webnovel

A Boy and His Beloved Man(s)

[R17+/Dosa Ditanggung Pembaca] Menceritakan kisah seorang remaja penyuka sesama jenis bernama Reno, anak dari kampung yang merantau di Jakarta untuk melanjutkan studinya. Namun sosok yang muncul di kehidupannya semenjak merantau, malah membuatnya semakin yakin untuk tetap berada di jalan yang tak seharusnya itu. Sosok yang selalu membuatnya nyaman, sosok yang selalu peduli terhadapnya, sosok yang baginya sangat sempurna dari luar dalam. Ini adalah kisah kehidupan Reno bersama dengan sosok pria-pria idamannya.

Elphv · LGBT+
Not enough ratings
281 Chs

Kini semuanya jelas

"Reno kenging punapa Pak?" heran Ibu Rina ketika melihat sikap anaknya yang berubah.

"Ora ngarti Bu, mungkin kaene kekeselen" sahut Pak Jaka yang sama herannya dengan Ibu Rina.

Walau tidak bisa berbicara bahasa Jawa, namun Arsyad, Bayu, dan Danu masih bisa mengerti apa yang dibicarakan oleh Pak Jaka dan Ibu Rina. Karena ucapan tadi juga, suasana jadi sedikit canggung.

"A-anu Pak" ucap Arsyad sedikit ragu. "Bo-boleh kita ngobrol-ngobrol dulu? Nanti Arsyad jelasin kenapa Reno bersikap seperti itu" lanjutnya.

Pak Jaka menengok ke Arsyad. "Yowes, Bapak mau tau sebenarnya ada apa."

Mereka berlima duduk di lantai yang dialasi karpet tipis, tak lupa juga Ibu Rina menjamu mereka dengan minuman hangat dan juga nasi uduk buatannya. Setelah itu Arsyad mulai menjelaskan kenapa sikap Reno menjadi seperti itu kepada mereka bertiga, Pak Jaka dan Ibu Rina mendengarkan dengan baik apa yang dijelaskan oleh Arsyad.

Sementara itu, Reno sedang duduk di balkon kamarnya. Dirinya bersandar ke tembok dan kakinya sedang ia ayun-ayunkan karena keluar dari bagian tempatnya duduk, kepalanya menatap lurus pemandangan langit malam yang berada di atasnya. Remaja itu sedang bingung, entah mengapa perasaanya campur aduk saat ini.

Clek...

Suara pintu yang terbuka, membuat Reno menghela napasnya secara kasar. Ia benar-benar merasa jengkel, karena ia yakin sekali kalau yang datang adalah Arsyad.

"Abang nga-" Ucapan Reno terputus, ketika mengetahui yang datang itu adalah ibunya sendiri. Sementara Ibu Rina hanya tersenyum simpul, sambil keluar dari jendela dan duduk tepat di sebelah anak kesayangannya.

Dengan lembut, Ibu Rina menarik tubuh Reno dan mendekapnya erat. Setelah Arsyad bercerita tentang semuanya, Ibu Rina jadi tau kalau anaknya sedang ada sedikit masalah dengan ketiga tamu yang datang itu.

"Kamu keningapa Dek? Ana tamu sing anjog belih-moni disambut, koh malah ke kamar" tanya Ibu Rina dengan senyum.

Sama halnya dengan Arsyad, Bayu, dan Danu, Reno juga tidak bisa berbicara bahasa Jawa seperti ayah dan ibunya. Namun ia bisa mengerti apa yang dibicarakan ibunya, karena dari kecil, ibunya selalu mengajarkan bahasa Jawa kepadanya.

Reno tidak menjawab pertanyaan dari ibunya, karena ia bingung harus menjawab apa.

"Kamu kenapa marah sama mereka toh Dek? Sampai-sampai pergi dan ke sini tanpa kasih tau mereka juga? Mereka kalang kabut nyariin kamu lho Dek" tanya Ibu Rina lagi.

Tanpa Reno sadari, air matanya tiba-tiba mengalir keluar. Semua perasaannya benar-benar campur aduk, sampai-sampai ia tidak bisa menahan perasaannya lagi.

"Aku benci mereka Bu, aku benci mereka..." lirih Reno yang sudah memeluk erat tubuh ibunya.

Tatapan Ibu Rina sedikit berubah, namun wajahnya masih tersenyum tipis.

