. Lama nungguin kamu. Kenapa juga nggak mandi dari tadi."
Arga kembali mengerut dahi mendengar jawaban istrinya yang campur aduk antara sewot dan menggumam kesal. Padahal dalam hati ia tidak terima. Bagaimana mau mandi, sedangkan sejak membuka mata dari tidurnya, ia sibuk mengurus istrinya yang katanya sedang masuk angin.
Cewek itu memang nggak jelas begitu ya? Apa faktor mau datang bulan? Arga membatin sendiri.
"Ya sudah. Kamu duluan," jawab Arga mengalah lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi seraya geleng-geleng kepala.
.
===============================
.
Anggita sesekali membagi fokusnya antara jalanan di depannya dengan pria yang duduk termenung di sampingnya.
Bocah ngapa sih? Muka udah kayak kucekan baju di papan gilasan. Amara mencibir dalam hatinya kala memperhatikan wajah kusut itu.
Dan kali ini, Anggita sudah tak sanggup untuk tidak menggaruk rasa penasarannya terhadap pria kaku yang selalu ia panggil Android itu.
"Lo lagi ada masalah?"
Andro menggeleng pelan lalu mendesah, tanpa menoleh sama sekali pada lawan bicaranya.
"Jangan bohong. Muka lo udah mirip kucing persia."
Kali ini komentar Anggita sukses membuatnya menolehkan wajah. "Kucing persia?"
"Lo nggak tau mukanya kucing persia? Yang hidungnya pesek?"
Andro mengangkat kedua bahunya, malas menanggapi. Ada hal lain yang sudah beberapa hari ini sangat mengusik pikirannya. Sedangkan Anggita mendengkus kesal dengan sikap Andro yang tidak peduli. Sebenarnya sudah biasa Andro bersikap begitu padanya sejak awal mereka kenal. Hanya saja, sejak kecelakaan motor itu, sikap Andro sangat membingungkannya. Kadang manis, kadang pahit. Padahal biasanya pahit terus seperti rasa kopi Americano + extra-shot favorit kakaknya.
"Ya udah kalo lo nggak mau cerita. Bukan urusan gue juga." Anggita kembali fokus dengan kemudi di tangannya.
"Memangnya kalo saya cerita kamu mau dengar?" Tanpa diduga, Andro justru merespon. Padahal tadi Anggita sudah berprasangka jelek.
"Dengar juga tinggal dengar aja. Telinga gue nggak jalan kemana-mana ini. Lagian di sini cuma ada kita berdua," balas Anggita tak acuh.
Andro menarik dalam lalu menghembus napas sekali sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita.
"Pak Hasan yang datang sama Mamamu kemarin itu, masih ingat?"
"Ingetlah, sama si om-om hot itu."
Mendengar komentar tak senonoh itu Andro mendelik tak suka, namun Anggita justru tersenyum miring.
"Tua-tua gitu, dia masih gagah tau. Body-nya juga oke."
Andro berdeham kencang untuk mengingatkan Anggita agar tidak berbicara vulgar. Makin lama Andro semakin memaklumi isi kepala Anggita yang sering gesrek.
"Bisa saya lanjut cerita?"
"Silahkan." Anggita menjawab dengan senyum lebar namun matanya masih sibuk mengawasi jalanan di By Pass Ngurah Rai.
"Saya pernah menemukan foto dia di dalam lemari ibu saya."
"Terus?"
Kembali Andro menghembus napas berat. "Sepertinya dia ayah saya."
"Yakin lo? Jangan asal nebak. Kali aja dia pacar lama nyokap lo, ye kan?" balas Anggita asal lalu tertawa mengejek.
"Saya yakin."
"Buktinya apa?"
"Di foto itu dia menggendong saya yang masih balita."
"Set dah, cuma gara-gara itu. Kali aja dia tetangga lo dulu. Atau dia temennya almarhum bokap lo. Nah kebetulan dia gendong-gendong lo pas lagi main ke rumah lo. Terus di foto deh buat kenang-kenangan."
Andro menyorot tajam pada wanita yang sibuk menyetir di samping kanannya itu. "Untuk apa ibu saya menyimpan selembar foto tetangganya?"
Anggita mengangkat kedua bahunya tinggi. "Ye meneketehe, Android. Kenapa nggak lo nanya sendiri sama nyokap lo?"
"Ibu saya nggak akan jawab jujur."
"Tau dari mana? Jangan berprasangka jelek sama orangtua lo sendiri."
"Bukannya Mbak Anggita juga suka begitu ke Bu Retha?"
Merasa percakapan itu mulai menciptakan suasana gerah, Anggita memilih untuk menepikan mobilnya agar bibirnya leluasa untuk mengumpat dan matanya fokus untuk melotot.
"Apa lo bilang tadi?" tantang Anggita kesal.
"Bukannya Mbak Anggita juga suka berprasangka buruk ke Bu Retha?" ulang Andro semakin memperjelas tudingannya. Sehingga Anggita menggigit bibir bawahnya kesal.
