Sepuluh menit kiranya berlalu. Davira kini yang tadinya menunggu di depan warung bakso kini datang membawa nampan besi yang berisi tiga mangkok kaca dan tiga gelas kaca. Gadis itu memelankan langkahnya. Sejenak melirik Arka yang diam sembari menunggu 'dilayani' layaknya tuan muda si pewaris utama tahta kerajaan. Sialan emang, remaja satu itu!
"Makasih, Ra." Davina tersenyum. Mengambil semangkok bakso dan segelas es teh manis kesukaannya.
Davira berdeham ringan. Melirik beberapa lembar uang untuk mengisyaratkan pada Davina bahwa itu adalah uang kembalian miliknya.
"Geser," kata Davira memerintah. Gadis yang diperintah hanya diam tak beruara. Seakan acuh dengan kalimat yang baru saja dilontarkan temannya itu.
"Duduk samping gue aja," sahut seorang remaja menimpali. Davira mengela napasnya. Jika ia ia duduk di sana, maka Kayla-lah yang menjadi teman saling tatap dalam menyantap makanan yang ia pesan.
"Ra, ayo cepetan!" perintahnya lagi. Davira kini mengela napasnya kasar.
"Iya, bawel!"
***LnP**
--dan sekarang aktivitas makanlah yang membuat suasana hening membentang. Adam sudah menyelesaikan makannya. Begitu juga Kayla yang sudah mengosongkan mangkok dan gelas kaca yang ada di depannya kini menatap tajam gadis yang ada di depannya itu. Tak menghiraukan, Davira terus melanjutkan makan semangkuk mie bakso yang ia pesan bersama dengan semangkuk bakso milik Davina Fradella Putri juga semangkuk mie ayam tanpa micin milik Arka Aditya.
"Lo gak lupa kesukaan gue 'kan?" tanya Arka lirih padanya.
Davira hanya mengangguk sebab mulunya yang penuh dengan gumpalan mie ayam.
"Tapi kok rasanya—"
"Mie ayam baksonya dua aja tanpa micin banyakin garemnya! Puas?" Davira kini menyela setelah volume mie yang ada dalam mulutnya berkurang.
Arka terkekeh. Kemudian mengulurkan tangannya dan mencubit bibi sedikit cubby milik Davira Faranisa.
Adam menatap keduanya. Tatapannya nanar. Setelah kalimat panjang yang terucap dari celah bibir gadis itu, Adam seakan mulai was-was. Remaja sebaya yang juga rekan seperjuangannya dalam menghapi musuh dan terjun ke medan perang hanya demu satu gelar dan piala kemenangan itu ternyata sudah jauh masuk ke dalam kehidupan gadis cantik bertubuh semampai yang duduk rapi sedikit jauh posisi darinya itu.
Davira mengucap semua apa-apa yang disukai Arka Aditya dengan lantang tanpa jeda dan cela yang berarti. Seakan sudah hapal benar sebab mereka sudah sering melakukannya bersama —jalan-jalan dan makan berdua, maksudnya.
"Mama lo nanti lembur lagi?" Arka kembali menyela aktivitas makan Davira. Menatap gadis yang kini sudah enggan untuk menanggapi segala celotehan yang keluar dari celah bibir remaja yang dalam beberapa tahun terakhir selalu bersama Davira ke manapun dan di manapun gadis itu berada.
"Kalau lembur gue nanti temenin—"
"Hari ini mama pulang cepet. Besok juga. Besoknya lagi, mama ke luar kota," ucapnya dengan nada ketus.
Arka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tersenyum kuda tanpa mau mengambil hati untuk kalimat dengan nada ketus yang baru saja diucapkan oleh Davira untuk merespon kalimatnya. Toh juga, bertahun-tahun bersama gadis itu dan selalu berada di sisinya sudah membuat Arka seakan kebal dan mulai terbiasa dengan segala peringai baik dan buruk serta segala macam nada bicara gadis berparas ayu itu.
"Mama niatnya mau nitipin gue ke Tante Wanti, adiknya mama. Karena gak ngebolehin gue di rumah sendiri selama beberapa hari." Davira melanjutkan. Melirik Arka kemudian menarik segelas es jeruk manis yang ada di sisinya.
"Terus?" Davina menyahut. Seakan ingin ikut masuk ke dalam obrolan mereka berdua yang untuk Davina sendiri, itu adalah masa bodoh.
"Gak ada kamar kosong di rumah Tante Wanti." Davira berdecak di akhir kalimatnya. Kini sorot tatapannya ia pusatkan pada Arka yang ada di sisinya. Kemudian memutar bola matanya malas dan mendesah kasar.