"Benci kenapa Dek? Apa mereka ada salah sama kamu?" tanya Ibu Rina sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Reno. "Bukannya Ibu sudah ngajari kamu untuk tidak membenci orang?"

Ucapan Ibu Rina sedikit menusuk dada Reno, dari nada suaranya saja Reno sudah tau kalau ibunya itu kecewa dengan dirinya. Reno memang tidak ingin membenci mereka, namun sikap merekalah yang memaksa Reno untuk membenci mereka semua.

Remaja itu mendongak, menatap ibunya dengan mata yang berair. "Kita dibilang yang nggak seharusnya Bu, kita dibilang kayak begitu. Kalo mereka mau menghina aku, aku masih bisa terima. Tapi kalo mereka udah hina keluarga aku, aku bener-bener nggak bisa terima Bu, aku bener-bener nggak terima kalau keluarga aku dihina kayak gitu."

Ibu Rina tersenyum, ketika mengetahui kalau anaknya hanya salah paham saja. Ia juga sudah mendengar kebenarannya dari Arsyad, jadinya ia bisa memaklumi kesalahpahaman dari anaknya.

"Yang hina siapa toh Dek? Nak Arsyad? Maksud Nak Arsyad tuh ndak seperti itu, kamu salah paham" ucap Ibu Rina. Ia menghembuskan napasnya, sebelum akhirnya berbicara kembali.

"Sekarang begini. Kamu tau kalau kamu sedang numpang di rumah orang, terus kenapa kamu baru pulang jam 11 malam lewat? Kalau sehari mungkin bisa dimaklumi, tapi ini sampai berhari-hari seperti itu terus. Siapa yang ndak marah kalau begitu?" jelas Ibu Rina.

Untuk beberapa saat Reno terdiam, memikirkan ada benarnya juga.

"Tapi Bang Arsyad nampar aku Bu, apa itu nggak berlebihan? Bapak sama Ibu aja nggak pernah main tangan sama aku, Bang Arsyad yang orang asing malah berani" protes Reno yang masih belum bisa menerima hinaan dan perlakuan dari Arsyad.

"Kalau itu memang agak berlebihan, tapi Nak Arsyad punya alasan kenapa dia sampai nampar kamu seperti itu. Tadi pun Nak Arsyad sudah minta maaf, dia nyesel karena ndak pikir-pikir dulu" jelas Ibu Rina lagi.

Lalu terlihat raut wajah wanita paruh baya itu berubah. "Orang asing? Siapa yang kamu bilang orang asing Dek?" tanya Ibu Rina dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Bang Arsyad, dia kan emang orang asing, sama kayak Mas Bayu. Kalo Pak Danu nggak, dia kan temennya Bapak" jawab Reno seadanya.

"Bang Aat yang selalu temenin kamu waktu kamu kecil, kamu bilang orang asing? Mas Babay yang selalu gendong kamu waktu kamu kecil, kamu bilang orang asing juga?" tanya Ibu Rina, ia tidak percaya dengan perkataan anaknya.

Seketika saja mata Reno benar-benar melebar, ia kaget dengan nama yang disebut oleh ibunya.

"Bang Aat?! Mas Babay?!" ucap Reno kaget. "Ma-maksud Ibu, Bang Arsyad itu Bang Aat dan Mas Bayu itu Mas Babay?! I-ibu bercanda kan?!" tanyanya tidak percaya.

Ibunya belum menjawab apa-apa, namun Reno sudah melengos pergi dan masuk ke kamarnya lewat jendela. Ia mengambil bingkai foto yang selalu terpajang di dinding kamarnya, foto lawas ketika ia masih kecil dengan kedua orang tuanya serta tiga orang pria yang selalu menemaninya saat ia masih kecil.

Dengan tergesa-gesa, Reno membawa foto itu dan turun dari tangga hingga membuat suara langkah kaki yang cukup keras. Orang yang berada di lantai bawah sontak saja menengok ke sumber suara karena penasaran suara apa itu.

"Kenapa Dek?" heran Pak Jaka sambil melihat anaknya.

Reno tidak menjawab pertanyaan ayahnya, matanya hanya fokus kepada tiga orang yang ada di rumahnya dan yang ada di foto itu secara bergantian. Raut wajahnya menunjukkan kalau remaja itu sedang kaget karena tidak percaya.

Tak lama, ia berlari ke arah mereka bertiga. Reno tak tahan ingin memeluk mereka, ketika ia sadar kalau mereka bertiga adalah orang yang selalu menemaninya saat ia masih kecil.

