webnovel

A Song of the Angels' Souls

Ketiga belas gadis rupawan itu mengaku sebagai bidadari dari dunia lain. Di bumi, masing-masing dari mereka akan dipersatukan dengan seorang pria yang ditunjuk sebagai pendamping. Bidadari-bidadari itu datang ke bumi bukan untuk memberi berkah, mencegah kehancuran, atau menjadi penuntun bagi umat manusia. Bukan. Misi utama mereka adalah membunuh satu sama lain. Mereka akan terus bertempur sampai hanya ada satu yang tersisa. Satu yang akan diangkat sebagai ratu di dunia asalnya. Sementara itu, pendampingnya akan mendapatkan hadiah yang tak terkira nilainya. Keinginan terbesarnya akan dikabulkan tanpa terkecuali. Ini bukan sekadar kontes saling membunuh, tetapi juga bentrokan antar ambisi, kepentingan, dan ideologi.

Gaasuja · Fantasy
Not enough ratings
169 Chs

Rival

Lois menyantap mie goreng spesialnya dengan gerak-gerik sedikit berlebihan, bahkan sampai terkesan sensual. Ketiga pemuda yang menemaninya cuma bisa melongo melihat dirinya.

"Panas, nih." Lois menurunkan restleting jaketnya, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Lidahnya menjilat sisa bumbu di bibirnya yang tebal itu. Kedua kelopak matanya sedikit diturunkan, memberikan kesan menggoda.

Satu pemuda mengusap wajahnya. Satunya lagi menelan ludah. Pemuda ketiga menganga semakin lebar. Lois suka sekali melihat ekspresi mereka. Ia senang menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Aku mendatangi kalian karena kesepian," desah Lois, memekarkan senyuman andalannya. "Aku ingin ditemani, tapi kenapa kalian malah diam begini?"

Satu pemuda cengegesan. Satunya lagi mengelap keringat. Yang akhirnya berbicara adalah pemuda ketiga, "Ehm .... Mbak ini kenapa sendirian? Ditinggal cowoknya, ya?"

Lois mencondongkan tubuhnya kepada pemuda ketiga, membuat belahan dadanya makin terlihat jelas. Pemuda itu langsung terlihat seperti sedikit megap-megap tanpa suara.

"Kenapa kamu berpikir kalau aku ini sudah punya kekasih ...." Perhatian Lois terhujam ke pintu kafe. Seorang pemuda kurus masuk sambil ditemani seorang wanita. Wanita itu berambut coklat tua, berkulit putih, dan wajahnya begitu dikenali Lois.

Ya, Lyra memasuki kafe bersama tuannya.

Rava langsung duduk di salah satu kursi, menghadap seorang pria lain yang sebelumnya sudah ada di situ. Lyra, berbicara sejenak kepada tuannya, tak langsung duduk dan malah pergi. Sepertinya, bidadari itu mau ke belakang.

Salah satu pemuda lain di meja Lois pun memberanikan diri bertanya. "Jadi, Mbak ini orang Indonesia atau dari luar? Kok, ngomongnya lancar banget begitu?"

"Kalau nggak lancar ngomongnya berarti stroke, dong?" timpal pemuda satunya, sedikit menjitak kepala temannya itu. "Maksud elo, kenapa bahasa Indonesia Mbak ini bisa fasih, kan?"

"Iya, maksud gue juga begitu."

Kembali mengembangkan senyum, Lois berdiri dan membungkuk, lagi-lagi memperlihatkan aset tubuhnya. "Terimakasih sudah menemani aku. Aku ada urusan lain. Bye."

Mengambil gelas minumannya, ia pun melambaikan tangan kepada para pemuda itu, meninggalkan mereka dan mendatangi Rava.

***

"Itu tadi pacar kamu kan, Rav?" tanya pria bertubuh super gemuk yang duduk di hadapan Rava. Wajahnya hampir tanpa ekspresi dan suaranya begitu datar.

Rava mengusap wajahnya, sedikit menarik napas. "Bukan, Rudi. Dia cuma temen. Harus berapa kali kubilang, sih?"

Pria yang dipanggil Rudi itu mencondongkan tubuhnya. Pandangannya mendadak tajam penuh selidik. "Bukan pacar, tapi kok tadi boncengnya sampe meluk kamu? Meluknya kenceng lagi. Udah kegep kayak gitu, kamu masih mau ngaku jomblo?"

