webnovel

Home Alone

Sebut saja, kombinasi rentetan kejadian di hari Jumat membuat Angela terkapar di Sabtu pagi. Bertengkar dengan Alex + ulangan Kimia yang berantakan + detensi episode 3 yang menjengkelkan + ulangan Fisika dengan soal-soal yang serumit hidup Angela.

Ia bangun kesiangan di Sabtu pagi saat matahari telah meninggi. Berkas cahayanya yang menyilaukan menyorot masuk dan menimpa wajahnya dari celah tirai jendela. Angela mengeryit akibat silau, lalu berguling di kasurnya. Tangannya meraba ke sekitar, dengan mata masih terpejam rapat, mencoba menemukan ponselnya yang melantunkan nada panggilan masuk.

"Ya…" Ia menjawab tanpa melihat siapa yang menghubungi. "Salah sambung…"

Ia terkapar lagi di atas bantalnya dengan mulut setengah terbuka, mengantuk luar biasa. Ia sudah setengah terlelap saat mendengar suara bel dari gerbang.

"Duhhh… Siapa sih??"

Angela mengacak rambut dengan kesal dan bangkit dengan enggan. Suara bel yang nyaring di dalam rumah memekakkan telinganya.

"Duhhh.. Harusnya belnya nggak disambung sampai kesini!"

Angela keluar dari kamar, menyempatkan diri ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan berkumur dengan pembersih mulut beraroma mint, tak sempat gosok gigi. Ia kembali ke kamar untuk mengambil kardigan dan melapisi daster pendeknya sebelum menemui tamu tak diundang yang mengganggu tidurnya.

Suara bel berhenti, diikuti seretan pintu gerbang dan dengkingan Moon-Moon membuat kantuknya sepenuhnya lenyap.

"Moon-Moon! Jangan-jangan itu maling anjing ras!"

Angela berderap menuruni tangga. Ia berlari ke halaman belakang untuk mengambil tongkat bisbol Adrian sebagai senjata. Moon-Moon masih mendengking. Angela menyelinap ke halaman depan melalui lorong sempit di samping garasi, mengendap-endap dengan jantung berdebar kencang.

Dari tempatnya bersembunyi di lorong, Angela melihat pintu gerbang tertutup. Ia menajamkan telinga. Dari arah garasi ia mendengar derap langkah kaki mondar-mandir dan dengkingan Moon-Moon, lalu derak jeruji kandang yang terbuka. Angela melongok dengan hati-hati, mengintip sesedikit mungkin, dan melihat sosok seorang lelaki berhoodie hitam tengah membungkuk di depan kandang. Moon-Moon yang mendengking ada di tangannya, meronta hebat. Angela mengambil ancang-ancang, menarik napas dalam, lalu menyerbu si penyusup, memukulkan tongkat ke arah punggungnya.

"Pergi! Jangan ambil anjing gue! Maling sialan!"

Ia mendengar si penyusup mengaduh kesakitan. Moon-Moon terbebas dari tangannya dan berlari-lari di sekitar mereka sambil melolong.

"Lo mau apa? Anjing gue harganya jutaan! Jangan macam-macam!" Angela memukuli lelaki itu tanpa ampun. Detik berikutnya tongkat terlepas dari tangan Angela saat lelaki itu berbalik dan ia berhadap-hadapan dengan Valdy yang menjulang di depannya dengan wajah memerah.

"Val… Bagaimana mungkin…"

"Ya Tuhan, Angela!" Valdy membentaknya, lalu meringis. "Aku bisa mati tahu!"

"Kupikir…"

"Aku sudah berkali-kali meneleponmu, membunyikan bel, sudah mengatakan akan masuk dengan kunci dari Tante Tantri. Sekarang, kamu tiba-tiba muncul dan memukuliku dengan brutal!" Valdy meringis sambil mengusap punggungnya. "Sedendam itu ya padaku?"

"Aku nggak tahu kamu datang!" Angela membela diri, lalu menangkap Moon-Moon yang mengitari kakinya. "Dari mana kamu bisa masuk?"

"Sudah kubilang tante Tantri yang memberiku kunci! Sudah lama! Masa nggak tahu?"

"Mama nggak pernah bilang!"

"Bukan salahku kalau begitu!" Valdy mengusap pundaknya sambil berjengit. "Aduh…"

"Lalu kamu ngapain datang kesini tanpa ijin?"

Valdy melotot pada Angela. Ia merampas Moon-Moon dari pelukan Angela dan menurunkannya di halaman depan garasi. Anjing itu lalu berlarian di halaman depan yang luas dan berumput, sibuk berguling di bawah cahaya matahari yang hangat.

