"Namanya Fikri, anak kelas 3C" Dion memberitahuku.
"Siapa?" tanyaku cuek, aku sedang tidak mau ngobrol, lagi fokus sama tugas, apalagi tugasku masih numpuk. Anak ini ke kamarku kan mau buat tugas, eh malah ngajak ngobrol.
"Cowok yang kamu bilang cute itu," Dion cengengesan. Cowok cute? Aku nggak ingat cowok mana maksud anak ini.
"Aku lupa, banyak cowok yang cute di sini, termasuk aku" jawabku pede.
"Iya, aku tau kamu cute kok, nggak perlu dibahas itu, aku sampe lupa kalau ada banyak yang nitip salam" sindir Dion. What? Anak ini nyindir gue?
"Cowok yang aku bilang namanya Fikri itu, cowok yang senyum waktu kita MOS kelas satu dulu, ingat? Kamu membicarakannya hampir satu minggu, eh salah ding, satu bulan. Ingat sekarang?" jawab Dion ketus.
Oh anak itu, ya aku ingat. Dia adalah anak yang tersenyum pada ku satu setengah tahun lalu. Aku masih ingat peristiwa itu, cowok itu bikin aku penasaran. Cowok berkulit putih dengan potongan rambut warna gelap yang rapi. Kami belum pernah ngobrol, bahkan aku juga tidak tau namanya, hanya sebatas tersenyum saja. Aku berusaha untuk mencari tau tentang cowok itu setelah kegiatan MOS selesai, tapi ada penghalang yang membuatku tidak berdaya. Peraturan.
Pada hari terakhir MOS tahun lalu ternyata ada peraturan yang belum Dion jelaskan, ya karena Dion juga tidak tau tentang peraturan itu. Jadi lucu, ternyata ada juga yang luput dari pengetahuannya.
"Semua siswa baru tidak diperkenankan berinteraksi dan berbicara dengan siswa lama," begitu bunyi peraturan yang dibaca oleh Pak Armen hari itu.
Para siswa baru semuanya terkejut, belakangan kami baru tau maksud peraturan itu. Menurut kak Eka, pengurus asrama kami tujuan peraturan tersebut untuk menjaga semangat siswa baru itu sendiri. Siswa baru dianggap seperti kertas putih yang polos, yang belum tau seluk beluk kehidupan asrama, sedang siswa lama tentunya sudah berpengalaman, dan di antara pengalaman-pengalaman itu ada yang tidak baik, seperti melanggar aturan, mengakali disiplin dan pelanggaran-pelaggaran lain. Jadi, untuk menghindari pengaruh-pengaruh negatif tersebut siswa baru hanya boleh bergaul sesama siswa baru, apabila ada hal yang tidak dipahami dapat ditanyakan ke kakak pengurus asrama.
"Itu bukan hal yang permanen kok, kalian cuma satu tahun jadi siswa baru. Tahun depan juga kalian akan masuk ke asrama siswa lama, jadi kalian bisa bergaul dengan semua siswa lama, dan giliran kalian yang dilarang bergaul dengan siswa baru, itu sudah jadi aturan dari tahun ke tahun" jelas kak Eka.
"Bagaimana kalau kami pernah ngobrol sama siswa lama beberapa hari lalu kak, namanya Kevin siswa kelas 3," tanyaku sedikit cemas
"Apakah kami akan dihukum?" tambahku sebelum kak Eka menjawab.
"Nggak apa-apa, kalian tidak akan dihukum. Waktu itukan baru awal-awal, penerapan disiplin dimulai ketika MOS usai, ya hari ini tepatnya," terang kak Eka dengan santai. Hemmm, kak Eka ini pengurus yang baik banget, suka senyum, jarang marah, cakep lagi hehehe. Dia salah satu pengurus asrama idola di sini, aku jadi kangen sama kak Eka.
Aku, Reno, Dion dan Idris melewati tahun ajaran lalu dengan sukses, ya kami sukses masuk ke eskul kami masing-masing. Aku dan Dion masuk eskul marching band, Idris ikut teater dan Reno sekarang sudah jadi keeper di klubnya. Aku terkejut melihat Reno ketika tes masuk di klub bola, ternyata dia anak yang lincah dan sigap, pantas saja dia langsung jadi anggota khusus pada uji coba keeper pertamanya.
