webnovel

16. Ancaman

"Hai Rissa! Kita bertemu lagi." Reva membuka kacamata hitamnya. "Masih ingat aku? Aldo Manson."

"Aldo..." Rissa mengucapkan nama itu dengan gemetar.

"Ya, panggil aku Aldo saja. Apa kamu ada waktu sebentar? Aku ingin sekali kita berbincang-bincang. Kalau kamu tidak keberatan, silahkan masuk ke mobilku."

Tangannya dengan sigap membuka pintu mobil, mempersilahkan Rissa untuk masuk. Senyumnya yang manis menyembunyikan sesuatu yang mirip dengan seringai.

Kaki Rissa seperti mendapat kekuatan baru. Ia tidak perlu takut untuk menghadapi Reva. Pria ini mungkin butuh sedikit penjelasan mengenai dirinya. Mereka hanya akan berbincang sejenak. Pria ini tidak akan menyakitinya. Jadi Rissa tanpa ragu masuk ke dalam mobil Reva.

Udara sejuk dari pendingin ruangan membuatnya bergidik. Belum lagi bajunya yang basah menambah sensasi rasa dingin di perutnya. Musik jazz terdengar lembut dan menghipnotis.

Rissa teringat bahwa pria di sebelahnya ini adalah pemain saxophone terkenal sampai ke mancanegara. Dan ia semobil dengannya. Luar biasa sekali.

Meskipun Rissa begitu takut dan masih juga sedih mengingat apa yang telah ia lakukan dengan Charlos, tapi tetap saja, melihatnya dari jarak sedekat ini membuat Rissa kagum pada Reva. Auranya yang berkharisma membuat Rissa nyaris sulit untuk tidak memandangnya.

Rissa memperhatikan perutnya yang kurus berbalut kaus abu-abu, tampak cekung saat sedang menyetir. Reva menarik lengan jas hitamnya hingga ke siku, memperlihatkan tangannya yang putih mulus tanpa bulu dan tentu saja sangat kurus. Otot tangannya tidak menonjol kentara seperti pria kebanyakan.

Wajahnya begitu putih mulus. Matanya begitu tajam. Hidungnya sangat mancung. Bibirnya tipis. Tulang pipinya menonjol. Rahangnya yang keras begitu kentara.

Secara keseluruhan, kalau saja Reva bukanlah seorang gay, Rissa mungkin saja menyukainya.

Mereka berhenti di sebuah cafe, sesuai dengan arahan GPS. Kalau saja Reva memberitahunya sejak awal, Rissa pasti akan memberitahunya jalan pintas.

Matahari telah sepenuhnya tenggelam. Angin dingin mulai berhembus. Rissa menyesal sekali tidak membawa jaket.

Rissa mengikuti Reva ke sebuah ruangan tertutup. Seorang penjaga berdiri menunggu di ujung ruangan. Mendadak Rissa merasa tegang.

Reva memesan beberapa kudapan dan minuman soda. Ia tampak santai saja menikmati minumannya dari balik sedotan. Rissa masih diam menunggu apa yang akan terjadi.

"Rissa." Reva hanya menyebut namanya sambil tersenyum.

"Ya. Apa yang mau kamu bicarakan denganku?" tanya Rissa berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

"Carissa Anggraeni." Reva mengernyit saat menyebut nama Rissa. "Masih sangat muda dan tidak berpengalaman. Pegawai pabrik biasa. Hanya lulusan SMA. Tidak cantik. Tidak ada kepintaran apa-apa. Bahkan tidak punya apa-apa." Ia mengangkat bahu sambil tersenyum menyebalkan.

"Apa maumu?" Rissa menatapnya tajam.

"Aku ingin tahu bagaimana bisa seorang Charlos sampai jatuh hati di tangan wanita busuk sepertimu." Reva menyilangkan kakinya. Sebelah tangannya ditaruh di bawah dagu. "Ternyata sama sekali tidak ada yang perlu dibanggakan." Reva tertawa sinis.

"Sudah selesai bicaranya? Sebaiknya aku pulang." Rissa hendak berdiri, tapi seseorang bertangan besar menahan bahunya dari belakang. Ia menoleh dan menemukan pria berjas hitam sedang memandang lurus tanpa ekspresi.

Bulu kuduk Rissa meremang. Tidak seharusnya ia berada di sini bersama Reva.

"Kenapa buru-buru? Aku belum selesai. Kita masih punya banyak waktu kan."

Reva tersenyum dingin, matanya memancarkan kebencian yang teramat sangat.

"Biar kuberitahu," kata Reva. "Kalau kamu memang masih punya sedikit akal sehat sebaiknya kamu jauhi Charlos. Jangan pernah bertemu lagi dengannya. Kamu mengerti kan?"

Rissa merasakan kepalanya mulai berputar, wajahnya memanas. Dengan harga diri yang tersisa ia memberanikan diri untuk berkata, "Kenapa aku harus menurut? Aku tidak takut padamu. Kamu juga bukan siapa-siapanya Charlos!"

