Malam itu... Panji sedang memijit sang Kyai di teras musollah. Sambil di pijit, sang Kyai berkata,
"Kang Panji... Mengapa kamu kok ingin belajar ngaji di pesantren ini...? Kan jauh Surabaya ke Banten Jawa Barat itu, sedangkan di Jawa Timur, khususnya di Surabaya kan banyak pondok pesantren? Apalagi kamu nekad minggat dari rumah...?"
"Gak tau Kyai, tiba - tiba hati saya ingin pergi kesini," jawab Panji,
"Seperti ada yang menuntun juga menunjukkan jalan ke arah sini."
"Kalau di lihat dari pakean mu juga kulit mu, kamu dari keluarga Kaya?" tanya sang Kyai,
"Apa kamu betah tinggal di pondok jelek gini, sengsara lagi? Kamu harus menyapu, ngepel dan cuci piring...?"
"Semoga betah Kyai, sekarang saya sudah mulai senang tinggal di sini, walau saya harus menyapu, ngepel juga cuci piring. Sebagai pengusaha... orang tua saya memang kaya Kyai, tetapi... Saya tidak betah tinggal di rumah," jawab Panji.
"Iya iya iya... Karna anak seusia mu yang masih remaja... Kok bisa sampai ke sini sendirian," gumam sang Kyai,
"Kok nekad?"
Di saat ngobrol... Diam - diam Kyai Nuruddin melihat dua ekor harimau yang masih duduk di belakang Panji.
Lalu sang Kyai melakukan kontak batin dengan dua ekor Harimau itu,
"Assalamualaikum Eyang Jabat...
Tumben Eyang berada di pondok pesantren...?
Tidak seperti biasanya... Memang pondok dalam keadaan genting?"
"Aku hanya ingin main di dalam pondok, hanya ingin melihat - lihat saja Gus," Jawab Kyai Jabat.
"Tapi... Mengapa Eyang, dari tadi kok selalu berada dekat dengan Panji santri baru?" tanya sang Kyai.
"Karna dia adalah calon Waliyullah, jadi aku senang selalu bersamanya," jawab Kyai Jabat.
Mendengar pengakuan Kakek Jabat leluhurnya... Kyai Nuruddin sangat terkejut, kemudian berkata,
"Kang Panji... Sudah yaa pijitnya, ini uang untuk beli kitab Ihya Ulumuddin. Saya terima kasih telah di pijit."
Setelah sampai di rumah... Kyai Nuruddin duduk di kursi meja makan dapur sambil menghisap rokok.
"Benarkah apa yang di katakan Eyang Jabat itu?" kata Kyai dalam hati,
"Sekelas Eyang Jabat, pendiri pondok pesantren ini saja mau berlama - lama sama Kang Panji... Tidak biasanya? Eyang Jabat jarang muncul di pondok! Paling - paling hanya lewat ketika hendak kerumah, itu pun Eyang hanya menggasih kabar kepada ku? Aneh...!" Kalau di lihat dari tanda tandanya... Kang Panji tidak mungkin calon wali Allah, tapi bisa jadi sih, kan Allah itu Maha Kuasa."
Setelah menerawang sanad sil silla keluarga Panji... Kyai Nuruddin berkata lirih,
"Mengapa mata batinku tidak bisa melihatnya...? Baru kali ini mata batinku tidak bisa menembus alam samar? Berarti benar apa yang di katakan Eyang benar!"
Sementara... Panji dan Kang Salim masih di teras musollah, kemudian di susul Kang ujang dan kang Subur ikut santai istirahat sambil bercanda.
Malam semakin pekat, serbuk embun pun mulai bertaburan. Panji masih tetap terjaga sambil menikmati kepulan asap rokok. Sementara di samping teras musollah yang di teraggi lampu remang - remang... Terdengar suara santri melantunkan bacan Al qur'an.
Tanpa sadar Panji yang mendengarkan merdunya bacaan Al qur'an, tak terasa meneteskan air mata. Hatinya tergetar oleh lantunan ayat - ayat yang keluar dari lisan santri lainnya.
"Mengapa hatiku sangat sedih mendengarkan lantunan bacaan Al qur'an ya?" kata Panji lirih sambil mengusap air matanya.
Panji juga melihat beberapa santri senior melaksanakan solat di tengah malam di dalam musollah.