Aku dan Dion juga diterima di eskul marching band, aku juga senang ternyata aku bisa mengikuti latihan dengan baik, begitu juga Dion. Meski kelas satu waktu itu kami sama-sama cuma bawa bendera. Hahaha, Dion kemakan omongannya sendiri, dia juga ikut bawa bendera. Ternyata memegang bendera tidak semudah yang aku bayangkan, banyak gerakan dan formasi yang dipelajari, selain itu juga harus harmonis dengan irama yang dimainkan pemain instrumen lainnya. Benar-benar tugas yang berat.
Saat latihan juga kami beberapa kali bertemu Kevin, anak kelas 3 SMP dari Jakarta, dia pemain Mellophone, akhirnya aku tau juga alat apa itu, sejenis terompet. Kami agak ragu ketika Kevin ngajak ngobrol saat latihan, ya tentu saja masalah aturan bergaul sama siswa lama itu penyebabnya.
"Nggak usah takut, peraturan nggak boleh bergaul sama siswa lama itu tidak berlaku ketika latihan eskul." jelas Kevin. Aku dan Dion merasa lega, setidaknya kami masih bisa ngobrol dan tidak canggung lagi, Kevin juga anak yang asik, setidaknya dapat menghibur kami di tengah-tengah ketatnya disiplin siswa baru.
Tentang pelajaran juga tidak menjadi masalah serius bagiku, aku dapat beradaptasi dengan baik, hanya saja pola belajar di sini sangat ketat. Setiap minggu dapat tugas, tidak boleh terlambat, dan guru-gurunya tegas, serta semuanya laki-laki, jadi kami tidak punya Ibu guru, hahahaha.
Satu tahun selama menjadi siswa baru memang luar biasa, banyak kenangan yang kami lalui bersama, ya aku, Dion, Reno dan Idris menjadi sahabat akrab. Aku tidak mengatakan kami tidak pernah bertengkar, aku sendiri pernah tidak saling tegur sama Reno, Idris bahkan Dion, begitu juga mereka, penyebabnya hal-hal sepele mulai dari masalah kecil, nggak mood, lagi bete dan hal lainnya, sesuatu yang normal menurutku, pada akhirnya kami tetap saja saling memaafkan dan pertemanan kami semakin kuat.
Ya, kami sukses dalam banyak hal melewati masa-masa anak baru di sekolah ini, kesuksesan terbesar adalah kami berempat semuanya naik kelas 2 SMP, aku dan Dion sama-sama naik ke kelas 2A, Idris 2D dan Reno 2C, jadi Reno nggak perlu minder lagi, selain itu kami bersyukur kami masih bertahan di sini, karena dari 230 siswa angkatan kami, tersisa 204 siswa saja, 26 siswa lainnya ada yang pulang karena tidak betah, ada yang dikeluarkan karena pelanggaran.
Kamipun tidak luput dari pelanggaran, aku bahkan lupa berapa kali kami dihukum, karena telat, ketiduran, tidak bikin tugas, tidak ikut piket, pulang ke asrama terlalu malam, dan masih banyak lagi. Untungnya semua itu masuk ke dalam pelanggaran ringan. Aku rindu masa-masa itu, dimana kami masih anak baru, anak-anak culun dengan pakaian yang seringkali nggak match, hehehe.
Sekarang kami sudah kelas 2 SMP, asrama kamipun berbeda, aku dan Idris masih satu asama hanya saja beda kamar, Dion dan Reno juga satu asrama dengan kamar yang berbeda, tapi kami tetap akrab dan kadang-kadang kami makan dan ke kantin bareng. Selain itu juga kami masih sering saling berkunjung, ya, kami selalu akrab meski tidak seintens dulu, tentunya kami juga harus berinteraksi dengan teman-teman sekamar kami saat ini.
