~selamat membaca~
Hari yang ditunggu-tunggu sama Pandu sudah tiba, yaitu hari senin. Tapi bukan karena Pandu saking semangatnya belajar, bukan karena Pandu anak teladan, bukan pula karena Pandu kangen sama guru-guru di Sekolah.
Tapi karena sebelum hari senin itu adalah hari minggu, artinya ia harus libur sekolah, dan secara otomatis Pandu tidak bisa bertemu dengan Aden. Untuk meminta maaf.
Oleh karena itu, hari senin ini, benar-benar sangat ditunggu sekali sama Pandu. Soalnya, sejak kejadian di cafe malam kemaren, niat Pandu mengejar Aden yang akan meminta maaf, tapi Aden keburu pergi, dan ia kesulitan mencarinya.
Lalu karena insiden di cafe itu pula, Pandu jadi kehilangan mood untuk clubing bersama teman-temannya. Alhasil, Pandu pulang ke rumah tanpa berpamitan, kemudian ia menghabiskan hari minggunya di rumah saja.
Begitupun dengan Lukman, Jonathan, Alex, Aldo dan Tristant. Mereka memutuskan untuk membatalkan dugem, hanya karena tidak ada Pandu bersama mereka.
Karena hal itu pula Tristant menjadi sangat dongkol, sedongkol-dongkolnya. Pasalnya remaja imut dan manis itu sudah mengorban dirinya demi untuk acara malam itu. Tapi nayatanya, semua gagal, dan ia belum bisa melanjutkan pendekatannya pada Pandu.
Pandu baru saja keluar dari kamarnya, ia sudah terlihat sangat keren dengan seragam identitas sekolahnya. Pandu harus berjalan menuruni anak tangga, karena kamarnya berada di lantai dua.
Sesampainya di dasar tangga Pandu sudah disambut oleh ibu Veronica. "Pagi sayang." Pagi itu, ibu Veronica sudah terlihat sangat anggun dengan balutan gamis kaftan, ala Syharini. Ia sedang membersihkan guci kesayangannya, di dekat tangga.
"Pagi mi," Balas Pandu sambil loncat dari anak tangga. "Ohiya mi, papi udah on the way ke Luar Negeri?"
"Sudah dari subuh."
Pandu mengangguk pelan, "oh... yaudah kalau gitu, Pandu berangkat dulu."
"Eh... sarapan dulu Pandu," perintah ibu Veronica.
"Nggak usah ah mi, nanti aja dikantin. Lagian udah siang juga, takut telat." Sebenarnya Pandu hanya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Aden.
"Padahal, bi Munah sudah siapin nasi goreng kesukan kamu lho, sarapan dulu lah..." bujuk ibu Veronica.
"Nggak ah mi, males." Tolak Pandu.
Ibu Veronica melipat kedua tanganny di perut, ia menarik ujung bibirnya sambil menggelang-gelengkan kepalanya.
"Ya udah tapi inget. Jangan bikin ulah lagi di sekolah, jangan bolos, jangan ikut ekskul olahraga, jangan capek-capek, jangan ngroko, dan_"
"Jangan jajan sembarangan," sergah Pandu. Ia sudah sangat hapal dengan pesan yang selalu diberikan oleh ibu Veronica setiap paginya.
Entahlah, ibu Veronica sangat detail sekali untuk urusan, atau apapun yang berhubungan dengan Pandu.
Meski kata teman-teman Pandu itu terkenal anak yang galak, tapi di mata ibunya Pandu tetap sosok anak yang manis.
Cup. Pandu mencium pipi kiri ibu Veronica, setelah itu ia berkata. "Jangan kuatir, Pandu udah gede, bukan bayi lagi. Udah ah Pandu berangkat dulu."
Pandu berjalan dengan cepat meninggalkan ibunya, namun...
"Pandu...!"
Pandu menghentikan perjalanannya, ia memutar tubuhnya menghadap wanita yang ia panggil mami. "Ada apa lagi sih mi?"