Reva mendadak terbahak keras. Tubuhnya berguncang-guncang. Rissa tidak ingin memandangnya, jadi ia menunduk, memperhatikan gelembung soda di gelasnya. Setelah semenit berlalu Reva mulai bisa mengendalikan dirinya.

"Kamu lucu ya. Kamu sudah pernah melihatku dengan Charlos sebelumnya. Perlukah aku menjelaskannya padamu? Aku ini resmi kekasihnya Charlos. Seluruh hati Charlos sudah menjadi milikku sejak lama. Kamu tidak tahu apa saja yang sudah kami lalui bersama, semua usaha yang kulakukan untuk membuat Charlos bangkit kembali. Charlos itu tidak bisa tanpaku. Dia akan selalu membutuhkanku. Dia tidak butuh wanita sepertimu." Reva mencondongkan tubuhnya untuk menunjuk Rissa dengan tangannya. "Kamu itu hanya pengganggu. Oh bukan, kamu itu bisa dikategorikan sebagai wanita penggoda. Dasar murahan! Kamu itu tidak pantas dengan Charlos!"

Jantung Rissa berdegup semakin kencang.

"Maaf ya," jawab Rissa. "Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Charlos memang pernah menyebut nama Reva. Tapi... Ya, Tuhan," Rissa menaruh tangannya di pipi. "Aku pikir Reva itu seorang perempuan. Ternyata kamu itu hanya... pria biasa yang kesepian. Sekarang..." Rissa menatap Reva segalak mungkin. "siapa yang tidak pantas dengan Charlos? Aku atau kamu?"

Kepalan tangan Reva bergetar seolah bersiap-siap untuk dilayangkan tinjunya kapan saja. Kita lihat saja siapa yang akan menang. Rissa tidak akan menyerah begitu saja.

"Dasar murahan!" cemooh Reva.

"Dasar gay!" balas Rissa.

Reva menggebrak meja dengan keras. Ia hampir menerjang Rissa. Tangannya nyaris menampar Rissa. Wanita itu hanya bisa terpejam, sementara tubuhnya bergetar ketakutan. Tapi kemudian Reva mengurungkan niatnya dan kembali duduk. Rissa memberanikan diri untuk membuka mata. Reva meremas tangannya sendiri sampai buku jarinya memutih. Napasnya pendek-pendek. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Sekali lagi aku peringatkan! Jangan pernah bertemu Charlos lagi!" Reva mengertakan giginya.

"Aku mungkin tidak bisa mencegah jika Charlos yang ingin bertemu denganku," sergah Rissa, berusaha tidak terdengar gemetar.

"Kamu ini benar-benar ya." Reva jengkel setengah mati.

"Hubungan bisnis antara aku dengan Charlos akan terus berjalan. Jadi sudah pasti, kamu tidak akan bisa mencegahku bertemu dengan Charlos."

Rissa sungguh telah membohongi dirinya sendiri. Padahal baru saja ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bertemu dengan Charlos lagi. Entah kekuatan apa yang membuatnya berkata sebaliknya. Yang ada malah membuat Reva semakin memanas. Oh dia tidak akan membiarkan orang lain menginjak-injak harga dirinya. Wanita busuk? Wanita penggoda? Seenaknya saja!

"Kurang ajar!" umpat Reva.

Rissa mengangkat bahu. "Semoga saja kamu tahu, kamu sedang berhadapan dengan siapa."

Reva tertawa histeris. "Kamu tidak takut kalau aku bisa melakukan apa saja padamu?"

Rissa menghela napas panjang.

"Kamu tidak perlu bersikap seperti ini padaku," ujar Rissa kalem. "Dan lagi, kamu juga tidak perlu merasa tersaingi. Katanya kamu pacarnya Charlos kan. Aku ini tidak ada hubungan apa-apa dengannya... selain hubungan bisnis. Kamu bisa dengan mudah mendapatkan informasi apapun tentangku. Kamu bisa membuktikannya sendiri."

Reva tampak terkejut dengan perkataan Rissa. Tapi kemudian ia kembali bersikap angkuh.

"Aku peringatkan kamu untuk yang terakhir kalinya," ancam Reva. "Jangan pernah bertemu lagi dengan Charlos! Apapun juga alasannya!" Rissa menangkap gentar dalam suara Reva. "Ya memang benar, mudah saja bagiku untuk mencari informasi tentangmu. Yah anggap saja hidupmu tidak akan tenang kalau kamu masih berhubungan dengan Charlos. Aku bersumpah akan melakukan apa saja. Sekarang sebaiknya kamu yang harus sadar, kamu sedang berhadapan dengan siapa."

Jadi sekarang Reva benar-benar sedang mengancamnya. Baiklah. Memang apa saja yang bisa pria kurus ini lakukan terhadapnya? Rissa melirik sang penjaga yang tampangnya jelas sangat mengerikan dan patut untuk diperhitungkan jika Rissa bersikap sok hebat. Tapi Rissa bertekad tidak akan pernah takut berhadapan dengan Reva. Lagipula ia tidak akan pernah bertemu dengan Charlos lagi. Reva tidak perlu mengingatkannya lagi.