Sedangkan sama Dion, hemmm dia tetap dekat dengan ku, ya karena sekarang kami satu kelas. Dion hampir setiap hari mengunjungi asramaku, apalagi asrama ku lebih dekat dari ruang kelas kami, jadi saat istirahat kalau tidak ke kantin kami ngobrol di kamarku ini, teman-teman sekamarku juga akrab sama Dion, Reza salah satunya, karena dia sekelas sama Dion tahun lalu, begitu juga Andre. Sedangkan Hendra tentu saja dia juga akrab sama Dion, karena mereka sama-sama dari Malang. Ya, persahabatan itu memang indah.
Kami sudah mengikuti dua kali MOS, setidaknya masih ada empat kali MOS lagi sampe aku tamat dari sekolah ini. Aku juga mengingat pidato kepala sekolah, persis seperti tahun lalu, jadi nggak heran banyak siswa SMA yang sudah hafal isi pidatonya. Rasa kangen sama papa dan mama juga ada, tapi tidak seperti dulu. Apalagi sudah pulang selama 40 hari saat liburan kenaikan kelas beberapa bulan lalu. Jadi saat ini waktunya meneruskan pendidikan dan hidupku di kampus ini.
"Kok lama banget mikirnya? ingatkan sama cowok itu" tiba-tiba Dion memecah lamunanku. Hemmm, tentu aku ingat anak itu. Ternyata Fikri namanya. Sudah satu tahun lebih, ya dia sekarang kelas 3 SMP. Sejak dia tersenyum hari itu aku tidak pernah melihatnya lagi, Bagaimana mukanya sekarang? Pasti tambah cute. Awalnya aku dan Dion berusaha mencari asrama dan namanya, karena saat itu kami anak baru dan tidak dapat masuk ke asrama siswa lama, jadi pencarian kami tidak berhasil, pada akhirnya aku menyerah dan melupakannya. Entah mengapa Dion membicarakannya lagi sekarang.
"Aku ingat dia, kamu tau darimana namanya Fikri?" tanyaku penuh minat.
Dion memandangku geli," Hemmm, kamu senangkan berita ini?"
Anak ini bikin penasaran saja, aku hanya menggangguk tersenyum, ya dia paham maksudku
"Dia satu asrama denganku, di lantai satu?" terang Dion semangat.
"What? satu asrama sama kamu?" berita Dion ini benar-benar menarik perhatianku. Kututup tugas yang sedang aku kerjakan, dan saatnya bertanya lebih banyak sama "mbah google ini".
Sekarang aku sudah bukan anak baru lagi, aku sudah boleh bergaul sama siswa lama. Sejenak aku berpikir untuk ngajak Dion menemui anak itu, kemudian aku sadar betapa tololnya pikiranku itu, kami kan tidak saling kenal, selain itu mungkin juga dia tidak ingat aku, hahaha bisa-bisa kami hanya bikin malu saja.
"Ya, dia satu asrama denganku. Anak Bekasi. Gimana kalau nanti sore kamu ke asamaku, biasanya dia duduk di ruang rekreasi, kita bisa pura-pura ngobrol di dekatnya" tanpa peduli dengan mukaku yang ragu Dion malah mikirin rencana.
"Nggak lah, kitakan nggak kenal dia. Aku juga malas sok akrab sama orang, nanti dianya kegeeran lagi" jawabku gugup.
"Kitakan cuma pura-pura ngobrol di dekatnya, nggak perlu nyapa dulu, nah kalau dia senyum lagi baru kita ajak ngobrol. Lagian juga menurutku pasti dia masih ingat sama kamu"
"Ingat aku? nggak mungkin lah, kami hanya saling senyum, tidak lebih" bantahku.
"Oke, tapi kamu naksir dia kan?" tiba-tiba saja pertanyaan Dion ini membuatku tidak nyaman. Naksir Fikri? Diakan Cowok? Aku mengaguminya, aku akui itu. Tapi kalau aku naksir dia?
"Nggak lah. Enak aja, gue masih normal." Jawabku ketus.
"Hahaha, di sini semua juga normal, suka sesama cowok, naksir sesama cowok bahkan pacaran sesama cowok juga normal. Emang ada cewek di sini. Mau kamu pacaran sama mbok dapur? hahahaha." Dion tertawa cengengesan. Gak sopan banget. Kupelototi wajah Dion, hahaha. Dia hanya manyun saja.
