Kami hanya terpisah meja kecil di dalam ruangan kecil yang disebut ruang tamu. Kami hanya menatap mata namun aku sesekali menatap terkalahkan oleh rasa hormat dan segan dari wajahnya. Dan beliau hanya menatapku dengan saksama.
"Katakan apa yang hendak kau utarakan Pen," Pak Haji Jen menyulut roko di tangannya menyalakan pematik di genggaman lalu menghisap rokok perlahan.
Aku dan wajah tertunduk sekiranya ingin bicara tapi tubuh Lea duduk di samping Pak Haji. Matanya seakan tak mau melepaskanku dan menolak membiarkanku pergi dari rumah.
Tetapi aku sudah berjanji pada seorang kawan untuk ikut tinggal di salah satu rumah kos yang ia sewa. Aku jua sudah semakin tak betah dan sudah sifat alamiah bawaan lahir dari watakku bila dalam keseharian dibatasi oleh peraturan dan peraturan.
"Ini Jakarta Dek Pendik, salah sedikit fatal akibatnya. Kamu hendak tinggal dimana sama siapa Kakak enggak setuju. Mbok ya disini saja apa Kakak jahat sama kamu?" getar bibir merah nan ranum Lea yang selalu membuat aku tak tahan serasa ingin melumatnya namun selalu kujaga rasa goblok agar tak kambuh seperti dahulu sebab aku ingin berubah. Dan sebab keluarga ini terlalu baik pula padaku.
Rasanya aku seperti terhakimi oleh dua wajah bapak dan anak yang menatapku melotot padahal aku belum jua menyampaikan maksud dan tujuan sepatah kata pun.
Mereka sudah mengerti sebab Kak Lea sudah dahulu tahu saat tengah malam kemarin datang ke kamarku. Dia menangis di hadapanku dia bilang, "Jangan pergi dari rumah Dek Pendik aku sudah semakin nyaman denganmu."
Dan aku hanya tertunduk tak enak hati dengan sikap Kak Lea. Kepadaku yang semakin hari sudah semakin intim saja. Walau iya berkata aku sudah selayaknya adik lelakinya tapi aku selalu menjaga jarak dan hasrat agar tak melampaui batasan-batasan.
Walau terkadang kesempatan itu selalu ada dan rayuan maut setan dan bisikan nafsu terus mengaung di kalbu. Aku masih terus menjaga kewarasan meski tak jarang aku dan Kak Lea hanya berdua di sisi gelap rumah dan iya memakai baju begitu tipis.
Namun selalu kutekankan dalam hati dan dalam perkataan atas otak yang sering membuatku tak sadar dalam ketidakwarasan jiwa. Pendik kau harus berubah jangan lagi mau terkungkung dalam wadah bejat yang di tunggangi syahwat.
Tetapi seakan tak lelah wujud Kak Lea selalu datang dan datang lagi bahkan berulang kali tiap tengah malam ke dalam kamar dimana tempatku memejamkan mata di salah satu sisi pintu kosan Pak Haji yang memang tak pernah aku kunci.
Datang dengan busana ranjang yang menawan dan terlalu tipis kukira. Terkadang ia mengajakku bercanda terkadang datang langsung berbaring begitu saja di sampingku. Kalau saat itu tiba aku selalu menekan dada dengan kata istigfar berulang kali. Menjaga suasana hati agar tetap stabil dalam kewarasan normal.
"Pak Haji Jen yang terhormat dan Kak Lea yang baik hati. Maksudku bahwa aku tak mau lagi jadi duri dalam daging di keluarga kalian. Kalian sudah banyak membantuku bagiku sudah lebih dari cukup. Biarkan aku pergi untuk membina diri. Biarkan aku berkata dari sifat mandiri agar aku mampu menikmati sesuap nasi hasil keringat sendiri tak selalu menengadah tangan pada kalian," akhirnya serangkaian kata-kata menjadi sebuah kalimat terkuak dari bibir ini.
Pak Haji Jen hanya diam seraya kembali menyulut sebatang rokok yang sempat padam. Kembali menghisapnya perlahan memuntahkan asap putih meluncur melalui sela-sela karang gigi yang masih kokoh dan lengkap walau usia tidak muda lagi sudah terhitung kepala lima.
"Lalu bagaimana dengan aku Dek Pen. Kapan kau akan main lagi sama Kakakmu ini?" Lea semakin merah mukanya. Sepertinya hendak mencucurkan air mata namun tertahan dan hanya sebatas berlinangan.