"Jangan lupa, soal pesanan cilok mami ya? bilang sama pedagangnya, mami maunya yang masih Freesh , trus biar digoreng di sini aja. Jadi biar dia bawa yang mentahnya aja. Nanti biar mami yang siapin peralatannya. Ohiya untuk 25 porsi, em... apa lagi ya...?" ibu Veronica terdiam sambil mengerutkan kening, nampak ia sedang mengingat-ingat. "Oh ini, mami sama temen-temen arisan pingin liat cara dia memasaknya. Pokonya nanti mami kasih tips deh buat dia."
Ibu-ibu arisan memang ribet. Walaupun Pandu sangat malas mendengarkan penjelasan ibunya, namun ia tetap tersenyum nyengir. Semakin banyak keinginan ibunya, semakin lama ia harus mengobrol dengan Aden. Dan tentu saja itu membuat Pandu merasa senang.
"Siap mi," ucap Pandu sambil mengacungkan jempol nya, dan manik-turunkan kedua alisnya.
~♡♡♡~
Di depan rumah kontrakannya, Aden sedang memindahkan cilok dari panci untuk dimasukan kedalam gerobak yang terbuat dari kaca.
Karena Aden berjualan cilok, jadi wajar saja kalau ada tulisan 'CILOK' di tiap sisi gerobaknya. Nggak lucu kan kalau tulisannya popcorn atau berondong jagung?
Aden juga tidak pernah lupa selalu menghitung jumlah cilok yang akan ia bawa. Itu semua ia lakukan supaya lebih mudah mengetahui jumlah laba yang ia dapatkan hari itu.
Setelah selesai memasukan semua cilok kedalam gerobak, Aden mengangkat gerobaknya untuk dinaikan di atas jok motor.
"Den ini bekalnya," ucap Anis setelah ia keluar kontrakan. Anis memberikan bekal setelah ia berada persis di dekat Aden.
"A'a belum sembuh sakitnya Den, jadi belum bisa julan."
"Iya udah teh nggak papa, biar aa istirahat." Aden memasukan bekal ke dalam gerobak ciloknya. Kemudian ia naik ke atas motor, lalu menghidupkan motornya. "Teh pamit dulu, doa'in laris," pamit Aden sambil menoleh ke arah Anis yang berdiri di sampingnya.
Anis mengangguk-anggukan kepala seraya berkata, "iya atuh pasti teteh doain, hati-hati Den." Pesan Anis.
Aden tersenyum nyengir, beberapa detik kemudian ia menarik gas motornya, dan berlalu dari hadapan Ansi.
Anis menghela napas lembut, lalu ia kembali masuk kedalam kontrakan setelah Aden menghilang di tikungan.
Beberapa menit kemudian Aden sudah berada di depan Sekolah Pandu. Tepatnya di dekat pintu gerbang, di pinggir jalan tempat ia biasa menjajakan dagangannya.
Suasana di depan Sekolah Pandu pagi itu terlihat sangat ramai. Banyak sekali anak-anak sekolah yang berangkatnya masih diantarkan oleh orang tua, atau bahkan sopirnya. Terutama anak-anak yang masih menempuh pendidikan tingkat dasar, dan tingkat pertama. Jadi mereka rata-rata masih harus diantar, dan dijemput.
Pandu baru saja turun dari mobilnya. Seperti biasa Lukman, Jonathan, Alex, Roby dan Aldo sudah menunggu kehadirannya.
"Eh kalian masuk aja dulu, gue mau ada perlu sebentar." Perintah Pandu kepada teman-temannya.
"Oke deh kalau gitu," ucap Jonathan, kemudian ia melebarkan kedua tangannya merangkul Roby, dan Alex yang sedang berdiri di sebelah kanan dan kiri mereka. "Yok..." ucapnya sambil berjalan memasuki pintu gerbang Sekolah.
