"Aku juga berharap seperti itu." Erza mengangkat bahu. Dia sebenarnya mengetahui bahwa dia diminta pergi ke ruangan Lana bukan untuk sebuah hal yang baik. Sejujurnya, meskipun Lana sangat cantik, Erza benar-benar tidak ingin pergi menemuinya karena gadis itu terlalu dingin. Tapi, dia tidak punya pilihan.
Saat tiba di ruangan Lana, Erza kembali dicegat. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sinta. Sekretaris Lana yang bernama Sinta itu memandang Erza dengan wajah bengis. Sinta masih ingat dengan jelas apa yang terjadi di pagi hari. Dapat dikatakan bahwa dalam hati Sinta, dia tidak memiliki kesan yang baik tentang Erza.
"Bu Lana memanggilku kemari." Setelah selesai berbicara, Erza mengabaikan Sinta dan langsung masuk.
"Hei, kamu… Bu Lana, orang ini memaksa masuk, saya tidak bisa menghentikannya!" teriak Sinta.
Erza membuka pintu, dan Sinta memandang Lana dengan tatapan meminta maaf.
"Tidak apa-apa, kamu keluar dulu, Sinta. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya," kata Lana pada Sinta. Lana yang awalnya tidak suka diganggu di tempat kerjanya, kini justru menerima kedatangan Erza dengan senang hati.
"Ada apa?" Usai Sinta keluar, Erza berjalan ke sofa di seberang Lana. Dia duduk, dan tampak acuh tak acuh seolah dia sangat santai di sini. Melihat buah di atas meja, Erza juga memakannya begitu saja. Jika adegan ini dilihat oleh karyawan perusahaan lain, mereka pasti akan terkejut karena Lana tidak marah dengan sikap tidak sopan Erza.
"Kamu akan pergi bersamaku malam ini dan menemui orangtuaku." Lana ragu-ragu.
"Apa?" kata Erza dengan mata melotot. Erza yang sedang makan tiba-tiba berdiri. Ini terlalu tiba-tiba. Erza memang telah mengalami berada di medan perang, menghadapi hidup dan mati, dan dia tahu banyak hal, tapi Erza tiba-tiba merasa gugup jika harus menemui orangtua Lana.
"Setelah bekerja, aku akan mengantarmu ke rumah orangtuaku," ungkap Lana. Dia tidak memberi kesempatan pada Erza untuk menjawab.
Erza merasa sedikit tidak berdaya. Meskipun dia tidak ingin menemui orangtua Lana, dia tidak tahu bagaimana cara menolaknya. Erza juga tidak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa dia dan Lana sudah menikah, bahkan jika itu adalah sesuatu yang tidak sengaja terjadi. Namun, surat pernikahan mereka sudah terbit, jadi Erza tidak bisa mengelak.
Karena keduanya sudah suami istri, pasti Erza harus bertemu dengan orangtua Lana. Tapi kemudian, Erza menyadari bahwa Lana pasti berasal dari keluarga kaya. Mungkin orangtuanya akan meremehkannya nanti. Itu bagus, karena jika mereka tidak setuju, maka Erza bisa cerai dari Lana.
"Keluar." Mendengarkan kata-kata dingin Lana, Erza akhirnya keluar dari kantornya.
Setelah Erza keluar, Lana sedikit santai dan tidak memikirkan hal-hal ini lagi. Bagaimanapun, dalam hati Erza, dia merasa bahwa orangtua Lana tidak akan pernah setuju dengan hubungannya dan Lana.
"Kamu pergi ke kantor Bu Lana lagi?" tanya Pak Hero.
"Pak, kenapa Anda tiba-tiba muncul?" Erza melirik Pak Hero dengan tatapan kaget.
"Kamu memasuki kantor Bu Lana dua kali hari ini. Apa artinya itu?" Pak Hero benar-benar penasaran. Bahkan jika Erza menyelamatkan Lana, dia hanya seorang satpam biasa, mengapa Lana harus sering memanggilnya?
"Pak Hero, jika saya mengatakan bahwa bu Lana adalah istri saya, apakah Anda akan percaya?" celetuk Erza tiba-tiba.
"Berhentilah berbicara tentang omong kosong. Kurasa babi pun tidak akan mempercayainya," jawab Pak Hero terkekeh. Erza sangat tidak berdaya usai mendengar jawaban itu. Sekarang karena dia hanya orang rendahan, jadi dia harus menundukkan kepala.
Hari ini Erza harus berdiri di pos satpam sepanjang sore, dan pekerjaan ini sangat menyenangkan bagi Erza. Setelah menunggu sampai malam hingga semua orang hampir pulang kerja, Erza tidak pergi. Meskipun Erza tiba-tiba merasa sedikit gugup karena akan bertemu dengan orangtua Lana, dia juga mengerti bahwa dia harus yakin sebagai seorang laki-laki.
"Erza, kenapa kamu masih di sini?" Sesosok wanita cantik muncul di samping Erza. Di bawah penerangan lampu malam, Alina mengenakan setelan profesional. Sosoknya sangat indah dan anggun, dan kakinya yang panjang dan indah tampak lebih memikat yang membuat Erza merasakan panas di dalam hatinya.
