webnovel

About Love Triangle

Satu malam itu mengubah segalanya, tragedi berdarah itu membuat sebuah persahabatan hancur dan dua orang saling mencintai menjauh. "Jangan pernah menyalahkan cinta, karna cinta itu tidak pernah salah!" - Sang Penghianat Cinta

Quinwriter · Teen
Not enough ratings
19 Chs

Enam Belas

"Lo ngapain sih ke sini? Ganggu boiang cantik gue aja."

"Boiang cantik boiang cantik. Iler lo meleber tu di pipi! Cantik dari mananya cobak? Najis malah iye," hina Aura dengan sadis walau sebenarnya hanya bercanda. Jena yang dihina tak tersinggung sama sekali. Ia malah dengan santai menghapus bekas ilernya dengan tangan kanan yang digosok-gosokkan ke pipinya.

Aura berjalan ke dapur rumah Aura. Ia membuka kulkas rumah sahabatnya itu dengan cuek. "Puding siapa nih?" tanya Aura. "Enak kayaknya."

"Es krim vanila gue jangan lo makan. Awas lo makan kita cerai!" ancam Jena mewanti- wanti membicaran es krim miliknya.

Aura mengedikkan bahunya. Melihat Jena tak akan mempermasalahkan puding tersebut kalau ia makan. Ia pun mengambil satu buah puding itu beserta flanya dan dibawanya mendekat ke arah Jena. Gadis itu seperti tidur ayam. Ia memejamkan mata namun celotehan Aura masih saja disautnya.

"Jen?" panggil Aura sembari meletakkan tempat puding ke atas meja. Jena hanya bergumam sebagai jawaban. "Lo punya kontaknya Ibe gak?" tanya Aura lagi.

"Kenapa emangnya? Lo naksir dia sekarang?"

"Enak aja!" protesnya cepat.

"Terus kenapa lo nanyain kontak dia?"

"Lo cemburu?" tuduh Aura dengan tersenyum jahil. Jena yang mendengar tuduhan sahabatnya itu langsung membuka mata. "Tuh 'kan pasti lo cemburu ... ngaku!" Ia menunjuk wajah Jena yang melotot sambil menggeleng tak terima. "Tenang Ibe bukan level gue kok. Tampangnya sih oke tapi otaknya? NO!" ucapnya sambil menggeleng. "Mau jadi apa keturunan gue kalo gue sampe sama dia." Lagi-lagi ia menggeleng untuk menghilangkan Ibe dari pemikirannya.

"Tapi ...," ucapnya gantung sembari melirik ke arah Jena dengan tersenyum jahil. "Kalo sama lo mungkin keturunan kalian fine-fine aja deh kayaknya."

Plak

Jena melempar bantal sofa yang langsung ditangkap Aura. Ia menyengir dengan bangga. "Gak kena," ledeknya. Jena mendengus sebal sambil kembali memejamkan matanya.

"Mending sekarang lo gak usah basa basi deh. Lo ke sini itu untuk apa?" tanya Jena to the point.

"Gue tuh ke sini mau nemuin sahabat gue yang paling cantik lah ... tapi cantiknya setelah gue," kekehnya geli.

"Gak usah sok muji gue kalo ujungnya muji diri lo sendiri."

"Iya deh ... iya," ucap Aura dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh Jena. "Jadi tuh gue ke sini mau minta kontaknya Ibe."

Jena kembali membuka matanya. Menatap sahabatnya itu dengan datar. "Lo ke sini jauh-jauh cuma mau minta kontaknya Ibe? Gak salah?"

"Enggak."

"Ya lo gak salah tapi otak lo yang salah. Lo 'kan bisa nelfon, SMS atau chat gue Aura ...."

"Hehehe ...." Aura malah menyengir. "Gue gak mau gangguin lo tidur dengan nelfon, SMS atau chat lo Jenaaaa."

"Menurut lo sekarang lo di sini gak gangguin tidur gue?"

"Ganggu sih cuma 'kan ...."

"Cuma apa?" tanya Jena dengan melotot saat Aura tak melanjutkan perkataanya.

"Cuma apa ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Gak tau deh, itulah pokoknya," lanjutnya kebingungan. "Sekarang mending lo kasih gue kontak Ibe."

"Emang buat apa?"

"Buat nanya nama Jeje."

"Maksudnya? Emang Jeje itu bukan namanya?"

"Eh ... bukan gitu Jena. Lo mah lemod ih sebel gue," rutuknya

"Heelllaaaaaww yang lemod sekarang di sini siapa?" geram Jena. "Elo Aura elo!"

