webnovel

The Beginning of Everything

Kota Tangerang

Rintik hujan mulai terdengar beriringan di pagi yang harusnya menampakan sinar sang fajar. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan tampak berlarian mencari tempat untuk berteduh. Semua aktivitas terhenti begitu saja hingga jalanan kembali melengang.

Seorang gadis yang sedang melihat keadaan di luar sana lewat jendela kamarnya itu kini hanya bisa mendesah pelan. Ia memang harus berangkat sekolah sekarang namun cuaca tak mendukung perjalanannya.

Dengan langkah yang tergontai ia berjalan ke luar kamarnya, mengambil tas disisi ranjangnya tanpa minat sedikitpun. Rambutnya yang tergerai sebahu itu ia biarkan acak-cakan tanpa ia sisir. Membuka knop pintu dengan sangat pelan.

Sejenak ia menatap ranjangnya sebelum ia kembali menutup pintu kamarnya. Sebenarnya keinginannya untuk kembali terlelap itu tampak sekilas saat menatap ranjangnya, apalagi cuaca hujan sangat mendukungnya untuk cepat terlelap.

Usai pintu kamar tertutup gadis itu berjalan menuju tempat makan, menduduki kursi yang telah tersedia disana. Dilihatnya pria yang duduk dihadapannya dengan mulutnya yang tengah mengunyah makanan begitu lahap.

" Ayah, Liza ke sekolah nggak ya? Hujannya gede banget,mana jauh lagi ke sananya " tanya gadis itu menatap manik hitam pria yang juga tengah menatapnya dan memberhentikan kegiatan makannya. Dipandanginya putrinya itu dengan tatapan datar kemudian tersenyum tipis.

" Berangkat aja Za.. Nanti ayah ada interview di kantor, kamu sekalian aja sama ayah ya? " tanya balik sang ayah dengan senyum tipis yang masih terpampang jelas di wajahnya. Gadis itu hanya mengerucutkan bibirnya dan mendengus kasar mendengar jawaban sang ayah.

" Liza katanya mau membanggakan ayah, jadi jangan mengeluh ya kalau ada halangan kayak gini.. Ini cuma masalah kecil kok, toh kamu biasa ayah antar pake mobil  " ucap sang ayah kembali. Kali ini gadis yang dipanggil 'Liza' itu menghela napas kasar dan bibirnya yang mengerucut itu kembali ke bentuk normalnya. Memang ia pernah janji kepada ayahnya jika ia akan membuat ayahnya itu bangga jadi ucapan ayahnya tadi membuat kekesalannya runtuh seketika digantikan dengan rasa bersalah.

" Maaf deh Yah.. Liza cuma masih ngantuk, kemarin malam habis mimpi aneh " ujar Liza merespon ucapan ayahnya. Sang ayah hanya menampilkan senyumnya dan mengangguk sebagai balasannya. Putrinya memang terkadang menjadi seorang yang pelupa dan memberi alasan yang nyeleneh sebagai tamengnya agat tak dimarahi.

" Ya sudah.. Makan dulu, nanti Ayah tunggu diluar, ini rambutnya dirapiin.. Udah besar kok ngga rapian " balas sang ayah yang telah beranjak dari meja makan dan sudah berada dibelakang Liza dengan memegangi rambut putrinya itu yang masih acak adul.

" Iya iya Ayah....Liza makan dulu nanti baru sisiran kok, Ayah siap-siap dulu sana " titah Liza sembari mendengus pelan dan mendorong punggung ayahnya agar menjauh darinya membuat sang ayah terkekeh pelan.

" Iya sayang.. " balas sang ayah melenggang dari posisi Liza dengan kekehannya yang masih terdengar jelas.

Liza kembali melanjutkan acara makan paginya yang sempat tertunda karena ayahnya. Orek telor dadar adalah makanan favoritnya di campur dengan kecap manis. Tak lupa memakai cabai yang dipotong kecil sebagai penyedap rasanya. Bukan Liza yang masak, gadis itu tak mungkin bangun sepagi itu hanya untuk memasak sarapan paginya. Baginya, jika tak ada sarapan pagi lebih baik ia beli nasi rames di kantin sekolahannya.Buat apa ribet?

" Non Liza, Pak Gerald telah menunggu e-Non di luar, buruan ya Non.. " panggil seorang wanita dengan cepol rambutnya dan pakaian daster seadanya, perawakannya gemuk. Terlihat menetralkan napasnya yang tersengal-sengal mungkin berlarian saat menghampiri Liza.

