webnovel

A Tender Heart Only For You (part 2- end)

Disclaimer : AU buat pecinta #Lovely Runner #ImSol #RyuSunJae #WooHye #KimHyeYoon #ByeonWooSeok. Saya cuma punya imajinasi berlebih untuk buat cerita.

.

.

.

A Tender Heart Only For You

Author : F15TY

Pair : Im Sol x SunJae

.

.

Part 02 of 02

.

.

Otakku masih belum bisa mencerna dengan baik apa yang dikirim dari ingatanku, tapi semua terasa tidak bisa aku sambungkan, ada titik-titik kosong yang tidak bisa aku temukan jawabannya, dan sekarang Ryu SunJae, juga aku berada di dalam satu ruangan. Yang satu bertelanjang dada, aku…

Bagaimana bisa pertanyaan sederhana menjawab ini semua?

Ryu SunJae menyeringai lebar seolah membaca apa yang sedang berlangsung dalam kepalaku.

"Apa yang kau pikirkan sekarang?" dia bertanya sambil mendenguskan tawa.

Aku menggeleng keras, menolak arahan yang diberikan logikaku.

"Apa yang aku lakukan? Tentu saja aku harus mengganti pakaianmu. Berhubung kau tidak sadarkan diri, dan aku tidak tahu dimana rumahmu, bahkan ponselmu mati. Kau pikir apa yang harus aku lakukan ketika berada di situasi seperti itu? Kau bahkan muntah di mobilku. Sekujur tubuhmu mau muntah, mobilku, bahkan saat aku menggendongmu aku harus menahan napas."

Seberapa jauh aku harus menjatuhkan harga diriku? Seolah belum cukup aku mempermalukan diri sendiri, aku masih harus pingsan setelah muntah di mobil orang yang baru aku kenal?

"Aku membawamu ke rumahku dan aku harus mengganti pakaianmu karena terlalu bau, dan kau terlalu mabuk sampai tidak bisa aku bangunkan sama sekali. "

Ya Tuhan … Separah itu kondisiku sampai merepotkan orang dan mempermalukan diri sendiri.

Persetan dengan alkohol, mulai saat ini kau adalah musuh terbesarku.

"Ma-maafkan aku sudah sangat merepotkan, kau bahkan sampai harus menggantikan pakaian-"

Menggantikan pakaian?!

Tunggu dulu!

Ryu SunJae menggantikan pakaianku? Orang yang baru aku kenal menggantikan pakaianku? Berarti dia melihatku -?!

Mataku membelalak melihat ke arah Ryu SunJae.

"Maaf jika apa yang aku lakukan terlihat tidak sopan, tapi apa aku punya pilihan lain?! Lagipula kau tidak perlu salah paham. Bekerja di rumah sakit selama bertahun-tahun, melihat 'hal seperti itu' bukan hal baru bagiku. Kau tahu aku- " Ryu SunJae menjelaskan dengan sangat santai hingga akhirnya dia tampak bingung memilih kata-katanya sendiri.

Oh, benar juga.

Dia perawat, melihat pasien tak berbusana pasti sudah menjadi hal biasa baginya. Bahkan aku sering mendengar perawat yang menggantikan pakaian pasien yang tidak memiliki wali.

Tidak sepantasnya aku merasa malu karena hal itu, seharusnya aku cukup malu setelah membuat sederet kekacauan.

Pandanganku mendarat pada ponselku yang tergeletak di meja sebelah tas tanganku. Orang rumah pasti sudah sangat panik karena aku tidak memberi kabar sama sekali. Aku meminjam pengisi daya dari Ryu SunJae dan langsung menyalakan ponselku, berusaha menelepon orang rumah.

"Aku baik-baik saja, sekarang sedang di rumah teman. Aku terlalu mabuk dan temanku membantu … Tenang saja, maaf aku membuat Ibu cemas," tuturku dengan suara purau.

Aku tidak ingin membuat ibuku cemas dengan segala beban yang harus ditanggungnya, cukup aku saja yang harus berpikir keras. Mendengar suara Ibuku yang sedikit marah karena tidak bisa menghubungiku membuatku sedikit lega, membuatku merasa seperti anak kecil lagi dan berharap bisa bermanja di pangkuannya.

Di tengah panggilan telepon entah mengapa aku merasa harus menoleh ke belakang, dan seketika pandanganku bertemu dengan sorot mata jernih Ryu SunJae.

Dia terduduk di sofa dengan satu tangan bertumpu pada tangan sofa dan menopang kepalanya. Tadinya aku kira perhatiannya terpusat pada TV yang ada di sebelahku, tapi setelah aku perhatikan lagi pandangannya memang tertuju padaku yang berdiri dekat sumber power listrik di sebelah tv karena kabel pengisi daya yang terlalu pendek.

Pandangan Ryu SunJae sangat tajam, seolah dia sedang berusaha melihat menembus hingga organ terdalam tubuhku. Aku melihat pantulan diriku yang terlihat di lemari pajangan besar di sisi dinding ruang tengah. Aku yang hanya mengenakan kaos putih polos kebesaran, dan panjang kaos hanya mencapai atas lututku, menyerupai dress.

Ryu SunJae sendiri terlihat nyaman-nyaman saja bertelanjang dada, dan dia tidak terlihat sungkan sama sekali saat pandangan kami bertemu. Matanya sesekali mengintaiku seperti elang, sekalipun dia seperti berusaha menyamarkannya dengan kembali menatap TV, tetap saja aku bisa merasakannya.

Aku yang awalnya santai saja, mulai merasa kikuk. Dadaku memang rata, bentuk tubuhku juga kurang menarik, tapi mendapati pandangan intens seperti ini membuatku tidak nyaman.

"Ah, iya Bu! Aku akan segera pulang." Aku mengakhiri panggilan telepon, agak canggung berjalan mendekati Ryu SunJae.

"Ummm, aku minta maaf sudah sangat merepotkan. Aku akan mengganti biaya membersihkan mobilmu dan semua hal yang merugikanmu. Sekali lagi maaf, aku sungguh-sungguh minta maaf atas kebodohanku, tapi … dimana pakaianku?"

Ryu SunJae beranjak dari sofa dan memperpendek jarak di antara kami.

"Aku mengirimnya ke cuci kering karena mesin cuciku sedang bermasalah," jawabnya singkat.

"Oh ..."

Aku tidak bisa menjawab lagi dan mencoba cari lain agar aku bisa berpakaian, segera pulang. Berada dalam satu ruangan bersama orang asing, berpakaian minim, bahkan setelah membuat serentetan kekacauan, aku tidak bisa berlama-lama lagi. Aku tidak punya teman dekat yang bisa diminta tolong membantuku mengirimkan pakaian. Kalau meminta tolong ibuku, sama saja aku bunuh diri.

"Sebaiknya kau sarapan dulu, wajahmu sangat pucat." Ryu SunJae menyentuh pipiku, ibu jarinya mengusap bawah mataku. Sorot matanya yang lembut mengingatkanku pada matahari pagi setelah hujan, berkilau dan hangat.

Argh… wajah tampan, tubuh bagus, semua adalah kombinasi mematikan untuk hati wanita jomblo lemah sepertiku.

Tunggu dulu! Tapi kenapa dia sering kali melakukan kontak fisik seolah kami sudah dekat?!

Dari mengusap kepalaku, membopongku ke mobil, sampai barusan mengusap pipiku. Apakah dia terlalu lama tinggal di Barat hingga hal seperti ini terlihat lumrah?!

"Aku sudah membuatkan sup untuk menghilangkan mabuk, sebentar aku panaskan."

Ryu SunJae menghilang ke pantry, dan pandanganku tidak bisa lepas dari tubuh indahnya. Otot punggungnya sangat berbentuk, entah olahraga macam apa yang dia lakukan hingga tubuhnya terbentuk sedemikian bagusnya. Pasti dia sangat fit dengan tubuh seperti itu.

"Argh … Im Sol! Hentikan pikiran kotormu!" aku menepuk kedua pipi, membuang bayangan-bayangan aneh tentang aktivitas di tempat tidur yang otakku sempat sisipkan ketika Ryu SunJae belum memberiku jawaban jelas.

Apakah aku sangat putus asa hingga berpikiran aneh seperti ini?

Ya Tuhan, kembalikan jiwa polosku. Aku tidak ingin memikirkan hal lain selain pekerjaan.

"Im Sol! Bisakah kau membantuku membuat jus?" Ryu SunJae berseru dari pantry.

"Oh, ok!"

Entah kenapa interaksi kami terasa sangat normal layaknya pasangan yang sudah lama tinggal satu atap.

Ryu SunJae tidak terlihat canggung atau risih sama sekali dengan penampilannya saat ini, juga dengan kondisiku yang notabene tamu menyebalkan dan mengenakan kaosnya.

Hah… sebenarnya situasi macam apa ini?