Salah satu santri senior keluar dari musollah kemudian berkata lirih,
"Eeee kang Panji, belum tidur?"
"Iya Kang, belum ngantuk," jawab Panji,
"Ini Kang, kopi bekas sisa Kyai tadi, ini ada rokok juga di beri sama Kyai."
Mendengar ucapan Panji... Santri senior itu terkejut, kemudian mendekat.
"Yang benar!!! Kapan Kyai minum kopi?"
"Tadi habis ngaji kitab Ihya, kyai minta di pijit, lalu aku di belikan kopi sama rokok," jawab Panji,
"Akang siapa namanya?"
"Namaku Soleh, kalau benar ini sisa kopi Kyai... Saya minta yaa Kang Panji... Alhamdulillah barokahnya Kyai ini," jawab Kang Soleh.
"Iya Kang, minum saja," kata Panji,
"Ini kopi ku juga Barokah!"
"Hemmm... Dari pada kamu duduk karna gak bisa tidur... Lebih baik solat malam dulu Kang Panji! Habis solat malam, ngopi lagi," ujar Kang Soleh.
"Gak bisa solat malam Kang, belum di ajari," jawab Panji.
"Yaa... Besok kalau ada waktu kapan - kapan saja, kamu datang ke kamar ku ya...! Aku ajari cara solat malam hari," kata Kang Soleh,
"Oh iya, nama mu sekarang banyak di kenal di kalangan santri, karna keluguan mu. Kang Panji... Kamu hebat loh bisa dekat sama keluarga ndalem, bisa dekat dengan Kyai."
"Hebat apanya Kang? Perasaan ku biasa - biasa saja," kata Panji santai.
"Ah, kamu kan belum banyak mengenal dunia pesantren... Kalau sudah mengenal, kamu pasti tau," kata Kang Soleh,
"Kalau kamu dekat dengan Kyai... Lama - lama kamu akan tau kesaktian atau kekeramatan Kyai."
"Apa benar Kyai, itu sakti?" tanya Panji serius,
"Apa boleh yaa, minta kesaktiannya?"
"Boleh," jawab Kang Soleh.
***
Pagi yang melelahkan, dengan rasa kantuk yang luar biasa... Panji menyapu rumah Kyai dengan kurang semangat. Ketika Panji menyapu lantai dapur... Panji melihat Kyai Nuruddin sedang mondar - mandir sambil komat - kamit membawa tasbih kecil.
"Kang Panji... Habis ini kamu belajar adzan yaa, belajar sama Kang Salim! Kalau sudah bisa adzan, kamu aku tugaskan adzan setiap subuh," perintah Kyai.
"Baiklah Kyai," jawab Panji.
"Oh iya, nanti sore ikut aku ke makam ayah ku, juga ke makam sesepuh pendiri juga pengajar pondok pesantren Meteor Garden," ujar Kyai sambil mondar - mandir,
"Agar kamu tau pentingnya ziarah kubur."
"Iya Kyai," jawab Panji sambil menyapu.
Setelah selesai semua... Panji kembali ke pondok dengan langkah yang gontai. Begitu sampai di kamar... Panji langsung merebahkan badannya dan tertidur.
Adzan dzuhur berkumandang.
Setelah solat dzuhur... Panji pun belajar adzan seperti pesan sang Kyai.
Di temani Kang sSlim, sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok... Panji belajar adzan di bawah pohon di halaman samping pondok. Setelah belajar mengumandangkan adzan kurang lebih seratus kali... Akhirnya Panji bisa dan hafal.
Jam 4 Sore setelah menyapu halaman rumah sang Kyai... Panji mengikuti langkah sang Kyai yang berjalan sambil membawah tongkat. Tak lama kemudian, sampailah di gerbang pemakaman yang tak jauh dari pondok.
"Panji... Ayoo duduk di samping ku," ujar Kyai,
"Ingatlah, setiap hari kamis malam jumat... Kamu harus ziarah ke makam para sesepuh pondok, jangan lupa doa kan juga orang tuamu juga leluhur mu."
Setelah uluk salam... Kyai bertawasul dan wirid. Ketika sang Kyai sedang berdzikir... Mata batin sang Kyai melihat wujud asli Kyai Jabat leluhurnya, lalu Kyai Jabat mengelus elus kepala Panji. Walau kepala Panji di elus - elus... Panji tidak merasakan apa - apa, sebab Panji remaja tidak mengetahui hal - hal Goib.
