Sebuah penyesalan dari kesalahan, membuat seorang Kakek Tua tak bisa mati dengan tenang. Dia bertransmigrasi ke tubuh seorang Mama Muda dua anak kembar yang hidup di tengah hutan. Bermodalkan pengetahuan dari dunia lamanya, beserta bimbingan Konstelasi Teratai Malam. Dia mulai bertekad untuk keluar dari hutan, lalu membuat kehidupan dua bocah kembar tampan itu lebih baik, dan mendapatkan pendidikan yang mumpuni. Sayangnya, dunia di luar hutan itu lebih berbahaya dari perkiraannya. Terlebih, dia adalah wanita omega yang membuat dunia lebih kejam dari sebelumnya. Ada tiga kasta yang terbagi di dunia ini. Alpha, mereka adalah kaum pria dominan dengan kecerdasan dan kekuatan di atas tingkat manusia biasa. Beta, kaum manusia normal pada umumnya. Omega, keberadaan mereka menjadi penting. Sebab, para Alpha memerlukan Omega untuk bisa melahirkan anak. Hukum alam yang berlaku adalah, Beta tak bisa melahirkan anak dengan gen Alpha. Hanya Omega yang mampu melakukan itu.
"Aku ga–gal," gumam seorang lelaki tua telanjang bulat, dengan kondisi terikat bersama pohon. Warna merah darah darah mewarnai sekujur kulitnya, berkat luka goresan dan bekas siksaan anak cucunya.
"Emm, harus kupanggil apa sekarang? Kakek?" tanya seorang pemuda dengan rambut kuning berponi menutupi kening, dan hanya memperlihatkan alis tajam, serta wajah tampan pada kulit putihnya.
Kakinya bergerak mendekat, tangan kanannya terulur menjepit dagu si kakek. Membuat Keyvano mendongkak, menatap cucu bernama Ravo dengan tatapan bersalah. Tak suka ditatap seperti itu. Tangan kiri langsung bergerak menampar si kakek, hingga suara begitu keras menggema dalam hutan.
Wajah si Kakek langsung tertoreh ke samping, dengan bengkak yang kian membesar pada wajah tua penuh luka. Mata Ravo memandang tajam. "Jangan memandangku seperti itu Pria Tua Sialan! Untung-untung masih kuanggap Kakek, Bajingan!" umpatnya kasar.
Kecewa dan sakit diumpati oleh cucu di hadapannya. Tapi bukan karena perilaku, atau sakit yang mereka berikan. Melainkan pada dirinya sendiri. Semua perilaku anak cucu yang seperti itu adalah kesalahan dan kelalaiannya. 'Seberapa banyak aku harus melihat kelalaianku?' batin Keyvano berkaca-kaca.
Ada setitik rasa bersalah yang kian membesar setiap saat mengingat bagaimana pesan sebelum istrinya pergi meninggalkan dunia. 'Aku tak bisa merawat mereka dengan baik Sayang, maaf-maaf,' sesalnya dalam hati.
Di saat Keyvano terdiam dan tenggelam dalam lamunan, pintu mobil berwarna hitam terbuka. Membuat sebuah kaki dibalut celana kantoran menapak pada tanah di bagian hutan paling dalam. Sosok laki-laki dengan jas hitam, dan rambut kuning berponi menutupi sebelah kening mulai keluar.
Berjalan sambil menjepit rokok di antara kedua jari. di balik kacamata, netra berwarna kuning menatap tajam. "Dia sudah sekarat, kita beri dia kebebasan sementara. Jangan diapa-apakan lagi, kita pergi," titahnya tegas.
Ravo membulatkan matanya tak percaya mendengar kalimat dari Kakak kembarnya, Varo. "Tapi Kak!" balasnya tak setuju. Namun terpotong.
Varo menghisap sepuntung rokok itu, dan kemudian membuangnya ke sembarang arah. Bibirnya meniup asap, bertepatan saat angin malam berembus, membawa asap itu pergi. Di balik kacamata, netra kuningnya menatap tajam pada sang adik.
Bugh! Dalam sekejab, sebuah tinju kepalan tangan melayang pada ulu hati Ravo, hingga tubuhnya terlempar jauh, menghantam sebuah pohon, menyebabkan pohon yang menjadi sandarannya retak. Satu kali hantaman lagi, pohon itu akan tumbang.
Darah mengalir di sudut bibir Ravo. Sementara Varo memegang pergelangan tangannya, dan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Tak ada raut bersalah, setelah meninju adiknya hingga seperti itu.
"Jangan menyela saat aku sedang berucap!" titah Varo tegas.
Ravo menunduk, sambil memegangi bagian perut dan dada. Rasa sakitnya luar biasa. "Apa kau mendengarnya?" tanya Varo menatap sang adik.
Ravo tersentak dan langsung mendongkak menatap kakak kembarnya. "Dengar Kak," jawabnya pelan. Varo tersenyum smirk, lalu menoleh ke arah Keyvano. Langkahnya bergerak mendekat.
Jarinya menangkup pipi Keyvano, membuat bibir pria tua itu mengerucut seperti orang yang minta ditabok. Kedua sudut bibir Varo kembali berkedut memandang pria tua di depannya. "Aku memberikanmu pilihan, Pria Tua. Ingin hidup dalam diam, dan jangan macam-macam. Atau langsung dijemput Malaikat Maut sekarang?" tanya Varo mengangkat sebelah alisnya.