Tuan rumah bertelanjang dada, hanya mengenakan celana training, sementara aku, hanya memakai kaos. 

Apa karena aku memakai kaosnya, jadi dia bertelanjang dada? Apa dia tidak punya baju lain?

Setelah selesai dan meletakkan dua gelas jus di meja, aku duduk di meja makan yang hanya berisi dua kursi berhadapan.

Aku meneliti ke sekelilingku, apartemennya lumayan besar, tapi isinya sangat tipikal orang yang hidup sendiri. Aku kira dia sudah berkeluarga, tapi tidak ada tanda-tanda ada orang lain tinggal bersamanya.

"Aku belum menikah."

"Oh?" aku bereaksi kaget karena dia seperti membaca isi kepalaku.

"Karena itu aku tidak bisa memberitahumu berapa banyak wanita yang sudah aku buat patah hati sebelum menikah," selorohnya seraya meletakkan mangkuk sup yang mengepul panas dan nasi di hadapanku.

"Oh. He he he. Abaikan ocehanku, aku suka bicara sembarangan kalau mabuk," sahutku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Benarkah?" Ryu SunJae berdiri membungkuk dari seberang meja makan yang berukuran kecil ini, dengan mudahnya dia meraih wajahku dan detik kemudian mata kami saling terkunci, tenggelam dalam sorot warna mata satu sama lain.

"Lalu apakah aku tidak benar-benar tampan, mengingat kau sering mengucapkannya saat mabuk semalam?" bisiknya dengan suara pelan, tapi cukup menohok rasa bersalahku.

"Ka-kau memang tampan, siapa yang berani menyangkalnya. Karena itu, tolong jangan siksa aku lebih dari ini."

"Menyiksa?" Dia mengerutkan alis begitu dalam.

"Ba-badanmu! Pa-pakai kaos atau baju, handuk atau apapun untuk menutupi badanmu! Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi dengan bertelanjang dada begini…. tubuhmu terlalu mengacaukan pandangan dan akal sehatku!" cerocosku seraya membuang pandangan ke segala arah asalkan tidak mendarat di wajah ataupun badan Ryu SunJae yang terkekspos.

"Ha ha ha, kau benar-benar lucu, Im Sol!"

"Ha ha ha, Iya aku lu-"

Ucapanku terpotong ketika dia menarik daguku dengan ujung jarinya, dan detik kemudian dia mengecup bibirku cepat. Tekanan lembut di permukaan bibirku terasa begitu nyata sekalipun sangat cepat. Aku terbengong menatap lurus tanpa berkedip, masih belum bisa memproses kejadian yang terasa antara nyata dan tidak.

Kenapa bisa mengarah ke sini?

Kenapa dia tiba-tiba menciumku?

Apakah ada kejadian yang tidak aku ingat?

Apakah semalam aku mengatakan sesuatu yang aneh tanpa sadar hingga dia merasa punya hak menciumku?

Apakah aku tidak sengaja mengatakan bahwa aku menyukainya?

Apakah karena itu juga dia terlihat tidak terganggu sama sekali, sangat santai mendapati kehadiranku di rumahnya? Menggantikan pakaianku? Berjalan-jalan di depanku dengan dada terpampang jelas?

Tunggu dulu, kenapa serverku mendadak melambat? Apa yang tidak masuk dalam memoriku?

Aku panik seketika, wajahku panas, tapi lidahku ikutan kelu, sehingga aku hanya terdiam saat SunJae menyuruhku memakan sarapan sementara dia menghilang masuk ke kamar. Pandanganku jatuh ke semangkuk sup yang terlihat berisi kecambah dan rumput laut.

Aku benar-benar tidak waras!

Dimana? Kapan? Kesalahan apa yang sudah aku perbuat?!

Kepalaku sakit, dan bingung.

Sekalipun panik, aku harus mengurutkan kejadian semalam. Jangan-jangan, kami juga melakukan sesuatu yang tidak bisa aku ingat. Tanganku bergerak cepat menarik kerah kaos dan memeriksa dada, bahu serta bagian lain tubuhku yang mungkin menyisakan bekas aktivitas malam seperti pasangan di drama makjang yang aku tonton.

Sejauh pandanganku mampu memindai tidak ada tanda-tanda mencurigakan, bagian bawah perutku juga terasa baik-baik saja. Pasti bukan seperti bayanganku.

"Bagaimana supnya? Apa kau suka?"

Aku terkejut dan langsung menegakkan diri, tersenyum ke arah Ryu SunJae yang sekarang sudah mengenakan kaos berwarna hitam yang melekat ke tubuhnya hingga lekuk ototnya terbentuk di permukaan kaos.

Apa bedanya dia memakai kaos dengan tidak? Aku masih bisa melihat bentuk tubuhnya dengan jelas!

"Aku belum coba. Terima kasih untuk makanannya."

Aku harus mengembalikan akal sehatku dulu, kepalaku terlalu sakit untuk berpikir banyak.

Menyantap sup hangat setelah dihantam serangan mabuk seperti pohon di tengah ladang kering yang diguyur hujan. Sungguh menentramkan badan, merambat ke hati sampai ke jiwa.

Aku jarang sekali mabuk, tapi semalam aku benar-benar lepas kendali.

Kim TaeSung! dia sumber utama aku harus menenggak banyak gelas karena terus mengoceh perihal aku yang bolak balik rumah sakit.

"Ini sangat enak. Apakah kau masak sendiri?" tanyaku seraya menyendok nasi dan kembali menyeruput kuah sup, kombinasi kuah hangat sup dan nasi yang bercampur di mulut membuatku bisa meleleh seketika. Benar-benar enak!

"Tentu saja," jawab Ryu SunJae cepat. Senyumnya seolah mengisyaratkan dirinya menunggu pujian lain dariku.

"Bagaimana bisa kau juga pintar memasak?! Bagaimana mungkin ada pria lajang sempurna begini, dunia benar-benar tidak adil!" protesku yang kembali menyuapkan nasi dan kuah sup ditambah sepotong telur dadar ke mulutku.

"Aku bisa memasakkan untukmu setiap hari kalau kau mau." Jemari SunJae menyentuh daguku cepat, dan aku melihat ada butiran nasi di jarinya sebelum dia memakannya.

Apakah aku makan sebar-bar itu sampai nasi ikutan nyasar ke daguku?

Buru-buru aku mengusap area mulutku ke bahu, dan lagi-lagi dia memberikan senyum manisnya, seolah menertawakan tingkah kekanakanku. Selama hampir lima menit dia terdiam sambil menopang dagu, menontonku makan sementara aku seperti anak kucing kelaparan menyantap makanan.

"Kau tidak makan?"

Dia tidak menjawab, malah menyambar tanganku yang baru menyendok nasi yang di atasnya aku letakkan sepotong telur dadar. Awalnya aku bingung kenapa dia menarik tanganku, tapi ujung sendok bergerak ke mulutnya dan dia makan dari sendokku.

"Ternyata memang enak," katanya di sela-sela mulutnya mengunyah.

"Argh! Berhenti menebar pesona, aku hampir mimisan rasanya!" protesku seraya menutupi mata dengan kedua tangan.

Bukankah hal yang dilakukan Ryu SunJae barusan hanya berlaku di drama atau manhwa?

Bagaimana bisa dia melakukannya dengan sangat mudah seolah dia adalah seorang penakluk wanita yang sangat lihai?

Sumpah, berkali-kali aku melihat taburan bunga di belakang kepala SunJae setiap kali dia tersenyum. Efek halo padanya membutakan mataku.

Ini tidak adil, sama sekali tidak adil.

"Apakah aku berhasil mendapatkan hatimu?" godanya yang sepertinya tidak berencana mengurangi serangannya sama sekali.

"Maaf, tapi jangan berharap! Aku tidak punya waktu untuk hal itu. Berhentilah melakukannya. Kau memang tinggi, tampan, memiliki kulit yang bagus, baik dan perhatian, tapi cukup untuk aku pandang dari kejauhan. Aku bahkan tidak tahu usiamu, ka-"

"Kau dan aku lahir ditahun yang sama!" jawabnya cepat.

"A... itu... maksudku, bukan itu masalahnya! Pokoknya tidak bisa! Aku anggap apa yang sudah kau lakukan tidak pernah terjadi. Seperti apapun kau tertarik pada wanita, tidak wajar melakukan kontak fisik seenteng ini," tandasku seraya mengangkat tangan ke udara, menolak dan mematahkan harapannya sebelum berkembang.

"Tapi semalam kau bilang tidak bisa menolak pesonaku dan berharap pria seperti aku bisa menjadi pendampingmu. Jadi aku pikir aku punya peluang, dan melakukan kontak fisik denganmu bukan sesuatu yang salah kalau kau dan aku saling tertarik."