"Mama mau nemuin Tante Desi buat nitip—"
"Ke rumah gue?" sahut remaja itu dengan mengarahkan jari telunjuknya ke arah dirinya sendiri. Davira mengangguk malas. Tanpa mau berubah ekspresinya, ia melirik Adam yang jelas menatapnya aneh. Remaja itu seakan tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Davira akan tinggal satu atap dengan Arka Aditya? Meskipun tak berdua saja, tapi .... Ah, Tidak! Adam menggelengkan kepalanya kemudian. Pemikirannya terlalu liar kali ini.
Tak mungkin 'kan Davira akan menyerahkan 'mahkota keperawanannya' pada Arka hanya dalam satu malam sebab mamanya yang menyuruhnya tinggal bersama keluarga Arka?
Ya. Tidak mungkin. Akan tetapi, bagaimana kalau mungkin? Ah, sial! Adam berdecak kesal kali ini. Remaja itu memang sering berimajinasi liar pasal gadis-gadis cantik yang sedang dekat dengannya, namun untuk saat ini ... ia benci imajinasi liarnya!
"Ya udah kalau gitu—"
"Cuma rencana, Arka. Kalau ada alternatif lain ...."
"Kita udah selesai makannya!" Seseroang menyela kalimat Davira. Sejenak mengebrak meja di depannya untuk mengekspresikan betapa kesalnya ia saat ini.
Bukan untuk Davira dan Arka yang sedari tadi terus saja saling melontarkan kalimat untuk memulai percakapan alih-alih segera menyantap mie yang bisa dipastikan bahwa, mie itu sudah dingin dan mengembang sebab menyerap kuah cokelat yang juga sudah berkurang tanpa si tuan pemilik menghabiskannya, akan tetapi kesal itu ia tujukan untuk Adam. Ya, untuk Adam Liandra Kin!
Remaja itu terus saja menatap Davira tanpa mau merubah sorot mata tajam nan teduh berkharisma miliknya itu. Jangan harap beralih tatapan, berkedip pun tidak.
"Kita sudah selesai makannya, Adam." Kayla mengulang kalimatnya. Beranjak dari kursi dan menatap Adam dengan semburat kekesalan terlukis jelas di atas paras ayu orientalnya.
"Oh? I-i-iya." Adam gelagapan kala tersadar bahwa bukan hanya Kayla Jovanka yang memberi tatapan aneh padanya, namun juga kedua teman yang berada di depannya.
Hanya dua? Yaps! Sebab Davira enggan memberi tatapannya pada Adam Liandra Kin. Bisa dikatakan, Davira-lah orang yang paling tak peduli terhadap Adam Liandra Kin di sini.
"Kita pergi dulu, ya." Adam melanjutkan kalimatnya dengan ramah. Tersenyum pada Arka juga Davina yang hanya mengangguk dengan senyum balasan di atas paras cantik dan tampan milik mereka. Lagi-lagi, Davira tak acuh!
"Ra, Adam mau pergi tuh," ucap Davina sembari mengulurkan tangannya untuk mengetuk sisi meja agar fokus gadis itu sejenak tercuri untuk menyambut kepergiaan Adam dan Kayla.
Davira mendongak setelah satu suap mie masuk ke dalam mulutnya. Mengangguk cepat kemudian berdeham ringan. "P-pergi aja," gumamnya lirih seakan tak peduli dengan kepergiaan remaja itu. Toh juga, buat apa peduli?
Adam tersenyum miris. Melirik Kayla Jovanka yang masih memberi tatapan tak sukanya untuk Davira. Remaja itu menyenggol sisi bahu Kayla. Memberi isyarat pada gadis itu untuk segera pergi dari sini.
--dan mereka pergi. Meninggalkan Davira, Davina, juga Arka yang masih kokoh di tempatnya. Davina menatap kepergian remaja itu. Sesekali mendesah ringan untuk mengungkapkan kekesalan dalam hatinya. Tidak, lebih tepatnya kekecewaan dalam hatinya.
Sebab Adam pergi? Bukan! Sebab remaja itu terlihat begitu akrab, intim, dan dekat dengan seorang gadis cantik yang dalam tebakan Davina Fradella Putri, dia adalah hasil dari persilangan dua negara. Entah dari China atau Jepang, sama saja. Sama-sama bermata sipit.
"Itu cewek siapa, sih? Mukanya gak santai banget," gerutu gadis itu kemudian.
Arka menoleh. "Kayla Jovanka. Temen deket pertama Adam di SMA ini. Dulu waktu MOS, Adam tergila-gila sama dia sampek mau mati rasanya," jelas remaja itu kemudian.
Davina mengerutkan keningnya. "Segitunya?"
"Katanya Adam pengen nikah muda karena Kayla." Arka menutup kalimatnya. Menyendok mie dan memasukkannya ke dalam mulut. Tak lagi menghiraukan Davina yang masih menggerutu hebat sebab tak rela dengan apa yang baru saja ia dengar. Adam ... begitu mendambakan seorang Kayla Jovanka.
