Roseanne meninggal tertabrak truk dan jiwanya berpindah ke tubuh Rosie Villiers, seorang pemeran figuran di novel tragedy kesayangannya yang berjudul "Mencintaimu Hingga Saat Terakhir". Mengingat nasibnya yang akan mati secara tragis bersama para pemeran utama cerita ini, Rosie bertekad untuk mengubah cerita tragedi busuk ini dan menaklukkan duke kejam dan tampan yang seharusnya akan membunuh mereka semua. Dapatkah ia menjinakkan Duke Aslan Montgomery dan mengubahnya menjadi lelaki baik?
Rosie menutup buku novel yang dibacanya. Wajahnya telah basah oleh air mata. Sampul berwarna merah muda dengan banyak ukiran bunga tidak menjamin bahwa buku itu akan berakhir bahagia.
"Screw you, Aslan!" umpat Rosie menumpahkan seluruh kekesalannya. Nafasnya berderu cepat merasa sakit hati karena ending cerita yang penuh akan tragedi.
"Berani-beraninya kau second lead yang tak bermoral! Dasar kau manusia biadab!"
Rosie membuang buku "Mencintaimu Hingga Saat Terakhir" ke lantai yang penuh akan tisu basah oleh air matanya. Melihat kamar apartemennya yang berantakan, Rosie segera bangkit untuk membersihkannya kembali.
Meskipun ia sedang berada di suasana hati yang buruk, tapi menjadi wanita lajang berusia 32 tahun tidak menjadikannya seseorang yang pemalas. Justru karena ia hidup sendiri maka Rosie melakukannya seorang diri, memasak, berbelanja, mencuci baju, hingga memperbaiki keran bocor pun mampu Rosie lakukan. Ia telah terbiasa mandiri apa pun suasana hatinya.
Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Ia harus segera tidur karena besok ia harus bekerja di pagi hari. Setelah membuang semua tisu dan merapikan kembali tempat tidurnya, Rosie mengecek ponselnya untuk terakhir kali.
Terdapat sebuah pesan dari teman kantornya, Bryan. Senyum Rosie merekah karena diam-diam ia menyukai Bryan sejak pria itu dipindah ke divisinya.
"Hey, Ro! Bisakah kau datang ke kantor lebih cepat besok? Ada sesuatu yang ingin aku katakan ;)"
"Tentu!"
"Thank you, Ro! Temui aku di lobi, ya?"
Wajah Rosie menjadi lebih sumringah. Entah mengapa, tapi ia memiliki firasat bahwa Bryan akan mengungkapkan perasaannya besok. Hal ini sudah diberi petunjuk oleh beberapa koleganya yang lain jika Bryan juga menyukainya. Buktinya pria itu beberapa kali mengajaknya pergi menonton bersama dan selalu duduk di dekatnya jika istirahat siang.
Rosie memang belum pernah pacaran, selama sekolah dan kuliah ia selalu fokus mengejar akademiknya dan di awal usia 20 tahunnya, Rosie terlalu terlena dalam dunia novelnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ia bahkan sudah memiliki satu dinding penuh akan koleksi novel.
Dengan cepat Rosie mengambil plastik es batu dan tidur sambil mengompres matanya. Ia ingin terlihat cantik untuk besok. Malam itu pun Rosie telah melupakan sakit hatinya akan ending tragedi dari novel "Mencintaimu Hingga Saat Terakhir"
Keesokan harinya, Rosie bangun dengan sangat segar. Ia tersenyum bangga melihat matanya yang tidak terlihat sembab. Setelah mengenakan pakaian terbaiknya, Rosie menggunakan make up yang lebih tebal dari biasanya. Setelah memastikan lipstiknya terlihat cantik, Rosie pun meraih tas kerjanya.
Oh! Hampir saja kelupaan! Rosie mengambil novel yang dibacanya tadi malam untuk dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Ia telah berjanji ke sahabatnya, Maia, untuk meminjamkannya setelah ia selesai membaca.
Rosie berangkat ke kantor menggunakan taxi. Sesampainya di kantor, ia memeriksa pakaiannya sekali lagi di jendela kaca gedung yang ia lewati. Ia mencubit pipinya agar menambah kesan rona merah alami.
Jantungnya berdegup dengan kencang. Jam tangannya menunjukkan pukul 8.15. Jam kantor di mulai pada pukul 9. dan ada lima belas menit lagi sebelum waktu pertemuannya bersama Bryan. Ia memasuki lobi kantor dengan gugup.
Kedua alisnya berkerut melihat beberapa dekorasi balon dan mawar putih di sekelilingnya. Matanya terbelalak melihat Bryan yang sudah berdiri di tengah lobi dengan satu kaki berlutut di tanah. Satu tangan tersimpan di belakang dan satunya lagi terulur ke depan sambil memegang kotak beludru biru.
