webnovel

Diantar Pulang

"Mengapa tidak diminum?" tanya Wolfie heran. "Tidak suka?"

"O—ou … s—suka …," jawab Valerie dan Anna serentak.

"Suka kok, Wolfie … hanya saja aku belum haus," lanjut Valerie.

Bukan mereka tidak suka dengan minuman yang diberikan oleh Wolfie, namun keduanya tidak bisa makan dan minum sembarangan, karena mereka berdua adalah vampir, yang hanya membutuhkan darah saja untuk bertahan hidup.

Valerie meminum sedikit minumannya, untuk menghargai Wolfie. Rautnya berubah dan kemudian Valeri menoleh ke arah Anna dengan memasang raut ingin muntah.

"Masih enak lagi darah babi," ucap Valerie mengecilkan volume suaranya.

Anna terkekeh melihat Valerie yang paling tidak suka makanan dan minuman lain selain darah.

Film pun dimulai, Anna, Valerie dan juga Wolfie memilih untuk mencari posisi enak pada tempat duduknya, agar mereka merasa nyaman saat menonton film selama dua jam kedepan.

***

Dua jam berlalu dan film pun berakhir. Valerie dan Anna berjalan lebih dulu untuk keluar dari dalam bioskop, sementara itu Wolfie mengikuti dari belakang. Wolfie hanya diam dan mengikuti kedua temannya itu berjalan, hingga mereka berhenti di depan pintu gedung bioskop itu dan Wolfie pun merasa heran.

"Ada apa?" tanya Wolfie.

"Wolfie, apa kau bisa menemani Valerie mendapatkan bus? Orang tuaku sudah menjemput," tanya Anna dengan ceringainya. Sebenarnya ia tidak enak meninggalkan Valerie begitu saja, namun apa boleh buat, kedua orang tuanya sudah menjemput dan arah rumahnya dengan Valerie juga berbeda dan berjarak cukup jauh.

"Aku bisa pulang sendiri," gumam Valerie.

"Bisa. Aku akan menemaninya pulang," jawab Wolfie menyahutinya.

"Eh, Wolfie?" tanya Valerie heran.

"Uuuuh, terima kasih banyak, Wolfie … aku akan mentraktirmu jajan di kantin saat di sekolah nanti. Kalau begitu, aku titip Valerie, ya … kalian hati-hati di jalan. Bye …." Anna berlalu begitu saja meninggalkan Valerie bersama dengan Wolfie.

Keduanya hanya diam, seperti canggung. Valerie yang memiliki perasaan kepada Wolfie pun merasa salah tingkah dan tidak tahu harus mengajak berbicara apa.

Kini mereka berjalan berdampingan menuju ke halte yang dekat dengan gedung bioskop itu. Sudah tidak banyak orang yang menunggu bus di sana, mungkin karena hari sudah malam juga. Valerie sesekali melirik pada Wolfie yang asyik dengan ponselnya. Valerie mendengus, ia marasa diabaikan dan lebih baik jika ia pulang sendiri saja. Karena ada atau tidak adanya Wolfie, tidak ada bedanya, ia tetap saja merasa sendiri.

"Rumahmu distrik berapa?" tanya Wolfie tiba-tiba.

"A—aku … sekarang aku tinggal di distrik 8," jawab Valerie gugup.

"Kalau begitu, tempat tinggal kita berdekatan."

"Oh, ya? Kau tinggal di distrik berapa?" Valerie balik bertanya.

"Tujuh," jawab Wolfie singkat.

"Ooh, berarti nanti kau turun lebih dulu … Wolfie, itu bus kita!" ucap Valerie yang terlihat senang karena busnya sudah terlihat.

Saat bus menepi di halte, mereka berdua pun segera masuk ke dalam bus dan duduk bersebelahan di kursi paling belakang. Ternyata mereka masih tetap sama, tidak saling bicara dan Wolfie masih asyik dengan ponselnya. Valerie hanya bisa diam dan tidak bisa protes atas sikap Wolfie yang seperti itu. Sudah baik Wolfie mau menemaninya untuk pulang.

'Bukankah jika Anna tidak memintanya untuk menemaniku pulang, seharusnya dia juga akan pulang bersamaku, karena rumah kami searah? Hmmm, jika begitu, aku tidak perlu berterima kasih untuk ini,' batin Valerie menggerutu sendiri.

