webnovel

Bad Boys

200 days before.

Sore itu Clarice sibuk menari-nari K-Pop sambil duduk-duduk di bangku sofa. Ia menari begitu serius sampai tidak menyadari seorang wanita eksekutif muda datang menghampirinya. Dengan headset di kepalanya Clarice tidak sadar bahwa ada orang yang sedang menunggunya untuk berbicara. Sebuah tepukan kecil di bahu membuat Clarice berhenti menari dan menoleh ke arah Viona.

“Papa ada?”

“Ada. Capi, harus cunggu dulu sekicar… mmm… 30 menit.”

Viona berpikir-pikir. Menunggu 30 menit terasa cukup lama baginya. Tak mau repot balik ke kamar ia lalu mengganti topik.

“Kamu suka nari?”

Clarice mengangguk sambil melepas headset.

“Saya juga. Nama saya Viona. Wanna dance with me?”

Mata Clarice membulat. “Saya Clarice. Sebeculnya saya bisa menari capi… kurang.”

“Jangan sok merendah. Ayo K-Poper, kita goyang sama-sama. Udah lama nggak nari nih,” bujuk Viona riang.

“Saya cuma bisa sacu lagu. Bisa menari Do You Like That?”

“Sure. Kebetulan saya hafal gerakannya. Let’s do it together, Lisa” Viona tertawa sambil mulai menarik tangan Clarice untuk bersiap melantai.

Lisa adalah salah satu personel Blackpink yang merilis lagu tadi. Menyebut Clarice sebagai Lisa membuat gadis itu bersemangat. Viona melepas tas yang dibawa dan mengambil posisi siap menari. Ini membuat gadis bule itu semakin bersemangat lagi.

“Okay,” katanya. Ia lalu mengklak-klik ponselnya serta memperbesar speaker.

Dan keduanya pun mulai asyik menari, sekaligus menjalin pertemanan di antara mereka.

*

Clarice itu bersinar istimewa. Clarice Van Der Buijk, gadis indo keturunan Belanda. Darah asing dari bapaknya rupanya mengalir sangat kuat sehingga membuat dirinya sangat bertipe Eropa. Dengan dia bersekolah di sebuah SMA internasional, cadel berbahasa Indonesia, kulit putih mulus tanpa cacat, dan tubuh tinggi semampai serta kaki jenjang bak jerapah, ia benar-benar tidak terlihat sebagai orang Indonesia.

O ya, wajahnya pun agak berbintik-bintik laiknya gadis Eropa. Namun dalam hal kemolekan tubuh, gadis remaja itu benar-benar sempurna. Rambut pirangnya melewati bahu, dengan hidung mancung bangir, dan wajah bulat lonjong. Pendeknya, ia bisa mengisi khayalan semua pria dalam mengisi jam-jam tidurnya.

Narto, adalah salah satunya.

Ia adalah salah satu dari tiga pembantu keluarga. Ia menyetir mobil mulai dari mengantar-jemput anggota keluarga, membeli kebutuhan barang sekaligus untuk satu minggu, membeli bergalon air mineral, mengurus pembayaran air, listrik, internet, telpon. Dari sekian banyak tugas, tentu saja ia lebih suka mengantar jemput Clarice pergi ke dan pulang dari sekolah. Dengan membangkitkan kepercayaan diri yang besar, Narto pun mulai tebar pesona.

Upayanya menarik perhatian Clarice sepertinya menurutnya mulai sedikit membuahkan hasil. Terbukti dari gadis remaja pirang itu yang makin sering menyapa, tersenyum manis, atau sekedar mau diajak mengobrol. Hal ini sebetulnya tidak begitu mengherankan karena Narto sendiri sebetulnya tidak jelek. Ia tampan yang dibuktikan dengan atribut hidung, mata, mulut, wajah, dan lainnya yang di atas standar.

Bersama dengan Rokib, rekannya, Narto sering mencuri-curi pandang. Ini karena Clarice yang memang suka mengenakan pakaian yang menurut mereka, seksi. Clarice benar-benar jadi bahan diskusi yang mengasyikan.

Keduanya baru saja mengobrol beberapa saat ketika gadis yang mereka bicarakan mendadak muncul. Ia keluar dari sebuah ruangan dan mulai menyirami beberapa pot bunga di sekitarnya. Mengenakan hotpant dan atasan kaos putih, ia santai saja g menyirami tanaman tanpa sadar sedang dilihati dua orang tadi.

Narto bertanya mendadak. “Sst, sst, eh liat tuh. Lu liat apa yang gue liat?”

“Iya.”

“Wuih…. Gak salah nih?”

Pertanyaan Narto tidak segera dijawab karena yang ditanya masih menujukan pandangan ke obyek yang berjarak dua puluhan meter di depan mereka, Clarice.

