12 Kembali Bersekolah

Suasana di rumah Adinata tidak pernah sama lagi sejak Ayah meninggal. Maria mengurung diri selama berhari-hari dan Ibu tampak sangat terpukul. Yang paling membuat Arya sedih adalah kenyataan bahwa pelan-pelan Ibu menyalahkan Maria atas kematian Ayah.

"Kalau Maria waktu itu tidak menghilang, Ayah pasti masih hidup..." kata Ibu berulang kali saat air matanya kembali mengalir mengingat kepergian suaminya.

"Sshhh... Ibu, jangan berkata begitu. Nanti Maria dengar..." bisik Arya sambil geleng-geleng kepala, "Maria sudah cukup menyalahkan dirinya sendiri, dan dia sama kehilangannya dengan kita. Kenapa Ibu harus menambah luka yang sudah ada? Menyalahkan seseorang tidak akan membawa ayah kembali...."

"Tapi itu benar!" tukas Ibu dengan mata merah dan bengkak, "Seandainya ia tidak pernah masuk ke rumah ini, keluarga kita tidak akan ditimpa kemalangan."

"Astaga...! Ibu, aku tahu ibu sedang sangat sedih... Tapi tolong jangan pernah berkata begitu lagi... Maria itu anakmu..." Arya menatap Ibu dengan pandangan tidak percaya. Ia tak pernah menduga ibunya dapat berubah sikap seperti ini, setelah memperlakukan Maria seperti anak kandungnya sendiri selama lebih dari 14 tahun.

"Dia bukan anakku..." desis Ibu dan wajahnya tampak membesi. Perempuan cantik itu lalu melangkah masuk ke kamarnya dan mengurung diri.

Arya sungguh merasakan dilema berada di tengah-tengah seperti itu. Usianya baru 16 tahun lebih sedikit, tetapi rasanya ia yang harus menjadi orang dewasa di rumah karena ibunya menolak untuk bersikap sebagai orang tua yang melindungi dan mengayomi kedua anaknya di masa sulit ini.

Sikap Ibu kepada Maria semakin lama semakin sinis dan Arya akhirnya menduga ada alasan lain mengapa Ibu berbuat seperti itu. Ibu tidak akan tiba-tiba membenci anak yang dibesarkannya hanya karena suaminya meninggal melindungi anak itu...

Ia berharap suatu hari nanti ia akan dapat melunakkan hati ibunya dan mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.

***

"Maria, kita berangkat sekolah, ya... Hermand bilang hari ini ada test dari Meneer De Vries," kata Arya pagi itu. Sudah seminggu Maria tidak bersekolah dan Arya mulai kuatir meninggalkan gadis itu di rumah bersama Ibu. Ia takut tiba-tiba Ibu akan mengatakan hal-hal keji kepada Maria di tengah sakit hatinya, dan Maria kembali kabur dari rumah. Hari ini ia bertekad akan memaksa Maria berangkat ke sekolah bersamanya. "Hermand mengajak kita ke Gedung Sate untuk memilih buku baru. Kemarin datang kiriman beberapa peti buku terbitan baru dari Belanda."

Akhirnya ia melihat pintu terbuka dan Maria keluar dengan gaun sekolah dan tasnya. Ia tidak berkata apa-apa tetapi Arya sudah sangat lega melihat Maria menuruti perkataannya. Arya menggenggam tangannya dengan hangat dan menariknya keluar.

"Kau mau naik sepeda sendiri atau membonceng sepedaku?" tanyanya. Maria hanya mengangkat bahu. Arya mengangguk dan memutuskan sendiri, "Baiklah... kau ikut aku saja."

Maria naik ke boncengan sepeda Arya dan pemuda itu segera berteriak pamit kepada ibunya lalu meluncur keluar lewat gerbang.

Raden Nyimas hanya memandang keduanya berangkat sekolah dari jendela kamarnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Ia mengerti Arya sengaja membawa Maria ke sekolah agar berada jauh dari pandangannya karena anaknya itu mengerti dirinya menyimpan rasa sakit hati yang besar kepada Maria, dan mungkin saja akan mengatakan hal-hal menyakitkan saat Arya tidak ada.

Perempuan itu menggigit bibirnya dengan perasaan kalut. Ia tak ingin bersikap jahat, tetapi hatinya tak bisa berdusta, setiap kali ia menatap Maria, ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk sembilu. Sakit sekali.

***

Hermand sangat senang melihat teman sebangkunya sudah kembali masuk sekolah. Ia tahu diri untuk tidak mengganggu Maria sama sekali.

Sepanjang hari ia menutup mulut besarnya dan membiarkan Maria belajar tanpa mengajaknya bicara. Ia akan menunggu sampai Maria yang bicara kepadanya.

Maria diam saja, tidak menyapa Hermand maupun bicara kepadanya. Ia memfokuskan pandangannya pada guru dan tes yang diberikan guru Biologi mereka.

Akhirnya karena tidak ada interaksi sama sekali, dan Hermand merasa ia bagaimanapun harus meminta maaf, akhirnya ia menulis permintaan maafnya di secarik kertas dan menaruhnya di meja Maria sebelum kelas berakhir.

[Het spijt mij - Aku sangat menyesal. Maafkan aku.]

Maria membaca kertas itu dan menoleh ke arah Hermand. Ekspresinya tetap datar, tetapi kemudian ia mengangguk.

Betapa leganya hati Hermand melihat Maria seperti memaafkannya. Ia tahu nilainya di mata Maria kembali menjadi nol, tetapi ia tak keberatan. Yang penting sudah tidak minus.

Ia akan berusaha meraih kepercayaan Maria lagi dengan berbagai buku dan perbuatan tulusnya mulai sekarang.

"Dank je wel - Terima kasih." Hermand tersenyum manis sekali melihat Maria sudah memaafkannya, "Nanti pulang sekolah kita ke Gedung Sate ya.. Ada banyak kiriman buku baru, aku yakin kau pasti akan suka."

Maria tidak menjawab, tetapi ia tidak menolak. Jadi Hermand berasumsi gadis itu setuju.

avataravatar
Next chapter