webnovel

10-PEMBUKAAN TOKO BARU

"Kamu tidak mau menjemput istrimu, Bib?" tanya Kasim pada Habib yang sibuk mengatur beberapa tatanan meja dan juga hiasan dinding yang baru saja akan di pasang.

Hari ini pembukaan toko roti cabang milik pamannya. Setelah beberapa bulan membangun bisnis baru, ternyata kenikmatan roti kering milik Kasim mampu membuat toko rotinya berkembang pesat, apa lagi setelah mendapatkan slogan khas seperti yang pernah Aida sarankan sebelumnya.

Sekarang Kasim juga sudah menambah karyawan dengan satu pengelola penjualan online di media sosial. Kemajuan teknologi terbukti membantu mereka yang sedang mengembangkan usaha untuk di kenal banyak orang.

Sudah banyak pesanan yang Kasim terima, termasuk hari ini mengeluarkan 100 pieces roti bolu kering untuk acara arisan pelanggannya. Toko utama masih tetap buka dan berjualan, sementara Kasim harus mengurus pembukaan toko keduanya yang terletak di pinggir ibukota.

"Untuk apa? Dia bisa datang sendiri, Paman," sahut Habib atas pertanyaan Kasim sebelumnya.

"Ih, kenapa bicaranya begitu? Dia 'kan istrimu, memangnya kamu tega membiarkan istrimu datang sendirian? Nanti mertuamu datang juga, lho!"

Habib hanya menghela napas sambil memutar bola matanya dengan jengah. Rasanya malas sekali kalau dia harus kembali pulang ke rumah, meski acaranya akan di mulai satu jam lagi. Setelah kejadian di Lampung kemarin, Habib benar-benar semakin kesal dengan sesuatu yang berbau kemesraan.

Apa yang dia dan Aida lakukan seolah mengingatkannya pada Nadia yang terus membayang di pengelihatannya. Tapi dia juga tidak mau mengecewakan pamannya, apa lagi kalau sampai mertuanya tahu tentang kondisi pernikahannya yang sebenarnya, membuat Habib pun membersihkan tangan dan segera keluar untuk menjemput istrinya.

Sepertinya istrinya memang sudah pulang dari kantor sejak makan siang tadi, karena mobilnya sudah terparkir di halaman rumah dan sudah cukup dingin. Habib langsung masuk ke rumah tanpa mengucap salam, dia membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan di kejutkan dengan penampakkan Aida yang baru saja selesai mandi.

"Astaghfirullah!" kata Habib terkejut dan langsung menutup matanya untuk kembali menutup pintu dan segera keluar.

Sama terkejutnya dengan Habib, Aida pun berbalik badan dan menyadari ada seseorang yang datang. Wanita yang hanya memakai pakaian dalam itu pun segera mengenakan gamis yang sudah dia sediakan sebelumnya dan kembali membuka pintu.

"Masuklah, aku sudah selesai berpakaian," kata Aida sambil menutupi kepalanya dengan handuk.

"Kamu siapkan dulu dirimu, aku menunggu di luar saja," putus Habib lalu meninggalkan pintu kamar.

Aida tidak berkata apapun dan kembali masuk ke dalam untuk memakai hijab. Habib tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Aida tidak memakai baju, hanya pakaian dalam yang tentu saja tidak menutupi seluruh tubuhnya.

Napasnya masih terengah-engah saat mengingat bayangan itu, tapi di satu sisi dia juga penasaran dengan bagaimana rupa Aida saat dilihat dari depan tanpa busana. Sesekali dia terlihat mengongak ke belakang, ke arah pintu kamar yang kelihatan dari pintu utama.

Belum ada tanda-tanda, sepertinya Aida masih lama. Habib pun pergi ke dapur untuk sekedar minum, tapi dia melihat pakaian dalam Aida menggantung di depan kamar mandi dalam keadaan basah.

"Waw ..." lirih Habib tanpa dia sadari. Sama seperti saat pertama kali dia melihat bra milik Aida, yang kali ini pun ukurannya sama-sama besar dengan yang waktu itu. Baru saja tangannya hendak terangkat untuk menyentuh pempurung bra, dia sudah di kejutkan dengan suara Aida yang memanggilnya.

"Mas!" panggil Aida.

Habib langsung terperanjat dan berbalik badan dengan cepat. "Ya?"

"Kamu sedang apa?"