Setelah mengelus - elus kepala Panji... Kyai Jabat mendekati Kyai Nuruddin cicitnya, lalu memberi pasrah atau serut alat untuk meluruskan permukaan kayu.
Setelah selesai berziarah... Kyai kembali ke rumahnya yang berada di samping pondok. Sambil berjalan Kyai berkata,
"Kang Panji... Itulah caranya ziarah ke makam, nanti kamu minta ajari Kang Salim biar lebih mengerti."
"Baiklah Kyai," jawab Panji yang berjalan di belakang.
Ketika Kyai berjalan melewati pelataran samping pondok... Para santri yang ada di sekitar semua berdiri, kemudian menundukkan kepala lalu sungkem mencium tangan sang Kyai.
Melihat kejadian itu... Panji yang baru mengenal dunia pesantren sangat heran dan terkejut, sambil diam berdiri di belakang kyai... Panji berkata dalam hati,
"Mengapa mereka berebut mencium tangan sang Kyai...?
Aneh! Anak - anak pondok ini... Perasaan enakkan mencium pipi sang Pacar!" 😅
"Panji, sudah sampai sini saja, habis ini mandi, setelah solat magrib kamu ikut santri lainnya ke rumah Kyai Asbak untuk Tahlil rutinan setiap malam jumat.
"Iya Kyai," jawab Panji.
Setelah Kyai pergi... Panji berkata,
"Kang Subur...!
Kang Ujang...!
Mengapa kalian tidak salaman sama aku? Dan tidak mencium tangan ku...?"
Mendengar kata - kata Panji... Kang Ujang dan Kang Subur tertawa terbahak - bahak.
"Panji...! Yang wajib di cium tangannya itu yaa Kyai, guru kita," ujar Kang Ujang
Sementara... Sang Kyai duduk di kursi meja dapur. Sambil menikmati secangkir kopi dan kepulan asap rokok... Kyai diam seribu basa sambil berkata dalam hati,
"Kyai Jabat itu sangat sayang kepada Panji... Sampai - sampai kepalanya di elus - elus? Bahkan tidur pun sering di jaga! Siapa sebenarnya Panji ini...? Kok sampai di sayang sama Kyai Jabat...?
Kyai Jabat memberi ku serut kayu, dalam bahasa jawa... Serut kayu itu namanya PASRAH. Berarti... Aku di suruh Pasrah! Di suruh berserah diri sepenuhnya kepada Allah!
Perasaan... Selama ini aku berserah diri sama Allah, hanya saja, aku masih bekerja mencari nafkah untuk anak istri.
Berarti aku kurang dalam berserah diri...?"
Ketika sedang memaknai atau mewedarkan pentunjuk dari Kyai Jabat kakek buyutnya... Tiba - tiba terdengar suara uluk salam,
"Assalamualaikum Kyai..."
"Waalaikumsalam," jawab sang Kyai dengan rasa terkejut ketika mata batinnya melihat wujud seorang tua di depannya,
"Siapkah Kakek ini...?"
"Aku Mbah Suro... Makna dari serut atau pasrah itu adalah TAWWAKAL, mewakilkan urusan mu kepada Allah.
Atau berserah diri sepenuhnya, dalam bahasa jawa adalah PASRAH BONGKO'AN.
PASRAH sepenuhnya atau pasrah Bongkok an itu tidak boleh mengugat keputusan Allah yang telah di tetapkan atas dirimu.
Orang yang pasrah sepenuhnya... Lisan dan hatinya diam, dan di penuhi rasa ikhlas.
Jika hati masih berkata "Ah!" itu belum bisa di namakan pasrah sepenuhnya," jawab Mbah Wali Suro.
"Sendiko dawuh Syeh Suro," ujar Kyai Nuruddin.
"Jika kamu bisa pasrah seperti ini... Maka, derajat mu akan naik perlahan - lahan dengan sendirinya," ujar Mbah Wali Suro,
"Dan Kyai akan bisa menjadi Ulama khos, ulama pilihan langit. Assalamualaikum kyai.'
"Waalaikumsalam Syeh," jawab Kyai Nuruddin.