"Bisa nggak sih lo fokus ke cerita lo aja? Nggak usah bawa-bawa urusan gue sama emak gue."
"Bisa nggak sih Mbak Anggita fokus mendengarkan aja?" tantang Andro tak gentar membalas pelototan Anggita.
Anggita menyandarkan diri ke bantalan jok, menekan kunciran pony-tail di belakang kepalanya. Desah napasnya lelah. Matanya dipejam sesaat. Dirinya perlu ditenangkan.
"Oke. Lanjutin cerita lo. Gue nggak akan bersuara sampai lo kelar."
Andro tersenyum puas dengan kemenangannya.
"Saya tetap yakin kalo dia ayah kandung saya. Dan saya akan mencari buktinya."
Berusaha menepati janjinya, Anggita menahan diri untuk tidak berkomentar. Meskipun ada banyak kata-kata yang ingin ia luapkan umtuk membalas omong kosong yang sedang dibahas oleh pria itu.
"Dan saya mau minta tolong sama Mbak Anggita."
Mendengar namanya kembali disebut, Anggita membuka lebar kedua matanya lalu menoleh pada pria itu.
"Bisa kan kamu bantu saya?"
"Tergantung," jawab Anggita dengan sebelah sudut bibir terangkat.
"Tergantung?"
"Tergantung bantuan macam apa yang lo minta."
Andro membalas senyum miringnya dengan sebuah aksi nekat. Ia melepas sabuk pengaman lalu memajukan wajahnya mendekati Anggita. Namun perlahan Anggita memundurkan kepalanya hingga tersudut di jendela. "Mau apa lo?" Anggita menatap nanar.
Andro mengangkat tangan kanannya menuju wajah Anggita. Perlahan ia menyibak lembut poni panjang yang menutupi dahi Anggita. Lalu bibirnya tersenyum kecil saat matanya menatap intens keseluruhan wajah Anggita.
"You're beautiful, Anggita."
"Apaan sih lo?" Anggita menampik tangan itu menjauh dari wajahnya namun dengan gesit jari-jemari Andro justru meraih belakang kepalanya untuk mendekat.
Meski takut, Anggita merasa tatapannya terkunci oleh mata indah pria itu. Hypnotized!
Perlahan Andro memajukan wajahnya hingga mereka berjarak sangat dekat, bahkan pucuk hidung keduanya saling menyentuh. Hangatnya hembusan deru napas menembus kulit wajah.
Dengan gerakan menggoda, Andro membuka mulutnya.
"Be my girlfriend, please."
Entah setan mana yang tinggal di kepalanya sehingga Anggita tak berdaya menolak saat bibirnya disentuh lembut oleh bibir pria itu. Bahkan tubuhnya bergeming kaku tak mampu bergerak. Padahal kedua tangannya bebas bergerak andai saja ia mau mendorong kasar tubuh pria itu menjauh darinya. Namun Anggita yakin jika dirinya sedang dihipnotis. Sama seperti korban-korban para maling hipnotis, dirinya tak berdaya saat sesuatu direnggut paksa darinya.
Tidak, bukan begitu. Anggita sadar betul dirinya tidak dipaksa untuk menerima ciuman itu. Alam bawah sadarnya-lah yang dengan sukarela memberi. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak. Jantungnya mengalami palpitasi. Anggita tak sanggup melawan reaksi tubuhnya sendiri.
Hanya sesaat namun efeknya melesat ke setiap organ tubuh keduanya. Merasakan irama jantungnya berpacu tak menentu, Andro menarik bibirnya menjauh. Matanya menatap lembut dihiasi sebuah senyum kecil.
"Anggap aja ini latihan."
Anggita yang kini bersemu merah berusaha meneguk ludah yang mengganjal berat di lehernya. Kedua alisnya terangkat, bingung dengan kata-kata pria itu.
"Hah?" responnya kaget.
"Latihan jadi pacar saya."
Kening Anggita mengernyit tak mengerti dengan maksud Andro.
"Saya perlu kamu pura-pura jadi pacar saya. Dengan begitu, saya akan mendapat jalan untuk dekat dengan Pak Hasan," jelas Andro lagi.
"Maksud lo ... gue cuma pura-pura jadi pacar lo? Gitu?" Telapak tangan Anggita terkepal erat seiring dengan naiknya luapan amarah di dadanya.
"Iya." Andro mengangguk enteng.
"Kenapa pura-pura?" tantang Anggita mulai sengit.
"Karena nggak mungkin kita pacaran beneran."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Karena nggak ada cinta di antara kita."
"Jadi lo maunya ada dusta di antara kita?" Kepalan di tangannya semakin mengerat.
Andro tersenyum licik. Tatapan lembutnya tadi berubah tajam.
"Terus maksud lo nyium gue barusan apa?"
"Latihan," jawabnya lagi enteng.
Anggita menggeram berang hingga tak sadar jika telapak tangannya sudah terangkat cepat menuju pipi pria itu.
Plaaakkk!
"Brengsek! Keluar lo dari mobil gue!"
--------------------------------------------------------