webnovel

A Song of the Angels' Souls

Ketiga belas gadis rupawan itu mengaku sebagai bidadari dari dunia lain. Di bumi, masing-masing dari mereka akan dipersatukan dengan seorang pria yang ditunjuk sebagai pendamping. Bidadari-bidadari itu datang ke bumi bukan untuk memberi berkah, mencegah kehancuran, atau menjadi penuntun bagi umat manusia. Bukan. Misi utama mereka adalah membunuh satu sama lain. Mereka akan terus bertempur sampai hanya ada satu yang tersisa. Satu yang akan diangkat sebagai ratu di dunia asalnya. Sementara itu, pendampingnya akan mendapatkan hadiah yang tak terkira nilainya. Keinginan terbesarnya akan dikabulkan tanpa terkecuali. Ini bukan sekadar kontes saling membunuh, tetapi juga bentrokan antar ambisi, kepentingan, dan ideologi.

Gaasuja · Fantasy
Not enough ratings
169 Chs

Kegilaan

"Sebenarnya, keinginan Kakak ini apa sih?" tanya Stefan kepada sang saudara kandungnya. "Bukannya Kakak yang bilang sendiri. Kakak ini udah nggak mengharapkan apa-apa lagi. Walaupun perlakuan ayah kepada kita jauh dari ideal, Kakak senang-senang saja melanjutkan bisnisnya. Kakak juga sebentar lagi akan menikahi Kak Anggun. Apa yang kurang, Kak?"

Marcel menghela napas, masih mengawasi pertarungan Lois melawan Ione. "Kamu nggak perlu tahu. Itu bukan urusan kamu."

"Tentu saja itu urusanku!" Stefan mendatangi Marcel dan menarik kerah baju kakaknya itu. "Kalau Kakak berniat membunuh ...."

Belum juga selesai bicara, Stefan merasakan bogem mentah sang kakak. Stefan pun jatuh tersungkur sambil memegangi pipinya yang mulai melebam.

"Ingat, di sini kita musuh!" Marcel memencet salah satu tanda merah di lengannya. Matanya pun kembali tertuju kepada pertarungan.

"Argh! Stefan bangkit dan balas memukul wajah Marcel. Sang kakak pun terhuyung ke belakang. Sama seperti adiknya, wajah Marcel juga mulai dihiasi lebam.

"Kita ini bukan orang jahat, Kak! Kita .... Ugh!" Stefan terjungkal ke belakang begitu tendangan sang kakak mendarat di perutnya.

***

Begitu wujud Lois menjadi dua, Ione melompat mundur, langsung mengumpat keras, "Yang benar saja!"

Dua Lois itu langsung menyarangkan kombinasi tusukan kepada Ione. Ione sekarang lebih banyak bertahan daripada menyerang. Ia cuma bisa menangkisi serangan yang datang kepadanya.

Sementara itu, di sisi lain lapangan, Rava masih menunggu proses kontraknya dengan Kacia selesai. ia terus menengok kepada Lyra dan lengannya secara bergantian. Lyra benar-benar tak berdaya melawan Zita sendirian. Berkali-kali dia terkena hantaman ujung perisai Zita.

"Ugh!" Lebam biru langsung tercetak di lengan Lyra begitu Zita memukulnya. Ya, energi pelindung di tubuh Lyra sudah terkikis habis.

Rava makin salah tingkah. Gelembung cahaya yang melindungi dirinya dan Kacia juga perlahan memudar.

"Sekarang, Rava!" Tiba-tiba Kacia berdiri, sudah mengenakan baju tempur merah jambunya.

Kerlipan cahaya di tiga tanda baru Rava sudah berhenti. Ia pun langsung memencet salah satu tanda tersebut.

Kacia menembakkan satu anak panah, yang langsung berubah menjadi rangkaian pita di udara. Rangkaian pita itu pun menjerat Zita yang tengah melompat untuk menyerang Lyra. Tubuh Zita pun jatuh berdebam di lantai beton.

