webnovel

IBU DAN ANAK SAMA SAJA

Calista dengan panik mondar mandir di depan pintu UGD. Tak lama Zalina datang dengan wajah yang panik. Ia langsung menghampiri Calista dan membolak balik tubuh putrinya itu.

"Kau tidak apa-apa? Bagaimana kejadiannya?" tanya Zalina mulai tenang karena tidak menemukan luka sedikitpun di tubuh Calista.

"Aku nggak apa-apa, Mami. Untung tadi Rama menolongku. Tapi, perut Rama tadi tertusuk pisau, Mami. Aku baru saja mendonorkan darahku padanya, kebetulan golongan darah kami sama."

"Kau membawa Rama dengan Ambulance?"

"Kalau harus menunggu ambulance dia keburu mati, Mami. Aku bawa dengan mobilku, tadi aku sudah menelepon mobil derek juga untuk membawa mobil Rama pulang. Kasian dia di sini tinggal bersama Om dan Tantenya."

"Kau sudah menelepon Om dan Tantenya?"

"Sudah, Mami. Mereka dalam perjalanan kemari."

Baru saja Calista selesai bicara, seorang Ibu datang dan langsung menunjuk Calista dengan marah.

"Jadi kamu yang bikin keponakan saya celaka?! Kamu harus tanggung jawab kalau sampai keponakan saya kenapa-kenapa!" serunya.

"Maaf, Ibu Verida?"

"Loh, Ibu Zalina kenapa ada di sini? Ini loh, Bu. Gadis kurang ajar ini sudah mencelakakan keponakan saya."

"Gadis kurang ajar ini putri saya, Bu. Maaf, kalau keponakan Ibu terluka karena sudah membantu anak saya."

"Pu-putri Ibu, astaga, ma-maaf, Bu. Aduh, kenapa nggak bilang sih kalau kamu putrinya Pak Arjuna. Maaf, maaf Ibu Zalina. Saya tidak tau kalau gadis cantik ini putri Ibu Zalina. Saya panik, jadi terbawa emosi."

Calista hanya mendengus sebal, 'Ibu dan anak kelakuannya sama saja,' kata Calista dalam hati. Zalina hanya menggelengkan kepala dan membawa Calista duduk du kursi yang ada di dekat mereka. Sementara Verida tampak salah tingkah, dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang baru saja dia maki adalah putri salah satu investor saham terbesar di perusahaan milik suaminya.

"Duh, Bu Zalina saya betul-betul tidak enak sudah memarahi anak Ibu. Maafkan saya ya, Bu."

"Tidak apa-apa, Bu Verida. Ibu kan panik dan tidak tau."

"Iya, tadi saya panik saat menerima telepon yang mengatakan bahwa Rama ditusuk orang. Saya pikir hanya telepon main-main. Tapi, tak lama mobil derek sampai di rumah mengantarkan mobil milik Rama."

"Saya juga akan panik jika di posisi Ibu. Tapi, saya tidak akan langsung marah-marah seperti tadi pada anak orang, Bu."

"I-iya, Bu. Saya minta maaf sekali lagi."

Tak lama dokter yang merawat Rama keluar dan menghampiri mereka.

"Keluarga saudara Rama?"

"Saya Tantenya, dokter. Bagaimana kondisi keponakan saya?"

"Lukanya cukup dalam, tapi tidak mengenai bagian yang vital, jadi dalam beberapa hari juga sudah pulih. Tapi, tentu selama beberapa hari harus dirawat ya. Untung saja tadi mbak nya sudah mendonorkan darahnya, jadi pasien juga bisa cepat ditangani. Sebentar lagi akan di pindahkan ke kamar perawatan, saya tinggal dulu."

"Terima kasih, dokter."

Verida menatap Calista, ia tidak menyangka jika Calista bahkan sudah menjadi pendonor untuk Rama. Rasa malunya bertambah besar saja.

"Terima kasih, nak Calista."

"Sama-sama Tante."

"Saya dan putri saya pamit dulu kalau begitu, Bu Verida. Nanti sore kami akan kembali menjenguk Rama, Callista juga harus mengganti pakaiannya," kata Zalina.

"Ah, iya Bu."

Tanpa banyak bicara lagi, Zalina pun langsung menggandeng tangan Calista dan langsung beranjak pergi .