Keyvano yang diperlakukan seperti itu tersentak, seketika sadar dari lamunan. Matanya melirik ke arah suara ringisan, di mana Ravo sedang memegang perut sambil terus meringis. Keningnya berkedut penuh tanda tanya.
Plak! Sebuah tamparan kembali melayang pada bagian wajah Keyvano yang bengkak. Cengkraman pada pipi, beralih menjadi cengkraman pada leher. Tanpa henti, Varo terus melayangkan tamparan dan mencekat napas pria tua di hadapannya.
Tak ada pemberontakan dari Keyvano. Dia hanya memejamkan kedua matanya. Mendongkak dengan wajah yang mulai kehabisan napas. 'Jika memang ini akhir, maka aku rela untuk pergi,' batinnya ikhlas.
Varo mengernyitkan kedua alisnya, dan tersenyum menyeringai dalam benak. "Tidak semudah itu untuk mati sekarang. Tadi, kuberikan pilihan, dan kau tak menjawab. Inilah balasannya," bisik Varo tersenyum smirk.
Cengkraman pada leher pria tua itu terlepas. "Ravo, sepertinya aku berubah pikiran. Kita akan menyiksanya lagi untuk beberapa saat, baru membunuhnya," putus Varo menyeringai. Langkahnya tertuju pada bagasi mobil.
Tangannya mengambil beberapa peralatan siksaan. Dan mencium aroma darah yang samar-samar masih tertinggal. 'Teman-teman, mari kita bermain,' batinnya memejamkan mata, kemudian membuka. Pupil matanya langsung mengecil. Kacamatanya dilepas.
Mengambil salah satu cambuk berduri besi. Tangan kanan Varo menggenggam bagian gagang cambuk. Sementara tangan kirinya memegang ujung cambuk. Kedua tangannya bergerak, membuat cambuk itu melebar dan merentangkan talinya.
Cambuk yang Varo pegang saat ini, dibuat khusus untuk penyiksaan. Di mana, ada beberapa cara agar tali itu bisa memanjang, dan memendek sesuai keinginan. Ravo tersenyum smirk, melihat kakak kembarnya seperti itu.
Berjalan dengan rasa sakit pada bagian tubuh. Ravo ikut mengambil beberapa senjata kesayangannya dari dalam bagasi mobil, yang cukup untuk menyimpan peralatan penyiksa.
Langkah Varo terhenti di depan pria tua bernama Keyvano tersebut. Pupil mata berukuran kecil khas psychopath mulai meneliti bagian tubuh yang ingin dia siksa. Senyum lebar menyeringai terukir jelas.
Keyvano kembali terdiam menatap cucu-cucunya yang tidak menyimpan akhlak saat bertingkah. Dia mulai menganggap, rasa sakit yang mereka berikan padanya itu sebagai penebusan dosa.
Varo mengangkat cambuknya, dan mulai memutarkannya di atas kepala, hingga membuatnya berputar seperti tornado. Suara cambuk dan udara yang berhantaman menggema keras.
Syuut! Varo langsung mengayunkan cambuk itu dari samping, menghantam tubuh sang kakek, hingga suara ringisan terdengar dari bibir pucatnya. "U–ugh," ringis Keyvano menahan rasa sakit.
Sudut matanya mulai berair. "Ini belum cukup!" seru Varo kembali mengayunkan cambuknya menghantam setiap jengkal tubuh Keyvano yang sudah dibalut oleh cairan kental berwarna merah.
Rasa sakit tak bisa dihindarkan, ketika luka di sekujur tubuhnya kembali ditambah dengan benda tajam yang menembus kulit, lebih dari dua sentimeter. Pohon tempat Keyvano berada pun ikut jadi korban cambuk Varo.
Di mana, darahnya bercipratan hingga tempat sekitarnya mulai dipenuhi titik-titik darah. Namun, Varo tak berhenti, malah senyumnya menjadi semakin lebar dengan wajah memerah seperti menikmati apa yang dia lakukan sekarang.
Lain halnya dengan Ravo. Jantungnya terus berdebar semakin kencang menunggu giliran dan terus menyaksikan penyiksaan yang tampil di depan mata, tanpa rasa iba. Sebelumnya, pria tua itu adalah kakek mereka. Namun, karena sebuah alasan yang tidak keduanya ketahui, mereka diberikan perintah untuk membunuh Keyvano tanpa meninggalkan jejak.
Tentu saja mereka patuh, tapi beberapa adegan membuat keduanya senang untuk menyiksa Keyvano.
***
Di sebuah gudang di tengah hutan, dunia lain. Gubuk usang nan rapuh diisi oleh tangisan dua bocah tampan sedang memeluk seorang wanita yang tak lain mama mereka sendiri.
"Mama, bangun Ma! Jangan bobo Ma!"
Berkali-kali kedua bocah itu meminta dan menggerakkan tubuh sang mama. Tetap tidak ada jawaban dari wanita bergelar mama itu, tubuhnya tak lagi bernyawa dan terbujur kaku di lantai gubuk, dengan kain tipis sebagai alasnya.
Keduanya panik, hingga tak menyadari kalau benda yang melingkar di pergelangan tangan mereka mulai berpendar.