Matanya mulai berair, ketika rasa rindu yang sangat besar dan rasa bersalah muncul di saat yang bersamaan.

"Bang Arsyad kenapa nggak bilang kalo Abang itu Bang Aat yang dulu sering ngajak main aku?! Mas Bayu kenapa nggak bilang kalo Mas itu Mas Babay?! Pak Danu juga, aku udah kenal sama Pak Danu hampir dua tahun. Tapi kenapa Pak Danu nggak bilang kalo Pak Danu itu orang yang sama, sama Om Danu yang dulu pernah ke sini?!" kesal Reno karena merasa dibohongi. Lalu tatapan tajamnya berpindah ke ayahnya sendiri.

Pak Jaka yang tau maksud dari tatapan itu, terlihat bingung. Ia tidak tau kenapa dirinya disalahkan atas kejadian ini.

"Bapak kira kamu sudah tau?" sahut Pak Jaka seadanya, karena nyatanya memang begitu.

Tangan Danu perlahan mengambil bingkai foto yang dibawa oleh Reno tadi. Bola matanya sedikit melebar dan bibirnya mulai tersenyum, ketika ia melihat foto lawas yang tentu ia rindukan juga.

Sebuah foto bersama, foto ketika dirinya sedang menggendong Reno sementara Arsyad sedang merangkul Ibu Rina dan Bayu sedang merangkul Pak Jaka. Foto sederhana memang, namun banyak sekali kenangan dalam foto itu.

"Saya kira kamu udah lupa sama kita Ren" ucap Danu pelan.

"Mana mungkin aku lupa Pak! Kalian itu orang yang paling aku tunggu-tunggu kedatangannya setelah hari kalian pergi dari sini! Demi Tuhan, aku kangen, aku kangen banget sama kalian bertiga." Air yang ada di pelupuk mata Reno akhirnya lolos dan membanjiri pipinya, remaja itu tidak bisa menahan tangisnya.

Semua yang ada di ruangan itu perlahan tersenyum, termasuk Ibu Rina yang sudah bergabung dengan mereka. Hanya Reno seorang yang menangis, ia kesal karena merasa dibohongi oleh mereka bertiga dan juga kedua orang tuanya, dan tentu tangisan itu terjadi karena ia rindu dengan tiga orang yang sedang dipeluknya.

Beberapa menit setelah Reno sudah berhenti menangis, akhirnya ia ikut bergabung dan ikut ngobrol-ngobrol bersama dengan kedua orang tuanya dan juga tiga pria tampan itu. Ia benar-benar merasa malu dan juga bersalah, karena tidak mengenali mereka meski sudah tinggal bersama mereka sekitar satu bulan lamanya.

"Oh iya, waktu itu kalian ke sini ngapain ya? Kok tiba-tiba bisa ke kampung aku?" tanya Reno. Maklum saja kalau remaja itu lupa, karena kejadiannya sudah lama sekali.

"Kita waktu itu KKN di sini Ren" jawab Danu. Ia menarik napasnya dan menghembuskannya kembali, sebelum lanjut berbicara. "Saya ceritain ya" lanjutnya.

Danu mulai bercerita tentang awal mula kenapa mereka bertiga bisa sampai ke kampung Reno, jawabannya tentu karena sebuah kewajiban mahasiswa yang disebut dengan KKN. Kebetulan sekali, tempat yang harus mereka datangi adalah desa tempat Reno dan keluarganya tinggal, terlebih ia juga tinggal satu rumah dengan keluarga Reno.

Awal-awal memang biasa saja dan mereka bertiga hanya melakukan tugas kuliah, mungkin hanya desa yang sangat indah yang menarik perhatian mereka. Itu hanya awalnya.

Lama-kelamaan mereka mulai merasakan kepedulian dari tuan rumah, yakni Pak Jaka dan Ibu Rina. Sikap Pak Jaka dan Ibu Rina yang sangat-sangat baik hati, membuat mereka bertiga mulai merasakan kasih sayang dari sepasang suami istri itu.

Perlahan, hubungan mereka bertiga dengan Pak Jaka dan Ibu Rina mulai terjalin. Dari yang biasa-biasa saja, menjadi terasa seperti keluarga.

