webnovel

Chapter 29

Makin kesini, Mary menyadari jika intensitas pertemuannya dengan sahabatnya Noe makin menipis. Selain karena wanita itu ganti jurusan, mereka berjarak karena sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan insiden tentang Miru yang menculiknya, mereka belum sempat membahasnya. Setelah kejadian itu Noe seakan menghilang dari penglihatannya. Entah karena wanita itu memang sengaja menghindarinya, atau karena Noe memang ada urusan lain.

Kabar mengenai Miru juga beredar dengan cepat, Mary yakin Noe pasti tahu jika dalang dibalik penculikan itu adiknya sendiri. Karena terlalu fokus dengan hubungannya pada Justin, ia jadi sedikit melupakan Noe.

Hari ini ia sengaja menunggu wanita itu, ia ingin berbicara serius dengannya. Sepertinya semua yang sudah terjadi harus dibicarakan, karena Mary tidak mau timbul kesalahpahaman di antara mereka.

Mary saat ini sedang berada di depan kelas terakhir yang Noe masuki, sembari menunggu di depan kelas, ia iseng mengirim chat pada Justin. Akhir-akhir ini mereka secara aktif saling berbalas chat mengabarkan aktivitas masing-masing. Mereka benar-benar seperti abg yang baru saja dimabuk asmara.

Meski begitu mereka juga tidak berlebihan, hanya mengabarkan apa yang sudah dilakukan. Itu saja.

Kelasku sudah selesai, tak perlu datang menjemputku. Aku mau pulang bersama Noe.

Mary sudah selesai mengirimkan ketikkan chatannya. Ia mengabarkan pada Justin jika pria itu tidak perlu menjemputnya, karena ia ingin pulang bersama Noe. Ya, Justin memang tidak pernah absen mengantar jemputnya kuliah. Padahal pria itu sibuk dengan pekerjaannya, tapi ia selalu menyempatkan waktunya untuk yang satu itu.

Ia sudah melarang pria itu berkali-kali, namun Justin selalu menolak balik dan mengatakan jika dia hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja. Pria itu memang makin manis, sikapnya kadang membuat Mary terenyuh.

Mungkin karena Justin begitu serius memulai hubungannya dengannya, jadi dia juga ingin menunjukkan keseriusan dalam bersikap. Tapi kadang Mary merasa jika itu berlebihan, namun ia juga tahu jika itu hanya cara lain dari sikap pria itu untuk menunjukkannya padanya.

Dirinya bisa apa, asal tidak merugikan juga tidak apa-apa. Lagipula sejauh ini Justin juga selalu membuatnya nyaman. Pria itu bahkan memperlakukannya selayaknya seorang ratu.

Mary kembali ke dunia nyata setelah tenggelam dalam lamunannya. Memikirkan Justin membuat Mary lupa tujuan awalnya datang kemari. Bertepatan dengan itu kelas Noe sudah selesai, semua orang berhambur keluar tak terkecuali wanita itu. Ia segera menghampirinya.

"Noe!"

Merasa dipanggil, Noe menolehkannya ke sumber suara. Wanita itu nampak terkejut, namun kemudian ia berusaha menormalkan ekspresinya.

"Mary? Hai," sapanya.

Mary tersenyum dan langsung meraih tangan Noe. "Hei, kita sudah lama tidak bertemu. Bisakah kita pulang bersama?"

Noe nampak menarik tangannya dari tangan Mary. Wanita itu menggelengkan kepalanya sambil memaksakan senyumnya.

"Maaf Mary, lain kali saja ya? Aku ada urusan," jawabnya menolak ajakan Mary.

"Tapi Noe aku ingin--"

"Aku buru-buru, kita bisa berbicara lain kali, oke?" Noe bahkan tidak membiarkan Mary menyelesaikan ucapannya dan berlalu pergi. Entah urusan apa yang dimaksud wanita itu, tapi sepertinya Noe memang buru-buru sekali.

Meski merasa kecewa, Mary pun tidak punya pilihan. Mungkin belum waktunya ia berbicara serius dengan wanita itu. Sementara itu, tanpa Mary sadari seseorang sudah berdiri di sampingnya.

"Apakah kau tidak merasa penasaran kemana perginya dia?" tanyanya. Mary berjengit kaget.

"Astaga, kau membuatku kaget," ujar Mary sambil menyentuh dadanya. "Sejak kapan kau berdiri disana, Miru?"

Melihat reaksi Mary, Miru nampak mendengus. "Ah, berlebihan sekali. Begitu saja kaget."

"Hei, kau itu manusia bukan hantu, kan? Tiba-tiba muncul dan berdiri di samping, memang siapa yang tidak akan kaget?" protes Mary.

