webnovel

Belenggu Hawa Nafsu

Saat ini, Erza terus mengingatkan dirinya untuk tenang.

"Jangan pergi, bagaimana kalau kamu tinggal bersamaku malam ini? Bahkan jika kamu punya istri, aku tidak akan peduli." Sambil berbicara, tangan Alina menyelinap ke dalam dada Erza. Tidak peduli seberapa kuat pertahanan Erza, gesekan tubuh Alina di punggungnya juga membuat Erza sedikit kehilangan kendali.

"Alina, kamu minum terlalu banyak." Dengan sedikit kekuatan, Erza melepaskan tangan Alina. Dia juga berbalik dan berkata dengan lembut. Wajah Alina sudah sangat merah, jelas dengan ekspresi mabuk.

"Aku tidak peduli, aku hanya ingin kamu menemaniku." Alina baru saja selesai berbicara dan langsung melumat bibir Erza. Hal ini menyebabkan Erza terpaku di tempatnya. Dia merasakan bibir manis Alina di bibirnya. Erza tahu dia tidak akan bisa mengendalikan dirinya lagi. Tangannya meraba sesuatu di balik pakaian Alina.

Keesokan paginya, Erza membuka matanya dan menatap Alina yang sedang tidur di sebelahnya. Erza sangat ingin menampar dirinya sendiri. Awalnya, dia ingin menahan diri, tapi benteng pertahanannya dirusak oleh Alina.

"Erza." Alina juga membuka matanya saat ini. Dia melihat celana dalamnya yang berantakan di lantai, serta sedikit rasa sakit di tubuhnya. Ketika dia mengingat apa yang terjadi tadi malam, wajah Alina juga memasang ekspresi malu.

"Alina, maaf tadi malam."

"Tidak apa, itu sudah terjadi."

"Tapi kita benar-benar tidak bisa bersama, aku benar-benar punya istri." Meskipun Erza merasa sekarang bukan saat yang tepat untuk mengatakan ini, tapi dia harus menjelaskannya.

"Tidak masalah." Alina menjawab dengan santai.

"Hah?" Erza tercengang sejenak, lalu melihat Alina di sampingnya.

"Kamu adalah pacarku, aku tidak peduli jika kamu punya istri atau tidak." Saat berbicara, Alina juga bersandar di dada Erza. Erza tidak menyangka bahwa Alina sangat mencintai dirinya.

"Alina, aku tidak mengerti, apa yang baik dari diriku?"

"Karena… karena kamu bisa membuatku nyaman." Saat berbicara, Alina langsung membenamkan kepalanya di pelukan Erza.

"Alina, apa kamu tidak bisa berhenti menggodaku?" Erza benar-benar tidak bisa berkata-kata.

"Bagaimana luka ini bisa seperti ini? Apakah ini tidak sakit?" Saat berbicara, jari Alina terus menggambar lingkaran di dada Erza. Melihat Alina terbaring di pelukannya dengan tubuhnya yang telanjang, dorongan itu muncul lagi di benak Erza. Kini tangannya sudah meraba setiap inci tubuh Alina. Erza berkata dengan suara seksi, "Mari kita lakukan lagi."

"Aku sangat lemas, Erza. Bagaimana aku bisa pergi bekerja sekarang?" Alina memandang tanpa melepas pelukannya.

"Ada apa, kamu tidak mau melakukannya lagi?" Erza terlihat sedikit sedih. Dia menepuk kaki Alina dengan tangannya.

"Tidak. Aku harus pergi bekerja." Alina berkata dengan tegas. Erza pun merapikan pakaiannya, mandi sebentar, lalu mengantar Alina ke kantor. Sepanjang perjalanan, Erza memandang Alina. Sekarang semuanya sudah menjadi seperti ini. Erza tidak akan bisa memutuskan hubungannya dengan Alina.

"Alina, kamu bisa naik dulu." Setelah menghentikan mobil di depan kantor, Erza berkata seperti itu pada Alina.

"Apa yang terjadi?"

"Aku tidak ingin orang di perusahaan membicarakanmu."

"Baiklah, aku akan naik dulu. Ngomong-ngomong, apa kamu mau ke rumahku lagi nanti malam?"

"Alina, tolong jangan bahas itu." Erza benar-benar ingin menangis.

"Lihatlah dirimu, aku baru saja bercanda denganmu."

"Ya sudah, aku akan parkir mobil ini dulu." ​​Tepat setelah memarkir mobil, ponsel Erza berdering. Melihat bahwa itu adalah panggilan dari Tasya, Erza sedikit kesal.

"Paman, temani aku ke bar malam ini." Suara centil Tasya terdengar.

"Mengapa kamu pergi ke tempat itu?"

"Aku bilang ke beberapa temanku bahwa aku punya pacar. Aku akan memperkenalkanmu pada mereka nanti malam." Suara Tasya terdengar sangat bersemangat.

