webnovel

Chapter 17: Baking

“Aku pergi dulu, Eleanore. Jaga dirimu baik-baik.”

Yura mengacak-acak rambut Ele dengan jemari lentiknya. Sudah hampir seminggu wanita itu selalu datang ke rumah Ele. Sejak kejadian percobaan bunuh diri sepekan lalu, Yura jauh lebih protektif dari sebelumnya. Ia selalu datang di pagi hari dan pulang sore hari. Semuanya ia lakukan demi menemani Ele yang menurutnya, mentalnya tengah terguncang.

Lain dengan Yura yang kerap menampakkan rasa pedulinya secara terang-terangan, Ele malah cenderung berhati-hati dengan sikap ramah yang ditunjukkan sahabatnya itu. Memang Yura mungkin jadi satu-satunya orang yang mau berbaik hati menjadi teman dekatnya, namun Ele masih sulit untuk terlewat percaya dengan kebaikan yang ditunjukkan Yura. Seperti halnya kali ini di mana Ele mendengus dan menjauhkan tangan Yura sejauh mungkin dari rambutnya. Ia bahkan masih risih jika seseorang menyentuh rambutnya terlalu lama.

“Van, jaga Ele dengan benar. I’m watching you.”

Van terkekeh mendengar ucapan Yura. Perawat Eleanore itu membalas peringatan Yura secara serius dengan memberikan hormat bak tentara yang mendapatkan komando dari atasannya. Yura memberikan senyum simpul sekilas dan beranjak keluar dari rumah. Setelah Yura keluar, Ele memusatkan pendengarannya pada kekehan Van yang masih terdengar jelas.

Beberapa hari belakangan Yura dan Van jadi semakin akrab. Mereka membantu segala keperluan Ele sejak gadis itu dirawat di rumah sakit hingga sekarang ia sudah menjalani pemulihan di rumah. Kendati Ele terus bersikap tidak bersahabat dengan Van, namun tak bisa dipungkiri bahwa perawatnya itu telah menunjukkan sifat tangguhnya dalam melawan segala komentar pedas yang dilontarkan Ele. Sepertinya Van bahkan patut diacungi jempol karena usahanya yang sangat keras dalam memenuhi keinginan Ele.

Ele kembali menampilkan sifat menyebalkannya dengan meminta Van untuk membeli berbagai hal. Van bahkan harus kucing-kucingan dengan dokter dan perawat karena Ele meminta banyak makanan manis seperti cotton candy, ice cream, lava cake, red velvet cake, dan berbagai makanan cepat saji lain yang tentunya jadi mimpi buruk bagi kesehatan Ele. Kendati Ele meminta banyak makanan yang kurang sehat, namun Van selalu berusaha memenuhi permintaan itu tanpa bantahan sekali pun. Bahkan ketika Ele terus menunjukkan sikap dingin dan ketus, Van masih membalasnya dengan ucapan yang terlalu lembut.

Van malah sampai meminta pada bibi untuk menginap di rumah sejak kemarin malam. Pria itu bersikeras memintanya meski pun Ele melarang dan menolaknya habis-habisan. Van berujar jika tiba-tiba Ele butuh bantuan, Ele hanya perlu memanggilnya. Ia tak tahu apa yang baru saja diucapkan, karena Ele berjanji akan selalu merepotkannya.

Praktis saat ini pria itu sudah mendiami kamar kosong yang berada tepat di sebelah kamar Ele.

“Hei, jangan melamun.”

Tangan Van menowel pundak Ele. Ele buru-buru mengerjapkan mata dan mendengus padanya. Gadis itu menepis tangan Van dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Jangan sentuh-sentuh!” ucap Ele.

Sekali lagi pria yang menurut Ele idiot itu malah tertawa mendengar ucapannya.

“Berhenti lah tertawa seperti idiot!” sembur Ele. “Tawamu itu sangat mengganggu telingaku.”

Van menghentikan tawa namun masih terdengar jika ia menahannya. Ele menebak kalau saat ini Van tengah membekap mulutnya sendiri. Beberapa detik setelahnya baru Van menjawab protes yang dilayangkan Ele.

“Kurangi lah omelanmu itu. Kau malah semakin lucu jika sedang marah-marah begitu.”

Ele yang tengah memegang tongkat di tangannya sontak ia ayunkan ke sumber suara. Tepat. Ayunannya sepertinya mengenai perut Van. Terbukti dari rengekan Van yang sekarang terdengar begitu mengesalkan baginya.

“Aw. Sakit, Eleanore! Hentikan! Aduh!”

Ele mengabaikan rentetan rintihan dari orang itu dan semakin menyodokkan tongkatnya ke perut Van.

“Mangkannya, jangan menggodaku!”

“Ele! Ouch!”

“Apa kau seorang om-om? Kenapa perutmu gendut sekali?”

“Om-om apanya! Aw! Ini pahaku yang kau sodok, Ele! Hentikan. Aduh!”