Miru mengibaskan tangannya ke udara berusaha untuk tidak mengabaikan omelan Mary. Wanita itu memiliki tujuan kenapa bisa tiba-tiba muncul.

"Lupakan. Disini aku hanya ingin menunjukkan sahabatmu itu yang sebenarnya bagaimana," katanya.

Sontak hal itu membuat Mary mengernyit. "Sahabat? Maksudmu Noe?"

"Bukan, iyalah dia. Kenapa kau bolot sekali, sih?" ujar Miru tidak sabaran. Mary ganti mendengus.

"Aku kan tidak tahu maksud dari pembicaraanmu, makanya aku bertanya baik-baik."

Kedua kalinya Miru mengibaskan tangannya ke udara. Ia tidak ingin beradu argumen dengan Mary lama-lama.

"Ikuti aku. Aku akan menunjukkan seperti apa wanita itu," katanya. Miru berjalan melalui Mary. Awalnya dia mengernyit dan menaruh curiga padanya, namun kemudian Mary mengikuti Miru dari belakang.

Tidak berapa lama mereka sampai pada tujuan. Mary mengernyitkan dahinya, mengapa wanita itu mengajaknya kemari?

Pantas saja Mary merasa heran, karena Miru membimbingnya ke perpustakaan. Wanita itu tidak mungkin mengajaknya belajar bersamakan? Itu seperti bukan Miru.

"Lihatlah kesana," ucap Miru menunjukkan Mary ke satu titik tak jauh dari posisi mereka berada. Seketika kedua matanya membulat.

"Bukankah itu Noe?" Ya, Mary melihat sahabatnya itu sedang berada di perpustakaan. Ternyata alasannya tadi karena ia ingin fokus belajar. Namun kemudian Mary menutup mulutnya tak percaya setelah melihat siapa yang datang menghampiri wanita itu.

"Yuta sensei?"

Mary langsung menoleh ke arah Miru. Wanita itu nampak tidak mengalihkan tatapannya dari kedua orang itu. Tatapannya menyorot lurus, namun Mary tahu jika ada kekecewaan di manik matanya.

"Miru--"

"Aku hanya ingin menginginkan Yuta seorang, tapi kenapa ada saja halangannya? Pertama, kau dan kedua, ane," ucap Miru dengan lirih. Baru kali ini Mary melihat sisi Miru yang lain. Dan entah mengapa hal itu membuatnya memandang Miru kasihan.

"Aku tidak pernah jatuh cinta sedalam ini pada seseorang. Aku sudah berusaha mengerahkan semuanya agar Yuta mau melihatku, tapi aku gagal," jelasnya. "Yuta menyukai dirimu, makanya aku marah. Aku rela melakukan apapun agar Yuta berhenti melihatmu, dan setelah semua itu usai, ane dengan seenaknya merebutnya lagi dariku!" tambahnya.

Mary tahu, ia tidak bisa membenarkan perbuatan yang sudah Miru lakukan. Tapi melihat bagaimana begitu berharapnya wanita itu, dan ada asa disana. Mary merasa jika Miru tidak seburuk itu, ia mungkin dikenal wanita pembuat ulah, tapi Mary menemukan titik lemah dari dalam wanita itu.

"Miru--"

"Jangan memandangku dengan tatapan seperti itu, aku membencinya. Aku tidak butuh belas kasihanmu," tegas Miru.

"Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja mungkin Noe tidak seperti itu dengan Yuta sensei."

Miru mendengus. "Semua sudah jelas, Mary. Apalagi yang kurang jelas? Ane menyukai Yuta, dan sepertinya Yuta juga mulai menyukai Ane."

Miru menjelaskan itu sambil menahan air matanya agar tidak jatuh, namun wanita itu buru-buru berbalik dan mengusap air matanya yang lolos keluar.

Mary yang melihat itu pun mengulurkan tangannya memberi selembar tisu padanya. Bahkan tangannya menepuk bahunya pelan berusaha menenangkannya.

"Aku tidak ingin membuatmu semakin bersedih, tapi kau tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukaimu," ucap Mary menasehatu. Hal itu membuat Miru menangis sesenggukan.

"Tapi aku sangat menyukainya, rasanya dadaku akan meledak setiap melihatnya. Aku tidak bisa mengalihkan mataku darinya, hanya Yuta yang ada di hatiku."

Mary menghela nafas. Jika begini, apa yang bisa dilakukan Mary? Ia tahu betapa putus asanya Miru pada Yuta, namun di sisi lain jika Noe dan Yuta menjadi dekat, masalahnya wanita itu adalah sahabatnya. Apa yang harus ia lakukan?