Liza yang sedang menyuap sendok kedalam mulutnya itu kembali mendengus pelan. Padahal tinggal sesuap lagi makanannya telah habis tetapi diganggu dengan perkataan yang membuat ia harus beranjak dari tempat duduknya.

" Bi Sari, Liza tuh belum selesai makannya masa udah disuruh pergi? Sesuap lagi lho Bi " balas Liza yang sudah berdiri dari tempat duduknya sambil berdecak kesal dan mengelap sisa makanannya di sekitar bibir tipisnya dengan tisu yang tersedia di meja.

Wanita yang dipanggil Liza 'Bi Sari' itu hanya bisa meringis memperlihatkan giginya yang agak menguning. Menggaruk leher belakang yang tak terasa gatal.

" Maap Non, kalau tinggal sesuap bisa dihabisin aja " balas Bi Sari dengan cengiran kudanya. Liza berdecak sambil memutar bola matanya jengah. Ini orang gimana sih?

" Ya elah Bi... Gimana sih? Tadi Liza disuruh buruan sekarang malah disuruh makan lagi, harusnya kan Liza yang nyuruh Bibi, ya udahlah Bibi yang habisin itu apa dikasih ke ayam atau kucing lewat, Liza udah ngga nafsu " timpal Liza sembari berlalu melewati Bi Sari yang masih terpaku dan memasang tampang nyengir kuda.

" Aku ngomongnya salah ya.." batin Bi Sari dengan alisnya yang mengkerut setelah lama terpaku melihat gadis itu melenggang jauh dari pandangannya. Tak lama ia berpikir kembali, perasaan Pak Gerald tadi tidak hanya menyuruhnya untuk menyuruh Liza keluar, tapi apa ya?

Liza yang telah beranjak ke luar menuju mobil yang bermerek Xenia dengan warna putih. Sudah berdiri seorang pria didekat mobil itu dengan tangan kiri memegang payung dan manik matanya terus melihat ke arah jam tangan pada tangan kanannya. Pandangannya beralih ketika melihat putrinya berjalan menghampirinya dengan payung merahnya.

Liza yang melihat tatapan ayahnya yang terlihat dingin dan menusuk itu membuat bulu kuduknya merinding. Walaupun sudah berumur tiga puluh sembilan tahun, tapi ayahnya ini tetap terlihat tampan, namun jika terlihat marah ia akan menjadi terlihat mengerikan. Liza merasa dirinya akan siap mendapat siraman rohani satu jam mungkin atau bahkan sampai jam pulang. Tapi apa kesalahannya? Apa karena ia kelamaan makan?harusnya tidak kan ia langsung kesini saat Bi Sari menyuruhnya kesini, lalu apa salahnya?

" Rambutmu " ucap Gerald membuka suaranya setelah lama menatap putrinya yang terus meneguk salivanya kasar.

Liza langsung membelalakan matanya dan meraba-raba rambutnya yang masih berantakan. Hanya cengiran kuda yang dapat ia perlihatkan pada Gerald sama seperti yang Bi Sari lakukan padanya. Apa ini karma?

" Ma..Maaf Yah.. Liza lupa, soalnya tadi Bi Sari udah suruh Liza buat berangkat.. Jadinya Liza malah langsung kesini " jujur Liza masih dengan cengiran kuda yang ia paksakan. Gerald masih menatapnya datar namun setelah tatapannya beralih pada seseorang di belakang Liza yang tergopoh-gopoh menghampirinya tanpa mengenakan payung. Tentu ia langsung terkena basahnya hujan.

" A..Anu Pak, Maaf tadi saya kelupaan mau kasih tau Non Liza jadi tolong jangan marahi e- Non Pak.. " ungkap Bi Sari dengan raut wajah khawatir, dirinya memang sudah tahu jika seorang Gerald yang sudah terlonjak marah pasti akan memgadakan acara ceramah bersama dirinya dan Liza sebagai pendengar setianya.

Tatapan Gerald yang awalnya datar tanpa ekspresi kini melunak. Melihat raut wajah putrinya yang sepertinya mulai menitikan cairan bening di matanya. Langsung ia tarik  anaknya itu dalam pelukannya dengan tangan kanannya hingga dirinya dan Liza berada dalam satu payung milik Gerald dan payung Liza jatuh dipungut Bi Sari.

" Maaf Nak.. Ayah salah, jangan nangis ya?" ucap Gerald lembut mengusap-usap punggung anaknya yang gemetar dalam dekapannya. Liza yang mendengar permintaan maaf Gerald mengangguk pelan lalu menyeka air matanya.

" Ayah natapnya jangan gitu banget kan Liza jadi takut! " seru Liza tak terima dengan tatapan Gerald yang sangat membuatnya ingin pingsan saat itu juga.