Bus berhenti di sebuah halte. Kini mereka sudah tiba di distrik 7 dan masih satu halte lagi untuk Valerie turun. Bus kembali berjalan dan tiba-tiba saja mata Valerie terbuka lebar. Ia melihat Wolfie masih duduk di sebelahnya dan tidak turun di halte tadi.

"Wolfie! Haltemu sudah terlewat!" seru Valerie, membuat seisi bus memperhatikannya.

"Aku tahu," balas Wolfie, menoleh datar pada Valerie.

"Lalu … mengapa kau tidak turun?"

"Aku akan mengantarmu sampai rumah."

DEG

Valerie mengernyit, ia merasa kalau ada masalah pada telinganya. Tidak mungkin kalau Wolfie ingin mengantarnya pulang, tidak mungkin kalau Wolfie bersikap baik seperti itu.

"T—tapi nanti sudah tidak ada bus—"

"Aku bisa naik taksi," sahut Wolfie menyela ucapan Valerie.

Valerie tersenyum dan kemudian mengalihkan pandangannya. Entah mengapa ia merasa jantungnya berdebar sangat kencang, seperti genderang mau perang.

Bus yang dinaiki oleh Wolfie dan Valerie kembali berhenti di halte yang berada di distrik 8. Mereka berdua pun segera turun dari bus dan berjalan bersama menuju ke sebuah gang yang akan membawa mereka ke rumah Valerie.

Valerie dan Wolfie jalan berdampingan, namun kini Wolfie sudah tidak lagi memainkan ponselnya. Ia melihat lurus ke depan dan sesekali melirik pada Valerie yang juga diam.

"Kau … kau kenapa pindah sekolah, Wolfie?" tanya Valerie, ia tidak tahu harus mencari pembahasan apa untuk mengajak Wolfie bicara.

"Mengikuti orang tua," jawab Wolfie singkat.

'Aku harus mengajaknya berbicara tentang apa lagi? Dia saja hanya menjawab dan tidak mengajukan pertanyaan lagi kepadaku,' batin Valerie, lagi-lagi menggerutu.

"Kau …," ucap Wolfie. "Kau berapa bersaudara?" tanya Wolfie.

"Hmmm aku dan kakakku saja. Kakakku sudah bekerja di kantor pemerintahan," jawab Valerie memberitahunya dengan jelas.

Wolfie hanya mengangguk, menandakan kalau ia mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Valerie.

"Itu rumahku," ucap Valerie, menunjuk sebuah rumah yang berada di sisi kiri mereka. "Hmmm terima kasih, Wolfie … sudah mengantarku. A—aku … tidak bisa menawarimu untuk singgah, karena hari sudah larut. Sebaiknya kau—"

"Masuklah. Aku harus kembali ke halte, karena aku memesan taksi online dan aku memintanya untuk menjemput di sana," ujar Wolfie, lagi-lagi menyela ucapan Valerie.

"Oh, baiklah … hati-hati di jalan, Wolfie …."

Wolfie berlalu dengan langkah yang cepat, agar sopir taksinya tidak menunggu terlalu lama. Valerie pun masuk ke dalam rumahnya setelah memastikan Wolfie sudah berlalu cukup jauh dari rumahnya.

***

Valerie bangun pagi tanpa dibangunkan oleh mamanya. Pagi ini ia pun begitu bersemangat menyambut hari dan bersiap untuk berangkat sekolah. Sang mama merasa aneh dengan sikap anak bungsunya itu yang tidak biasanya seperti itu.

Mama

[Sam, kenapa adikmu sangat bersemangat hari ini?]

[Mama tidak membangunkannya, dia bangun sendiri]

Sang mama mengirimkan pesan kepada Samuel, ia ingin tahu mengapa Valerie bersikap tidak seperti biasanya.

Samuel

[Mengapa tidak mama tanya sendiri pada anaknya?]

[Aku tidak tahu]

Sam menoleh pada mamanya dan mengangkat kedua bahunya, ia tidak tahu mengapa adiknya seperti itu.

Mama

[Nanti kau cari tahu, ya]

Sam menghela napasnya, selalu ia yang diminta untuk mencari tahu dan menanyakan ini dan itu kepada Valerie. Itu sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu, dan itu semua dikarenakan karena Valerie yang memang tidak begitu dekat dengan mamanya.

"Ma, aku mau dituangkan susu," pinta Valerie dan membuat mamanya membesarkan matanya.