"Kumpulin dulu nyawamu, La! Kuping dipasang!"

"Jawab aja kenapa sih?"

Valdy benar-benar terlihat kehilangan kesabarannya dan kembali membuat Angela ciut. Lelaki itu menarik lengannya, lalu mencondongkan tubuh jangkungnya ke arah Angela.

"Aku sudah bilang, aku meneleponmu, berkali-kali. Kamu pikir aku berapa lama berdiri di depan gerbang menunggumu? Jadi, aku masuk. Kamu ingat mengatakan 'salah sambung' saat mengangkat teleponku barusan?" Valdy berbisik di telinganya.

"Aku…" Angela mencoba menemukan ingatannya soal itu. "Nggak ingat."

"Pintar sekali, Angela. Nggak usah berbohong!"

"Aku nggak bohong!" Angela melepaskan lengannya dari cekalan Valdy. "Lagi pula, kita lagi musuhan! Ngapain kamu datang kesini?"

"Memvaksin anjingku." Valdy mengedikkan dagu ke arah jarum suntik yang telah kosong di atas kandang. Sedetik kemudian ia meringis kembali sambil meregangkan punggungnya. Mau tak mau Angela jadi tak enak hati.

"Sakit banget?"

"Perlu bertanya lagi?" sergah Valdy jengkel. "Kalau kena kepala, nggak ada harapan hidup buatku, La!"

"Sorry, Val. Namanya juga membela diri. Kupikir kamu maling!" Valdy tak menanggapi, sibuk meraba punggungnya, berjengit setiap beberapa saat. "Aku punya salep pereda nyeri. Mau coba? Biar kuperiksa lukamu."

"Ini bengkak, Angela! Bukan luka!"

"Ya apalah!" Angela menarik satu lengannya. "Ayo, ke ruang keluarga aja."

Angela segera berlari ke arah kotak obat yang terletak di dapur dan segera kembali ke ruang keluarga dengan salep di tangannya. Valdy telah membuka hoodie dan duduk dengan canggung karena punggungnya yang nyeri. Angela duduk di sampingnya, mengulurkan salep padanya.

"Nih!"

Valdy menghela napas panjang.

"Gimana caranya? Sakitnya di punggung, La. Nggak bisa sendirian!" Valdy bergerak memunggunginya. "Kamu aja yang ngolesin. Tanggung jawab!"

"Eh?" Angela menatap ngeri punggung Valdy yang lebar dan tertutup kaos abu-abu gelap. "Aku juga nggak bisa…"

Detik berikutnya Valdy membuka kaosnya di depan Angela. Angela secara refleks memejamkan mata.

"Jangan halu, Angela! Belum pernah lihat cowok tanpa…"

"STOP! Jangan bahas itu!" Angela merasakan wajahnya panas dan pasti telah berubah merah. Dengan tangan gemetar ia membuka tutup tube salep. "Kamu diam, oke?"

Punggung Valdy merah di beberapa titik sampai di belakang bahu, terlihat jelas karena kekontrasan warna dengan kulitnya yang cerah. Angela mengolesi bagian yang bengkak dengan salep, dengan mata setengah terpejam. Ia bisa mendengar lelaki itu meringis, lagi-lagi membuatnya merasa bersalah. Tapi kenapa harus merasa bersalah? Ia membatin sambil tetap melanjutkan menelusuri bagian yang memerah dengan salep di telunjuknya. Memangnya Valdy pernah merasa bersalah tiap kali mengomelinya atau memberinya detensi??

"AH!"

"Ups! Sorry!"

"Jangan sambil balas dendam, Angela! Sengaja ya?"

"Yang tadi itu nggak sengaja." Angela berdecak, jengkel karena paginya di akhir pekan harus dilalui dengan mendengar omelan Valdy. Ia menepuk keras bahu lelaki itu yang merah. "Ini yang sengaja!"

"HEI!"

Valdy berbalik dengan cepat dan menyambar tangan Angela. Tube salep terjatuh ke atas karpet di kaki mereka.

"Sakit?" tanya Angela. "Yah, kayak gitu sakitnya diperlakukan nggak adil, Val. Belum lagi dihujat seluruh sekolah karena kini aku, Angela, jadi Queen of Detention. Thanks to you."

"Detensimu karena kesalahanmu sendiri. Pernah berpikir begitu?"

"Nggak sepenuhnya."

"Kamu nggak terima aku membela Karina? Kenapa? Alasan selain ketidakadilan menurut versimu?"

