"B-bukan m-manusia?" Jari tangan Dyeza mulai merapat ke bawah kursi dan perlahan sedikit menjauh dari Yezra. "J-jangan ber-bercanda,i-itu tidak lucu!" bahkan suarana sangat mirip seperti cicitan tikus sekarang.
Yezra memijat pelipisnya dan mulai berpikir untuk mencari penjelasan yang tepat, dan tidak membuat istrinya itu kebingungan. Bukan penjelasan mengenai ia dan para saudaranya yang bukanlah seorang manusia, tapi penjelasan mengenai Dyeza yang merupakan istri mereka. Karena tidak mungkin ia menjelaskan kejadian yang sebenarnya, bisa-bisa Dyeza akan sangat benci setengah mati padanya.
"Kami tidak bercanda." Asrein menyeringai kecil lalu bibirnya mulai berkomat-kamit pelan. Tatapan matanya tak sedikitpun beralih dari wajah Dyeza.
Eyden yang sedari tadi duduk di sebelah Asrein hanya memutar bola matanya seraya membuang muka, tahu apa yang akan diperbuat oleh lelaki childish tapi berbahaya ini.
"Ahk!"
Dyeza menjerit kecil saat tiba-tiba kursi yang didudukinya bergerak naik ke atas dan melayang dari atas lantai. Reflek ia mempererat pegangan tangannya pada kursi dan memejamkan matanya. Ternyata mereka memang bukanlah manusia!
"Turunkan aku!" ia tetap memejamkan matanya. Karena jujur ia merupakan satu dari ribuan orang didunia yang phobia ketinggian.
"Sekarang kau percayakan?" Senyuman miring terukir di wajah Asrein, seolah menikmati ekspresi ketakutan dari wajah Dyeza.
Dyeza tak menjawab, tapi saat Asrein dengan sengaja menggoyang-goyangkan kursinya langsung membuat jantungnya hampir copot akan ulah lelaki itu. "IYA, AKU PERCAYA! CEPAT TURUNKAN AKU!"
Perlahan kursi yang diduduki Dyeza bergerak turun ke bawah disertai suara kekehan dari Asrein.
"Ternyata istriku penakut juga."
Dyeza bergeming. Ia tengah sibuk menetralkan deru napasnya yang naik turun. Hingga ia tersadar ada satu kata yang mengganjal dari ucapan Asrein tadi.
Istri? Ya tuhan!
Kenapa ia bisa lupa kalau Yezra tadi juga menyebutnya sebagai istri. Tapi Yezra tadi bilang 'kami",berarti....
Kelima lelaki ini adalah suaminya?!
Mulut Dyeza spontan menganga lebar karena shock dan badannya seolah membeku. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan manik matanya menatap horor kelima lelaki luar biasa tampan yang sedang menatapnya. Tapi bagaimana ia bisa percaya kalau mereka adalah suaminya? Lagipula umurnya belum genap 18 tahun!
Mendapat tatapan horor dari Dyeza, membuat Yezra mulai berpikir keras untuk mencari alasan kalau Dyeza akan menanyakan proses atau kejadian waktu pernikahan.
"Lima tanda hitam di telapak tanganmu!" jawab Dreynan seakan bisa membaca pikiran Dyeza.
Kening Dyeza berkerut, memang benar kalau ada lima tanda berbentuk aneh yang berwarna hitam di telapak tangannya. "Ini tanda lahir." ucapnya kemudian.
Hening. Kelima pangeran saling berpandangan. Kemudian....
Hahahahahahaha.....
Tawa mereka semua pecah dan terlihat Zarel-lah yang paling keras tertawanya. Ups! Kecuali Eyden! Dia hanya memutar bola matanya seraya mendengus pelan.
"Itu bukan tanda lahir," Zarel menggembungkan pipinya menahan tawa karna melihat raut wajah Dyeza yang tengah kesal. "Tapi itu adalah tanda pernikahan kita."
"Tanda resmi dari kerajaan Ethernichius."tambah Dreynan.
Kerutan di dahi Dyeza bertambah. Ethernichius? Entah kenapa terdengar aneh namun juga familier ditelinganya. "M-maksudnya?"
Yezra berdehem sekilas, bersiap untuk menjelaskan semuanya kepada Dyeza. "Kami adalah pangeran dari kerajaan Ethernichius, kerajaan penyihir atau lebih tepatnya yaitu kerajaan kaum 'witch'. Dan kau menikah dengan kami 9 tahun yang lalu."
Penyihir? Bayangan hidung besar dan wajah yang keriput dan menyeramkan langsung terpampang di pikiran Dyeza saat Yezra mengatakan hal itu.
"P-penyihir?" tubuh Dyeza beringsut ketakutan.
Zarel yang bisa membaca pikiran Dyeza langsung menggerutu kesal. "Kami tak seperti apa yang dipikirkan oleh kaummu! Hidungku sama sekali tidak besar," Ia memegang hidungnya yang sangat mancung.
Napas Dyeza tercekat saat Zarel mengetahui apa yang dipikirannya. Kenapa ia bisa lupa kalau Zarel bukanlah seorang manusia?
Dyeza menelan salivanya dengan susah payah, matanya melirik ke arah pintu apartemen. Mengukur seberapa cepat jika ia berlari sampai kesana. Tepat saat Dreynan bangun dari kursinya, dengan secepat mungkin Dyeza berlari menuju ke pintu utama apartemen. Tapi sesuatu terjadi.
