Aku rebahkan kepala dan punggung sore ini pukul 13:49, tanggal 31 Juli 2021. Tepatnya kamis siang setengah sore. Aku tatap awang-awang rumah mencoba menghitung genting yang tertata rapi pada reng kayu yang saling terkait dengan paku-paku yang di tancapkan. Ah mereka sama saja bisu tak bisa aku ajak bicara dan hanya menatap tak berkedip.
Ku turunkan mata dari melihat di bawah atap jajaran tembok dari rangkaian batu bata disusun rapi dengan perekat sebuah adonan semen dan pasir. Menjadi satu kesatuan tembok kamarku, ah mereka hanya mematung tak bisa ku ajak berunding tentang getirnya hati akan benturan dunia yang semakin semrawut akhir-akhir ini hingga pada akhirnya patahkan duniaku juga tak berdaya.
Ku alihkan pandangan melirik ke samping tembok. Sebuah pintu agak terbuka tak sempurna. Hampir menutup tapi sedikit saja terbuka. Ku ganjal pula di bawahnya di atas permukaan keramik dengan handuk bekas yang sudah berfungsi sebagai kain lap. Ah dia hanya mengangguk-angguk dan terantuk-antuk diterpa angin dari jalan depan rumah dan hanya mengangguk tak mengerti diam sama seperti tembok.
Masih ku rebahkan tubuh pada sandaran kursi ruang tamu rumah Bapak Kasturi dia Bapakku. Bagaimana menyampaikannya pada beliau kalau aku dikalahkan oleh keadaan yang membuat aku jatuh bangun akan sebuah harga yang di sebut modal kerja menjadi angka yang tiada berbilang yaitu nol rupiah.
"Ah tak usah bilang saja, kalau aku bicara nanti pasti mereka, Bapak dan Ibuku selalu dengan nada marah. Dan selalu itu yang di peringatkan, rokokmu di kurangi, jangan terus-terusan merokok," sudah dapat kupastikan itu yang terjadi.
Lalu aku melamun kembali dengan sebatang rokok yang sisa tinggal sisa menjadi terlalu pendek dan masih kunikmati saja. Namun kopi segelas masih separuh terlihat makin menggoda dan menari di mata berkata, "Ayo minumlah aku satu teguk saja."
Aku harus apa kalau sudah seperti ini. Apa ini akibat pembatasan yang semakin ketat akan jalanan dan gang-gang jalan desa yang tertutup. Ataukah memang keadaan yang semakin sulit sehingga memang aku harus merasakan jatuh kembali.
"Tapi kan kau punya tulisan, tapi kan kau punya cerita kenangan, tapi kau kan dapat merangkai kata menjadi satu kalimat lalu menyambung beberapa kalimat menjadi paragraf lalu menyambung ratusan paragraf menjadi satu buku. Tapi kan buku telah menjanjikan akan pembayaran yang setimpal akan usahamu," peletak moncong mulut manis dari sisi ku yang serupa aku sendiri ya memang aku sendiri selalu meracau seolah iya tahu apa yang akan ku dapat di hari depan.
"Diam!" teriakku memekik telinga, membentak udara sekitar ruang tamu lalu hening kembali hilang diterpa angin yang masuk melalui sela pintu yang terbuka tak sempurna.
Kembali ku hela nafas berulang kali sambil ku pejamkan mata bersandar pada sandaran kursi sambil berteriak lirih namun memberatkan kata di dalam dada sehingga membentuk tarikan nafas bersahut ucapan tak begitu jelas, "Allah," kata itu meluncur bersama nafas yang terlontar keluar halus dan sesak lalu sejuk perlahan tapi tetap perih dadaku.
Aku hanya ingin ada ketenangan, aku hanya ingin ada satu wajah di sampingku. Satu wajah dari tubuh sang wanitaku yang tak kunjung bertemu bahkan terlalu lama menunggu sampai aku ibaratkan lumut telah mengerak diterjang badai musim yang terus berganti-ganti melewati.
"Ada Allah Tuhanmu dan Tuhan semesta alam jangan kau resah pasrahkan saja semua pada Yang Maha Atas," mulut itu mengobarkan kata-kata semangat dengan kepastian syariat di depanku. Mulut dari sebuah sosok berbaju putih, memakai peci putih dan mengenakan sarung putih dan dia aku sendiri ya memang aku sendiri.