Bukannya menenangkan Liza, Gerald justru kembali menampakkan wajah datarnya kembali kepada Liza yang masih gemetaran.

" Kok lagi sih Yah..Ihhh!!!" bentak Liza memukuli dada Gerald. Gerald terkekeh melihat tingkah putrinya yang menggemaskan. Mencubit pipi Liza pelan dan mencium kening putrinya.

" Maaf maaf.. Liza kan udah terbiasa sama sikap Ayah harusnya kuat dong " balas Gerald masih tertawa pelan.

" Ya kan tadi nakutin banget, mana hujan lagi jadi nambah nakutin " timpal Liza tak mau kalah. Gerald hanya menampakan senyum tipisnya kemudian dan mengusap pucuk rambut putrinya.

" Iya udah maaf.. Sekarang masuk mobil, nanti kamu telat " titah Gerald kemudian diangguki Liza.

" Eh, Non..Sisirnya dibawa nih, nanti e-Non sisiran di mobil " pinta Bi Sari sebelum Gerald melangkah masuk ke mobil.

" Sini, aku aja yang bawa..Kamu bawa semua payungnya ini ke dalam " titah Gerald lagi dengan payungnya yang ia ulurkan kepada Bi Sari. Bi Sari menganggukinya dan menyerah sisir yang ia bawa pada Gerald.

Usai semua telah masuk ke mobil, Bi Sari menatap mobil yang melaju pelan itu sampai menjauh. " Hati-hati Non!!" serunya melihat mobil itu perlahan menghilang dari pandangannya.

" Nih, rambutnya disisir dulu" titah Gerald sembari menyerahkan sisir pada Liza dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya masih mengendalikan mobil yang ia kemudikan.

Liza menoleh lalu mengangguk dan menerima sisir yang Gerald berikan. Perlahan ia sisir surai rambutnya yang masih berantakan. Sesekali ia meringis perih sadar bahwa rambutnya begitu kusut dan lepek. Bagaimana mau tidak kusut orang kramasnya saja seminggu sekali.

" Ayah penasaran kemarin malam kamu mimpi apa? Katanya aneh sampe kamu males berangkat" tanya Gerald memecah keheningan yang sudah lama tercipta. Kontan Liza menoleh mendengar pertanyaan yang dilontarkan Gerald.

Liza terdiam sejenak lalu ia letakan sisir yang ia pakai di dalam tas gendongnya. Setelahnya kembali menatap Gerald yang masih menatap lurus kedepan namun menunggu jawaban dari Liza.

" Liza mimpi aneh banget.. Ada cowok seumuran Liza yang nyulik Liza terus Liza dibawa ntah kemana, tapi anehnya Liza nurut-nurut aja gitu.. Tapi aslinya cowok itu baik banget Liza jadi betah dibawa kemana-mana sama dia, makanya Liza jadi ngga mau bangun karena pengin liat cowok itu terus, tapi bodohnya Liza lupa nanya namanya " jelas Liza panjang lebar membuat mimik wajah Gerald berubah, ada unsur kekhawatiran didalamnya.

" Terus, alasan dia nyulik kamu itu apa? " tanya Gerald kembali.

" Hmm.. Entahlah, Liza juga nggak tau yang Liza tau pokoknya Liza diculik sama dia "

Jawab Liza menampilkan raut wajah bingungnya. Gerald hanya mengangguk sebagai balasan dari jawaban putrinya.

Akhirnya mereka sampai di sekolah Liza yang notabenenya itu SMA. SMA Airlangga kini menjadi sekolah yang selalu Liza datangi untuk belajar sehari-hari sampai Liza terasa bosan.

" Yah, Liza masuk ya.. Ayah hati-hati di jalan " ucap Liza sebelum menutup pintu mobil kembali usai dirinya keluar. Gerald tersenyum kemudian mengangguk menanggapi ucapan anaknya.

" Kau juga.. Belajar yang bener, biar bisa banggain Ayah" balas Gerald kemudian. Liza mengangguk patuh dengan mengacungkan jempol kanannya.

" Oke Ayah "

°°°°°°°°°°°°°°°°

Bel pulang terdengar nyaring sore itu, semua siswa langsung berhamburan keluar kelas termasuk kelas Sains- 1 yang merupakan kelas yang didatangi Liza tiap hari.

" Ehh.. Tunggu! Berdoa dulu!" teriak seorang wanita renta dengan kacamata yang terpasang di kedua matanya. Kontan seluruh siswa kembali masuk kedalam dengan memasang tampang cemberut.

