"Kakak" panggil Leonna dengan binar bahagia saat Verrel baru saja memasuki rumahnya.
Verrel menghentikan langkahnya saat mata mereka terpaut, mata bulat Leonna yang berbinar menusuk ke mata Biru milik Verrel. Verrel mampu melihat binar bahagia di mata Leonna, binar harapan dan kebahagiaan. Dan Verrel akan menghancurkannya sebentar lagi. Sebenarnya Verrel sangat merindukan Leonna, tetapi ia sungguh tak bisa berbuat apapun. Tak ada yang memalingkan pandangan mereka satu sama lain, seakan tak ingin lepas sedikitpun. Hingga Verrel lebih dulu memalingkan pandangannya. "Kak, aku-"
"Kalian semua sedang berkumpul ternyata kebetulan sekali," ucap Verrel berusaha memasang wajah datar dan tenangnya.
"Kak aku mengundang mereka untuk mengatakan berita bagus." Leonna semakin antusias mengatakannya dan berdiri di dekat Verrel. Verrel menatap Leonna kembali dengan tatapan datarnya. Ia berharap dia bisa memeluk Leonna, dan menciumi seluruh wajah Leonna. Verrel ingin mengucapkan syukur dan mengungkapkan kebahagiaannya pada Leonna. Impian mereka akhirnya akan segera terpenuhi. "Kak, aku mau umumin ke semuanya kalau-,"
"Kalau aku Verrel Alexander Orlando menjatuhkan talakku pada Leonna Fidelia Adinata."
Deg
Verrel mengatakannya dalam satu tarikan nafas, dia masih berusaha memasang wajah datarnya walau hatinya hancur. Tak ada yang tau betapa hancurnya Verrel, berapa menganganya luka yang dia alami. Betapa hancurnya dia melihat wanitanya menangis karena ulahnya. Verrel bahkan tak perduli kalau sekarang dia akan mati di pukuli Dhika, Leon atau Vino. Dan Verrel berharap ini semua hanya mimpi. "K-kak," cicit Leonna tercekat.
Air matanya yang luruh membuat Verrel semakin teriris, lukanya seakan di siram air cuka. Membuatnya merasa mati dan tak bisa bernafas lagi. Ia menarik lengan Leonna menghadap Dhika dan Thalita. "Maafkan aku om, tetapi aku tidak bisa menjaga dan mengayomi putri om lagi. Aku kembalikan dia pada om." setelah mengatakan itu, Verrel berlalu pergi dengan mengusap air matanya yang tanpa terasa luruh membasahi pipi. "Kakak,"
"Papa, ini salah paham."
"Diam, kau sudah di talak dua."
Verrel masih mampu mendengar kata-kata mereka, ia memilih mengurung diri di dalam ruang kerjanya. Ia menunduk dan menangis dalam diam. 'Maafkan aku, Delia. Sungguh, kamu tidak usah memaafkanku, aku tak pantas mendapatkan maaf darimu, Delia.'
"Verrel!" amukan Daniel membuat Verrel mengusap matanya dan kembali memasang wajah datar dan dinginnya.
Daniel masuk ke dalam ruangan Verrel dan tanpa aba-aba langsung meninju rahang Verrel, membuat tubuhnya terhuyung. "Aku tidak mengajarkanmu untuk menjadi pria yang brengsek, dan tak bertanggung jawab."
Bug… Daniel mencengkram kerah baju Verrel dan meninju Verrel hingga Verrel tersungkur ke lantai. Berkali-kali Daniel melayangkan tinjunya, tetapi Verrel tak melawan sedikitpun. Dia membiarkan Daniel memukuli tubuhnya. Rasa sakit dari tinjuan Daniel tak sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan dan juga Leonna.
Setelah kedatangan Okta, Verrel berlalu menuju kamarnya dan menangis dalam diam di bawah guyuran air shower. Dinginnya air semakin menusuk ke tulang tubuhnya.
"Sedang apa kamu disini?" Verrel kaget melihat Leonna sudah berada di dalam kamarnya.
"Kakak, aku mau mengatakan sesuatu padamu. Aku tidak mau bercerai." isak Leonna. 'Aku juga tidak ingin bercerai denganmu, Delia. Ku mohon mengertilah, aku sangat mencintaimu. Dan ini langkah yang harus aku lewati. Tolong, tolong mengertilah situasinya sangat menyulitkan kita.' batin Verrel masih menatap Leonna.
Verrel, hati-hatilah rumahmu selalu di awasi. Sepertinya itu anak buah Caren, dan salah satu pembantumu ada yang dia bayar untuk memantaumu dan Leonna.
Verrel teringat ucapan Percy, dia tidak ingin keegoisannya membuat semua rencananya hancur dan Leonna akan berada dalam bahaya. "Kita sudah bercerai secara agama, jadi tolong keluar dari kamarku dan kita bertemu kembali di pengadilan." ucap Verrel beranjak menuju keluar kamarnya.