Seketika aku bisa melihat tulisan 'LOADING' di pusat data kepalaku. Berusaha mengingat detail kejadian setelah mabuk berat sungguh-sungguh menyiksa. Benarkah aku mengatakan hal itu? Bagaimana bisa mulutku dengan mudahnya mengatakannya? Mulutku berubah tanpa rem ketika aku sedang mabuk.

ALKOHOL! AKU MEMBENCIMU! JANGAN PERNAH TUNJUKKAN DIRIMU LAGI DI HADAPANKU!

"A- itu- itu. Ha ha ha! Kau percaya ucapan orang mabuk?! Sepertinya aku terlalu mabuk, iya, aku terlalu mabuk! Aku harap kau tidak salah paham, dan berpikir serius dengan ka-"

Wajah cerahnya tiba-tiba berubah murung, pandangannya mengabut, ada awan hitam menggantung di puncak kepalanya yang tertunduk dalam. Seperti orang patah hati, dia menghindari pandanganku. Rasa bersalah langsung bergelayut di hatiku.

Bagaimana bisa pria dengan spek dewa sepertinya menaruh harapan padaku yang mirip kurcaci tercebur got begini? Aku bukan menganggap rendah diriku sendiri, tapi aku harus melihat realita. Realistis adalah kekuatan terbesarku sebagai Im Sol.

"Apakah tidak ada harapan bagiku?" gumam Ryu SunJae dengan suara rendah, dan aku tidak bisa memberinya jawaban.

Wajah muramnya mengirim rasa bersalah yang sangat besar padaku. Memang dasar mulutku tidak bisa dijaga!

"Setelah sekian lama tidak bertemu denganmu, aku berpikir akan mengakhiri perasaanku. Bahkan terakhir kali bertemu denganmu, kau bersama seorang pria yang aku kira kekasihmu. Kau tidak tahu bagaimana tersiksanya diriku yang tidak bisa menghapus perasaanku begitu saja. Lalu tiba-tiba kau dan aku bertemu lagi semalam, dan kau mengatakan segala hal yang membuatku bahagia. Aku kira akhirnya harapan itu ada, tapi kenapa kau …."

Ryu SunJae, pria tinggi besar itu terlihat seperti anak kucing yang sangat menyedihkan.

"Bu-bukan begitu, maksudku … a-aku-"

Otakku buntu, bagaimana bisa aku menjelaskan situasi yang terasa aneh ini?

Seorang pria dewasa di hadapanku sedang berusaha menahan tangisnya. Bukankah seharusnya aku yang ingin menangis setelah menghadapi rententan kejadian memalukan ini?

Kekakuan dan saling bungkam di antara kami berlangsung hingga petugas dari cuci kering tiba membawa pakaianku. Aku segera mengganti pakaian dan bersiap untuk pamit pulang. Ryu SunJae tidak membiarkanku pamit di depan pintu apartemennya, dia sampai mengantarkanku ke halte bis terdekat.

"Tidak bolehkah aku mengantarmu sampai rumah? Naik taksi?" Ryu SunJae yang duduk di sebelahku terlihat seperti puppy yang merengek minta diajak pergi majikannya.

Aku menggeleng cepat. "Aku sudah sangat merepotkanmu."

"Andai saja mobilku sudah selesai dibersihkan …." gumamnya sarat dengan penyesalan.

"Mobilmu juga kotor karena ulahku, segera beritahu aku biayanya dan aku akan segera ganti. Oh, termasuk dengan cuci kering dan sarapan tadi."

"Bagaimana jika kau menggantinya dengan cara lain?" pinta Ryu SunJae yang memasang tampang memelas.

Bagaimana bisa pria sebesar ini terlihat seperti imut dan membuatku ingin mengelus kepalanya hanya dengan mata sedihnya?

Aku benar-benar tidak waras!

"Aku ingin mengenalmu lebih dekat, dan berharap bisa bertemu denganmu lebih sering. Beri aku kesempatan untuk mendapatkan hatimu, Im Sol."

"Tapi aku tidak punya waktu untuk itu, aku –"

Ryu SunJae menggenggam tanganku dan membawanya ke wajahnya, matanya dipenuhi binar penuh harapan dan menatapku terus menerus. Jantungku langsung tak karuan, memompa darah lebih cepat hingga rasanya pipiku ikut panas.

Aku tidak bisa menyalahkannya yang berharap, dan aku tidak bisa memungkiri hatiku juga tertarik padanya, tapi ini sangat tidak nyata. Bertolak belakang dengan diriku yang tidak memiliki kesempatan dengan hiruk pikuk kehidupanku yang tidak memperbolehkanku istirahat.

"Perlahan … aku akan datang padamu jika kau mengizinkanku, berikan aku waktu untuk mengenalmu. Aku mohon, hmm?"

Oh tidak! Tolong jangan dengan wajah tampan itu kau coba mematahkan keputusanku!

Aku menutup mata rapat-rapat, menolak menatap sepasang mata hitam sendu miliknya.

Kami tidak benar-benar saling kenal, tapi kenapa dia terlihat sangat ingin mendekatiku? Cinta pada pandangan bertama?

"Sol-a …."

Ah, bahkan suaranya terdengar seperti madu.

Tangannya yang menyentuh pipiku terasa hangat, dan ibu jarinya mengusap bawah mataku, membuatku mau tidak mau membuka mata dan langsung meleleh di bawah sorot matanya yang lembut.

"Aku berjanji tidak akan memaksamu, tapi jangan tutup hatimu dan biarkan aku perlahan mengenalmu."

Habis sudah!

Aku terpojok dan tidak tahu harus bagaimana lagi menolaknya. Matanya sudah menghipnotisku tanpa ampun, dan kepalaku mengangguk begitu saja tanpa aku komando lagi.

"Terima kasih, Sol-a …." Bisiknya kegirangan sambil menggenggam tanganku, aku hanya menjawabnya lewat senyuman tipis. Merasa begitu putus asa dengan hatiku yang begitu lemah.

"Mulai saat ini panggil aku SunJae, ehm?"

Kepalaku mengangguk seperti robot rusak, dan senyum di wajahnya semakin lebar. Dia terlihat begitu polos dengan senyum seperti ini.

Kemana perginya aura sexy yang ditebarkan tadi pagi?

Apakah aku memberikan jawaban yang benar? Apakah aku akan menyesalinya nanti?

Selama beberapa detik berlalu, sekujur tubuhku terasa demam. Aku yakin bukan karena udara dingin, tapi karena logikaku berhenti bekerja setelah diserang bertubi-tubi. Jadi tidak bisa membedakan mana demam, dan mana panas karena rasa malu.

Bis yang aku tunggu tiba, dan aku segera berdiri bersiap untuk naik sambil menunggu beberapa orang di depanku naik ke bis. Akupun melangkah mengikuti arus antrian, tapi tiba-tiba SunJae menghentakkan tanganku hingga aku terhempas masuk ke pelukannya, dan belum sempat aku memproses situasi, aku merasakan tangan SunJae menyusup di sisi wajahku, memijat belakang telingaku sebelum mendaratkan bibirnya di atas bibirku.

"Hati-hati di jalan," bisiknya tepat di atas bibirku.

Masih setengah sadar aku bergerak naik ke bis dan duduk di salah satu kursi kosong di bagian paling belakang.

Apa yang baru saja terjadi?

Aku mendengar suara bisik-bisik orang di depanku yang sambil sesekali menoleh ke arahku, bahkan hingga bis mulai melaju mereka masih menoleh ke arahku sambil senyum-senyum meledek.

Rasanya empuk dan hangat. Yang barusan menyentuh bibirku benar-benar bibir SunJae?

ARGHH! Dia gila! Ryu SunJae gila! Aku tarik kata-kataku yang menyebutnya polos.

Aku setuju agar kami mengenal lebih baik, bukan pacaran! Tapi kenapa dia menciumku di tempat umum?!

Aku berteriak dalam hati seraya merenggut kedua sisi kepalaku, ada bara api yang bercokol di wajahku dalam waktu lama.

Pria itu tidak waras! Ryu SunJae tidak normal!

Bagaimana bisa dia menciumku di tempat umum setelah berkata akan perlahan berusaha mengenalku?

Apakah dia benar-benar tumbuh besar di Barat? Budaya macam apa yang membiarkan seorang pria mencium wanita yang baru dikenalnya? Bahkan di tempat umum?

Otakku buntu! Berhenti berfungsi mendadak! Mendidih sampai korslet!

.

.

.

.

Ketika aku berpikir tindakan Ryu SunJae di halte bis termasuk sangat gila, ternyata dia masih bisa melakukan hal lebih gila lainnya. Selama seminggu ini, tanpa absen dia melakukan video call di jam makan siang demi memastikan aku makan dengan benar. Banyak rekan satu ruangan meledekku karena tindakan SunJae yang mirip sipir penjara demi memastikan tahanannya tidak bertingkah.

Bukan sekali dua kali juga Ryu SunJae mengirimkan camilan dan snack kepadaku lewat kurir. Aku senang-senang saja karena stock makananku terjamin keberlangsungannya, tapi bagaimana dengan uang yang dia keluarkan untuk membelikan itu semua?