"Kok Mami kenal dengan Tantenya Rama?"

"Papimu investor di perusahaan suaminya. Jadi, Mami pernah bertemu dengannya beberapa kali."

"Anaknya baru saja melabrakku di kampus sebelum makan siang."

"Pelakunya anak Verida?"

"Bukan, Mami. Jadi, anaknya Tante Verida itu adalah gadis yang memfitnah Elena dan mengatakan bahwa Elena menjebak Mike. Jadi, aku pernah mendatanginya dan memarahinya dulu. Nah, siang tadi Amara melabrakku karena dia masih merasa dendam, ditambah lagi Rama mengejar-ngejarku. Dia malah hampir menusukku dengan pisau kalau Rama tidak datang. Eeh, pulang dari kampus aku malah dihadang tiga orang preman."

Zalina mengerutkan dahinya.

"Bisa kebetulan, ya."

"Aku tau Mami pasti berpikir ada sesuatu, tapi tidak Mami. Jika Amara yang membayar orang untuk mencelakai aku, tidak mungkin dia tadi melabrak aku lebih dulu. Hal itu pasti akan membuatmu curiga dan mengarah kepadanya. Aku yakin, tiga orang preman tadi bukan orang suruhan Amara. Lagi pula, aku lihat tadi ketiga preman itu sepertinya orang yang terlatih, Mami. Pasti mahal untuk membayar mereka, dan untuk ukuran kantong Amara aku tidak yakin."

Zalina tersenyum, "Kau memang anak Mami," ujarnya bangga membuat pipi Calista memerah.

"Kau bawa mobil, kan? Kita berjalan beriringan saja, Mami akan mengikuti dari belakangmu."

**

"Cut! Bungkus!"

Kezia menarik napas lega. Syuting hari ini sudah selesai. Ia pun langsung meraih tas nya dan berjalan menghampiri managernya.

"Kita pulang, ya. Aku lelah sekali."

"Iya, mobil akan aku bawa, supaya kau tidak keluyuran! Besok jadwalmu padat."

Kezia tidak menjawab, ia memang tidak berniat juga untuk pergi kemanapun. Tiga hari bersama Baron di kamar hotel sudah membuatnya lelah. Dan, ia ingin langsung beristirahat. Manager Kezia langsung mengantarkan Kezia sampai gadis itu masuk ke dalam apartemennya. Setelah itu barulah ia bergegas pulang.

Kezia yang lelah, langsung masuk ke kamarnya. Namun, ia terpekik saat melihat Baron sedang duduk di kamarnya. Duduk di atas ranjang dengan tatapan dingin.

"Gadis itu belum mati. Kau tidak mengatakan dia menguasai bela diri. Saat aku menyerangnya dia bisa melawan dengan mudah."

"Aku lupa."

"Hal penting seperti itu kau bisa lupa?!"

"Jadi,kalian gagal? Aku tidak mau tau, kau harus membereskannya. Aku sudah membayarmu dengan mahal!"

"Tetap saja kau melupakan hal yang paling penting! Asal kau tau, dalam menyelesaikan tugas tidak bisa asal-asalan memberi informasi, salah langkah bisa bahaya! Kau harus membayar lebih untuk itu!"

. Kezia gemetar seketika saat melihat Baron melotot kepadanya. Ia berjalan mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. Dengan posisi seperti itu, Baron langsung menghampiri dan dengan kasar ia merobek pakaian Kezia. Dan, sekali lagi lelaki tinggi besar itu menikmati tubuh Kezia tanpa kesulitan yang berarti. Hanya saja kali ini Kezia harus pasrah menerima perlakukan kasar Baron yang membuat gadis itu sedikit kesakitan.

"Aku akan di sini sampai besok pagi,dan kau harus melayaniku!" kata Baron saat ia sudah sampai puncaknya. Kezia hanya mampu mengangguk sambil terisak dan membiarkan Baron melakukan semuanya.

"Jadi kapan kau akan membunuh gadis itu?" tanya Kezia lirih.

"Aku harus menunggu waktu yang tepat dulu. Jangan sampai gadis itu curiga. Kecuali kau mau kau ikut terseret!" sentak Baron. Kezia pun tak menjawab lagi dan memilih memejamkan matanya.