“Nggak,” jawab Rokib beberapa lama kemudian. Ia mengerti maksud pertanyaan tadi. “Ckckck. Emang dia nggak pake BH.”

*

Ya, kejadian di atas hanya salah satu contoh kecil betapa Clarice itu didamba kaum pria. Merupakan keuntungan yang besar bagi siapa pun pria yang mendekatinya walau itu hanya sampai pada batas pertemanan saja. Mudah bagi Narto untuk mengajaknya bicara dan berakrab-akrab karena kebetulan dirinya memang bekerja untuk keluarga Van Der Buijk. Bagi Rokib, dia hanya bisa menonton dari kejauhan. Dari balik pagar ketika Narto memberi bantuan saat gadis pirang itu menyirami tanaman.

Kemarin lusa, di tempat kost Rokib, mereka menyaksikan VCD aksi panas kategori tripel X atas seorang remaja wanita yang wajahnya mirip dengan Clarice. Video mereka saksikan berulang kali dan setelah puas menonton, sudah ada tekad dalam diri mereka untuk bisa mendekati gadis bule itu lebih jauh. Narto sebagai orang dalam tentu yang diandalkan sambil ia berharap Clarice bisa mengijinkan Rokib untuk sesekali membantu. Tapi untuk saat ini jelas saja Rokib hanya bisa membantu dari jauh – setidaknya untuk sementara.

Dan itulah yang Narto lakukan ketika, dengan dalih untuk menolong, ia menghampiri Clarice. Dalam obrolan dengan Clarice itu Narto beberapa kali menyebut nama Rokib dalam dialog dengan harapan Clarice tak keberatan orang itu bergabung untuk membantu. Tapi Clarice tidak begitu menangkap pesan tersirat itu. Dia tetap sibuk menyirami tanaman, mencabuti rumput liar, memberi pupuk serta memberi perintah lain.

“Yang ini perlu disiram juga?” Narto pura-pura bodoh dengan menunjuk barisan pot berisi aglonema.

“Yes, cencu. Icu juga harus… apa itu namanya… siram siram,” jawabnya dalam lidah pelo yang parah.

Narto menurut apa yang diminta. Saat itu Clarice memang benar-benar merupakan seorang gadis yang sangat sempurna mengisi dahaga jiwanya. Gadis itu luar biasa. Dilihat dari sudut manapun ia sangat menggairahkan dan ini membuat Narto agak sulit berkonsentrasi.

Ketika Clarice menabur pupuk NPK, Narto menggunakan kesempatan itu untuk melihat gadis itu dari arah belakang. Ia mendegut ludah menyaksikan betapa pendeknya hotpant hijau yang ia kenakan. Hotpant itu begitu pendek sehingga menampilkan sebagian CD. Pikiran Narto jadi nakal. Dan karena itu jugalah ia yang tengah memegang selang untuk melakukan penyiraman jadi kurang berkonsentrasi sehingga membuat Clarice terkena air di bagian lengan.

Clarice terpekik. Narto tersadar karena pekikan itu dan ia buru-buru meminta maaf.

“Narcho, why?” Clarice protes. Ia membalik badan dan terlihat tidak nyaman dengan kaos putihnya yang kini basah.

“Kamu ceroboh. Seharusnya you itu haci-haci.”

Narto diam saja membiarkan diri diomeli. Pun diam ketika Clarice menuding-nuding wajahnya. Di sela omelannya ia sekuat tenaga meminta maaf. Clarice baru pergi ketika ia puas selama lima menit mengomeli Narto.

Rokib yang melihat kejadian dimana Narto habis diomeli Clarice gara-gara salah siram tanaman mendatangi rekannya sambil terkekeh. Tak cuma meledek ia juga kini mengomeli Narto.

“Dasar bego lu. Masa’ nyirem kembang aja gak bisa?”

Sama halnya dengan Clarice, ada bermenit-menit sendiri Rokib mengomeli Narto. Tapi Rokib akhirnya berhenti mengomeli setelah melihat rekannya justeru tersenyum-senyum tanpa menunjukkan rasa bersalah.

“Gue nggak bego. Kan ada lu yang ngajarin supaya gue pinter saat berhadapan dengan cewek.”

“Maksud lu?” Rokib tidak paham.

“Itu tadi gue sengaja, tauk. Semburan airnya juga muncrat ngebasahin bagian dada.”

“Haa?”

Narto tersenyum licik penuh kemenangan. “Selama dia ngomel, gue menang banyak, Kib. Di depan gue kepampang toket seukuran kelapa mateng di pu’un… yang cuma ketutupan kaos basah warna putih.”

Rokib mendegut ludah ketika Narto menggambarkan ukuran buah dada Clarice dengan kedua telapak tangannya.

“Gue malah bisa lihat warna pentilnya. Merah muda, Kib. Apa nggak menang banyak gue?”

*