Belum lagi, setiap hari menjelang tidur dia akan mengirimkan pesan pendek yang mengingatkanku untuk menyikat gigi dan membersihkan muka, atau mengirim beberapa foto dirinya yang tengah melakukan aktivitas di tempat fitness, memamerkan tubuh atletisnya yang terlalu menyilaukan mata.

Dan parahnya lagi aku meladeninya seperti orang bodoh!

Seperti saat ini, aku tengah menyandarkan ponselku di sisi laptop, sementara aku mengetik sisa laporan yang hanya perlu penyempurnaan sebelum aku email. Aku harus menyelesaikannya sebelum pergi makan siang.

Video call ini berlangsung sudah lebih dari 5 menit.

"Jadi, kau ada waktu di malam tahun baru?" tanya SunJae yang sepertinya juga tengah sibuk menyalin sesuatu dari kertas di hadapannya ke buku catatan.

"Aku tidak tahu, tapi kalau dari kantor tidak ada agenda aku pasti memilih tidur di malam tahun baru," jawabku seraya membaca ulang laporan.

"Kau harus mengosongkan jadwal malam tahun baru untukku. Ingat, kau sudah membatalkan rencana kita akhir minggu ini!" tuntutnya dengan ujung pena tertuju ke arahku.

"Kenapa sekarang jadi aku yang salah?!" keluhku sambil mencibir.

"Karena kau sudah berjanji!"

"Iya, iya, aku tahu! Sebenarnya aku tidak mau janji, tapi kau terus memaksa!"

"Hei, Im Sol. Pacarmu benar-benar tampan!" celetuk HyunJoo yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

"Ack!! HyunJoo! Kapan kau kembali dari meeting di luar?" tanyaku yang langsung panik dan memutuskan panggilanku dengan SunJae.

"Jangan mengalihkan pembicaraan." Ledek HyunJoo dengan mata mengerling nakal. "Ini pertama kalinya aku lihat kau dekat dengan seseorang di luar pekerjaan. Aku kira kau akan menjadi wanita independen seumur hidup, tapi justru kau terlihat lebih berseri-seri akhir-akhir ini."

Benarkah?

Rasanya canggung membicarakan seseorang yang bahkan tidak aku kenal baik dengan orang teman kantorku. Aku dan SunJae tidak memiliki hubungan yang spesial, tapi aku sebut apa dua ciuman yang dilakukan SunJae tempo hari?

Oh, itu bukan ciuman, hanya kecupan ringan. Hal seperti itu tidak bisa disebut ciuman, hanya bibir yang saling bersentuhan, dan tidak ada makna mendalam. Aku merasa lebih tenang ketika berpikir seperti itu.

Ya, SunJae memang bukan pacarku, hanya HyunJoo saja yang berasumsi seperti itu.

"Aku masih berusaha mengenalnya, kami belum sampai tahap itu," jelasku cepat.

"Kenapa tidak kau buat resmi saja hubungan kalian?" HyunJoo lagi-lagi memberikan lirikan menggoda.

Aku terdiam dan melihat ke arah ponselku yang bergetar, menunjukkan notifikasi pesan masuk dari SunJae. Sekilas pandang aku bisa melihat pesannya yang marah karena aku tiba-tiba menghentikan obrolan tanpa basa basi sama sekali.

"Aku tidak punya waktu untuk itu," tandasku cepat, merasakan hatiku yang mendadak gelap.

Sudah waktunya aku menghentikan permainan ini, tidak ada gunanya meladeni SunJae. Aku tidak ingin memberi harapan kosong, seolah aku memberinya kesempatan untuk lebih dekat padaku, sementara aku tidak berniat menerimanya.

Aku mengabaikan pesan beruntun yang dikirim SunJae.

Menjelang jam 2 siang aku merasakan kepalaku berdenyut sakit luar biasa, memeriksa laporan dan menyiapkan presentasi bersamaan membuat migrainku kambuh sepertinya. Berkali-kali aku memijat sisi kanan kepalaku. Aku butuh kopi sebagai pertolongan pertama.

Kuraih ponselku hendak memeriksa layanan pesan antar kopi langgananku, biasanya ada diskon dadakan setelah jam makan siang, tapi kemudian ada pesan masuk dari SunJae.

Kau bahkan tidak membaca pesanku!

Aku merasa lelah.

Di antara kesibukanku yang tersita di pekerjaan, aku masih harus meladeni pesan-pesan juga obrolan panjang dari SunJae. Ini buruk, semua hanya akan memecah konsentrasiku. Bagaimana jika aku mengacaukan pekerjaanku? Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.

Aku bukan tipikal orang yang bisa berkonsentrasi dengan otak bercabang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dalam satu waktu.

"Permisi! Ada Im Sol bagian Perencanaan?"

Kepalaku terjulur melihat dari batas kubikalku, mendapati seorang pria usia 20-an dengan seragam layanan pesan antar.

"Itu orangnya!" TaeSung yang duduk dekat di pintu masuk ruangan menunjuk ke arahku tanpa ragu lagi.

"Ada kiriman kopi dari Ryu SunJae."

Aku sontak terlonjak dari kursiku dan dengan cepat wajahku terasa panas karena si kurir seperti memberi pengumuman kepada seluruh penghuni ruangan. Aku mencoba menahan malu dan mendekati sang kurir, menerima satu cup kopi dari café langgananku, dan detik kemudian kurir kembali lagi membawa sebuah box.

"Itu apa lagi?" aku tidak sanggup lagi menahan malu lebih dari ini kalau SunJae memberi bawaan lain.

"Oh, Ryu SunJae juga mengirimkan kopi untuk Tim Perencanaan, dan berpesan khusus untuk Im Sol harus dikirim terpisah, Ice Americano with two shot espresso. Lalu pesannya untuk Tim Perencanaan, 'Tolong titip Im Sol ya, ingatkan dia untuk makan tepat waktu, dan jangan lupa istirahat'."

Langsung terdengar teriak ruih rendah dari seluruh tim perencanaan, yang anehnya saat ini seluruh formasinya lengkap. Dari tepuk tangan, siulan mengesalkan TaeSung sampai seruan HyunJoo yang sangat ramai membuatku ingin menggali lubang dan menyembunyikan diri.

"Cie cie … Im Sol akhirnya punya tambatan hati. Terima kasih lho kopinya! Bilang pacarmu, biar sering-sering traktir ya, Nona Im Sol!" Manager Jeong berteriak sambil bertepuk tangan.

Ya Tuhan ….

Kenapa SunJae selalu punya acara untuk mempermalukanku?!

Di saat aku merasa sudah sangat kikuk dan malu, dia membuat semua lebih keruh lagi.

"Dia bahkan tahu kopi kesukaan Im Sol," celetuk HyunJoo sambil senyum-senyum meledek.

Wajahku panas bukan main, sampai mendidih rasanya pipiku.

Tapi ada benarnya juga! Bagaimana bisa SunJae tahu kopi kesukaanku?

Apa aku memberitahunya saat mabuk? Kami bahkan tidak pernah minum kopi bersama.

Aku langsung menyambar ponselku dan memborbardir SunJae dengan pesan-pesan panjang yang berisi protesan karena aksinya benar-benar membuatku malu. Aku tidak bisa menggambarkan betapa hebohnya ruangan saat ini karena ulahnya. Tapi dari sekian banyak pesan yang aku kirim, dia hanya menjawabnya dengan emoticon tertawa atau pipi merona.

Aku senang, akhirnya kau membalas pesanku.

Hanya itu isi jawabannya pesannya setelah mengirim begitu banyak emoticon bergambar hati.

Arghh! Dia kerasukan roh remaja kasmaran atau apa sih?! Kelakuannya lebih mirip anak SMA dilanda cinta buta. Bahkan sampai aku dewasa seperti ini, belum pernah menemui seseorang yang kekanakan seperti ini.

.

.

.

.

Seoul, 31 Desember 2023

Suhu mencapai minus 8 derajat. Udara dingin mengigit kulit hingga memakai jaket berlapis-lapispun aku masih merasakan dingin. Sekalipun suhu minus, tidak ada tanda-tanda salju akan turun. Beberapa hari lalu salju sempat turun selama dua hari. Sementara hari ini matahari terlihat lebih cerah bersinar, tapi sekarang tenggorokanku terasa kering dan pipiku ikutan kaku.

Melihat ke ujung koridor yang sebagian tertutup dinding kaca, menunjukkan langit Seoul yang cerah dengan hiasan gemerlap lampu gedung-gedung pencakar langit.

Ini dimana?

Kenapa aku ada di sini?

Apa aku sudah tidak waras sampai membawa diriku ke sini?

Ya. Saat ini aku berdiri di depan pintu apartemen SunJae. Kalau yang pertama tanpa sengaja aku datang ke apartemennya karena mabuk, tapi sekarang aku sadar 100%, tidak mabuk sama sekali.