Lukman dan Aldo berjalan mengekor di belakang mereka bertiga.
"Do... lu duluan ya, gue mau nungguin Pandu bentar." Ucap Lukman setelah mereka baru saja memasuki halaman Sekolah.
Aldo mengangguk pelan, "yaudah..." ucapnya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya mengikuti Jonathan dan yang lainya.
Sedangkan Lukman berbalik arah untuk menunggu Pandu di depan pintu gerbang.
Pandu merapihkan tas gendong di sebelah Pundaknya. Ia berdiri mematung menunggu Aden yang sedang sibuk melayani beberapa anak Sekolah. Sesekali Aden sekilas melihat ke arah Pandu, membuat pandangan mereka kembali bertemu.
Senyum nyengir menghiasi bibir keduanya, saat mereka saling bersitatap.
Beberapa saat kemudian, terlihat Aden sudah tidak ada yang membeli ciloknya. Pandu yang sudah menunggu beberapa menit lalu, ia langsung berjalan mendekati Aden.
"Den..."
"Pandu..."
Kedua pemuda itu kembali bertatapan, jarak mereka sangatlah dekat. Sehingga Pandu dapat melihat dengan jelas seluruh permukaan wajah Aden. Pandu tertegun, dan sempat terkesima melihat wajah teduh Aden. Tatapan mata yang polos, senyum yang tulus, di tambah dengan tahilalat di sudut sebelah matanya membuat hatinya bergemuruh. Rasanya ia tidak ingin mengalihkan tatapannya dari wajah ganteng, khas remaja sunda itu.
"Ada apa Pandu?"
Aden membuat lamunan Pandu membuyar, dan menariknya kembali ke dunia nyata. Ia sedikit salah tingkah. Lalu untuk menutupi salah tingkahnya, Pandu membenarkan tas gendongnya, dan memasukan sebelah telapak tangannya di kantong celana baguan depan.
"Eh.. iya, gue mau minta maaf," ucap Pandu.
"Minta maaf?" Aden menyipitkan mata dan mengerutkan keningnya. "Maaf kenapa?"
"Soal kejadian malam kemaren," jawab Pandu.
"Oh... itu," Aden tersenyum nyengir memamerkan deretan giginya yang rapih, dan bersih. "Nggak papa, kenapa harus minta maaf? Itu cuma kecelakaan kecil. Lagian juga itu bukan salah kamu kan?" Ujar Aden.
"Iya sih, tapi tetep aja guenya nggak enak. Kan yang ngajak lu gabung gue. Jadi gue mau minta maaf sama lu. Lu mau-kan maafin gue?" Mohon Pandu.
"Iya nggak papa, dimaafin kok," jawab Aden. "Lagian... aku juga udah lupa."
Akhirnya Pandu bisa bernapas dengan lega, dan senyumnya juga mengembang. Wajah Pandu juga terlihat sangat berseri.
"Yaudah thanks kalau gitu. Ohiya Den sebenernya selain minta maaf ada yang pingin gue omongin ni sama lu."
Aden kembali menyipitkan mata sambil mengerutkan kening, "ngomong apaan?"
"Ada tawaran bisnis buat lu..."
"Bisnis?" Aden menarik wajahnya sedikit terkejut. "Bisnis apa?" Tanya Aden penasaran.
"Bukan gue sih, tapi nyokap gue." Jawab Pandu.
"Ibu kamu?" Aden semakin penasaran dibuatnya.
Pandu mengangguk pelan.
"Kok bisa ibu kamu?" Tanya Aden kembali.
Pandu terdiam sambil memikirkan bagaimana caranya untuk menyampaikan maksudnya kepada Aden. Kemudian ia melihat kursi plastik yang biasa dibawa sama Aden untuk berjualan. Hanya ada satu kursi yang Aden bawa, sehingga membuat Pandu kembali berpikir.
"Lu duduk aja dulu, gue pinjem kursi sama security ," ucap Pandu.