"Memang karena itu! Karena sikapmu yang kasar di depanku! Lalu membiarkan dia lolos dari hukuman. Perlu alasan apa lagi? Itu saja sudah cukup untuk jadi alasanku berhenti sampai disini." Angela menarik tangannya, namun Valdy bergeming. "Kita sudah sepakat soal itu, at least, aku yang meminta. Lalu kenapa kamu muncul lagi disini? Tiba-tiba? Masih belum jelas kata-kataku di ruang mediasi kemarin lusa?"

"Aku kesini bukan karena kamu, tapi anjingmu, sesuai kesepakatanku dengan Adrian. Jangan ge-er." Valdy melepaskan tangannya dan mendengus. "Sudah selesai? Sudah semuanya kamu obati?"

"Sudah!"

Angela membungkuk untuk memungut tube salep, lalu berlutut di lantai untuk mengambil tutup tube yang tadi menggelinding di dekat kaki Valdy. Saat ia mengangkat wajah, ia dan Valdy terkesiap. Lelaki itu telah menunduk, dan jarak diantara mereka berdua sangat dekat. Angela bisa melihat jelas kedua mata bersorot dingin itu yang hitam kelam bagaikan malam yang pekat. Ada rasa ngilu yang melintas di dada Angela, yang tak dikenalinya, saat menatap Valdy sedekat ini, dan ini bukan pertama kalinya.

Angela lalu bangkit dan berbalik, kembali ke dapur untuk menaruh kembali salep di kotak obat. Wajahnya masih terasa panas dan ia membasuhnya dengan kucuran air keran di wastafel sampai percikan air ikut membasahi rambut dan bagian atas pakaiannya.

Saat ia kembali ke ruang keluarga, Valdy telah menghilang. Suara-suara dari halaman depan menandakan lelaki itu berada disana bersama Moon-Moon. Angela memilih menjauh, kembali ke kamarnya di lantai 2 untuk mengambil ponselnya. Sembari turun ke lantai 1 ia memeriksa pesan dari Tantri yang berisi sederet nasehat soal kebiasaan makannya dan mengingatkan untuk mengunci semua pintu juga jendela jika Angela pergi. Orangtuanya tidak bisa pulang ke rumah minggu ini karena pekerjaan Budi yang cukup banyak dan menguras tenaganya. Angela membalasnya, lalu ia mengetikkan pesan pada Roni, mengajak lelaki itu kencan hari itu.

Roni : La, kan sudah kubilang hari ini aku dan keluargaku ke Mangata. Sepupuku married. Senin sore baru balik.

Angela mendesah kesal, lupa sama sekali tentang ucapan Roni sejak beberapa hari sebelumnya, dan izin untuk absen sehari di hari Senin. Angela tak membalasnya, dan pesan dari Roni muncul lagi setelah 5 menit berselang.

Roni : Jangan ngambek dong! Minggu depan kita kencan. Tiap sore juga boleh, selesai latihan. Mau? Senyum dong, Cantik.

Angela tersenyum dengan enggan, masih malas membalasnya. Satu panggilan video muncul di ponselnya dan ia mengangkatnya sambil duduk di anak tangga terbawah. Wajah Roni yang disinari cahaya matahari tersenyum padanya. Di latar belakang, Angela melihat deretan kursi penumpang. Dia sedang naik feri yang menuju Nusa Mangata.

"I miss you, Ron…" Angela mengerutkan bibir dengan cemberut.

"Hey, I miss you too." Mata Roni berkilat nakal, lalu ia menatap Angela dengan sendu. "Jangan dimatiin dulu, La. Masih pingin lihat kamu." Senyumnya yang memikat tercetak di wajahnya. Angela duduk bersandar di birai tangga dengan nyaman dan balas memandangnya sambil melamun. Suara Valdy dari halaman depan terdengar memanggilnya.

"Angela!"

Angela terkesiap saat Valdy mendadak muncul dari ruang tamu. Ponsel di tangannya terjatuh ke lantai. Valdy membungkuk mengambilnya diiringi jeritan Angela.

"Aku ambilkan untukmu. Nggak usah lebay!" Mata Valdy sontak melebar saat melihat Roni balas memandangnya dengan tak kalah kagetnya dari layar ponsel Angela.

Valdy lalu mengulurkan ponsel pada Angela, yang dengan sigap merebutnya. Wajah Roni telah berubah tegang dipenuhi amarah. Darah seperti menyusut dengan cepat dari wajah Angela saat mendengar pertanyaan Roni yang bernada ketus.

"Apa yang kamu lakukan berdua dengan Pak Valdy?"

***

Next chapter