Lalu kenapa aku bisa sampai di sini?

"Sadar, Im Sol! Sadar!" aku memukul kepalaku sendiri berkali-kali.

Semua karena SunJae yang terus meneror dan memintaku menghabiskan waktu bersamanya di malam tahun baru. Dia menagih janjiku karena aku terlalu sibuk mengerjakan pekerjaan kantor hingga tidak punya waktu di akhir minggu untuk bertemu dengannya. Awalnya dia bilang akan menjemputku di rumah, dan meminta izin ibu dan kakakku, tapi aku langsung menolaknya mentah-mentah.

Bagaimana bisa aku membiarkan ibuku kena serangan jantung di malam tahun baru?!

Makanya aku bilang akan datang sendiri, tapi siapa sangka kalau dengan karakternya yang urakan dan kekanakan begitu, dia malah memilih rumahnya sebagai tempat untuk kami menghabiskan malam tahun baru.

Aku memaki, merutuk, menghujat, sampai menyerapah dalam hati karena tidak bisa menarik kata-kataku lagi. Jadilah aku sekarang berdiri di depan pintu apartemennya, menimbang kesempatanku untuk kabur, dan mencari beberapa alternative alasan untuk menghindarinya.

"Im Sol!" Terdengar suara SunJae yang berteriak kegirangan dari balik pintu, dan detik berikutnya pintu apartemen menjeblak terbuka, reflek aku mengambil satu langkah mundur sambil memegangi tali tas selempang di dadaku.

"Auh … Im Sol pakai hoodie warna pink! Imutnya!" SunJae menangkup kedua pipiku dan menggoyangkan kepalaku sampai pandanganku ikut kunang-kunang.

"Le-lepas!" protesku seraya mencengkram tangannya agar turun, tapi dia malah membeku dan menatapku lurus. Wajah cerahnya berubah jadi serius dan menyeramkan.

Kenapa?

Kenapa dia terlihat angker begitu? Tiba-tiba pula!

"Aku bilang kau harus pakai baju hangat yang aku kirimkan kemarin, lalu kenapa kau malah pakai hoodie tipis di udara sedingin ini?" geram SunJae dengan mata memicing tajam, ada ancaman mematikan dalam suaranya.

Bagaimana aku harus jawab? Baju yang dia kirimkan lupa aku bereskan dan ibuku mengira itu hadiah untuk keponakanku yang akan ulang tahun dua hari lagi, dan aku tidak sampai hati merusak kebahagiaannya.

"Ja-wab a-ku, Im Sol!" gumam SunJae dengan tubuh semakin dekat menaungiku. Tubuhku reflek landai ke belakang sangking takutnya.

"I-ibuku mengira itu hadiah untuk ke-keponakanku yang akan ulang tahun, dan a-aku tidak sengaja mengiyakannya." aku tergagap sambil berusaha menjaga suaraku agar tidak terlalu gemetar.

Lama SunJae terdiam dengan mata menatap tajam ke arahku. Bagai anak rusa yang ketakutan diintai sang pemburu, aku terdiam dan merenggut tali tasku erat-erat, menunggu reaksi lainnya yang mungkin akan jauh lebih menyeramkan dari ini.

Lama kami saling tatap, sorot mata SunJae seperti menyedot seluruh perhatianku hingga aku sendiri tidak mampu memalingkan pandangan. Emosi yang menyala-nyala di matanya perlahan padam.

"Ah … kau membuatku semakin sayang padamu."

Reaksi SunJae benar-benar di luar dugaan!

Bukannya marah, dia malah memelukku sekuat tenaga, dan dengan tubuh tinggi besarnya, masih dengan posisi yang sama dia membawaku masuk ke apartemennya. Dengan kakiku melayang di udara dan tubuhku dikunci tak berkutik dalam dekapan SunJae, aku mengingat hal ini dia lakukan juga ketika aku mabuk di depan apotek.

"Aku tidak marah padamu. Aku hanya tidak suka kau kedinginan, pipimu sampai sedingin es. Bagaimana kalau kau kena flu? Kalau begitu, nanti aku akan belikan baju hangat lagi untukmu." Bisik SunJae seraya mendaratkanku lagi ke lantai, mengisyaratkanku untuk melepaskan sepatu.

"Ti-tidak usah!"

SunJae langsung melotot, membuatku tidak bisa membantahnya lagi. Mulutku langsung terkatup rapat dan bibirku ikut mengkerut kesal, menahan emosi yang tidak bisa aku luapkan. Benar saja, SunJae tersenyum puas melihat raut wajahku.

Apartemennya terasa hangat, terasa sangat nyaman. Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikan apartemennya, tapi dilihat dengan seksama, apartemen ini terbilang kelas menengah, memang tidak sampai mewah. Tetap saja aku bertanya-tanya, seberapa besar gaji perawat rumah sakit sampai bisa membayar angsuran leasing apartemen bagus begini?

"Aku sudah menyiapkan makan malam, kau mau makan dulu?" SunJae sudah berdiri di meja makan, dan membuka tutup mangkuk keramik, yang ketika dibuka mengeluarkan uap panas.

"Kau masih sempat masak? Memangnya hari ini kau tidak ada jadwal?" tanyaku seraya mendekatinya, memeriksa isi meja makan yang mungil terlihat sempit dan penuh segala macam lauk yang berada di sana.

"Aku ambil cuti, dan kebetulan tidak banyak pasien," jawabnya cepat.

Ada telur gulung, sup ayam yang mengeluarkan bau rempah kuat, tumis brokoli, acar lobak dan ikan goreng. Agak tidak masuk akal dalam benakku kalau orang setampan SunJae benar-benar pandai memasak.

Tidak adil! Pesona apalagi yang dibutuhkannya dengan tubuh, wajah dan pekerjaan sebagus itu? Masih perlu ditambah keahlian memasak? Dia terlalu jauh di atas rata-rata.

Sangat tidak nyata, bagai karakter di manhwa atau drama yang hidup di dunia nyata.

Dia bahkan bisa ngambil cuti di malam tahun baru, bersantai di rumah dan memasak.

"Aku harap akan segera tiba waktunya aku bisa santai," gumamku tanpa sadar.

"Bukankah sekarang waktunya kau bersantai denganku?" SunJae tersenyum sambil menarik kursi makan, memintaku segera duduk penuh antusias. Senyum di wajahnya tidak juga luntur.

Kami makan malam sambil sesekali mengobrol ringan membahas pekerjaan yang sama sekali tidak nyambung. Aku sendiri heran, setelah hampir setiap hari aku mengobrol dengannya, ternyata masih ada hal lain bisa kami jadikan bahan diskusi.

Tidak lupa aku juga mengomplainnya yang berani mengirimkan kopi ke seluruh timku, membuatku malu setengah mati. Tapi dia malah terkekeh mendengar omelanku.

Selesai makan kami menonton film sambil meminum bir rendah alkohol yang sengaja SunJae beli untukku. Sejak aku bilang tidak akan menyentuh alcohol, dia tidak pernah sekalipun menawarkan minum. Tapi hari ini dia membeli yang rencah alcohol, dan herannya lagi, dia membeli sampai satu kardus.

Aku geleng-geleng sampai bingung, dan dengan entengnya dia bilang bisa aku bawa pulang kalau tidak habis.

"Kenapa harus film Train To Busan?" tanyaku skeptis saat film mulai berjalan 10 menit.

"Karena aku belum sempat nonton," jawab SunJae santai sambil memeluk bantal sofa erat-erat.

Melihat tingkahnya aku bisa mengenali ketakutan yang dia coba tutupi. Tubuhnya seperti tersengat listrik setiap kali zombie muncul tiba-tiba, dia akan berjengit kaget dan melirikku, memeriksa apakah aku menyadari reaksinya. Aku pura-pura fokus melihat layar tv ukuran 43 inch di depanku, padahal dalam hati aku menikmati SunJae yang selalu kaget-kagetan. Dia terlihat lucu.

"Woah, awas itu di belakang!" SunJae lagi-lagi berteriak histeris.

"Yah digigit, yah berubah, berubah!"

Aku meneguk isi kaleng bir sambil menahan tawa.

"Im Sol, dia mau lompat dari kereta!" SunJae menarik-narik ujung lengan hoodieku, alhasil isi kaleng tumpah ke baju dan pangkuanku.

"Kau-!" aku bahkan tidak bisa mengeluarkan umpatan di ujung lidahku, kesal bukan main.

"Ops!" SunJae menekan tombol pause di remote tv yang tergeletak di meja.

"Kalau kau takut nonton film begini kenapa masih ditonton?! Kau ini menyebalkan sekali!" seruku dengan suara tinggi, menyuarakan frustasi yang aku rasakan karena tingkah konyolnya.