Tiba-tiba pintu tersebut berubah menjadi tembok, seperti tidak pernah ada sebuah pintu disitu.
Bagaimana bisa? Badan Dyeza mematung. Tapi itu tak berlangsung lama.
Karena terdengar sebuah geraman kencang diikuti dengan tangannya di hentakkan secara kasar dari belakang. Memaksanya untuk menghadap ke belakang, ke arah lima lelaki tadi.
Terlihatlah Dreynan yang wajahnya memerah karena emosi. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah. Tangannya mencengkeram lengan Dyeza erat. "Kau mau kemana, huh?"
"Ahk!" Dyeza menjerit kecil saat Dreynan seakan mau mematahkan lengannya. Rasanya sakit sekali!
"Dreynan, sakit!" bahkan matanya sudah mulai berair sekarang.
Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda Dreynan akan melepaskan cengkramannya.
"Dreynan, kau menyakitinya!" teriak Zarel kemudian berjalan mendekati Duo D itu. Setelah sampai di depan mereka, dengan gentleman ia melepaskan cengkeraman Dreynan dari lengan Dyeza yang sudah membiru lalu mengelus-elusnya lembut.
Dyeza tak berkutik. Badannya seperti tersengat listrik saat Zarel mengelus-elus lengannya dengan sangat lembut. Selama ini ia jarang sekali berkontak fisik dengan manusia berjenis kelamin laki-laki, apalagi ini bukan manusia!
Entah kenapa badannya tak bisa digerakkan, padahal seharusnya ia segera melepaskan pegangan Zarel lalu berlari keluar lewat jendela.
"Apa kau sudah percaya bahwa kami adalah suamimu?" tanya Zarel setelah Dreynan kembali duduk dikursi meja makan. Takut dia akan marah lagi jika Dyeza menjawab 'tidak'.
Dyeza menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimana ia bisa percaya, mungkin ini memang tanda lahirnya dan mereka hanya mengarang saja.
Tiba-tiba Zarel membalikkan telapak tangannya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati salah satu tanda berwarna hitam itu bersinar ketika dipegang oleh Zarel. "Ini adalah tanda pernikahan antara aku dengan kau," jelas Zarel. "Dan akan bersinar jika aku menyentuhnya."
Mulut Dyeza terbuka seperti ingin bicara, tapi tertutup kembali saat tiba-tiba Zarel mendekatkan bibirnya ke tanda tadi dan mengecupnya lama.
Sontak perlakuan Zarel tersebut membuat semburat merah muncul di pipi Dyeza.
Tapi tak lama kemudian semburat merah itu berganti menjadi amarah saat Zarel berubah menjilat tanda itu. Dengan cepat Dyeza menarik tangannya dan reflek mengusapkan telapak tangannya di celana tidur yang ia kenakan.
"Apa yang kau lakukan!"
Zarel hanya terkekeh kecil.
Wajah Dyeza yang tengah kesal malah terkesan menggemaskan baginya. "Wajahmu tolong dikondisikan!" kemudian ia berbisik ke samping telinga Dyeza. "Atau aku akan membawamu ke ranjang saat ini juga."
Mulut Dyeza melongo saat mendengar perkataan Zarel yang terlalu vulgar. Yang ada dipikirannya sekarang hanya satu, Zarel benar-benar mesum!
"Bukan mesum, tapi bergairah!" ucap Zarel setelah membaca apa yang dipikirkan oleh istrinya itu.
Dyeza menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, ia tidak boleh berdekatan dengan penyihir yang satu ini! Tapi, bukannya ia adalah istri mereka? Jadi berarti ia harus melakukan 'itu' dengan mereka?
Lima?!
Tidak! Ini tidak boleh terjadi!
"Bagaimana? Apa kau sudah menerima kami sebagai suamimu?" Suara Yezra membuyarkan lamunan Dyeza. Apa yang harus ia jawab?
Hingga sebuah pemikiran entah dari mana muncul saja di otak Dyeza. Dan sepertinya memang hanya ini jalan satu-satunya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata "Aku akan menerima kalian sebagai suami dengan satu syarat."
"Syarat?" Alis Asrein bertaut,"Apa?"
"Kalian semua tidak boleh melakukan 'itu' kepadaku!"
Hening.
Hingga terdengar suara teriakan heboh nan tersiksa keluar dari bibir Zarel.
"TIDAK BISA! KAU ADALAH ISTRI KAMI, DAN KAMI MEMILIKI HAK UNTUK MELAKUKAN ITU!!" teriak Zarel dengan emosi menggebu-gebu.
"Kalau begitu aku tak menerima kalian sebagai suamiku!" Dyeza mencoba untuk tidak takut dan gemetaran. Ia harus berani!
"Berilah keringanan sedikit!" Yezra mencoba bernegosiasi.
"BENAR! APA KAU TAK KASIHAN DENGAN 'ADIKKU' INI, HAH?!" lagi-lagi Zarel berkata vulgar.
Helaan napas keluar dari bibir Dyeza. Entah kenapa ia merasa iba saat melihat tatapan permohonan dari Zarel. "Baiklah! Kalian akan mendapatkan hak itu saat aku sudah bisa menerima kalian di dalam hatiku."
Dan di sini Zarel-lah yang terlihat sangat menderita.