"Aku belum ingin pulang, jadi aku berdiri saja di sini," jawab Erza.
"Kenapa kita tidak pergi makan malam bersama?" Alina sedikit malu ketika dia berbicara.
"Tapi, Alina. Aku tidak bisa. Ada janji dengan beberapa teman lama hari ini," tolak Erza dengan hati-hati. Erza sebenarnya ingin pergi makan malam dengan Alina karena bagaimanapun, Alina jauh lebih baik daripada Lana yang dingin. Kendati demikian, Erza benar-benar tidak ingin menyinggung Lana, jadi dia ingin memanfaatkan malam ini untuk bertemu orangtuanya.
"Baiklah, aku akan pergi dulu!" kata Alina pamit. Dia berbalik dan pergi, tapi kilatan kekecewaan melintas di matanya.
Setelah menunggu sampai lewat pukul sembilan malam, Erza siap untuk pergi menemui Lana. Tiba-tiba suara dingin Lana terdengar di telinga Erza, "Ayo pergi." Erza tidak mengerti bagaimana bisa wanita cantik dengan tubuh yang begitu indah itu terlihat begitu dingin? Apalagi malam itu di Kota Malang, Erza dengan jelas ingat bahwa wanita ini memohon-mohon padanya.
Erza mengikuti Lana ke tempat parkir di bawah. Dia berjalan ke depan BMW putih, dan Lana membuka pintu. "Masuk ke dalam mobil." Setelah mengatakan itu, Lana duduk di posisi mengemudi. Erza menghela napas dan duduk di kursi penumpang di samping Lana.
"Aku senang, hari itu di hotel… kamu," ucap Erza berusaha menggoda, namun akhirnya disela oleh Lana. "Diam!" Mata Lana hampir bisa membunuh, dan dia menoleh dengan tatapan tajam ke arah Erza hingga membuat hati Erza bergetar saat melihatnya. Dia sekarang ingin melompat dari mobil. Itu pasti lebih baik. Gadis ini akhirnya memalingkan wajahnya. Pada akhirnya, Erza memilih untuk menutup mulutnya.
Tidak ada kemacetan di sepanjang jalan. Mobil melaju ke lokasi sebuah perumahan mewah di Kota Semarang. Di Bougenville Regency, Erza bisa melihat permukaan sungai berkilauan di bawah lampu malam, namun area sekitarnya penuh dengan rumah pribadi. Erza tahu dengan jelas bahwa orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu adalah orang-orang kaya.
Akhirnya, mobil berhenti di gerbang sebuah rumah. Lana membunyikan klakson beberapa kali, dan gerbang itu perlahan dibuka.
"Nona kembali?" tanya kepala pelayan yang bernama Siska.
"Nah, Erza, ini Bu Siska yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah. Aku dirawat oleh Bu Siska sejak masih kecil." Lana mengangguk pada Siska dan berkata kepada Erza.
Erza memandang wanita di sebelahnya yang berusia sekitar lima puluh tahun, tetapi Erza tidak menyangka bahwa ibu ini sebenarnya adalah seorang kepala pelayan. Bu Siska memiliki kulit yang sangat bagus. Namun, Erza tidak terlalu memikirkannya. Singkatnya, Erza bisa melihat kebaikan dari mata Bu Siska, "Halo, Bu Siska."
"Kamu Tuan Erza? Saya rasa tuan dan nyonya akan menyukai Anda. Ayo masuk. Nona Lana itu memiliki penglihatan yang bagus, ya?" goda Bu Siska. Wajah Lana sedikit memerah. "Ini dia, ambillah." Lana mengeluarkan dua botol anggur merah dari bagasi. Erza mengambil anggur merah dan melihat bahwa itu adalah dari merek terkenal. Ini membuat Erza sedikit kaget. Dia tidak bisa menahan perasaan bahwa meskipun Lana kadang-kadang dingin, hatinya masih sangat lembut.
"Tuan, Nyonya, Nona dan Tuan Erza ada di sini," ucap Bu Siska pada orangtua Lana.
Sebelum Erza masuk, orangtua Lana baru saja datang dan menyambutnya dengan antusias. Pada saat ini, Erza dibuat bingung dengan sikap kedua orangtua Lana itu. Dalam keadaan normal, orangtua Lana seharusnya sangat marah dan mengusir Erza. Tapi, orangtua Lana sama sekali tidak tahu tentang identitas Erza.
"Halo, paman dan bibi," ucap Erza sambil membungkuk.
"Bu Siska, cepat siapkan makanannya. Hari ini, aku akan makan enak dengan menantu laki-lakiku, Erza," kata ayah Lana. Kata-kata ayah Lana hampir membuat Erza jatuh. Pada saat ini, dia benar-benar bingung, dan dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Ayo, ayo, ayo. Erza, duduk sini. Anggap saja seperti datang ke rumahmu sendiri. Kita semua tahu tentang pernikahanmu dengan Lana di Malang, dan kami sangat senang." Saat ini, ibu Lana berkata sambil tersenyum.
Erza menggelengkan kepalanya dengan keras, mencoba membuktikan bahwa dia sedang bermimpi.