"Kak Lea nanti Kakak aku kasih alamat kosan ku mainlah sesekali. Atau kalau kakak kesepian butuh teman curhat atau saat malam gelap Kakak merasa takut kasih pesan singkat melalui sms Adikmu ini pasti akan datang," aku mencoba menenangkan rasa gundah Lea yang semakin memerahkan wajah agaknya ia tak mau melepaskanku pergi.
Lea sejenak berdiri lalu melangkah pergi, sebentar sesaat ia kembali lagi membawa ransel hitamku yang telah ku kemas rapi berisi baju ganti dan perlengkapan kerja setiap hari.
"Pergi sana dan tidak usah kembali kesini aku tidak butuh lagi teman mengobrol tengah malam," teriak Lea rupanya telah meneteskan air bening di matanya.
Sebenarnya aku tak tega tapi kalau tubuh ini terus terkurung di dalam rumah Pak Haji Jennaidi dan terus melihat Lea si cantik alami. Aku takut yang selama ini ku tahan dalam pikiran jahat bisa tersalurkan. Jadi aku memutuskan pergi agar aku menjaga yang tak seharusnya terjadi agar tak menambah beban lembar hitam di kemudian hari.
Bangunku dari sebuah kursi ruang tamu Pak Haji. Aku lihat beliau hanya diam menatapku seakan ia berkata pergilah kalau kau hendak pergi. Dan kembalilah kalau kau mau kembali.
Ku tatap sejenak wajah Kak Lea yang tengah menangis sesenggukan di depan meja televisi tak mau lagi menatapku.
"Pak Haji aku pamit pergi," lirih berpamitan seraya menyahut tangan Pak Haji Jen sambil mencium punggung tangannya memohon restu.
"Yah berhati-hatilah melangkah Pen sebab ini Jakarta dan tetap memberi kabar. Agar kalau Pakdemu Sumadi apabila bertanya aku mampu menjawabnya," sekilas pesan oleh Pak Haji menghantarku pergi dan aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju saja mengiakan sedikit permintaannya.
"Kak Lea aku pergi," walau Lea tetap tak memandangku tetap aku katakan untuk berpamitan agar dia tahu akan kepergianku.
Ku angkat ransel dan menentengnya pergi, akhirnya aku melintasi pintu rumah ini dan aku akan menghirup udara Jakarta dengan memulai pertarungan sesungguhnya.
Yang sebenarnya sejenak mataku menatap gedung-gedung tinggi yang tetap terlihat walau di depan pintu rumah Pak Haji.
Dan ku memulai ayunan pertama langkah kakiku untuk menantang sang ibukota Jakarta. Namun belum beberapa langkah kaki ku mengayunkan bekas sepatu masih beberapa meter dari pintu rumah Pak Haji Jen.
Sebuah pelukan hangat mendarat dari belakang tubuhku. Dua tangannya melingkar di pinggangku dan menenggelamkan wajahnya di punggungku.
"Dek Pen tidak kah kau mengurungkan niatmu untuk pergi, apa kau tak mau lagi menemaniku saat malam sedihku. Atau bahkan kalau tubuh ini dapat menghalangimu untuk pergi akan aku berikan nikmatilah Dek sepuasmu. Tapi jangan kau pergi dari hidup ku ini?" begitulah katanya yang ternyata adalah Kak Lea memeluk ku dari belakang.
Aku sejenak membalikkan tubuh memandangnya melepaskan ikatan pelukannya. Namun setelah terlepas bahkan ia memelukku lagi dari depan bahkan kali ini lebih kencang dan erat lagi.
"Jangan pergi yah, yah bagaimana kalau nanti malam kita bercanda selayaknya suami istri yang sedang memadu kasih ya Dek pokoknya jangan pergi," kata-katanya terus merayuku tapi aku sudah dalam keputusan bulat tekat aku harus kuat walau seribu rayuan Lea mendarat begitu menggiurkan di telinga dan hasrat dada.
"Kak Lea aku tak pergi jauh aku masih di Jakarta. Kak Lea kalau ada waktu luang kunjungi Adek. Sebaliknya kalau Adek libur kerja aku akan main ke rumah ya," janjiku membuat pelukannya melonggar ia menatapku sangat dalam kali ini aku rasa ia telah rela. Lalu membisiki telingaku, "Seminggu lagi aku masa subur Dek aku akan main kokosanmu pastikan kau sendirian disana ya. Pergilah sudah Kakak ikhlas asal kau mau menurutinya seminggu lagi ya," ucapan bibirnya manis namun menuju pahit lalu melangkah meninggalkanku dalam kebimbangan total.