"Aku ingin menontonnya karena ada kau, aku jadi tidak terlalu takut. Maaf bajumu jadi basah, sebentar aku ambilkan baju ganti."

SunJae langsung menghilang, seperti sekelebatan bayangan dia tahu-tahu sudah kembali membawa sebuah baju rajutan berwarna kuning cerah. Tanganku membentangkan baju di hadapanku. Berapa kalipun dilihat baju ini sama dengan ukuran tubuhku.

Bagaimana bisa dia punya baju sesuai ukuranku?

Aku meliriknya.

"Aku sengaja beli beberapa baju untukmu, persiapan saja!" jelas SunJae yang menjawab pertanyaanku yang tak terucap.

"Apa yang kau pikirkan? Menyiapkan baju wanita padahal kau tinggal sendirian! Kau ini memang aneh!" gerutuku seraya bangun dari sofa.

"Kau mau kemana?" tanya SunJae seraya menghadangku.

"Ke kamar, ganti baju!" jawabku bingung.

"Lepas di sini saja, aku mau langsung cuci hoodie-mu."

Mataku terbelalak kaget.

Apakah dia cukup waras?! Kenapa dia memintaku membuka baju di depannya?

"Aku sudah melihat semuanya, kau tidak usah malu," kata SunJae seraya menarik ujung hoodieku ke dada, dan seperti anak kecil yang dipaksa ibunya ganti baju.

Aku terbengong, dan saat otakku bisa memproses, hoodieku sudah bertandang di leher dan SunJae menyuruhku mengangkat tangan agar bisa melepaskannya dengan sempurna.

"Aku tahu kau sering melihat badan pasien, tapi apa kau tidak berpikir aku juga bisa malu?!" protesku dengan suara teredam hoodie.

SunJae tertawa dan tidak menanggapi ocehanku, dia malah mengangkat kedua tanganku ke atas dan dalam sekejap hoodieku sudah tak lagi menempel di badan, memperlihatkan bagian atas tubuhku yang tertutup long john berwarna hitam. Aku bisa menangkap kekecewaan di wajah SunJae.

"Kenapa wajahmu begitu? Kau berharap aku telanjang di depanmu?!" gertakku seraya melipat tangan di dada.

"Kau tidak seru! Mana ada perempuan yang pakai baju berlapis-lapis begitu saat menghabiskan malam tahun baru bersama pacarnya!" cibir SunJae begitu.

"Siapa pacarku? Dimana? Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Aku tidak ingat punya pac-"

"Aku! Aku pacarmu!"

Aku mengerutkan kedua alis bingung. Sejak kapan kami resmi berpacaran?! Jangan bilang otakku kembali error dan tak mampu menyimpan memori sekalipun sedang tidak mabuk.

"Kalau bukan pacar, lalu aku ini apa?!" SunJae kembali menyerangku.

Masih tidak bisa menalarkan kata-katanya, aku menekan kedua sisi kepalaku dengan tangan, ada yang salah dengan frekuensi di otak SunJae.

"Aku pacarmu, titik!" SunJae menarik tanganku dan saat tubuhku menabraknya, dia menyambar bibirku, mengecupku cepat sebelum kabur sambil memeluk hoodieku, menghilang masuk ke kamar mandi.

"Hah?! Woah! Kau sudah tidak waras! Apa-apaan barusan itu?!" aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, dan merasakan desiran aneh dalam dadaku. Hatiku terasa hangat sementara jantungku berdegub luar biasa cepat. Sentuhan bibir SunJae terasa sangat nyata, ini bukan mimpi. Berarti ini sudah yang ketiga kalinya dia menciumku tanpa izin.

Sadar, Im Sol! Sadar!

Bagaimana bisa kau begitu lemah diserang berkali-kali, jatuh ke lubang yang sama dan membiarkannya melakukan apa yang dia suka?!

Aku perlu menyadarkan diri! Kutepuk kedua pipiku keras-keras sambil mengerjap berkali-kali.

Buru-buru aku mengenakan baju yang diberikan SunJae, dan duduk di sofa, kembali menyesap birku dan melihat layar tv yang posisi diam sambil menunjukkan wajah anak kecil yang sedang menangis.

Train To Busan adalah film kesukaanku, aku sudah menontonnya puluhan kali. Sekalipun bergenre horror, tapi aku akan menangis menontonnya. Kasih sayang sang ayah pada sang anak selalu menghangatkan hatiku, di saatku merasa ingin menyerah aku pasti mengingat perjuangan sang ayah dalam film itu. Seorang manusia tidak boleh menyerah dan harus terus berjuang sekalipun pada akhirnya mengorbankan diri sendiri demi orang yang disayang.

Tubuhku bersandar pada sofa, dan mataku reflek terpejam, mengingat bagaimana ibuku berpesan padaku. Bahwa aku harus bisa menjalani hidup seperti yang aku inginkan. Berkali-kali ibu minta maaf padaku di setiap ulang tahunku. Mengatakan tidak bisa memberi hadiah, hanya bisa mendo'akan agar Tuhan selalu membantuku, memudahkan setiap langkah dalam hidupku. Meminta maaf karena telah membuatku berjuang demi keluarga dan merawat kakakku.

Lahir dalam keluarga yang kurang mampu, telah mengajarkanku banyak hal. Toleransi, kesabaran, hingga menahan emosi, dan memaksa perjuanganku hingga ujung jurang. Tidak ada yang tidak mungkin jika aku berusaha.

Ibu juga sudah berjuang sedemikian rupa demi aku dan kakakku, Im Geum. Ibu yang sering membelai kepalaku, mencurahkan kasih sayangnya tanpa kata selalu berpesan bahwa kebahagiaan bukan sekedar diukur dari materi, jadi aku tidak boleh terobsesi dengan pekerjaan dan uang.

Im Geum, sosok kakak laki-kali yang biasanya menjadi tempatku bersandar, mendadak tak berdaya 10 tahun lalu. Tidak jarang aku mendengarnya menangis di kamar, melirihkan maaf dan penyesalan yang mendalam karena merasa bersalah telah menjadi beban keluarga.

Seperti apapun kondisinya, bagiku mereka adalah segalanya.

Keduanya selalu tersenyum hangat membuatku selalu memeluk keduanya setiap kali aku pulang ke rumah.

Waktu menunjukkan jam 11 malam, dan tidak tampak SunJae akan muncul, sementara mataku terasa berat. Mungkin dia masih mencuci bajuku, tidak ada salahnya terpejam sebentar. Aku bersandar pada sofa dan memeluk bantal di dada, membiarkan alam bawah sadarku menggelap perlahan.

Semua terasa begitu ringan dan tenang.

Kapan terakhir kali aku merasa seperti ini?

Sekelilingku terasa nyaman dan hangat. Tidak ada lagi telepon atau pesan-pesan yang masuk menanyakan pekerjaan, tidak ada ocehan manajer yang menanyakan target, customer yang marah-marah, tidak ada lagi suara dengung orang mengobrol, hiruk pikuk kesibukan jalan, suara klakson yang selalu terdengar setiap kali aku ada dinas keluar kantor.

Dunia mendadak jadi bersahabat denganku.

Belaian hangat di puncak kepalaku terasa begitu menenangkan, meringankan keresahan dalam hatiku. Hangat dan menyenangkan. Aku menyukainya dan ingin berada dalam waktu yang lama menikmati ini semua. Lelah yang tidak aku hiraukan selama ini bukan berarti aku tidak merasakannya sama sekali, hanya saja aku selalu menempatkan diriku di sisi terjauh dari putus asa. Belum waktunya bagiku untuk mundur, menyerah, apalagi putus asa.

Jika aku sakit, maka aku akan minum obat. Jika aku lapar aku akan makan. Jika aku lelah, istirahat sejenak dan kembali memacu diri. Semua adalah siklus rutin yang terbiasa aku jalani.

"Semua akan baik-baik saja."

Ada suara yang berbisik padaku.

Siapa?

"Kau tidak perlu merasa sendirian dan menyimpan semuanya dalam hati."

Aku tidak merasa sendirian, tapi aku memang harus berdiri tegak di atas kedua kakiku sendiri.

"Menangislah jika perlu menangis. Tertawa jika kau memang bahagia. Tidak salah menunjukkan pada dunia sisi lemahmu. Karena bukan berarti kau orang yang lemah. Kau selalu melakukan yang terbaik, dan sering kali melampaui batas kemampuanmu sendiri sampai sering sakit. Jangan sampai sakit, Im Sol. Kau mungkin tidak sadar, tapi ketika kau sakit ada orang lain yang ikut merasakannya. Ibumu, kakakmu, dan juga … aku."

Apa?!

Bagai dihempaskan dengan paksa dari alam bawah sadar, seketika mataku terbuka dan mendapati pemandangan layar tv yang menunjukkan wajah menyeramkan zombie dipenuhi darah, meraung dan berteriak sambil mengejar-ngejar mangsanya.