Leonna langsung memeluk punggung Verrel membuat Verrel menghentikan langkahnya. Dia ingin sekali berbalik dan merengkuh Leonna ke dalam dekapannya. Mengucapkan kata maaf yang tiada batas. Verrel sungguh tersiksa batinnya menjalankan peran ini. Peran yang di tolak hatinya, tetapi otaknya memerintahkan untuk melakukannya karena ini yang perlu dia lakukan untuk anak dan istrinya. "Kak aku tidak mau bercerai denganmu kak." isak Leonna. "A-aku hamil Kak, aku hamil. Bukankah ini impian kita punya dede bayi di perutku." isaknya membuat Verrel memejamkan matanya. Hatinya sangat sakit mendengar penuturan Leonna. 'Aku tau De, aku tau kita akan segera memiliki anak dan mencapai impian kita. Tetapi keadaannya saat ini tak semudah itu, Sayang. Tolong bersabarlah sebentar lagi. Tolong ampuni Kakak.'
"Ku mohon tarik kembali talak Kakak." isak Leonna. "Maafkan aku, aku mohon." Verrel melepas pelukan Leonna dan berbalik ke arahnya hingga tatapan mereka beradu satu sama lain.
"Apa kau yakin itu anakku?"
Deg...Leonna melotot sempurna mendengar penuturan Verrel. "K-ak,"
Verrel sudah tidak tahan lagi melihat tatapan menyakitkan Leonna. Pria macam apa dia, sampai ia tega mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Verrel ingin meminta maaf pada Leonna, dan memeluknya dengan erat. Tetapi ia tidak bisa, semakin dia memberi harapan pada Leonna, semakin banyak juga peluang Caren untuk membunuh istrinya. Verrel terpaksa bersikap kasar pada Leonna, agar Leonna berhenti mengejarnya dan itu jauh lebih baik dan aman. Ia rela kalau Leonna harus membencinya, yang penting istri dan anaknya itu dalam keadaan baik-baik saja.
"Jangan karena kamu hamil, aku akan membatalkan perceraian kita. Walaupun itu adalah anakku, kita tetap akan bercerai. Karena aku sudah tidak ingin bersama wanita pengkhianat sepertimu lagi. Kemarin saja kamu masih berani mendatangi apartement si brengsek itu, dan kalian ingin melakukannya lagi. Bukan?"
"Tidak Kak, aku bersumpah tidak melakukan apapun. Dia yang hampir memperkosaku." isak Leonna.
'Aku tau De, Makanya ku mohon berhentilah mengejarku. Jangan membuatku terus menyakitimu, pergilah dan nikmati kebahagiaanmu bersama teman-temanmu, De.' Verrel menatap Leonna dengan sendu.
"Dengarkan aku Leonna Fidelia Adinata, keputusanku sudah bulat dan kamu tetap akan hidup menjadi jandaku" ucapan tajam Verrel membuat Leonna mundur beberapa langkah. 'Semoga setelah ini kamu paham dan menjauh dariku. Ku mohon pergilah, dan berbahagialah.' Verrel segera membereskan pakaian Leonna, dia tak sanggup lagi menatap Leonna yang begitu terluka.
Setelahnya ia menarik pergelangan tangan Leonna menuju keluar rumah dengan sebelah tangan Verrel membawa tas berisi pakaian Leonna. Ia mendorong Leonna ke luar rumah, dan melempar tas milik Leonna. "Jangan muncul lagi di depanku." ia segera menutup pintu rumahnya. Verrel bersandar di balik pintu, ia mengeluarkan handphone miliknya seraya mengintip dari balik jendela. Leonna terlihat berjalan dengan tertatih dan membawa tas miliknya. "Hallo Datan, jemput dia di komplek perumahan sekarang juga. Dan hibur dia, ku mohon hibur dia bagaimanapun caranya. Temani dia, kalau dia memakiku kamu ikut saja memakiku. Dengarkan segala kegundahan hatinya, biarkan dia menangis di pelukanmu. Ku mohon buat dia kembali tersenyum, jangan biarkan dia terus menangis."
Setelah mengatakan itu, Verrel menutup telponnya dan meninju dinding di depannya. Dia menangis dalam diam. Hatinya sangat sakit, sangat sangat sakit dan hancur.
Verrel tengah mengerjakan sesuatu di computer miliknya, dan tak lama pintu ruangan terbuka menampakan Caren disana dengan senyumannya. "Hay sayang." Caren berlari mendekati Verrel membuat Verrel tersenyum.
"Kenapa tidak bilang kalau mau datang?" Tanya Verrel.
"Aku mau kasih kamu kejutan, oh iya aku bawakan jus Mangga untukmu, bukankah kamu menyukainya."
"Kamu perhatian sekali, sampai setiap hari membawakanku berbagai minuman." sindir Verrel yang sebenarnya tau apa isi minuman itu. Ia pernah meminumnya sedikit tetapi kepalanya terasa sakit, karena curiga ia mengeceknya ke rumah sakit dan ternyata minuman itu di campurkan dengan obat pelumpuhan. Verrel tidak menyangka Caren sejahat itu sampai ingin melumpuhkan dirinya agar bisa menuruti semua keinginannya.