"Yaudah."
Aden berjalan mendekati kursi yang ada di dekat motornya, sedangkan Pandu berjalan ke pos Satpam untuk meminjam kursi plastik.
Sementara Lukman yang sedang mengintip di dekat tembok pos Satpam, ia langsung berbalik badan dan mengendap di balik tembok sebelahnya. Lukman sedikit terkejut karena melihat Pandu sedang berjalan ke arahnya. Namun ia bisa menghembuskan napas lega karena Pandu tidak sempat melihatnya.
Beberapa saat kemudian, Pandu dan Aden sudah duduk berdekatan di dekat motor dan grobak cilok milik Aden.
Sedangkan Lukman mengendap, dan mencoba mendekat agar bisa mendengar dan melihat apa yang akan dilakukan oleh Pandu. Namun ia berusaha agar keberadaannya tidak sampai diketahui oleh Pandu.
"Gini Den," Pandu membuka pembicaraan setelah keduanya duduk dengan nyaman.
Aden memasang telinga dan mendengarkan dengan seksama. Ia merasa sangat penasaran dengan tawaran bisnis itu.
Terlihat Pandu mulai menjelaskan maksudnya, apa yang ia bicarakan sama Aden, sama persis dengan apa yang dipesankan oleh ibu Veronica padanya.
Aden hanya menganggut-manggutkan kepalanya selama Pandu menjelaskan semua maksudnya. Dan nampaknya Aden sudah mulai mengerti dengan bisnis yang dikatakan Pandu barusan.
"Gimana?" Tanya Pandu setelah ia menyelesaikan obrolannya. "Lu bisa kan?" Wajah Pandu terlihat memohon.
Aden terdiam, sepertinya ia sedikit ragu. "Aduh gimana ya? emm..." Aden kembali diam sambil berpikir. Tapi sepertinya itu adalah tawaran yang menarik. Rezeki anak soleh, pikir Aden. "Yaudah deh aku mau."
"Sip!" Semum Pandu mengembang. Ia mengambil HP di saku seragam nya, kemudian memberikannya pada Aden seraya berkata, "tulis nomor elu biar gue simpen. Jadi kalau ada info dari nyokap, nanti biar gue kontak lu."
Dengan wajah ragu, secara perlahan Aden mengambil HP yang diulurkan padanya. Ia langsung mengetik nomor HPnya setelah HP pintar milik Pandu sudah di tangannya. Setelah selesai menulis nomornya, Aden memberikan kembali HP itu pada pemiliknya.
"Ok, thanks ya, ntar gue missed call elu," ucap Pandu sambil memasukan HPnya ketempat semula.
Aden mengangguk pelan.
Beberapa saat setelah obrolan itu, terlihat Aden dan Pandu mulai terlihat akarab. Lemparan senyum yang keduanya berikan menambah hangat obrolan mereka.
Sementara dibalik tembok pos satpam, terlihat Lukman mulai mengendap dan menjauh dari tempat itu. Ia kembali berjalan memasuki halaman sekolah melewati pintu gerbang.
Tidak ada hal aneh yang dilihat Lukman. Ia hanya merasa aneh dengan perubahan Pandu saat berbicara dengan tukang cilok itu. Sangat berbanding terbalik saat Pandu sedang berbicara dengannya dan teman-teman. Sepanjang perjalanan menuju kelas, Lukman tidak berhenti berpikir.
Apa mungkin? Tukang cilok itu akan masuk kedalam catetan, atau daftar sabotasenya. Ah tidak mungkin. Lukman menggeleng-gelangkan kepala. Wajahnya berkerut, ia bingung apa yang akan ia lakukan pada orang seperti mamang cilok itu? Entahlah.
Saat sedang berjalan melewati koridor sekolah, Lukman melihat seorang remaja yang sudah ia kenal. Senyumnya langsung menyeringai, dan mengejar remaja itu.
