JADWAL UPDATE: Seminggu sekali. . . Fuyu kabur dari rumah. Dia kecewa dengan sang ayah yang berubah menjadi seorang gay setelah ibunya meninggalkan mereka. Dia pun pindah ke sebuah kosan dan bertemu Aki. Mereka lalu menjadi teman. Teman sekosan. Teman hidup. Dan teman tidur... ...eh? Benarkah mereka hanya teman?
"Bagaimana, sudah selesai?" tanya Nadech dari seberang sana.
"Ck. Sudah tapi gagal. Dia tadi sempat menatap kemari," kata Amaara. "Tapi aku yakin tidak bisa mengenaliku. Jarak mall dari sini sudah cukup jauh." (*)
(*) Seorang penembak jitu, jika ahli, mampu membidik target dengan jarak 75 Meter. Tapi, kalau kemampuan rata-rata 24-50 Meter itu udah bagus.
" oh, ya sudah. Sekarang pulang. Di bawah ada yang menjemput."
"Oke," kata Amaara. Lalu berlari ke ruang bahan dapur restoran. "Tapi tenang aku bukannya tak bawa hasil. Kepala aman, tapi lengan dan bahu-nya kena. Kalau beruntung kena arteri, dia tetap akan mati." (*)
(*) Arteri Brancialis: meskipun letaknya di lengan, sebenarnya termasuk vital tubuh. Dan fakta orang yang tertembak, peluru tidak hanya akan menusuk lurus. Melainkan bisa belok kemana pun ujungnya berputar.
Di seberang sana, Nadech pun diam sejenak. "Apapun itu. Cepat pergi dari sana saja."
"Hm."
Amaara kini melompat pergi. Dari jendela satu ke jendela lainnya. Dia sempat mengagetkan orang sekitar. Tapi hanya mengabaikan. Bagaimana tidak? Omega itu menempel seperti cicak hitam. Lalu memburu ayunan tangan dari dalam mobil sedan.
"Ayo!" bisik seseorang yang tidak terlihat.
Amaara pun berlalu sambil menutup jendela mobil. Omega itu tidak tahu bersisipan dengan Audi berwarna putih. Lalu membentak si supir kasar. "CEPAT, BRENGSEK! Aku tidak mau menambah-nambah masalah "
Setelah membanting senjata laras panjangnya, gadis itu juga melepas topeng yang dikenakan. Mulai dari wajah manis dan mata besar. Segi visual benar-benar persis seperti kembarannya. Namun, jika dia menguncir rambut ke atas, ada tahi lalat di pelipis yang menunjukkan dia lebih cerdas daripada orang-orang sepantar.
"Kesal, huh?" tanya lelaki di depan sana. Wajahnya memang tidak terlihat. Tapi bibirnya memantul di cermin depan.
"Ya, sangat," kata Amaara. "Tapi salahku juga tidak meneliti keahlian dia apa saja. Lain kali takkan kuulangi lagi."
"Hmph." Kini bibir itu dihiasi seringai. "Maksudmu saat menghabisi Omega-nya? Kulihat dia memang sudah ganti suami. Ha ha ha ha ha."
"Oh, jadi kau mengawasi rumah mereka?" tanya Amaara. Cuek buka-buka baju demi penampilan yang lebih santai. Bra plus celana dalamnya pun tampak jelas, dan itu benar-benar hiburan bagi sopir.
"Tentu. Sudah beberapa hari ini. Tapi penjaganya banyak sekali," kata lelaki itu. "Dia juga jarang keluar, Am. Palingan jalan juga untuk kerja saja."
"Ho "
" atau berdua dengan Alpha-nya."
"Kalau begitu kita harus memisahkan mereka."
"Ya, kapan-kapan."
" hm, penting tidak terlalu gegabah. Yang barusan itu memang agak beresiko."
Perlahan, asap rokok yang dinyalakan si lelaki pun mengebul keluar. Hal yang membuat Amaara menepi, lalu menurunkan jendela meski sedikit.
"Tapi apa kau tahu sebuah fakta? Omega itu ternyata sudah punya bayi. Makanya tidak heran kalau sering di rumah."
"Oh, iyakah?"
"Yes. Dan kapan hari bayinya dibawa keluar si babysitter. Mungkin untuk imunisasi? Tapi itu kesempatan bagus juga—"
Kesal karena omogan rekannya, Amaara pun menggampar kepala itu.
"HEI!"
"Aku benci si Omega tapi bukan dengan bayinya," kata Amaara. "Jadi jangan macam-macam dengan jiwa kecil seperti mereka. Dasar "
"Fuck. Tapi kan masih bisa diculik untuk pancingan? Kau ini bodoh apa bodoh?!" kata si lelaki kesal.