"A—aku ... kamu kenapa menggantung pakain dalam disini? Bukankah seharusnya di jemur di luar?" tanya Habib mengalihkan pembicaraan untuk menutupi rasa gugupnya.

"Tadi mendung, Mas. Kita juga akan pergi, jadi aku rasa untuk sementara tidak apa-apa kalau pakaian basahnya di gantung di situ. Lagi pula tidak mengganggu 'kan?" jelas Aida sambil memasang senyum.

Dia menggantung pakaian dalamnya bersama satu baju kantor yang baru saja dia gunakan di depan pintu kamar mandi yang merupakan bagian dari laundry room. Lagi pula memang itu sudah menjadi tempatnya pakaian basah dan juga pakaian kotor sebelum di cuci, seharusnya tidak masalah.

Kamar mandi mereka juga sudah di perbaiki, jadi Aida lebih mudah untuk menaruh pakaian basah di sana sebelum akhirnya di jemur di luar rumah. Setelah sekian lama menumpang mandi di kamar mandi musholah, akhirnya dia bisa mandi di rumah sendiri.

"Ya sudah, kalau begitu ayo berangkat!" ajak Habib cepat mendahului langkah Aida.

Wanita itu hanya mengernyit bingung dengan apa yang Habib lakukan depan pakaiannya hari ini. Mereka berangkat menggunakan mobil pribadi Aida, karena Habib tidak punya mobil. Satu-satunya kendaraan yang dia punya hanya sebuah motor butut yang dia beli secara nyicil setelah dia sampai di Jambi dulu.

Meski sudah tua, tapi motor itu yang membantunya bepergian, termasuk membeli kebutuhan toko roti milik pamannya. Habib hanya menggunakan motor itu untuk dirinya sendiri tanpa pernah membonceng siapapun selain pamannya sendiri.

Acara di mulai dengan kata sambutan dari paman Kasim, lalu di lanjut dengan pemotongan pita dan makan bersama sebagai bentuk sambutan untuk para tamu dan pengunjung yang datang hari itu. Ruli, dia datang bersama istrinya menghampiri Habib dan Aida.

"Assalamu'alaikum. Bagaimana kabar kalian?" tanya Zainab yang menerima pelukan hangat dari putrinya.

Hanya percakapan basa-basi biasa, tidak ada yang berat dalam perbincangan itu. Hingga Zainab mulai menanyai perkembangan pernikahan putrinya. "Bagaimana? Sudah ada tanda-tanda, belum?" tanya Zainab menyikut lengan Aida.

"Tanda-tanda apa, Bu?"

"Ish, Ibu bingung pada kalian. Sebenarnya kalian suami istri atau bukan, sih?! Sebelum dan sesudah menikah kamu tampak sama saja, sibuk dengan pekerjaanmu. Kasihan kalau suamimu diangguri!" seloroh Zainab.

Aida yang mengerti dengan maksud Zainab pun hanya melirik Habib yang sibuk mengobrol dengan Ruli. Obrolan mereka juga tak jauh dari kata pekerjaan, tapi jangan kira Habib tidak menyadari lirikan Aida.

Dia juga melirik Aida setelah wanita itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Melihat bagaimana raut wajah Zainab yang kelihatan kesal, Habib pun melingkarkan tangannya di pinggang Aida, berusaha untuk memperlihatkan kedekatan antara mereka di depan kedua orang tua.

"Ibu bersabar sedikit, ya? Kami sedang berusaha," kata Habib mendadak membuat Aida mendongak padanya dengan tatapan bingung.

"Beritahu Ibu kalau Aida tidak memberi jatah untukmu, biar nanti Ibu yang ajarkan dia bagaimana caranya melayani suami," kata Zainab pula.

Habib menoleh pada Aida, membuat mereka saling bertatapan. "Dia istri yang sempurna, Bu. Tidak perlu di ajari, dia sudah tahu bagaimana caranya melayani suami," kata Habib masih menatap Aida.

Perubahan sikap Habib yang begitu significant membuat Aida kebingungan sendiri. Bahkan tidak ada satu pun orang yang mengira kalau pernikahan mereka selama satu bulan ini tidak se-harmonis yang mereka kira.

"Habib, ada yang ingin Paman bicarakan denganmu. Ikut Paman sebentar," kata Kasim berbisik pada Habib, membuatnya harus menjauh dari kerumunan keluarga untuk beberapa saat dan mengikuti langkah Kasim yang masuk ke dalam toko roti bagian belakang.