Ya di sini naksir cowok kayaknya normal-normal saja, karena semua yang hidup di sini cowok, tapi aku masih terlalu muda kayaknya untuk pacaran, aku baru 15 tahun beberapa hari lalu. Tapi aku dan Dion kan belum membahas pacaran. Kalau dipikir-pikir Dion ada benarnya, kayaknya aku suka sama anak itu, meski sudah sekian lama nggak ketemu, ya aku berharap bisa mengenalnya.
"Kira-kira dia ikut eskul apa ya?" tanyaku.
"Katanya kamu nggak naksir sama dia, kok masih ngebahas Fikri juga" jawab Dion masam.
"Pengen tau aja, emang salah?" jawabku sekenanya.
"Aku belum ngobrol sama dia, mana aku tau anak itu ikut eskul apa." jawab Dion ketus.
"Terus kamu tau dia kelas 3C dari Bekasi, info darimana?"
"Semua orang juga tau, aneh kalau kamu tidak tau." tiba-tiba seseroang menjawab pertanyaanku tadi. Aku terdiam sesaat, Dion pun tampak terkejut. Huft! ternyata Reza. Dia masuk ke kamar dengan senyum aneh, kelihatannya dia mendengar pembicaraan kami tadi. Aduh, gimana menjelaskannya, pasti Reza tau nih.
"Maksudmu?" tanyaku gugup sambil berusaha bersikap biasa, dan tetap saja aku malah jadi salah tingkah.
"Fikri kelas 3C dari Bekasi, dia anak populer. Cakep, ramah dan good looking," jawab Reza santai tanpa memperdulikan raut wajahku yang rada pucat. Anak ini memang cuek, dia duduk di ranjangnya sambil bersandar ke dinding, ikut ngobrol tentang Fikri, padahal dia kan nggak tau arah obrolan kami.
"Ya aku juga tau dari teman-teman asramaku" Dion berusaha mengontrol nada bicaranya.
"Wajar saja kalau kita nggak terlalu mengenalnya, kitakan baru jadi siswa lama. Tahun lalu waktu dia kelas 2 SMP dia sudah terkenal di kalangan siswa senior, ya karena kita anak baru jadi kita tidak mendengar beritanya." aku terkejut mendengar informasi ini, dan tentu saja Dion tidak ubahnya denganku, kami berdua shock.
"Sekarang dia sudah kelas 3 SMP menurutku dia tambah cakep aja, jadi jangan heran kalau semua orang bertanya-tanya dia tinggal di asama mana? kelas berapa? dan di sini juga lumayan banyak anak alay yang dengan senang hati menguntit, kasak kusuk dan bikin gosip. Jadi kita semua tau kan informasinya" tambah Reza, raut mukanya sudah biasa saja, kelihatannya dia tidak curiga dengan obrolan kami tadi, hemmm untung saja. Kalau dia sampe tau kalau kami punya rencana PDKT sama Fikri itu, aduh mau diletak dimana muka ku ini.
Tapi kalau dia sepopuler itu, kayaknya aku menyerah sajalah. Hahahahaha, informasi Reza ini membuatku jadi sadar diri, dia terlalu populer, terlalu tinggi untuk aku gapai. Untung saja tadi aku nggak jadi bikin rencana buat nemuin si Fikri.
"Hemmm, aku sendiri nggak heran kalau kamu tidak tau info tentang Fikri, Rick," ucap Reza di tengah-tengah kebisuan kami bertiga.
"Dia memang populer, tapi kamu tidak kalah populernya kok. Jadi wajar saja orang yang sama-sama populer tidak saling kenal, karena mereka lebih banyak diperhatikan ketimbang memperhatikan" Reza meneruskan omongannya. Aku tambah shock mendengar omongan Reza barusan. Sementara Dion hanya tersenyum saja, seakan-akan itu berita yang tidak mengejutkan baginya.
"Nggak usah ngebahas itu, aku lagi nggak mood," jawabku kesal. Tentu saja mengasikkan jadi orang populer di sekolah, tapi rasanya aneh saja, aku kan cowok, masa disukai sama cowok juga sih, meskipun di sini itu hal biasa, rasanya belum pas saja.