Caren benar-benar ingin menjadikan Verrel bonekanya. Verrel lebih baik mati daripada harus menjadi bonekanya wanita ular ini. "Ayo minum."
Caren memaksa Verrel meminumnya, Verrel meminumnya sedikit dan sisanya tumpah ke jas Verrel membuat keduanya terpekik. "aku bisa minum sendiri." ucap Verrel geram dan segera beranjak menuju kamar mandi yang berada di ruangan kerjanya.
Verrel melepaskan jasnya yang kotor dan membersihkan kemejanya yang sedikit terkena. Ia kembali berjalan keluar toilet tetapi langkahnya terhenti saat mendengar pembicaraan seseorang. "Kamu benarkan obatnya itu? Kenapa Verrel masih belum menuruti segala kemauanku. Katamu, dia akan lumpuh dulu sebelum akhirnya memori di otaknya hilang." Caren terlihat emosi menghubungi seseorang. "Dia masih terlihat sehat sehat saja, apa kadarnya kurang tinggi?"
"....."
"Aku minta kamu mengirimkannya dengan kadar yang tinggi! wanita itu sedang hamil, dan aku takut dia akan semakin mengusik Verrel."
"...."
"Aku tunggu"
Caren menatap keluar jendela memunggungi Verrel yang sudah mengepal kuat di belakangnya. Verrel rasanya ingin mencekik Caren dan mendorongnya ke jendela sana. "Shitt! bocah itu datang lagi. Oke gue tau harus apa."
"Sayang,"
Verrel segera menahan Caren yang hendak beranjak pergi meninggalkan ruangannya. "aku ada keperluan dulu sebentar di lobby, Sayang." Caren hendak beranjak tetapi Verrel menahannya dan menarik Caren bersandar ke meja kebesarannya. Verrel duduk di kursi kebesarannya berhadapan dengan Caren.
Caren terlihat mengetik sesuatu di iphonenya membuat Verrel semakin curiga. 'Maafkan aku Leonna. Kau patut membenciku.' Verrel menarik Caren hingga duduk di atas pangkuannya dan mencium bibirnya. Caren awalnya begitu kaget tetapi akhirnya dia membalas ciuman Verrel karena ia begitu bahagia Verrel mau menciumnya. Tangan Verrel merebut iphone di tangan Caren tanpa Caren sadari karena terbuai oleh ciuman darinya.
Bocah itu sedang berjalan menuju ruangan Verrel, Kamu tau tugasmu bukan. Buat dia terjebak di lift atau dorong dia dari tangga darurat. Apapun caranya kau harus membunuhnya. Kamu pa-
Isi pesan itu belum selesai di ketik, Verrel semakin geram membacanya. Ujung mata Verrel juga melihat Leonna yang mengintip. 'Benci aku Leonna, aku tak patut di maafkan.' batinnya.
Sepeninggalan Leonna, Verrel langsung mendorong tubuh Caren dan memalingkan wajahnya. "Ahh sayang, aku sangat merindukan ciuman ini."
Caren begitu bahagia, Verrel hanya memasang senyuman kecilnya. Verrel menatap keluar jendela dimana hujan deras. Dia mengirim pesan ke Datan untuk menjemput Leonna sekarang juga karena takut terjadi sesuatu padanya. Tak lama, Datan mengatakan kalau dia sudah mengikuti Leonna sejak tadi. Dan saat ini Leonna bersama Vino. Verrel mampu bernafas lega, setidaknya Leonna sudah aman. Caren terlihat ingin kembali duduk di pangkuan Verrel tetapi Verrel mengatakan dia ada meeting penting dan meminta Caren untuk pergi. Dengan berat hati, Carenpun pergi meninggalkannya. Verrel mengusap bibirnya dengan kasar. Ia sungguh membenci dirinya dan juga wanita ular itu. Ia berjalan menuju ke kamar mandinya dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Verrel menatap kaca yang ada di dinding.
Prankkk
Ia meninju kaca di depannya dengan kencang membuat kaca itu retak dan darah merembes dari tangan Verrel yang mengepal kuat. 'aku tidak pantas kamu maafkan, aku sudah mengkhianatimu. Maafkan aku, Delia. Aku kembali menyakiti hatimu, aku kembali menghancurkan hatimu.' Ia menutup matanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Verrel terduduk di lantai dan menunduk, dia sungguh sangat hancur.
'Aku ikhlas mencintaimu, aku tak perduli kalau kamu tak menerimaku lagi, dan bahkan membenciku. Aku akan menerimanya. Bukankah cinta itu pilihan? Memilih diam di tempat atau berjalan, memilih bahagia atau menangis, memilih berkorban atau di korbankan. Aku memilih berkorban untuk keselamatan kalian walau pada akhirnya aku tak bisa bersamamu lagi. Aku ikhlas hanya akan tetap menjadi bayanganmu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, aku ingin melihat kamu tertawa lagi seperti biasanya. Berbahagialah Delia. Itu sudah sangat cukup untukku,'