Untuk sementara ia singkirkan dulu pikirannya tentang Pandu dan tukang cilok.
Lukman akan melakukan apa yang sudah ada dan sudah jelas dulu. Ia mempercepat langkah kakinya, mengejar remaja yang ia lihat barusan.
"Hai... buru-buru amat. Santai kenapa?" Ucap Lukman setelah ia berada sejajar dengan Tristant. Ia mengalungkan tangannya di pundak Tristant.
"Apaan sih kak?" Tristant berusaha melepaskan tangan Lukman. Namun karena tubuh Lukman yang jauh lebih besar dan berisi, dan tenaganya juga lebih kuat. Sehingga Tristant tidak mampu menyingkirkan tangan Lukman.
"Kenapa? Lu nggak mau dipeluk gue?" Ucap Lukman sambil menaikan sebelah alisnya. "Emang lu nggak mau nyobain lagi? Yakin lu nggak ketagihan?"
"Lu bohongin gue kak," ucap Tristant dengan suara agak berbisik. Tapi cukup didengar sama Lukman.
"Emang Lu masih ngebet sama si Pandu?" Tanya Lukman.
Tristant menghentikan langkahnya, ia memutar tubuhnya berhadapan dengan Pandu. Tristant harus mendongakan kepala untuk melihat wajah Lukman yang lebih tinggi.
"Gue udah terlanjur bilang sama elu, jadi nggak ada gunanya lagi gue mungkir," Tristant mendekatkan mulutnya di telinga Lukman. "Kak Pandu itu keren, gue suka sama dia." Bisik Tristant.
Lukman memutar bola matanya, rasanya malas sekali ia mendegar itu. Kemudian ia tersenyum miring, sambil menyipitkan mata, menatap intens wajah Tristanst.
Yang ditatap hanya bisa menelan ludah.
Kemudian Lukman menundukkan kepala, mensejajarkan tingginya dengan Tristant. Ia mendekatkan bibirnya di telinga Tisrtant, seraya berbisik. "Tapi lu masih mau ngerasain punya gue lagi kan? solanya, gue liat lu doyan banget kemaren. Nanti pas upacara lu gue tunggu di toilet yang udah nggak kepake di belakang gedung." Lukman sedikit memasukan lidahnya di telinga Tristant, dan menggelitiknya pelan.
Hal itu tentu saja membuat Tristant merinding, tapi keenkan. Pada dasarnya Tristant memang penyuka sejenis, jadi apa yang dilakukan Lukman padanya tentu saja membuat ia lemah. Apalagi Lukman salah satu aggota cowok terkeren di sekolahnya, sehingga naluri gay-nya sangat sulit untuk menolak.
"Lukman...!"
Terikan seorang remaja putri membuat Lukman sedikit menjauhkan wajahnya dari Tristant. Ia menoleh pada sumber suara itu berasal. Kemudian ia tersenyum nyengir, sambil mengangkat tangan kanan pada seorang gadis yang memanggilnya barusan.
"Cewek gue manggil, inget jam upacara di toilet belakang gedung," ucap Lukman menekankan keseriusannya pada Tristan. Kemudian ia berjalan mundur sambil mengkerlingkan sebelah matanya ke arah Tristant.
Sementara Tristant hanya diam seribu bahasa menatap punggung Lukman yang sedang berjalan mendekati pacarnya. Napas terlihat masih sangat memburu akibat rangsangan buatan yang dilakukan oleh Lukman padanya.
Dalam hati Tristant merasa sangat kesal pada Lukman. Banyak tanya menumpuk diotaknya. Ada apa dengan Lukman? Apa maksud dia sebenarnya? Apa dia juga sakit? Atau hanya ingin main-main saja?.
Entahlah, apapun itu, yang jelas Tristant merasa sangat kesal sama Lukman. Ia merasa seperti dilecehkan. Tapi anehnya, kenapa Tristant juga tidak sabar menunggu saat upacara.