Erza agak mati kutu sekarang. Dia tidak paham bagaimana orangtua Lana bisa bersikap demikian.
"Ya, meskipun kalian sudah menikah di Malang, tapi kalian tidak bisa tinggal bersama sekarang. Untuk itu, aku sudah menyiapkan sebuah rumah di pusat kota untuk Lana dan kamu agar bisa tinggal bersama," ayah Lana menjelaskan. Erza membuka mulutnya lebar-lebar ketika melihat ayah mertua di depannya. Dia bertanya-tanya apa yang baru saja ayah Lana katakan? Jika dia sudah menyiapkan sebuah rumah, bukankah itu berarti dia setuju agar Erza tinggal bersama putrinya?
"Ayah, kenapa ayah membicarakan ini? Aku akan tinggal di rumah saja." Lana mengerutkan kening, tetapi pipinya agak merah.
"Dasar kamu ini. Kamu sudah menikah, dan masih sangat egois? Apa kamu tidak ingin memberikan aku dan ibumu cucu lebih awal agar kita berdua bisa bersenang-senang?" tanya ayah Lana dengan nada menggoda.
"Ayah…" ucap Lana berusaha menghentikan ayahnya.
"Erza, tolong jaga Lana. Kami menyayanginya, tapi kami tidak bisa mengurusnya saat masih kecil karena harus bekerja," kata ibu Lana dengan lembut kepada Erza. Tetapi pada saat ini, Erza masih tidak bereaksi. Dia tidak dapat memahami bagaimana jalan pikiran kedua orangtua Lana.
"Ngomong-ngomong, Erza, kudengar kamu bekerja sebagai satpam di kantor Lana, ya? Jika posisi itu tidak cocok, kamu bisa langsung menjadi ketua dewan besok, dan biarkan Lana menjadi asistenmu." Saat ini, Pak Tama, ayah Lana berkata tiba-tiba.
"Apa?" tanya Erza dan Lana terperangah. Erza dan Lana sama-sama tercengang di sana. Keduanya memandang ayah Lana dengan heran pada waktu yang hampir bersamaan.
"Ada apa, Lana? Erza adalah suamimu, dan perusahaan akan diambil alih olehnya cepat atau lambat." Kalimat Pak Tama yang selanjutnya membuat Erza merasa seperti sedang bermimpi. Dan Lana memandang Erza dengan marah. Perusahaan itu berdiri berkat kerja keras ayahnya. Setelah menjadi sebesar ini, bagaimana ayahnya bisa tiba-tiba memberikannya kepada Erza?
"Paman, aku senang menjadi satpam. Aku tidak bisa mengambil alih perusahaan," jawab Erza dengan sopan. Meskipun Erza tidak tahu mengapa ayah Lana melakukan ini, dia sama sekali tidak tertarik untuk mengelola perusahaan, dan dia masih memiliki beberapa hal yang harus dilakukan. Pada saat yang sama, ketika Erza mengatakan ini, dia juga ingin memberitahu ayah Lana bahwa dia bukan anak dari keluarga kaya.
"Oke, aku tidak akan memaksamu. Bagaimanapun, kamu dan Lana bisa menjadi pasangan serasi dan penuh kasih." Ayah Lana sepertinya tidak peduli dengan latar belakang Erza.
Orangtua Lana tampaknya sangat menyukai Erza, dan mereka telah mengobrol dengan Erza selama beberapa waktu. Tetapi yang membuat Erza aneh adalah bahwa mereka tidak pernah menanyakan tentang keluarga Erza sama sekali. Tampaknya mereka sangat bahagia karena Lana menikah dengan Erza. Terkadang, Erza agak ragu apakah Lana adalah putri kandung dari pasangan tersebut. Faktanya, bukan hanya Erza yang curiga, Lana juga sedikit curiga saat ini.
Saat makan, ayah Lana merasa sangat senang, dan membiarkan Erza meminum sebotol anggur sendirian.
"Kalian bisa tinggal di rumah baru kalian malam ini. Ngomong-ngomong, Bu Siska akan mengurus keperluan sehari-hari kalian." Setelah kenyang, ayah Lana tiba-tiba berkata seperti itu.
"Ayah…" Wajah Lana berubah menjadi kemerahan lagi, dan dia tidak bisa tidak mengingat malam itu di Malang. Sejujurnya, pada saat ini Lana menyesal karena telah membawa Erza ke sini. Jika dia tahu itu masalahnya, Lana tidak akan membicarakan tentang Erza dengan keluarganya. Pada awalnya, Lana sedikit khawatir jika keluarganya tidak setuju. Tapi Lana tidak menyangka bahwa orangtuanya merestui hubungan mereka, dan mereka juga sangat baik kepada Erza.
"Kenapa? Apakah kamu tidak akan mendengarkan aku lagi karena sudah besar?" Wajah ayah Lana sedikit tidak senang.
Melihat ayah Lana akan marah, Bu Siska mendekati telinga Lana dan berbisik, "Nona, ayo kita pergi. Anda tahu sendiri bagaimana jika tuan marah. Dia adalah seorang prajurit." Ketika mendengar kata-kata Bu Siska pada Lana, Erza tercengang. Dia tidak tahu jika ayah Lana bertugas sebagai tentara. Mungkinkah dia mengetahui identitas Erza? Tapi itu tidak mungkin.
Lana hanya bisa mendengus, tetapi dia tidak bisa melawan ayahnya, jadi dia pergi dengan marah.