"Terserah, hanya saja kalau kau menyakiti bayinya, aku tidak ikut-ikut lagi," kata Amaara. Lalu memasukkan senjata kembali ke dalam kotak.
"Ckckck. Oke," kata si sopir. Walau ekspresinya agak kesal juga. "Ngomong-ngomong, Amaara "
"Hm."
"Menurutmu Tuan Nadech memberitahu Tuan Mile soal ini?"
"PHI!"
Sesampainya di Siam Paragon, Apo pun berlari tanpa peduli orang di sekitar menjerit. Omega itu membanting pintu Audi-nya penuh emosi. Lalu memburu parkiran langsung. Di sana ada kerumunan orang yang langsung membelah. Mereka ribut diantara Paing yang sudah tidak memakai atasan baju. Hanya duduk di kursi depan mobilnya dalam kondisi bersimbah darah.
Dokter spesialis organ itu juga tidak memakai sabuknya. Dia memegang atap mobil dengan lengan yang diikat ke atas. Semua agar pendarahan tidak semakin menjadi.
"PHI!" teriak Apo sekali lagi.
Ah, lihat itu. Sang senior yang berkeringat karena baru mencongkel peluru dari bagian trisep. Namun, mau seprofesional apapun keahliannya pisau lipat supermarket takkan bisa atasi dua yang lain. (*)
Sial, sepertinya sudah terlanjur masuk terlalu dalam, Pikir Paing.
(*) Teknik ini digunakan agar darah dari jantung semakin sulit memompa ke tempat tinggi.
"PHIIII! MINGGIR!" bentak Apo pada orang-orang yang masih menghadang. Sangking cemasnya Omega itu, dia pun menjatuhkan tas yang dibawa. Lalu berjongkok di depan sang kekasih. "Ya Tuhan please. Beritahu aku harus apa? Phiii darahnya banyak sekali "
Paing pun menatap Apo dengan wajah berkerut-kerut. "Ha ha, tenang dulu. Sekarang ambilkan botol yang aku mau. Tulisannya Povidone Iodine. Cepat." (*)
(*) Cairan pembersih luka terbuka. Bisa berupa tusukan, gigitan, dan tembakan.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Apo pun membuka tas meski gemetar. Sumpah, ya. Baru kali ini aku melihat orang tertembak asli meski sudah berlatih berkali-kali! "S-Sebentar " kata Apo panik. "Tadi kubawa semua saja karena bingung. Warnanya memang yang mana?! BIRU?!" tanyanya makin emosional.
"Kuning, kuning itu yang di sisi kanan," kata Paing. Ya, walau dia bisa tenang seperti umumnya dokter, tapi tetap bingung karena nyeri di bahu dan lengan sungguh mengganggu.
"Oke, ini."
"Thanks. Sekarang ambil kapas juga. Kemarikan kotaknya langsung."
"Umn."
Apo sebenarnya ingin membantu juga, tapi dia tidak tahu harus apa karena tremor semakin parah. Bukannya apa. Meski luka tembak memanglah kecil tapi kau tidak tahu seperti apa tusukan peluru itu. Beratnya. Massa-nya. Kecepatan dan arah bidiknya. Belum lagi rancangannya seperti apa—kalau menyimpan peluru lebih kecil di dalam, maka bisa saja menusuk pecah ke segela arah. Aku tahu semua itu meski dasar-dasarnya saja. (**)
Belum lagi, saat melirik ke pinggir sepatu Paing kemeja putih sang Alpha ternyata sudah dipakai mengelap darah. Jasnya juga, walau tak membantu karena bahannya beda.
Apo pun mengulurkan medicrepe setelah luka luar itu sterlil. Namun karena darahnya semakin banyak, Paing pun menjambaknya kasar. Bahkan merobeknya setelah menggigit bagian tali.
"Phii--?!"
"Apo, bantu aku membaginya jadi dua sekarang. Ini tidak cukup kalau dipakai di bahu saja."
"O-Oke! Oke! Aku pegang yang bagian sini."
"Sip."
Medicrepe 7,5 meter itu pun terbelah dalam hitungan detik. Dan meski memang agak susah, Apo berhasil memasang balutan ke bahu sang kekasih sesuai arahan. Dari depan, ke belakang. Didobel-dobel lebih dahulu. Ditali. Lalu ditumpuk lagi hingga mencapai bisep bertato lelaki itu—ah, jangan bilang kalau pelurunya sampai kena tulang. No! Pikir Apo hingga matanya basah sendiri.
Omega itu pun mengusap pipi karena tidak mau orang-orang tahu. "Tolong bantu, siapa pun!" teriaknya setelah itu. "Yang dekat gerbang, kalau ada! Cepat! Cek jika ambulansnya sudah mendekat!"