"Tidak." Erza merasa bahwa dia sudah cukup kacau sekarang. Jika Tasya berbuat yang macam-macam, maka dia mungkin akan gila.

"Kamu berjanji padaku kemarin!" Tasya tampak sedikit tidak senang di sana.

"Itu tidak akan terjadi."

"Paman, jika kamu tidak datang, aku akan memanggil polisi sekarang dan memberitahu bahwa kamu adalah seorang bajingan."

Erza hanya terdiam.

"Apakah kamu akan datang atau tidak?"

"Lupakan bar, anak-anak tidak cocok untuk pergi ke tempat semacam itu. Cari restoran, aku akan mentraktir teman-temanmu." Erza akhirnya memilih untuk menuruti Tasya.

"Oke, kalau begitu aku akan pergi dan memberitahu temanku. Paman, datanglah tepat waktu."

"Jangan khawatir." Setelah menutup telepon, Erza juga masuk ke kantor. Adapun orang-orang di kantor, mereka tidak menanggapi Erza dengan serius. Setelah kejadian kemarin, orang-orang ini semakin membenci Erza tentunya. Erza juga tidak akan peduli tentang hal-hal ini. Tapi, di saat yang sama, dia menerima pesan teks dari Lana untuk menemuinya di ruangannya.

"Erza, tidak apa-apa jika kamu tidak pulang, tapi setidaknya kamu harus memberitahuku." Tepat setelah memasuki kantor, Erza menatap Lana yang suasana hatinya sedang sangat buruk.

"Lana, maafkan aku, aku tadi malam…"

"Lupakan, tidak perlu dijelaskan. Minta maaf pada Bu Siska. Dia tidur di sofa sepanjang malam hanya untuk menunggumu." Sebelum Erza selesai berbicara, nada dingin Lana terdengar. Ini membuat hati Erza cukup tertekan.

"Lana, jangan marah, aku…"

"Oke, keluar. Aku harus bekerja."

"Lana, apakah kamu marah?"

"Aku harus bekerja. Keluar."

Erza menggelengkan kepalanya dan berjalan keluar dari ruangan Lana. Bagaimanapun, dia harus menanggung semua ini. Ini semua kesalahannya. Salah sendiri dia tidak bisa mengendalikan nafsunya tadi malam.

Setelah kembali ke ruangannya, Erza menghabiskan sepanjang hari dengan muram. Saat jam pulang kantor, Erza langsung menjemput Lana untuk mengantarnya pulang. Namun, Lana tidak berbicara sama sekali saat di dalam mobil. Namun, Erza mengetahui karakter Lana. Saat ini Lana mungkin sangat marah, tetapi itu akan baik-baik saja setelah beberapa saat. Setelah tiba di rumah, Lana langsung pergi ke kamarnya.

"Kak Erza, kemana kamu pergi tadi malam?" Wina berlari ke samping Erza dan bertanya sambil tersenyum.

"Sesuatu terjadi tadi malam, Wina. Apa kamu akan mulai sekolah besok?"

"Ya, tapi aku tidak ingin pergi dari sini." Ketika Wina berpikir bahwa dia akan tinggal di asrama sekolah mulai besok, dia merasa sedikit sedih. Bagaimanapun, jika dia meninggalkan Erza, Wina selalu merasa kesepian.

"Jangan khawatir, kamu bisa ke sini liburan. Lagipula aku akan sering mengunjungimu di sana." Erza tersenyum tipis.

"Apa itu benar?"

"Tentu saja benar. Besok aku akan mengantarmu ke sekolah. Begitu libur tiba, aku akan menjemputmu." Erza mengangguk untuk meyakinkan Wina.

"Kak Erza yang terbaik!" Setelah selesai berbicara, mungkin karena terlalu senang, Wina langsung memeluk Erza dan dengan cepat mencium pipinya. Namun, setelah ciuman itu, Wina sepertinya menyadari sesuatu. Wajah Wina sedikit merah, dan kemudian dia berlari kembali ke kamarnya. Erza menggelengkan kepalanya tanpa daya dan tersenyum. Tapi kemudian, dia kaget karena dia kebetulan melihat Lana berdiri di atas, memandangi dirinya.

"Lana…" Erza memanggil Lana dengan sedikit ragu. Lana menutup pintu dengan keras dan berjalan kembali ke kamarnya. Erza tidak bisa berkata-kata, dan Lana mungkin lebih marah sekarang. Akhirnya, Erza mengambil remote TV.

"Halo?" Tiba-tiba Tasya meneleponnya. Erza ingat bahwa dia telah berjanji pada Tasya untuk makan malam hari ini. Jika dia mengatakan bahwa dia tidak akan berada di sana, gadis itu pasti akan melaporkannya ke polisi karena mengira dia sudah memerkosanya.

"Paman, apakah kamu akan datang? Aku sudah lama menunggu dengan teman-temanku." Nada ketidakpuasan Tasya terdengar di telepon.

"Di mana?"

"Hotel Fuji." Tasya mengatakan sebuah alamat.

Next chapter