Butuh beberapa detik bagiku menyadari bahwa tv masih memutar film Train To Busan.

Beberapa detik berikutnya, aku menyadari diriku yang (ternyata) tengah menyandarkan kepala ke lengan SunJae. Tangan besar SunJae menggenggam tanganku di pangkuannya, sementara tangannya yang lain membelai sisi kepalaku terus menerus.

"Kenapa wajahmu terlihat sangat tenang melihat adegan mengerikan begitu?" tanyaku seraya menegakkan tubuh, berdehem pelan seraya mengangkat kepalaku dari sisi tubuhnya.

"Aku tidak pernah benar-benar takut. Aku pura-pura takut demi mencari perhatianmu."

"Kau-!" aku menggeram marah dan menepuk dadanya.

SunJae menangkup kedua sisi wajahku. Tangan besarnya bergerak begitu cepat hingga aku tidak sempat mempertahankan diri ketika dia membuatku terjatuh ke pangkuannya, dan mengunci lengannya di atas perutku, mencegahku berontak bangun.

Aku begitu canggung dengan posisi kepala sangat dekat dengan daerah 'pribadi' nya. Wajahku sontak panas membara, dan aku panik memalingkan wajah ke arah layar tv.

"Apa salahnya aku mencari perhatian wanita yang aku suka?"

SunJae bicara begitu dekat sambil berbisik tepat di atas wajahku. Napasnya yang bercampur dengan aroma bir terasa begitu nyata di permukaan kulitku.

"Tidak salah, tapi kau juga tahu aku tidak bisa menerimamu," jawabku tegas.

"Aku tidak akan menyerah. Jika aku harus menunggumu membuka pintu hati, aku akan menunggu. Tapi aku tidak tahu berapa lama aku bisa menunggu, sepertinya aku tidak sesabar yang aku kira. Aku akan membuatmu menyadari bahwa aku pilihan yang tepat untuk hatimu yang terlalu dingin."

Aku tidak bisa menolak sorot matanya yang tenang dan menyedot perhatian. Melihat binar penuh harap di mata SunJae, telah menghapus canggung yang menyerangku sampai beberapa detik.

Pria tampan ini seolah tengah meminta, mengiba agar aku berhenti membangun tembok pertahanan dan membiarkannya masuk.

"Bagaimana jika perasaanmu berubah karena aku tidak pernah bisa mengimbangimu?" bisikku pelan, berusaha membuatnya melihat kenyataan yang sangat mungkin terjadi.

Aku selalu ragu, ragu dengan kehidupanku yang tidak pernah berjalan mulus.

"Bagaimana jika kau hanya penasaran karena aku tidak pernah menerima perasaanmu dan kau akan merasa tidak tertantang lagi ketika sudah mendapatkan hatiku?" ucapku lagi.

Kedua alis SunJae berkerut.

"Bagaimana jika aku lebih memilih pekerjaanku dari pada hubunganku denganmu?"

Kali ini kedua ujung alis SunJae hampir bertemu, kerutan di dahinya begitu dalam, tapi tidak sedetikpun dia melepaskan pandangannya dariku.

"Aku hanya menginginkan kehidupan stabil dimana aku tidak harus mengkhawatirkan soal uang. Kehidupan dimana aku tidak perlu berpikir keras bagaimana harus menabung dari pundi-pundi yang setiap kali aku hitung tidak pernah bisa tersisa."

Kedua pupil mata SunJae membesar, dan aku menyadari bahwa aku sangat emosional saat ini. Tidak pernah sekalipun aku menunjukkan sisiku yang seperti ini pada orang lain. Aku juga tidak ingin terlihat seperti seorang wanita materialistis, tapi aku tidak ingin memberinya harapan kosong. Lebih baik memberikan kenyataan pahit dari pada berlarut-larut memberinya harapan palsu.

"Aku perempuan realistis yang hanya akan memikirkan sebuah hubungan jika hidupku sudah stabil. Jika aku harus mencari seorang pria, maka dia harus mampu menjamin kehidupanku dan seluruh keluargaku."

Raut wajah SunJae tidak berubah sama sekali, dia tetap menatapku seolah takut aku menghilang dari pandangannya.

"Ya, aku perempuan materialistis. Karena itu menjauhlah dariku, berhentilah sebelum aku benar-benar memanfaatkanmu."

Keheningan menyelimuti kami. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, tiap tarikan napas begitu berat, tiap detak jantung mengirim resah yang tidak aku mengerti.

SunJae tidak mengeluarkan satu katapun, hingga telapak tangannya menutupi kedua mataku dan hangat dari telapak tangannya kembali memberi sensasi aneh di hatiku.

"Sol-a...Kau tidak perlu bicara sekejam itu padaku. Apakah kau sengaja menjadi antagonis untuk menyingkirkanku dari hidupmu? Berhentilah, karena kata-katamu tidak sesuai dengan raut wajahmu."

Apa yang salah dengan raut wajahku?!

Apakah kata-kataku tidak bisa dia mengerti? Kenapa kepribadian SunJae begitu rumit dan tidak bisa mengerti penjelasan sederhana yang aku sampaikan?!

"Mulutmu berkata aku harus berhenti berharap, tapi wajahmu seperti orang yang sangat kelelahan dan membutuhkan tempat untuk bersandar."

Deg!

Jantungku berdetak keras berkali-kali hingga terasa akan memberontak keluar dari dadaku.

"Kemungkinan aku merasa bosan, perasaanku berubah, tidak bisa menerima sikap egoismu, semua hanya kekhawatiranmu karena kau membayangkan jika kita benar-benar bersama. Itu artinya tanpa kau sadari kau menerimaku, melihat masa depanmu bersamaku."

Serangan kedua.

SunJae berulang kali memborbardir tanpa memberiku ruang bertahan.

Aku tidak bisa membantahnya.

SunJae seperti sosok asing yang datang dalam hidupku, menerobos barikade pertahananku, dan aku akui bahwa menjalin hubungan dengannya berkali-kali terbersit dalam benakku. Tapi aku tetap tidak bisa menerimanya ketika hidupku sudah cukup sibuk dan rumit.

"Berhentilah berpikir terlalu rumit, Im Sol."

SunJae mengangkat tangannya, dan aku sontak menegakkan badan, terduduk kikuk di sampingnya. Pandanganku agak kabur tapi hatiku terasa begitu ringan dan terang.

SunJae tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak seluruhnya benar. Lama aku terduduk sambil menekuri pangkuanku, hingga perlahan jemariku kembali terlihat jelas dan layar tv menunjukkan barisan tulisan yang menunjukkan film telah berakhir.

"Tidak 'kah kau berpikir kemungkinan lain? Bagaimana jika kau benar-benar jatuh cinta padaku? Bagaimana jika keluargamu menerimaku? Bagaimana jika kau tidak perlu memilih antara pekerjaan dan hubungan ini? Bagaimana jika aku adalah pria yang benar-benar bisa membahagiakanmu?"

Aku terdiam mencerna setiap kata yang dituturkan SunJae. Dalam relung hatiku terasa getaran ringan yang menyusup ke bagian terdalam sanubariku.

Benar, aku tidak pernah berpikir seperti itu.

SunJae menyusupkan tangannya di pinggangku dan membawaku masuk ke pelukannya. Hangat dari tubuh besarnya menyelubungiku dengan sempurna, membuatku bersandar sepenuhnya.

"Menjalani hidup tanpa perlu banyak memikirkan kemungkinan adalah jawabanku bagimu, Sol-a. Kepalamu selalu dipenuhi pikiran-pikiran negatif yang berakibat buruk pada dirimu sendiri. Jika kau berjuang untuk keluargamu, bukankah akan lebih baik jika ada aku yang mendampingimu? Berjuang berdua akan jauh lebih baik dari pada berjuang sendirian. Hmm?" desis SunJae seraya membelai rambutku.

Bagaimana aku harus memberi reaksi? Kata-katanya terlalu jujur dan menghujam logikaku.

"Auh … Im Sol-ku." SunJae mempererat pelukannya, dan menggesekkan pipinya di puncak kepalaku, membuat desiran hangat di dadaku semakin kuat menyerang.

"Sudah waktunya kau memberi kelonggaran pada hidupmu. Berhentilah bersikap terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau bisa ubanan sebelum waktunya jika terus hidup seperti ini!" SunJae menepuk-nepuk punggungku pelan, seolah dirinya mengetahui gejolak dan perang batin yang aku rasakan saat ini.

Bagiku, duniaku selalu antara kanan dan kiri, benar atau salah, berjuang atau kalah.

 Ketika SunJae hadir, dia selalu memberikanku lampu peringatan dan mengingatkanku untuk rehat, meringankan beban yang aku rasakan dengan candaannya yang tidak terlalu lucu, mengalihkan tekanan yang aku rasakan dengan kata-kata gombalnya yang selalu membuatku bergidik merinding. Memperhatikanku dengan segala jenis paket yang diantarkan kurir.