"Dia ngeyel maunya begitu. Biar aman katanya," jawab Rava asal. Rava tak mungkin menerangkan bahwa demi bisa segera menyelamatkan dirinya kalau terjadi kecelakaan, Lyra menganggap pelukan itu penting. Lyra berniat menariknya sambil melompat jika terjadi hal yang tak diinginkan. "Udah, deh. Mending kita ngobrolin kerjaan, Rud. Jadi ...."

Rava tercekat hebat, pahanya merasakan sensasi yang kenyal, empuk, dan lembut. Ya, sama seperti ketika dirinya menggunakan pantat Kacia sebagai bantal secara tak sengaja. Dan yang membuatnya tak habis pikir, mengapa tiba-tiba ada tubuh wanita bohay yang begitu dekat dengannya?

Wanita berambut pirang dengan bibir agak tebal nan sensual itu menduduki sebelah paha Rava.

"Loh, kok berhenti? Lanjutkan saja ngobrolnya. Jangan pedulikan aku." Lois menyedot minumannya, lantas merangkul pundak Rava.

Lagi-lagi begini. Panas yang menyerang wajah kembali. Degup jantung yang merangkak naik lagi. Rava merasa, lama-lama dirinya bisa jadi gila kalau hal seperti ini terus terjadi.

Rudi memandang kejadian itu dengan pandangan dan ekspresi yang lagi-lagi kosong. Entah karena tak mengerti apa yang terjadi, memendam amarah karena dirinya tak seberuntung temannya itu, atau mungkin campuran keduanya.

Meski menjadi pusat perhatian pengunjung dan pegawai kafe, Lois tak peduli dan tetap menikmati susu kocok coklatnya.

Rava masih tak bisa berkata-kata ketika Lyra kembali dari kamar mandi. Otot wajah bidadari itu sedikit berkedut, nyaris merubah ekspresinya. ia bergegas mempercepat langkahnya.

"Kenapa kamu ada di sini, Lois?" serang Lyra, mendengus keras, terlihat mati-matian mempertahankan ekspresinya. "Lebih baik kamu pergi saja."

Mata Lois mengerjap-ngerjap. Ia menyedot minumannya sampai tandas. "Tidak ada yang melarang, kok. Lagipula, Rava kan bukan kekasihmu, kan? Tak masalah dong kalau aku sedikit bermain dengannya?"

Lois mempererat rangkulannya. Walaupun ukuran dada bidadari itu masih kalah dengan milik Lyra, Rava bisa merasakan bagian yang kenyal itu menekan ke tubuhnya, memicu wajahnya semakin memerah dan panas.

Dan Rudi masih saja ada di posisinya, memandang peristiwa absurd itu dengan wajah yang masih tanpa ekspresi.

Jalinan pembuluh darah mulai menonjol di leher Lyra. Tubuhnya pun sedikit bergetar. Otot wajahnya kembali berkedut. "Lebih baik kita selesaikan ini dengan bertarung, Lois."

"Kamu yakin?" Lois memajang senyum kemenangan.

Lyra menelan ludah. Kalau mereka bertarung di sini. Piv akan membekukan lingkungan sekitar, padahal jalanan di depan kafe cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Bisa-bisa terjadi runtutan kecelakaan yang akan banyak merenggut nyawa.

"Kalau begitu, ayo keluar. Kita cari tempat sepi," ajak Lyra dengan suara dingin.

Lois mengangkat bahu sambil mencibir. "Tidak mau. Aku masih merasa nyaman di sini. Kamu juga masih nyaman di sini kan, Rava?"

"Aku pulang dulu deh, Rav. Nanti aku kabari lagi. Sebenernya ini bisa diterangin lewat chat. Aku ngajak kamu ke sini soalnya udah sejak lama ibu kamu minta tolong ke aku buat ngajak kamu keluar. Aslinya kan susah banget ngajak kamu main. Makanya, waktu kamu nanya ada kerjaan nggak, aku ngajak kamu keluar sekalian." Masih berada di posisinya, Rudi menyerocos panjang dengan intonasi luar biasa cepat, kemudian bangkit begitu saja dari kursi.