Bahkan setelah kenal dan dekat selama satu bulan, Arsyad, Bayu, dan Danu, mulai membantu pekerjaan Pak Jaka yang serabutan itu. Mulai dari pergi ke sawah untuk membantu menanam atau panen padi, ke kebun, bahkan mereka bertiga tidak ragu untuk ikut kerja mengangkut barang-barang di pasar bersama Pak Jaka.

Termasuk juga dengan Reno yang masih kecil waktu itu. Kehadiran Reno bagaikan sebuah penyemangat untuk mereka di kala mereka sedang pusing-pusingnya mengerjakan proyek KKN, tidak sehari pun luput bagi mereka untuk bermain dengan anak kecil yang sampai sekarang masih sama imutnya. Dari situ mereka mulai menemukan kebahagiaan baru mereka.

Hingga suatu hari ketika mereka bertiga sedang mengerjakan proyek kuliahnya, terjadi suatu kesalahan yang lumayan fatal. Terbilang fatal, karena kesalahan itu hampir membuat nyawa mereka bertiga melayang.

Untungnya hari itu ada Reno yang baru pulang dari sekolahnya, anak itulah yang menunjuk-nunjuk ke tempat mereka bertiga berada sehingga Pak Jaka langsung sadar kalau mereka bertiga sedang berada dalam bahaya dan segera menolong mereka. Karena kejadian itu juga, mereka bertiga merasa berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada keluarga Reno. Makanya mereka bertiga ingin membalas kebaikan itu.

"Hutang budi opo, ndak ada hutang-hutang budi. Sudah seharusnya manusia itu saling tolong menolong, Bapak pun ndak pernah merasa direpotkan sama kejadian itu" serga Pak Jaka saat Danu bercerita, ia benar-benar merasa keberatan kalau dibilang dihutangi budi oleh mereka bertiga.

"Tapi kalo nggak ada Bapak atau Reno hari itu, mungkin kita bertiga udah nggak ada lagi di dunia Pak" imbuh Bayu.

"Hush, ndak boleh ngomong begitu. Yang penting, sekarang anak-anak Bapak sama Ibu semuanya baik-baik saja dan sehat-sehat saja." Pak Jaka menghela napasnya berat, lalu menatap teduh kepada tiga pria itu.

"Sebenarnya Bapak malas kalau bahas-bahas tentang kejadian itu, soalnya kalian terus-terus bilang kalau kalian berhutang budi sama Bapak dan keluarga." Pak Jaka serius akan ucapannya, ia memang tidak suka dibilang seperti itu.

Mereka bertiga memutuskan untuk berhenti, dan tidak lanjut membahas soal hutang budi itu lagi. Meski mereka tau kalau Pak Jaka dan Ibu Rina tidak suka dibilang seperti itu, namun mereka bertiga masih menanggap kalau mereka bertiga masih berhutang budi sampai kapanpun kepada keluarga Reno.

"Sikap Bapak sama Ibu yang baik banget ke kita, itulah alasan kenapa kita bisa deket sama keluarga kamu Ren" ucap Arsyad menambahi. "Kamu juga liat kemarin pas Abang berantem sama orang yang mirip Abang, soalnya Abang emang nggak deket sama keluarga Abang sendiri. Sama juga sama Bayu dan Danu, kita bertiga nggak pernah dapat kasih sayang yang seharusnya kita dapat dari kedua orang tua kita Ren, maka dari itu kita bener-bener bersyukur ketemu sama kamu dan Bapak Ibu, di sini kita baru nemu apa itu keluarga yang sesungguhnya."

"Makanya tadi Ibu heran saat kamu bilang kalau mereka orang asing, lebih tepatnya Ibu ndak terima kamu bilang seperti itu Dek. Walau kita ndak ada hubungan darah dengan mereka bertiga, namun Bapak sama Ibu udah anggap mereka bertiga anak-anak sendiri sekaligus kakak-kakak kamu. Bapak sama Ibu sayang mereka sama seperti Bapak sama Ibu sayang ke kamu" imbuh Ibu Rina juga.

Reno yang mendengarkan cerita dan penjelasan dari mereka semua pun terdiam, sedikit bingung dan juga kagum. Namun setelah semua cerita tadi, senyumnya melebar.

Kini semuanya jelas. Alasan tentang kenapa mereka begitu baik kepadanya, alasan kenapa mereka sangat sayang kepadanya, dan juga sebaliknya. Ternyata mereka sudah melakukan hal yang sama di masa lalu sebelum akhirnya dipertemukan lagi di masa sekarang ini.

* * *