Kalimat Arka yang terdengar jelas di kedua lubang telinga Davira sukses mencuri perhatian gadis itu. Kepalanya menoleh. Mencoba untuk mencuri celah agar bisa menatap punggung lebar Adam yang mulai samar terlibat sebab menerobos masuk ke dalam kerumunan yang ada di depannya. Gadis itu menghela napasnya. Benar 'kan? Adam itu brengsek!
***LnP***
Langkah keduanya masih imbang dengan satu ritme langkah yang serasi. Sesekali Adam melirik Kayla dengan ekspresi 'manyun' khas orang yang sedang kesal hatinya. Ia menarik pergelengan tangan gadis itu. Membawanya berhenti dan memutar tubuh gadis itu untuk bisa menatapnya. Adam tersenyum manis. Senyum itu, melelehkan!
"Lo marah sama gue?" tanyannya berbasa-basi. Sebab tanpa Kayla menjawab pun, Adam sudah bisa menebak bahwa gadis itu sedang kesal padanya.
"Gak," ketusnya menjawab. Adam terkekeh kecil. Menjulurkan tangannya kemudian mengacak kasar puncak kepala gadis di depannya itu. Kayla Menggerutu. Menyibakkan kasar tangan Adam untuk tak lagi 'menyakiti' helai demi helai rambut pekat nan tipis lurus tergerai di atas bahunya itu.
"Karena mereka tadi ganggu kita?" Adam kembali melontarkan pertanyaan.
Kayla mendengus. Baiklah, kesalnya tak bisa dibendung lagi.
"Lo suka sama Davira?" tanyannya tak mau berbasa-basi.
Adam diam. Bungkam tak bersuara sejenak sembari menatap Kayla yang kini menyipitkan matanya tegas. Gadis itu seakan mulai mencoba untuk menerka apa yang ada dalam otak remaja berparas tampan di depannya ini melalui ekspresi yang dilukiskan olehnya.
"Kalau gue suka sama Davira, gue udah ninggalin lo dan—"
"Iya, iya. Enggak, enggak!" Kayla menerocos. Gadis itu tak puas dengan jawaban yang keluar dari mulut Adam dengan suara bariton yang khas miliknya itu.
Adam ... bungkam!
"Oke kalau begitu," tukas Kayla dengan nada malas. Kembali melanjutkan langkahnya menjauh dari Adam.
Remaja itu mengekori. Dari sekian banyak gadis yang sudah bersamanya, Adam akan rela dan ikhlas dengan lapang dada kalau gadis-gadis itu pergi setelah bosan 'bermain' dengannya yang tak berani meresmikan hubungan mereka dengan status yang jelas. Akan tetapi untuk Kayla, itu lain. Gadis itu seakan sudah masuk ke dalam hidup Adam terlalu jauh. Bisa dikatakan masa puber remaja itu dibimbing dan ditemani oleh gadis bernama Kayla Jovanka. Gadis utama yang sudah mencuri perhatiannya sampai sejauh ini.
Bohong jikalau Adam mengatakan bahwa ia hanya tertarik dengan Kayla sebab paras cantik gadis itu. Sebab makin lama, waktu seakan memberinya anugerah terhebat dengan memberikan rasa tertarik melebihi rasa yang timbul akibat lensa berpapasan dengan sepasang lensa identik lalu turun mengamati fisik dan jatuh hati pada fisik orang itu. Kayla, sedikit mencuri perasaan yang ada dalam hati Adam Liandra Kin.
"Kayla!" Adam kembali menarik tangan gadis itu.
"Lo itu—"
"Lo mau pacaran sama gue?" Gadis itu menyela tiba-tiba.
Skak mat! Pertanyaan itu sukses membuat Adam tak berdaya. Sebenarnya mudah saja jikalau hanya mengatakan 'Ya, Aku mau.' 'kan? Akan tetapi, Adam tak bisa mengatakan itu saat ini. Bukan apa-apa. Sebab ada Davira yang juga sudah mencuri perhatiannya akhir-akhir ini.
Jadi bisa dikatakan dengan tegas bahwa Adam Liandra Kin, menyukai dua gadis yang bertolak belakang kepribadiannya sekaligus.
Ya, ditegaskan sekali lagi bahwa sifat dasar rejam itu adalah brengsek!
...To be Continued...
Hai kalian semua
Jika kalian membaca catatan ini, itu artinya kalian adalah orang-orang baik si pembaca setia yang terus mengikuti kisah Ludus dan Pragma.
Aku berterimakasih sekali untuk itu, semoga kalian terus betah di sini ya^^
Jangan lupa tinggalkan review terbaik kalian