"Yaudah deh kita sama-sama lemod! Adil 'kan?"

"Ogah!" tolak Jena sambil bersedekap.

"Yaudah deh terserah lo." Aura mengedikkan bahu seolah tak perduli. "Jadi berapa kontak Ibe?"

"Emangnya untuk apa sih?"

Aura tersenyum sambil mengedip-ngedipkan matanya membuat Jena mengernyit jijik. "Untuk memperjuangkan cinta gue dan dia," jawab Aura dengan merentangkan kedua tangannya.

+-+-+-+

"Gue gak di kasih minum nih?" tanya Ibe yang kini duduk di hadapan Aura dan Jena. "Gue haus kali jalan dari rumah ke sini," keluhnya dengan raut dibuat menyedihkan.

"Alah jalan lima langkah juga. Apa susahnya sih Be?" dengus Jena yang berjalan menuju dapur. Bagaimana pun ia tak tega membiarkan Ibe mati kehausan.

Ibe itu sebenarnya tetangga Jena. Itulah mengapa Jena dan Aura mengenal Ibe walau Ibe tak pernah sekali pun satu kelas dengan keduanya.

"Makasih Jena cantik," ucap Ibe saat Jena menghidangkan segelas sirup kuning untuk Ibe.

"Nah, karena lo udah dikasih minum. Sekarang kasih tau gue siapa nama lengkap Jeje, alamat rumahnya, user name social media-nya, makanan kesukaannya, hobby-nya, warna kesukaannya, dia anak keberapa, berapa saudaranya, nama orang tuanya, nama saudaranya, nama sepupunya, nama—"

"Gak sekalian lo nanya nama keluarga dia tujuh turunan?" tanya Ibe dengan kesal. Ia tak menyangka ternyata ia disuruh kemari hanya untuk memberikan informasi kepada Aura mengenai Jeje. Bahkan ia sangat tak menyangka Aura memberikan daftar pertanyaan mengalahkan panjang daftar belanjaan bulanan nyokapnya.

Aura menjetikkan jarinya tepat di depan wajah Ibe. "Boleh juga tuh," ujarnya. "Ide bagus," lanjutnya dengan tersenyum.

Ibe menatap Aura dengan wajah tak suka. Ia menoleh ke arah Jena, meminta bantuan dengan kode permohonan melalui raut wajahnya. Namun, Jena malah mengedikkan bahunya seolah tak bisa membantu tetangganya itu dari kegilaan sahabatnya.

Ibe pun menghela napas pasrah pada akhirnya. Aura menatapnya penuh harap. Itu malah membuat ia semakin mengerang prustasi. "Segitu sukanya lo sama Jeje?" bukannya menjawab semua pertanyaan Aura, Ibe malah balik bertanya kepada gadis berumur 17 tahun itu.

Aura mengangguk. "Kurang jelas apa gue suka sama dia?" tanya Aura pada Ibe. Ia juga menoleh ke arah Jena. Namun, Jena malah berpura-pura tidur. Jena tak ingin mencampuri urusan sahabatnya itu, biarlah sahabatnya itu berusaha sampai di mana ia ingin menyerah atau sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Okey ... okey," ucap Ibe menenangkan sambil mendorong kedua tangannya sebanyak dua kali. "Sekarang lo mau tanya apa?" tanyanya.

"Kan tadi gue udah bilang semua. Apa yang mau gue tau tentang Jeje, Ibrahim Bryen Erindooo!" geram Aura dengan tangan yang ingin meremas wajah Ibe penuh amarah.

Ibe menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Gue lupa Aura Kasih! Gue lupa!" jelasnya yang mengaku salah.

"Aura Kasih? Gak salah tuh?" ledek Jena yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. Ia sedikit tak terima Artis cantik nan seksi seperti Aura Kasih disamakan dengan sahabatnya yang tidak ada mirip - miripnya selain nama, kasian dong Aura Kasih.

"Diem lo Jen!" bentak Aura kepada sahabatnya itu.

"Beuh ... Aura Kasih berubah menjadi Aura kejam." Ibe pun ikut-ikutan meledeki Aura.

"Gue balik nih!" ancam Aura.

"Sok balik sok!" usir Jena dengan tersenyum geli. "Tapi yakin? Masa udah jauh-jauh ke sini gak dapet apa-apa," lanjutnya.

"Yaudah! Gak jadi!" Aura kembali duduk. "Cepetan kasih tau gue tentang Jeje! Semuanya!"