Rosie menutup mulutnya terkejut tapi firasatnya mengatakan ini tidak benar. Ia melihat sekeliling, ada beberapa orang yang memperhatikan dengan senyum kagum dan ada juga beberapa orang yang tidak peduli dan tetap memasang dekor di lobi.
"Bryan, ada apa ini?" tanya Rosie panik.
"Hei, apa poseku terlihat bagus?"
"Huh?"
Rosie menatap Bryan dengan bingung. Setelah tersenyum lebar ke arah Rosie, Bryan bangkit dan merapikan kembali pakaiannya. Pria itu menggaruk rambutnya dan tertawa canggung.
"Aku sedang melakukan latihan untuk melamar Maia. Apakah kejutanku cukup bagus?"
"Huh?"
Rosie masih tidak mengerti akan semua ini. Bryan menyimpan kotak beludru yang berisikan cincin itu ke dalam sakunya dan menggiring Rosie ke luar lingkaran bunga mawar putih itu. Ia menunjukkan sebuah banner sederhana yang bertuliskan 'Will you marry me, Maia Thompson?'
Kaki Rosie terasa seperti jelly. Antusiasnya tadi dipatahkan dalam seketika. Bryan bertanya sekali lagi tentang pendapatnya tetapi Rosie hanya menjawab dengan sebuah anggukan canggung.
Maia? Sejak kapan? Rosie merasa seperti dikhianati. Selama ini ia bercerita kepada Maia tentang perasaannya kepada Bryan.
Maia juga yang bilang bahwa ada kemungkinan Bryan menyukainya tetapi kenapa pada akhirnya Bryan melamar maia? Dan sejak kapan mereka berhubungan? Mengapa Maia tidak memberitahunya?
Rosie merasa mual dan jijik pada dirinya sendiri. Shoot. Beberapa memori tentang dirinya dan Bryan kembali muncul. Rosie terlalu dibutakan sampai tak sadar jika selama ini Bryan keluar bersamanya hanya untuk bertanya banyak hal tentang Maia.
Saat mereka di toko buku maka Bryan akan bertanya "Hey Ro, sahabatmu Maia suka membaca buku juga? Buku apa yang ia sukai?"
Atau saat mereka pergi menonton. "Film ini bagus untuk wanita dewasa kan, Ro?"
"Hei, bagaimana jika kita mengajak temanmu juga? Kau dekat dengan Maia kan?"
"Aku belikan ini untukmu, jangan lupa berbagi dengan sahabatmu Maia."
Maia. Maia. dan Maia. Ia begitu buta sampai tidak menyadari akan hal itu.
"Hei! Maia telah datang! Semuanya bersiap-siaplah di posisi kalin!" teriak seorang teman kantornya yang bertugas memeriksa kedatangan Maia.
Bryan mengumpat kaget kemudian merapikan rambutnya di sebuah kaca cermin. Ia tersenyum singkat ke arah Rosie dan berlalu ke tengah lobi dengan posisi yang sama saat Rosie tiba tadi.
Rosie hanya berdiri diam di antara para kolega yang lain. Ia tersenyum tipis saat Maia hadir muncul dengan wajah terkejut. Semua orang di lobi bersorak 'Surprise!' Rosie hanya bertepuk tangan dengan getir. Ia menundukkan kepalanya saat Maia menerima lamaran Bryan dan keduanya berciuman mesra dengan riuh tepuk tangan.
Rosie menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap pergi meninggalkan kantor. Hari ini ia tidak ingin bekerja. Ia tidak ingin melihat wajah-wajah yang mungkin sedang menertawakannya di balik punggungnya.
Hal itu membuat Rosie menjadi sangat sesak dan air matanya perlahan mulai turun. Rosie terus berjalan menabrak orang-orang di sekitarnya.
Ia terlalu diliputi oleh kesedihan sehingga ia tidak mendengar teriakan orang yang menyuruhnya berhenti sebelum menyebrang jalan. Lampu lalu lintas menunjukkan tanda merah untuk pejalan kaki tetapi Rosie tidak melihatnya. Ia terlalu sibuk menangis.
Teriakan kencang seorang wanita pun menyadarkannya. Tetapi semua terlambat. Saat ia berhenti untuk melihat wanita yang berteriak tadi. Tubuhnya ditabrak oleh benda keras dengan sangat keras hingga terpental beberapa meter ke depan. Tubuh Rosie bergulung di sepanjang jalan hingga seluruh isi tasnya berhamburan.
Pandangannya mengabur. Tubuhnya sakit luar biasa tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Ia bisa melihat tangannya yang terkulai lemas dengan darah yang menggenangi aspal jalanan. Di depan matanya tergeletak novel yang ia baca tadi malam.
Ia hanyalah seorang perawan tua yang menginginkan sebuah cinta. Kini Rosie merasa menyesal telah membuang masa mudanya menjadi kutu buku.
Untuk terakhir kali, sebelum kesadarannya menghilang, Rosie mengumpat di dalam hati. "Sialan! Sungguh cara yang konyol untuk mati."