Agak kupijat di tengah-tengah batang hidung menekannya agak dalam dari kata pusing dan hampir gila karena harta dunia. Aku harus menyalahkan siapa atau memang aku yang salah aku merasa bagai kapas mengambang dan lelah pada otaknya.
Seakan otak tak mampu menampung semua kata-kata yang semakin penuh oleh ocehan-ocehan dunia yang semakin tak beraturan. Penuh isu dan berita bohong yang terkadang sulit dicerna nalar.
"Bersyukurlah, masih di beri kesehatan dan nafas untuk hidup ingatkah enam atau tujuh tahun yang lalu saat kau terkapar di jalanan aspal basah dan hampir dikatakan oleh si kematian yang menjemput saat itu malam jalan kecamatan Cerme kota Gresik bersua tragedi berdarah akan telungkup tubuhmu dan masih ada harapan.
Kali ini pasti jua begitu ada harapan pasti pada Sang pemberi harapan," terlontar kembali dari mulut manis nan manja sosok kakang kawah dalam istilah silsilah Jawa dan keilmuan Jawa bermata hijau dia yang rezeki sendiri tak tahu kapan rezeki di hadiahkan.
Hanya ku lirik sebentar wujudnya yang serupa aku ya memang aku dari aku yang lain di dalam diri hingga berwujud aku sampai sembilan aku, "Ah kau Aku sok tahu."
Aku yang satunya lagi datang bernama Adi Ari-Ari duduk di sampingku menatapku lalu tertawa, "Assalamualaikum wahai aku sendiri" lalu ia mengucap salam.
"Waalaikumsalam he aku ngapain tertawa ada yang lucu?" teriakku dalam bisu dan hanya hati-ke hati yang bicara.
"Ingat dulu kesalahanmu begitu banyak dan beberapa ada yang fatal. Mari kita ulas lagi cerita dahulu Nabi Adam saja yang memiliki kesalahan berjumlah satu diturunkan dari Surga. Apa lagi kita yang setiap hari setiap waktu bahkan setiap tarikan nafas melakukan kesalahan ia kan."
"Aku yang berwujud Adi Ari-Ari serupa aku dan bertubuh aku ya memang aku ngomel tak karuan. Lalu otak mengingatkan lagi, "Hayo coba ingat siapa saja nama wanita yang kau nikmati di atas ranjang sampai kau terkadang lupa namanya saking terlalu banyak hitungan melebihi jemarimu di seluruh badan."
Hoah, hiiih, haduuuh...!
Kugecek-becek rambut agak meremasnya sebab semakin pusing kepala ini, sebab semrawutnya kata-kata tak urung menjadi kalimat malah teruntal bagai benang kusut. Akhirnya berpengaruh pada muka semakin kusut jua.
Ah baiknya aku jatuhkan pada pilihan menulis mungkin Yang maha memiliki tulisan mengerti dan memang jalur ini yang tepat jalur sebuah rangkaian kata menjadi sebuah buku utuh.
Ah baiknya ku tulis kembali semua kenangan dan masa lalu yang tersimpul pada otak. Menelurkan pada sebuah aplikasi yang menjanjikan aku akan sebuah ketenangan finansial di masa sulitnya dunia dan caruk-maruknya keadaan sekitar kita di musim pandemi.
Dan selalu bertengadah wajah ke atas langit berucap syukur bahwa masih diberi nikmat hidup serta kesehatan dan masih bisa bernafas dengan lancar tak merasa sesak atau sengal.
Baiklah kubentak pada semua tubuh dan semua aku dan pada bayangan kukatakan lembut. Mengucap Bismilah kumulai lagi kisahku atas namaku Cacak Pendik dengan sejuta kenangan yang sampai berjalan pada kisah nama Bapakku Hendrik Kasturi.
Seperti biasanya aku katakan nikmati dan resapi dari energi positif yang dimaksudkan jangan ambil negatif yang di sertakan.
Seperti biasanya aku bicarakan ambil segelas kopimu sulut sebatang rokokmu mari berkisah denganku tentang sebuah nama pemuda. Tentang sebuah perjalanan cinta Sang Rama Begawan Bapak. Bapakku atas kisah dengan nama Hendrik Kasturi.
Sampai dimana kita?