“Paha dari mananya? Jangan bohong! Ini pasti perutmu dan kau malu mengakui kalau perutmu buncit!”

“Itu paha, Ele. Serius, deh!”

Ele menghentikan ayunan brutal tongkatnya dan menghela napas keras. Ia berdecak dan menatap nyalang pada sosok di depannya. Ingin rasanya ia melampiaskan kekesalan tak beralasannya pada perawatnya.

Van meringis selama beberapa saat sebelum gantian menyembur Ele dengan kata-katanya. “Kau kejam sekali. Baru saja tongkat ajaibmu itu menusuk-nusuk pahaku dengan ganas dan kau menuduh jika perutku gendut seperti om-om. Itu paha, Ele! Paha! Asal kau tahu, perutku ini adalah bagian tubuh favoritku. Aku menghabiskan waktu luang di pagi hariku dengan work out setiap harinya sebelum datang kemari. Perutku punya 6 kotak!”

“Aku tak peduli berapa kotak yang tercetak di perutmu. Yang ada di kepalaku hanya lah bayangan kau yang terlihat seperti seorang om-om.”

“Oh, jahatnya.”

“Dasar om-om.”

“Kalau aku om-om, berarti kau nenek-nenek.”

“Mulutnya!”

“Eleanore , kau suka black forest?” Van bertanya tiba-tiba.

Ele mengernyitkan keningnya heran. Dari pembahasan om-om kenapa tiba-tiba berubah jadi black forest? Tapi siapa yang tak suka kue lezat itu? Pasti bukan Ele karena saat ini gadis itu menganggukkan kepalanya pelan.

“Ayo kita buat kue itu! Aku sudah melihat video tutorial membuatnya dari internet. Bantu aku untuk membuatnya, ya?”

“Kau 'kan bekerja di sini. Beraninya kau memerintahku,” ucap Ele dengan ketus lagi.

Van mendesah kesal. “Ayolah Nyonya Eleanore. Hentikan sindrom ratumu itu. Ayo kita ke dapur. Aku sudah meminta tolong pada bibi untuk membeli bahan-bahannya. Dijamin, ini akan seru!”

Secara tiba-tiba Van menarik tangan kanan Ele yang menganggur lalu meletakkannya di dalam saku sweater yang ia kenakan. Ele terkesiap kaget karena tindakannya itu. Akan tetapi, sebelum Ele sempat protes, ia sudah mulai berjalan sembari memegang tanganku yang berada di saku itu agar tidak keluar.

“Jangan banyak protes, Ele. Ikuti aku saja.”

Ele mengikuti langkah kaki Van sembari bersungut-sungut. Ia sempat mencoba mengeluarkan tangannya dari saku sweater Van, namun pria itu bersikeras untuk membimbingnya berjalan. Van melontarkan banyak peringatan tentang berbahayanya dapur jika Ele berjalan sendiri ke sana.

“Nah, ini dia! Ta tarara tata!” Van melepaskan tangan Ele dari sakunya seraya berucap heboh.

Ele hanya dapat berkedip sekali karena ia juga tak mampu merasakan perbedaan apa pun.

Van yang menyadari kekeliruannya buru-buru berdehem dan tertawa keras. Ia menutupi kecanggungannya dengan buru-buru mengambil sepasang sarung tangan yang sudah tertata rapih di atas meja. Ia menghadap pada Ele dan memberikan senyuman walau pun tak dapat dilihat oleh gadis itu.

“Pertama-tama, pakai sarung tangan ini.”

Pria itu menyerahkan sepasang sarung tangan elastis ke telapak tangan Ele. Van terdengar sangat antusias saat melakukannya. Dengan patuh, Ele mengenakan sarung tangan itu tanpa adanya protes apa pun. Di sampingnya, Van menghela napas lega karena pikirnya Ele akan membuang sarung tangan itu.

“Ini bahan-bahannya, Ele. Coba kau sentuh satu per satu.”

Tangan Van menarik tangan kanan Ele yang telah terbungkus sarung tangan. Ia membawa jemari kurus itu untuk menyentuh jejeran bahan yang siap mereka gunakan untuk membuat kue. Ele mengerjap saat tangannya bersentuhan dengan sesuatu yang bertekstur empuk dan lembut.

“Apa ini?” tanya Ele.

Van menjawabnya dengan tenang. “Itu margarin.”

Van lalu mengarahkan lagi tangan Ele ke kiri. Ele menyentuh beberapa butir telur yang sudah disiapkan. Jemari itu kemudian menjelajah ke bahan selanjutnya yaitu dark chocolate. Setelahnya, Ele menyentuh beberapa benda berbentuk bulat mungil dengan tangkai kecil di bagian atasnya.

“Itu ceri,” ucap Van. “Kau suka ceri, bukan?”

Ele mengernyitkan keningnya bingung.

“Dari mana kau tahu aku suka ceri?”