" Bu Kesha! Buruan yaa! Liza udah ditunggu Ayah! " seru Liza yang asal duduk di depan.

" Marlin Harion! Siapkan mereka!" titah Bu Kesha menatap cowok yang tampak menatapnya datar tanpa ekspresi. Memang di kelasnya dia terkenal sebagai cool boy tapi tidak di cap sebagai seorang bad boy. Dilihatnya Marlin mengangguk singkat dan tatapannya kembali terarah kedepan.

" Let's pray together, Start! " seru Marlin dengan lantangnya memimpin doa. Memang gurunya itu adalah guru bahasa Inggris jadi, wajar jika Marlin memimpinnya dengan Bahasa Inggris. Semua siswa tampak menundukan kepala, berdoa dengan khidmad termasuk Liza.

" Finish!"

Semuanya kembali ramai, memberi salam kepada Kesha lalu berhamburan keluar dari kelas. Liza tampak berlarian takut Gerald telah menunggunya lama.

" Liza! " seru seseorang dari belakang Liza kemudian ikut mensejajarkan langkahnya dengan Liza membuat Lisa menoleh ke sumber suara.

" Eh Sidney! Lo dijemput?" tanya Liza masih dengan kondisi lari, gadis yang dipanggil 'Sidney' itu menggeleng tak luput dari senyumannya.

" Nggak dijemput Liz, sama Marlin dong " balas Sidney dengan senyum miringnya.

Oh iya, Sidney kan pacarnya Marlin.

" Lupa deh Sid, paling lo mampir-mampir dulu kan?"

Sidney terkekeh pelan," Lo tau banget deh Liz, yaudah duluan ya! Marlin udah nunggu"

Liza mengangguk tersenyum melambaikan tangannya pada Sidney, " Oke hati-hati!"

" Lo juga! " balas Sidney yang sudah menjauh dari pandangan Liza.

Liza sekarang berada di parkiran sendirian, hening, parkiran hampir kosong hanya satu atau dua kendaraan saja yang tersisa. Hari itu cuaca masih terlihat mendung walau hujan telah mereda.

Alis Liza berkerut, pandangannya ia edarkan ke segala arah. Dicarinya kendaraan yang ia maksud namun yang dicarinya itu tak menampakan tampaknya.

" Katanya Ayah udah sampe kok malah ngga keliatan mobilnya?" gumam Liza masih terheran-heran.  Sayup-sayup angin saat itu menyapu tubuh Liza yang sendirian di area itu membuat Liza memegangi kedua sikunya sambil menggigil.

" Ayah... Liza takut, buruan dong!" gumam Liza kembali sambil menginjak-nginjak tanah dengan kasar. Pandangannya masih ia edarkan menunggu kedatangan mobil itu namun tak kunjung  datang.

Liza tetap menunggu, hingga sorot lampu jalanan sudah mulai terpancar. Ia terus menggigiti jarinya takut keadaan yang sangat terasa sunyi. Parkiran telah kosong tanpa kendaraan yang terparkir di tempatnya. Apa  Gerald tega membiarkan dirinya sendirian? Mengapa Gerald mengatakan telah sampai padahal batang hidungnya tak kunjung datang menghampirinya?

Takut. Liza sangat takut.

" Ayah on donggg!!!"

Teriaknya frustasi sambil memandangi ponsel pintarnya terus menerus, tak ada notif WhatsApp yang ia tunggu-tunggu daritadi.

Perlahan cairan bening miliknya menetes, tak bisa ia tahan kembali. Dirinya terus menyeka air matanya yang terus mengalir.  Mengapa Gerald tak mengatakan dirinya tak bisa menjemputnya jika kondisinya sampai begini? Tahu-tahu ia menunggu angkutan umum saja. Menyebalkan!

Hingga akhirnya terdengar samar langkah kaki di belakang Liza sampai langkah kaki itu berhenti tepat persis di belakang Liza.

Senyum Liza merekah, diusapinya air matanya kasar. Perlahan ia menoleh ke belakang dengan senyumnya yang masih tercetak jelas. Pasti temannya! Ia selamat!

Namun senyum itu kembali meredup digantikan dengan pelototan gadis itu. Bibirnya mulai bergetar takut. Tak sadar pandangannya mulai menggelap. Hanya penampakan seorang laki-laki dengan tampang dingin dan menakutkan yang ia lihat di saat-saat terakhir mulai mengangkat tubuhnya.

Membawa gadis yang tak sadarkan diri itu pergi dari sunyinya malam di tempat yang sedari tadi dipijaki sang gadis.

°°°°°°°°°°