"Tunggu, Rud!" Rava hendak bangkit menyusul temannya itu, tetapi pahanya yang satu lagi keburu diduduki Lyra. Jadi, sekarang kedua pahanya bisa merasakan sensasi itu.

Rava kembali tak bisa berkata-kata. Wajahnya seperti akan meledak saking panasnya.

"Per-gi." Suara Lyra penuh dengan penekanan.

"Wah, wah, padahal kita sudah lama tidak bertemu, tapi sambutan kamu kenapa tidak ramah begitu, Lyra? Aku jadi sedih. Kita kan saudara, kamu lupa, ya?" Lois kembali memajang senyumnya.

Lyra mendengus keras. "Ssudara apanya? Kamu bahkan tidak membantu aku melawan bidadari gila itu! Kamu malah melawan rekanku!"

"Yah, aku kan ingin memenangi pertarungan ini. Tapi, aku belum mau melawan kamu. Waktu itu, aku masih ingin melepas rindu dengan kamu. Melawan bidadari berbaju kuning itu juga sepertinya merepotkan," jawab Lois dengan nada asal.

Rava sudah tidak tahan lagi.

"Argggghhhh!!!" Rava mendorong keras dua bidadari itu. Namun, karena tenaga mereka berdua jauh di atasnya, usaha Rava sia-sia belaka. Tubuh dua bidadari itu tak bergeser sama sekali. Sekarang wajah Rava malah seperti orang yang sedang mengejan di kamar mandi. "Arrrrgggggggghhhhhh!!!"

Rava tak peduli orang-orang memerhatikan tingkah absurdnya itu. Yang penting, dirinya bisa lepas dari situasi yang bisa mengacaukan kesehatannya baik secara jasmani atau rohani ini.

"Aku tidak memercayaimu Lois. Kemarin, kamu jelas-jelas memanfaatkan kesempatan untuk bisa membunuh Ione. Kamu benar-benar ingin menjadi ratu." Nada bicara Lyra semakin tajam.

Lois terkekeh getir. "Tentu saja aku ingin jadi ratu demi keluargaku ...."

"Tidak, kamu menjadi ratu tanpa memikirkan keluargamu, kan? Kamu sebenarnya tidak peduli dengan kedua orangtuamu, kan? Kamu bilang sendiri, sedari dulu mereka selalu memanfaatkanmu untuk menaikkan citra mereka di depan publik. Kamu tak peduli kalau keluargamu itu hancur. Hal terpenting bagimu adalah menjadi pusat perhatian."

Ekspresi Lois menegas, tetapi itu cuma bertahan beberapa detik. Senyumnya kembali mengembang. "Aku tak menyangka. Ternyata, aku sudah begitu buruk di mata kamu."

"Aku mendengar kabar kalau kamu malah kabur waktu rumahmu diserang. Meski sudah punya kemampuan bertempur, kamu tidak ikut mempertahankannya. Melindungi tempat bernaungmu sendiri saja enggan. Kamu sama sekali tidak cocok menjadi ratu."

Rava menghentikan usahanya mendorong dua bidadari itu. Dia benar-benar tak sanggup melakukannya.

Lois bangkit dari paha Rava, sedikit menghela napas. "Kamu tidak akan percaya kalau kubilang kedua orangtuaku yang memaksaku kabur, kan?"

Tak menjawab, Lyra menajamkan pandangannya kepada Lois.

"Lyra, kakiku udah mulai kesemutan," keluh Rava dengan nada memohon.

Lyra buru-buru bangkit. Rona merah mulai menghiasi wajahnya. Lois pun sedikit terkekeh melihat hal itu.

Tiba-tiba saja, terdengar bunyi tabrakan beruntun. Rava langsung menatap jalanan, menjadi saksi kecelakaan-kecelakaan beruntun yang terjadi di sana. Dari motor yang terjatuh, sampai mobil yang nyelonong ke lahan parkir minimarket dan menyambar deretan motor.

Sementara itu, Lois dan Lyra mengedarkan pandangan. Semua pelayan dan pengunjung sudah mematung.

"Halo," sapa salah satu sosok Piv yang entah sejak kapan berdiri di meja. "Kebetulan sekali ada monster yang muncul di dekat sini."