"Nggak usah bete gitu, santai aja. Namanya juga sekolah asrama, kita ini kan remaja-remaja ABG yang lagi tumbuh, wajar saja ada rasa suka, cinta, hormon yang lagi naik-naiknya. Masalahnya, kita semua cowok semua, mau gimana lagi, menurutku nggak ada yang aneh kita mengagumi cowok cute, aku sendiri bangga sekamar sama kamu" celetuk Reza santai. Dion kelihatannya juga kurang nyaman mendengar omongan si Reza, sama sepertiku.
Aku dan Dion saling ngasih kode, tanda kalau kami akan jalan-jalan saja, atau mungkin ke ruang rekreasi di asramaku, ketimbang ngobrol sama si Reza, anak ini terlalu vulgar, lama-lama yang dibicarakan bisa-bisa sampe urusan seks nih, huh. Aku dan Dion akhirnya berdiri dan berjalan ke arah pintu,
"Dia ikut eskul badminton, tapi kalau sore biasanya ada di kolam renang" tiba-tiba Reza nyeletuk lagi, ku kira anak itu sudah selesai bicaranya.
"Emang ada eskul renang?" tanyaku penasaran.
"Dia tidak ikut eskul renang, tapi dia biasa berenang kalau sore. Lagian kolam renang itu fasilitas umum, nggak harus anak eskul yang pake. Kalian nggak bakal ketemu kalau pura-pura duduk di ruang rekreasi, pura-pura aja duduk di samping kolam renang, terus pura-pura jatuh dan tenggelam deh, sambil berharap dia ngasih nafas buatan, itu cara yang jitu untuk mendekatinya." aku dan Dion terperangah mendengar ucapan Reza, dan kami berdua mendatanginya dan,
"Ampun-hahahahaha-Ampun, aku bencada, geli tau, plis, aku becanda aja, hahahaha" suara Reza memelas saat aku dan Dion menggelitik tubuhnya, rasain lu, dasar anak rese.
Aku dan Dion duduk di pondok jerami dekat taman, sejenak kami diam, dan mengingat percakapan kami tadi, lalu kami mulai tertawa. Memang lucu kalau dipikir-pikir, ternyata orang yang aku sukai salah satu cowok paling populer di sekolah ini. Shit!
"Kayaknya aku menyerah saja lah, hahahah. Dia terlalu populer" ucapku sambil tertawa.
"Aku juga jadi ragu, tapi usulnya Reza bisa dipertimbangkan tuh," jawab Dion nyengir. Dasar Dion.
Kami kembali diam, tidak ada suara, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benakku, menurut Dion, suka sama cowok itu biasa dan normal-normal saja di sini, bagaimana dengan Dion?
"By the way, kamu punya gebetan nggak?" tanyaku serius.
Dion terkejut, wajahnya merah," Dimana?' dengan enggan dia menjawab.
"Di sekolah ini lah" jawabku lagi
"Sebenarnya aku nggak mau cerita sih, tapi kita adalah sahabat, jadi aku akui sajalah. Aku sedang PDKT sama teman sekamarku, Billy." jawab Dion tanpa sungkan.
Aku terkejut mendengarnya. Billy? aku kenal anak itu, diakan teman sekelasku tahun lalu, anak dari Bandung. Lumayan cakep sih, tapi kok Dion suka sama anak satu kamarnya sih.
"Kamu suka sama anak sekamarmu? nggak bakal jadi masalah tuh" tanyaku.
"Ya, aku sih rada ragu juga, tapi namanya suka ya gimana lagi?"
"Lah, kalau kalian pacaran, terus tinggal satu kamar, apa nggak takut kalian macam-macam?" tanyaku semakin cemas.
"Wush! sembarangan aja, aku kan nggak pacaran sama dia, baru PDKT. Lagian dia belum tentu menyukaiku. Seandainya pun dia menyukaiku dan kami pacaran aku nggak bakal macam-macam lah, aku belum 15 tahun sekarang, dia juga sama. Justru yang aku cemas kamu sama Fikri, kamukan sudah 15 tahun, Fikri bisa saja masuk 16 tahun sebentar lagi, jadi kalian bisa lebih berani tuh" jawab Dion ceplas ceplos.