"Br*ngs*k!!!" Zita berontak, tetapi jeratan di tubuhnya justru makin kencang.

Rava berlari dan mendorong Marcel yang tengah memukuli Stefan di lantai. Rava lalu memapah Stefan yang babak belur untuk menjauhi sang kakak.

"Kamu nggak bakal bisa bertahan dengan kenaifanmu itu, Stefan!" seru Marcel. "Cerita superhero itu cuma dongeng!"

Sementara itu, Kacia tengah membidik Lois dari jauh. Begitu kembaran Lois lenyap, Kacia melepaskan anak panahnya.

Duar!

Tubuh Lois seketika terpelanting karena terkena ledakan panah Kacia.

"Kita kabur saja!" pekik Ione, memegangi telapak tangannya yang terluka.

"Tidak akan kubiarkan!!!" Zita berteriak bak orang kesetanan. "Bagas, aktifkan kekuatan dari bidadari bernama Alsie itu!"

Rava tercekat. Kalau kekuatan Alsie diambil-alih Zita, berarti Alsie sudah tewas dibunuh bidadari gila tersebut. Jadi, kalau Alsie akhirnya tetap mati, buat apa dirinya berkorban kalau begitu?

Sayangnya, Rava tak punya waktu untuk meratap. Perisai Zita mulai bergetar. Getaran itu semakin kencang, sebelum akhirnya perisai itu melayang, sama seperti senjata Alsie dulu. Dan tentu saja, karena Zita terjerat pita dengan senjatanya itu, tubuhnya pun ikut melayang dirinya.

Para bidadari cuma bisa memasang kuda-kuda, tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ahahahahaha!!!" Tubuh Zita tiba-tiba menghentak ke depan.

Zita terus tertawa-tawa dengan ekspresi gilanya, seolah tak peduli dengan tubuhnya yang melesat, menukik, dan berputar-putar di udara layaknya balon yang baru ditiup dan dilepaskan. Meski beberapa kali menabrak atau menyerempet bangunan, ia terus saja tertawa.

Korban pertama adalah Lyra, yang tersambar tubuh Zita. Selanjutnya, Rava merasakan seluruh badannya seperti dialiri listrik saat tubuh Zita lewat hanya beberapa senti di atas kepalanya

"Ahahahahahahaha!!!"

"Sepertinya, ini bakal merepotkan," keluh Lois, masih meringis kesakitan akibat ledakan panah Kacia. "Lebih baik kita kabur saja."

Marcel tak bisa membantah. Situasi seperti ini memang tidak menguntungkan. Dengan adanya tubuh Zita yang terbang liar seperti itu, Lois tidak leluasa bergerak, sehingga akan kesulitan melancarkan serangan mematikan kepada siapa pun targetnya. Lagipula, kalaupun Zita sudah mendarat, apakah Lois siap melawan bidadari gila itu dengan energi pelindung yang sudah berkurang dan kekuatan yang sudah digunakan sebagian?

"Kamu tidak mau membawa adikmu?" tanya Lois saat Marcel akan memencet tanda terakhir yang belum digunakan.

Marcel menggeleng. "Dia dan bidadarinya bisa menjaga diri."

Lois merangkul tangan Marcel. Begitu Marcel memencet tanda itu, keduanya pun lenyap begitu saja.

Beberapa meter dari sana, Lyra menyambar tubuh Rava untuk dibopong. Stefan pun sudah naik ke punggung Ione.

Zita masih terbang ke sana ke mari. "Ahahahaha!!!"

"Kacia bagaimana!?" pekik Rava begitu Lyra melompat.

"Tenang saja." Ione pun menyahut tubuh Kacia dan membawanya di pundak, kemudian menyusul Lyra.

"Aku masih bisa melompat, kok!" pekik Kacia.

Ione cengengesan. "Nanti tuan baru kamu marah kalau kamu disuruh melompat dengan luka-luka seperti ini."

"Dia mengejar kita!!!" Alih-alih menanggapi Ione, Kacia berteriak.