Sekalipun aku mengenalnya dalam waktu singkat, dia memberikan begitu banyak hal yang tidak bisa aku lakukan untuk diriku sendiri.

"Jika gagal denganku, kau bisa memulainya lagi dengan yang lain. Aku tahu kau menyukai pria tinggi dan tampan, tapi aku tidak yakin kau akan menemukan pria lain yang lebih tampan dariku."

Aku ingin menahan tawaku, tapi rasa percaya diri seorang Ryu SunJae benar-benar di atas rata-rata. Akhirnya aku tertawa dan terdengar seperti dengusan aneh, tapi SunJae semakin mengeratkan pelukannya.

Sosoknya selalu memberi warna yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain. SunJae memberikanku pilihan, tapi juga membuatku tidak bisa memilih.

Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada pria sepertinya dalam hidupku. Seperti kejatuhan bulan di pangkuan, SunJae hadir begitu saja dalam hidupku. Ucapannya sangat realistis, dan mematahkan banyak prinsip yang selama ini aku pegang teguh.

Dia bahkan tidak keberatan aku menyukai pria tampan selain dirinya?

"Jadi kau tidak keberatan kalau aku menyukai pria lain yang lebih tampan darimu?" gumamku seraya membalas pelukannya.

SunJae terperanjat dan mendadak kaku saat tanganku bertandang di punggungnya. Tidak sampai benar-benar melingkar di punggungnya mengingat tanganku jauh lebih pendek dari tangannya, tapi sepertinya apa yang aku lakukan sangat mengejutkan baginya. Karena badannya mendadak seperti balok kayu, aku sampai khawatir dia lupa bernapas.

Sontak aku mengambil jarak demi bisa melihat wajahnya, dan benar saja. Matanya membulat sempurna dan tangannya bergerak cepat ke wajahku.

"A-apakah ini artinya 'iya'? Kau menerimaku?" SunJae tergagap dengan kedua tangan gemetar di sisi wajahku, dan aku hanya tersenyum melihat reaksinya yang anehnya, terlihat menggemaskan.

Biasanya aku yang selalu kelabakan setiap kali SunJae bertingkah, tapi sekarang malah kebalikannya.

"Jika kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu tadi," jawabku seraya menganggukkan kepala.

Senyum di wajah SunJae mengembang begitu lebar dalam gerakan lambat. Aku bisa melihat sudut-sudut bibirnya yang tertarik, lalu semakin lebar hingga lesung pipinya terlihat, kerut di sisi matanya terbentuk, melihatnya yang seperti ini membuatku tak pernah berhenti kagum dengan visualnya.

Tiba-tiba dia berhambur ke arahku dan membuatku terhempas ke sofa dalam dekapannya.

"Kenapa kau menjawabku dengan sangat rumit?!" protesnya seraya mengambil jarak demi bisa melihat wajahku.

"Bukankah kau bilang ingin mencoba mengerti diriku?" jawabku santai.

"Dasar kau ini!"

SunJae menurunkan wajahnya sambil tersenyum dan di saat yang sama aku menyadari bahwa aku benar-benar menerimanya. Ketika bibirnya menyapa bibirku, aku menjawabnya dengan sedikit membuka celah di antara bibirku, membiarkannya menciumku dengan sangat intens. Setiap kecupannya mengirim kebahagiaan dalam hatiku. Setiap sentuhannya meringankan beban yang aku rasakan. Semua bahasa tubuhnya membuang semua keresahan dalam hatiku.

Ciuman yang terasa lama dan hangat itu mengirim gelenyar aneh ke seluruh tubuhku, membuatku begitu sensitif pada setiap sentuhan SunJae. Bibirnya, tangannya, bahkan hingga tubuhnya yang menindihku terasa bagai api yang membara.

"Hah …. Aku tidak yakin bisa menahan diri," gumam SunJae di telingaku, napasnya terasa panas di daun telingaku, dan belum sempat aku menjawabnya dia memijat sisi luar telingaku, membuat desahan aneh lolos dari bibirku.

"Sol-a..."

SunJae menarikku naik hingga terduduk di pangkuannya dengan kedua kaki terbuka lebar. Posisi ini benar-benar sangat membuat sekujur tubuhku seperti mendidih.

Bukankah ini biasanya hanya terjadi di manhwa yang aku baca, tapi sekarang ….

"Aku mencintaimu," bisiknya dengan mata teduh dan dia menciumi leherku sebelum kembali ke bibirku, membuatku berkali-kali menahan napas dan panik tidak bisa mengimbanginya.

Aku tidak pernah mencium seseorang seintim ini.

"Im Sol … Im Sol … Im Sol ….Sol-a..." SunJae menyebut namaku berkali-kali seperti mantra. Menyihir seluruh diriku hingga menerimanya dengan tangan terbuka. Ada putus asa, rasa ingin memiliki, hingga ketidaksabaran dalam setiap bahasa tubuhnya. Seolah sejak sangat lama dia merindukanku menjawab perasaannya.

"Su-SunJae-ya, ti-tidak perlu buru-buru. Kau yang mengatakan padaku bahwa kita bisa melakukannya dengan perlahan," bisikku seraya menangkup wajah SunJae, mencegahnya yang hendak menghujani leherku dengan kecupan lain, dan aku membetulkan bajuku yang berkerut di sana sini.

"Apakah kita… tidak terlalu cepat?" bisikku merasa malu dan panas di pangkal perutku. Kilat di mata SunJae tiba-tiba padam, tapi aku menjawabnya lewat senyuman.

SunJae tampak kecewa, dan pandangannya turun dipenuhi aura kelam, tapi tangannya tetap melingkar kokoh di pinggangku, mencegahku lolos dari pangkuannya.

"Apakah aku harus menahan diri? Bagaimana bisa kau berhenti di tengah jalan? Kau sadis, kejam!" lagi-lagi SunJae merengek, bahu lebarnya sampai turun dan dia terlihat lucu.

"Aku ingin melakukannya dengan seseorang yang berstatus suamiku," jawabku malu-malu. Mungkin kata-kataku terdengar sangat naif, tapi aku tidak ingin memberikan malam pertamaku pada pria yang bahkan tidak berniat bertanggungjawab atas kebahagiaanku.

"Kalau begitu kita menikah besok! Ah, bukan! Bukan! Kita menikah sekarang! Siapa yang harus aku hubungi duluan? Ibumu? Kakakmu? Catatan Sipil?!" SunJae meracau penuh frustasi, matanya bergerak liar mencari ponselnya.

Aku tersenyum dan mengecup bibirnya cepat.

"Kau sendiri yang bilang aku bisa mencari pria lain yang sama tampannya denganmu, tapi belum ada satu jam, sekarang kau berubah jadi posesif seperti ini?" bisikku seraya mengalungkan kedua tanganku di lehernya. Aku memberikan senyum paling manja dan menggoda yang bisa aku tunjukkan, berharap SunJae akan mengerti keinginanku.

"Sol-a… kau benar-benar… hah… aku menyerah! Ya aku menyerah!" SunJae menunduk hingga dahinya bersandar di bahuku. Selama beberapa detik dia bertahan di posisi itu sambil mengatur napas, dan aku mengusap kepalanya berkali-kali.

"Jangan salah paham, aku sangat pandai mengendalikan diri, tapi setiap kali berhadapan denganmu aku berubah jadi bulldozer. Anehnya, seperti apapun kau memberiku batasan, terus menolak, aku tidak pernah menyerah, aku tidak bisa berhenti menyukaimu," gumam SunJae seraya menegakkan badan, dan wajah kembali berubah berseri-seri.

"Kau terlalu pandai menebar pesona. Cepat sekali kau mengganti kulit," gumamku dan kami saling bertukar tatap sambil tersenyum.

"Maksudmu?"

"Kadang kau terlihat seperti serigala, tapi saat merajuk seperti anak anjing."

"Aku bersumpah, aku hanya bisa melakukannya di depanmu."

"Benar kah?" aku menyangsikan ucapannya.

SunJae mengangguk cepat seiring senyumnya yang merekah.

Tanpa dikomando kami bibir kami memagut satu sama lain, mencari setiap kekosongan dan mengisinya sepenuh hati. Sentuhan SunJae di pipi dan punggungku terasa sangat nyaman, hampir-hampir membuang logikaku dan lepas kendali jika aku tidak mendorong dadanya untuk memberi jarak di antara kami.

"S-stop! Kau harus menahan diri atau aku pergi sekarang!"

"Argh …!" SunJae menggeram kesal sambil memelukku, dan aku bisa merasakan tubuhnya yang jauh lebih hangat dari sebelumnya, sementara aku berusaha menenangkan detak jantung yang tiada hentinya menghantam logika.

.

.

.

End

Next Chapter Side Story (SunJae's POV)

-:-:-:-06.06.2024 -:-:-:-

F15TYcreators' thoughts