"Kamu ini ngeles aja, aku sama Fikri nggak bakal. Aku saja belum kenal, apalagi sampe pacaran." jawabku ketus
"Kita ini aneh, tadi menghindari Reza karena nggak mau kebablasan ngobrolnya, eh malah sekarang tanpa dia kita juga kebablasan" komentar Dion sambil cengengesan.
Aku tertawa mendengarnya, benar juga yang Dion ucapkan. Hahahaha, omongan kami sudah rada mesum juga nih.
Tidak lama suara langkah kaki mulai terdengar, aku dan Dion berdiri, aku lihat dua teman lamaku, Reno dan Idris sudah sampai di pondok jerami ini. Akhirnya datang juga mereka.
"Pesannya sampe, kelihatannya ada rapat penting nih" ucap Idris, anak dari Ambon ini semakin tinggi saja, dulu dia yang paling kecil di antara kami berempat, sekarang dia sudah sama tinggi denganku.
Aku bersalaman dengan Reno dan Idris, kami ngobrol hal-hal ringan, hemmmm akhirnya kumpul lagi.
"Ya, sahabat kita ini sedang galau" canda Dion.
"Siapa?" tanya Reno penasaran.
Aku mendelik sama Dion, dia malah cengengesan. Reno dan Idris malah tambah curiga.
"Ricko kan?" jawab Idris nyengir.
Aku jadi salah tingkah, perasaan janjian mau kumpul sekedar kumpul biasa aja, lagian sudah lama nggak santai begini, kok ngomogin urusan galau segala. Bikin bete aja.
Reno mulai bisik-bisik sama Idris, nggak tau mereka ngomongin apa, kelihatannya ada yang nggak beres nih.
"Kalian ngomong apaan sih?" tanyaku kesal.
"Hemmmm, tentang kamu" jawab Idris. Hah! tentang aku? emang ada apa?
"Kami sudah dengar tentang si Fikri itu." Reno cepat-cepat menambahkan.
Aduh kok tambah nggak enak gini, malah membedah urusanku kayak gini. Pasti si Dion nih informannya, jangan-jangan acara kumpul bareng ini juga tentang masalah itu, yang punya ide kan juga Dion. Huft!
"Aku sedang nggak mau bahas itu, kita ngobrol yang lain aja deh", jawabku kesal. Sesaat semuanya diam, nggak ada yang ngomong.
"Ren, kamu masih nyimpan rendang?" tiba-tiba Idris nyeletuk, hahahahaha kami bertiga tertawa mendengarnya sementara Reno memasang wajah juteknya.
Obrolan kami mulai mencair, masalah Fikri tadi kayaknya sudah teralihkan, dan aku mulai lega. Jarang-jarang bisa kumpul kayak gini, kami punya teman masing-masing, jadi susah nyesuaikan waktu buat kumpul.
"Jadi kapan kita ke kolam renang?' Reno mulai lagi.
"Nggak perlu sensi dong, kita kan cuma mau latihan renang aja" potong Dion melihat mukaku cemberut. Ya, aku jadi rada sensi kalau ngebahas tentang si Fikri. Sebenarnya santai aja kalau dia cowok biasa saja, masalahnya dia terlalu populer, mungkin itu yang bikin aku tambah sensi.
"Aku nggak bakal sensi ngebahas si Fikri itu, asal kalian mau turuti syaratku," tiba-tiba saja ada ide yang keluar dari otakku yang sumpek ini.
"Apa itu?" jawab mereka bertiga serentak.
"Kalian ceritakan dulu tentang gebetan masing-masing, jadi adilkan. Untuk Dion, aku sudah tau. Kamu dris?"
"Aku sudah punya cewek di Ambon, jadi pacaran jarak jauh" jawab Idris pede.
"Nggak mungkin. Kamu masuk ke sekolah ini kan baru tamat SD, masa pacaran waktu SD dibawa sampe sekarang sih." celetuk Dion.