Mereka semua menengok ke belakang. Tubuh Zita memang sudah terbang mengejar mereka.

"Hiiiiiiiii!!!!" Rava menjerit ngeri melihat Zita yang terbang dengan posisi kepala di bawah dan melotot begitu lebar. Sangat lebar, sampai bola matanya seperti terlihat mau lepas dari tempatnya.

Lama-kelamaan, Zita semakin dekat dengan rombongan Rava. "Ahahahahahaha!!! Kalian mau ke mana!!? Aku masih mau bermain dengan kalian!!! AHAHAHAHAHA!!!"

"Rava, pencet tanda terakhir!" pinta Kacia, melawan suara angin. Setelah Rava melakukan perintahnya, Kacia menembakkan anak panah yang langsung berubah menjadi sulur-sulur pita yang menyambari tubuh Zita. Gerakan terbang Kacia pun jadi terhambat karena hal itu.

"Kalian tidak bisa menghentikanku!" Tepat setelah berteriak seperti itu, Zita melihat jeratan di tubunya lenyap. Perisainya jadi terbang sendirian, sementara tubuhnya menukik ke bawah. "Kyaaaaa!!!"

Brugggghhhhh!!!

Zita mendarat ke jalanan aspal dengan wajahnya. Masih menelungkup di sana, ia pun menjerit kesakitan, "Arrrrggghhhhh!!!"

Biadadari itu berusaha bangkit, tetapi kepalanya tak bisa dikompromi. Ia berkunang-kunang hebat gara-gara tadi terbang tak karuan.

"Bagaaaasssss!!! Di mana kamu!!!" Sadar kalau Bagas jelas tak bisa segera menyusul dirinya, Zita mengumpat keras, "B*ngs***********ttttt!!!"

Zita menendang seorang lelaki yang dibekukan Piv di dekatnya. Pria itu mental dan menabrak dinding sebuah rumah, tetapi pose dan ekspresinya masih sama saja, seperti sedang berjalan pada umumnya. Ya, dalam kondisi seperti itu, ketika Zita masih memakai baju tempur, Piv memang akan langsung membekukan orang-orang di sekitar.

Hanya ada satu yang tubuhnya tidak membeku selain Zita: seorang lelaki gempal yang kini terduduk di aspal dengan tubuh bergetar hebat.

Sempoyongan, Zita celingak-celinguk, sebelum akhirnya menemukan Fino. Mulut sang bidadari pun menganga sangat lebar layaknya orang sakaw. Tubuhnya agak membungkuk dan kepalanya sedikit dimiringkan.

"Tubuhmu tidak ikut beku, berarti kamu tuan, kan? Di mana bidadarimu? Beritahu aku," racaunya.

Fino menggeleng-geleng. Matanya mulai dilapisi cairan bening. Keringat dingin mulai merembes ke kausnya.

"Di mana bidadarimu!!? Aku masih ingin bermain!!!" Zita menghentakkan kaki dengan raut sintingnya yang mengerikan itu. "Jawab!!!"

Fino melindungi wajahnya dengan lengan. "Aku sudah bukan tuan lagi! Aku sudah memutuskan kontrakku!"

Seketika saja, ekspresi Zita berubah drastis. Kini dia terlihat tak bersemangat. Pandangannya kosong. Dengan langkah gontai, ia mendatangi pria gendut itu.

Tentu saja Fino ingin segera lari. Namun, ia tadi tersandung karena goncangan yang disebabkan jatuhnya Zita ke aspal. Kaki Fino jadi terkilir hebat.

Perlahan, tangan Zita mendekat ke kepala Fino.

"Jangan .... Aku mohon, jangan ...." Fino beringsut mundur, mulai menangis.

Dengan gerakan tiba-tiba bak elang yang menangkap mangsanya, Zita mencengkeram kepala Fino.

"Arggggh! Arggggghhhh!!! ARGGGGGGGHHHHHH!!!" Jeritan Fino semakin keras, seiring dengan cengkraman tangan Zita di kepalanya yang semakin kencang.

Krak .... Kraaak ....