"Paman, bibi, saya pergi dulu!" ucap Erza pamit.
"Erza, aku akan sering berkunjung ke rumah kalian jika aku tidak ada pekerjaan. Oh, iya, kamu harus tahu meskipun Lana mengatakan dia bukan orang yang temperamental, suasana hatinya mudah berubah." Pada saat ini, ibu Lana juga berjalan menemani Erza pergi dan berkata dengan lembut. Erza mengangguk, lalu keluar dari rumah keluarga Lana. Ketika dia masuk ke dalam mobil, dia melihat mata Lana yang penuh dengan aura dingin.
Setelah Erza masuk, mobil itu melaju dengan cepat.
"Bu Siska, Anda mengatakan bahwa paman pernah menjadi tentara sebelumnya, di unit mana?" celetuk Erza. Erza merasa bahwa saat ini, lebih baik tidak mengajak bicara Lana. Gadis itu macan yang siap menerkamnya kapan saja, jadi Erza memilih untuk mengobrol dengan Bu Siska.
"Aku tidak yakin tentang ini. Tuan hanya mengatakan bahwa dia pernah menjadi pengawal jenderal, tetapi aku tidak tahu unit mana itu. Ketika tuan masih sangat muda, dia pernah berperang dalam perang saudara," jelas Bu Siska. Melihat penampilan Bu Siska, Erza tahu bahwa dia tidak bohong. Erza tidak terus bertanya, tapi dia begitu yakin ayah Lana tidak tahu siapa dia karena ketika ayah Lana menjadi tentara sebelum Erza lahir. Dia pasti tidak mengenal Erza sama sekali.
Lalu, mengapa orangtua Lana begitu ramah padanya? Tampaknya mereka tidak ingin dia dan Lana bercerai. Tapi, itu tidak mungkin. Erza melirik Lana yang mengemudi di sebelahnya. Sosok Lana benar-benar sempurna, elok dan anggun dengan outfit profesional. Rambutnya panjang, wajahnya halus, dan bulu matanya agak panjang. Jangan lupakan bibirnya yang seperti ceri. Tapi, yang paling penting adalah dadanya yang proporsional. Setiap pria yang melihatnya pasti akan menjadi gila. Lalu, saat melihat ke bawah, ada kaki ramping yang tampak lebih menarik dengan sepatu hak tinggi. Saat ini, Erza merasa sekujur tubuhnya panas.
"Bajingan! Kamu lihat apa?" bentak Lana tiba-tiba
"Kamu adalah istriku. Memangnya kenapa? Bukankah itu hanya untukku?" elak Erza.
Lana menggertakkan giginya dengan keras, dan sekarang Lana benar-benar ingin membuang Erza dari mobil. Erza tidak memedulikan Lana lagi. Dia sedang merenung. Saat ini, dia baik-baik saja, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang pilihan terbaik untuknya adalah tinggal di Kota Semarang dan tinggal bersama istri yang begitu cantik ini, meskipun dia agak dingin. Terlebih lagi, istrinya juga seorang presiden direktur yang bermartabat.
Bu Siska yang melihat pertengkaran keduanya hanya menggelengkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa. Tetapi pada saat ini, Bu Siska tahu bahwa situasi keduanya sepertinya tidak seperti yang tadi dia lihat saat makan bersama dengan orangtua Lana.
"Keluar dari mobil." Lana menghentikan mobil di sebuah rumah dan menyuruh Erza keluar. Setelah turun dari mobil, Erza melihat ke halaman yang sangat luas. Di tengah halaman terdapat kolam renang berbentuk bundar, dan di belakang kolam tersebut terdapat rumah tiga lantai bergaya Eropa. Hiasan di pekarangan juga lebih mewah. Saat ini Erza tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela napas sambil mengakui bahwa kehidupan orang kaya berbeda.
"Nona, tuan, ayo masuk dulu. Saya akan membuatkan kalian makan malam, lalu kalian bisa istirahat lebih awal," ucap Bu Siska. Ketika Bu Siska melihat mereka berdiri di halaman, keduanya tampak sedikit malu. Lana sedikit tidak senang dan mengikuti Bu Siska masuk ke rumah itu.
"Lana," panggil Erza.
"Apa?" tanya Lana.
"Jika kamu tidak nyaman, aku akan kembali ke asrama," kata Erza.
Ketika Lana mendengar perkataan Erza, terutama ketika dia melihat mata Erza, hati Lana tiba-tiba terasa sedikit sakit. Mungkinkah dia tidak ingin Erza pergi?
"Sudah larut malam dan tidak ada angkutan umum di sini, jadi aku bisa tidur di lantai tiga, dan kamu istirahat di lantai dua. Bu Siska bisa tidur di lantai satu." Nada suara Lana tenang.
Meskipun Erza masih merasa sedikit tidak nyaman, dia tidak mengatakan apa-apa, dan berjalan masuk ke rumah itu. Setelah masuk ke rumah itu, Erza bisa melihat dekorasi di sekitar rumah yang benar-benar mewah.
Keterampilan memasak Bu Siska tidak diragukan lagi. Dia dengan cepat membuat dua mangkuk sup ayam. Erza makan dengan mangkuk besar dan bersendawa setelah kenyang.
"Tidurlah lebih awal. Ini kunci garasi. Besok kamu bisa memakai mobil untuk ke kantor. Aku tidak akan mengantarmu karena aku tidak ingin orang-orang di perusahaan mengetahui hubungan kita untuk saat ini," jelas Lana.