"Bukan pacarku waktu SD, aku jadian waktu liburan kemaren, dan sampe sekarang aku masih berkirim surat sama dia." hemmm jawaban yang lumayan. Oke, bisa diterima.
"Kalau kamu Ren?" tanyaku.
"Aku belum mau pacaran, belum ada rasa sama siapapun" jawabnya diplomatis.
"Sama cowok apa cewek?" tanya Idris penuh harap. Hehehehe, dasar Idris, katanya pacaran sama cewek, tapi malah nanya begitu sama Reno.
"Ya sama cewek lah," jawab Reno.
"Berarti kamu harus nunggu empat setengah tahun lagi untuk pacaran," ucapku, Reno hanya tersenyum masam.
"Jadi kapan kita berenang nih? Sekaligus melaksankan misi pertama?" Idris mulai bersemangat.
"Kamu kan pacaran sama cewek, kok malah kamu yang ngebet mencomlangi Ricko sama si Fikri?" potong Dion tiba-tiba. Kami tertawa mendengarnya, dan aku sampe sakit perut melihat reaksi muka Idris.
Akhirnya kami dapat tertawa lepas hari itu, aku juga nggak terlalu sensi ngebahas si Fikri, ya setidaknya aku cuma mau kenal lebih dekat saja, meski agak sulit juga, karena akan mengundang banyak perhatian siswa lainnya. Secara dia anak populer gitu.
"Bagaimana kalau dia sudah punya pacar?" tiba-tiba Reno bertanya. Kami semua terdiam, omongan Reno ada benarnya. Ya, bagaimana kalau dia sudah punya pacar, apakah nggak bikin malu aja ngedekitin dia.
"Dia belum punya pacar, kalau sudah punya pacar pasti sudah tersebar beritanya" jawab Dion yakin.
"Wait! Kalau benar dia belum punya pacar, di lain pihak semua berita tentang Fikri ini akan mudah menyebar, bukankah itu tidak terlalu bagus?" tanyaku. Ketiga temanku terdiam.
"Maksudku, kalau seandainya Fikri itu benar jomblo, dan seandainya dia menyukaiku, lalu seandainya kami pacaran, bukankah semua orang di sekolah ini akan tau?" tanyaku lirih, ya meskipun terlalu banyak "seandainya".
Tentu saja aku belum siap menghadapi berita begitu, pacaran sama cowok dan diketahui orang sekampus, tentu itu bukan hal mudah. Memang normal di mata sebagian siswa, tapi tetap saja di sini ada guru dan kepala sekolah yang tentunya melarang hal-hal seperti itu terjadi.
"Emang kenapa kalau orang tau?" tanya Reno.
"Ya, aku belum siap aja" jawabku datar.
"Rick, kalau kamu pacaran sama Fikri, pasti akan banyak berita tersebar. Jangan mengambil kesimpulan karena Fikri populer, sehingga beritanya Fikri punya pacar baru, justru aku menyangsikan itu, kecuali Fikri pacaran sama orang lain" lanjut Reno.
"Maksud kamu?" tanyaku, aku nggak tau arah omongan Reno.
"Ya bisa saja beritanya, Ricko akhirnya pacaran, atau pacarnya Ricko, atau Ricko tidak lagi jomblo" urai Reno.
"Maksudnya Reno, Fikri itu memang anak populer, tapi masalahnya kamu juga nggak kalah populernya Rick." tambah Dion.
"Kalau benar Fikri itu menyimpan rasa sama kamu, dia juga nggak akan berani terus terang, secara kamu juga cowok populer di sekolah ini. Artinya perhatian siswa dan biang gosip juga tertuju sama kamu, kamu sedang apa, lagi dekat sama siapa semua juga tau." tambah Reno.
Aku terkejut mendengarnya, apa maksud teman-temanku ini.
"Rick, suka atau tidak suka kamu adalah cowok cute, nggak usah komentar dulu" potong Dion ketika aku mau protes.
"Ya seperti kataku dulu waktu pertama kita kenal, bahkan tahun depan kamu akan tambah populer saja, kamu mungkin tidak merasakannya, tapi itulah yang terjadi. Kalau kamu benar ada rasa sama si Fikri ini, ya coba saja membuka diri." lanjut Dion.
Aku hanya diam saja, tak ada yang dapat aku jawab, pembicaraan ini bikin aku nggak enak hati saja.
"Senyum dong. nggak usah kalut gitu." tegur Idris.
Aku tersenyum, ya mereka sahabatku yang baik, aku sadar ada yang janggal, selama ini aku merasa ada perlakuan berbeda dari siswa-siswa lain, meskipun tidak terlalu nampak. Misalnya sama Andre teman sekamarku, pertama kali kami menata kamar, dia begitu kikuk dan tidak berani memandangku, begitu juga dengan teman-teman sekelasku, waktu Candra duduk sebangku denganku siswa yang lain semua memandang Candra, seakan-akan Candra mengambil tindakan "berani". Bahkan ketika istirahat si Candra malah jadi sorotan siswa sekelas.
Ya, aku paham mereka tidak menganggapku sejenis penyakit atau virus, mungkin merasa nggak pede aja kalau jadi bahan omongon siswa-siswa yang lain, hemmmm memang biang gosip bikin runyam aja.
Belum lagi kebiasaan siswa-siswa SMA yang suka curi-curi pandang, awalnya aku rada nggak nyaman, lama-lama aku abaikan saja. Dan aku paham itulah arti "wuiiiiiiiiiiiiiiiiiiis" yang aku dengar saat pembagian kelas satu setengah tahun lalu, ya kelihatannya aku memang cute, (Pede banget ya hahahaha)
"Tapi kalian nggak keberatankan berteman denganku?" tanyaku sedikit lesu.
"Tentu saja tidak" jawab ketiganya serentak.
"Kalau aku nggak nyaman mana mungkin aku selalu ke kamarmu" tambah Dion dengan nada serius.
"Aku juga, kamu teman yang baik dan tentu saja cute" Idris ikut nimbung, yang lain malah ketawa mendengarnya.
"Aku justru beruntung, terus terang aja, sejak teman-teman sekamarku tau kalau kelas satu dulu kita adalah teman sekamar, mereka banyak tanya tentang kamu. Bahkan ada juga anak kelas 3 SMP dan 1 SMA yang ramah banget sampe-sampe nraktir aku cuma buat nanya-nanya info tentang kamu. Pokoknya aku merasa jadi orang penting gitu, hari pertama aku masuk ke asrama banyak yang berkunjung ke kamar kami, ada yang nitip salam sama kamu, ada yang nanya tanggal lahir kamu," Reno ceplas ceplos.
Apa? Reno menjual informasiku? Oh God!
Idris langsung menutup mulut Reno, Dion malah ketawa. Dasar Reno, jadi dia dapat manfaat nih ceritanya.
Hemmmm tapi setidaknya ini tidak terlalu menggangguku, hanya saja aku tidak terlalu siap kalau banyak orang membicarakanku.
"Sekarang kamu mesti jaga image, penampilan sudah oke, pasti si Fikri bakal gelpek-gelpek tuh kayak ikan nila" celetuk Reno.
"Oke guys, cukup ngbahas tentang hal tadi. Jadi kapan kita mulai misinya?" tanyaku dengan nada serius.
Reno, Dion dan Idris awalnya terkejut mendengar ucapanku. Tapi akhirnya kami sepakat, misi ke kolam renang akan kami mulai Minggu sore, karena hari itu libur jadi kami bisa bersantai dari tumpukan tugas.
Jadi penasaran pakai apa ya anak-anak sekolah SMP dan SMA ini di kolam renang? Kolam renang itu kan milik sekolah, posisinya nggak jauh dari GOR, masih dalam kompleks sekolah, hanya siswa sekolah ini saja yang boleh menggunakannya. Aku jadi membayangkan si Fikri pake celana renang. Wait? Kan semuanya cowok, kenapa mesti malu, bisa saja pada nggak pake celana hahahaha, gimana ya kalau si Fikri pake celana renang? pasti seksi banget. Apalagi kalau nggak pake celana? Wow..
"Wush! Jangan mesum!" tiba-tiba Dion mengejutkanku. Tau aja anak ini aku lagi mikirin apa, dasar Dion nyebelin. Huft!
BERSAMBUNG