Rissa berdiri terlalu cepat, kepalanya serasa agak berputar. Ia berusaha untuk terlihat berjalan sekeren mungkin, tapi kemudian ia teringat sesuatu, "Oh ya, asal kamu tahu, aku juga bisa melakukan apa saja. Skandal pemain saxophone dengan CEO Golden Group..." Rissa tertawa sinis. "Mudah saja kan bagiku untuk membuat berita kecil seperti itu di media sosial."

Reva menggeram. Mudah-mudahan saja pria itu sadar betul bahwa Rissa bukanlah wanita lemah yang mudah diganggu hidupnya.

Langkah kaki keren yang Rissa lakukan hanya berlaku beberapa meter saja. Ia mulai berlari secepat mungkin, siapa tahu penjaganya akan mengejar dan menyiksanya. Setelah ia tiba di trotoar jalan utama, tubuhnya langsung lemas. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi halte.

Kembali mengancam Reva terdengar sangat brilian. Tapi ia tidak pernah tahu apa yang akan Reva lakukan terhadapnya.

Anggap saja hidupmu tidak akan tenang kalau kamu masih berhubungan dengan Charlos. Aku bersumpah akan melakukan apa saja.

Pria itu pasti punya banyak bodyguard, mata-mata, dan semacamnya. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya ia lakukan. Kenapa ia malah menurut saja untuk masuk ke mobil Reva dan berbicara dengan pria mengerikan itu.

***

"Charlos? Senang sekali bisa bertemu denganmu di sini."

Reva tersenyum lebar pada Charlos. Senyumnya terlihat agak palsu. Reva justru tampak ketakutan, tangannya gemetaran saat memegang gelas minumannya.

"Aku melihat mobilmu diparkir di depan. Jadi aku mampir. Apa terjadi sesuatu? Kenapa tangan kamu gemetaran?"

Reva mencengkeram gelasnya lebih erat. "Tidak ada apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir. Apa kamu mau memesan sesuatu?"

Reva memanggil pelayan. Charlos memperhatikan ada sebuah gelas lain berisi air soda tampak tidak tersentuh di depannya.

"Kamu habis bertemu dengan siapa, Rev?" tanya Charlos curiga.

Reva tidak menjawabnya. Ia malah sibuk memesan makanan untuk Charlos sambil bertanya-tanya apa yang enak untuk makan malam. Kemudian sang pelayan mengoceh panjang mengenai makanan yang Reva tanyakan. Setelah selesai memesan, sang pelayan pergi.

"Charlos, aku ingin sekali kita bisa makan malam bersama setiap hari. Aku bisa memasak lho. Oh ya, aku belum pernah mencoba memakai dapur di rumahmu. Kamu keberatan tidak kalau nanti sekali-kali aku memasak untukmu? Kamu mau aku memasak apa?"

"Rev...

"Kamu suka pasta kan."

"Reva, kamu belum jawab pertanyaanku tadi."

"Yang mana? Perasaan aku terus yang bertanya." Reva tersenyum. Kemudian ia menyelipkan sepotong risoles ke mulut Charlos. "Enak kan. Aku suka risoles di sini. Kapan-kapan kita ke sini lagi ya."

Cepat-cepat Charlos menghabiskan risoles di mulutnya. Sikap Reva benar-benar aneh. Ada sesuatu yang terjadi, Charlos yakin sekali.

Reva meminta Charlos untuk diam dulu sejenak sementara ia sibuk mengetik di layar ponsel. Charlos menggerak-gerakkan jarinya tidak sabar.

Akhirnya menu makanan tiba dan mereka makan malam bersama. Sulit sekali untuk meminta penjelasan pada Reva. Malam ini ia tampak lebih banyak bicara dari biasanya. Sebenarnya senang-senang saja melihatnya ceria seperti itu daripada melihat Reva yang terus menerus cemburu padanya.

Gelas yang satu itu benar-benar misterius. Reva malah menyuruh pelayan untuk mengambilnya. Padahal isinya masih penuh.

"Reva, aku mau bertanya sesuatu."

"Ada apa, Sayang?" Reva menatapnya polos.

"Apa kamu mau jelaskan padaku, sebelum ini kamu bertemu dengan siapa?"

Reva mendesah. Ia menyelipkan rambutnya ke balik kuping. "Aku pikir sebaiknya kamu tidak perlu tahu."

"Apa kamu bertemu dengan Rissa?" tebak Charlos. Entah mengapa ia merasa sangat yakin akan hal itu.

"Jangan sebut namanya di depanku!" bentak Reva tiba-tiba sambil menaruh garpu dan pisaunya di meja dengan suara keras. Napasnya memburu.

"Kamu kenapa, Rev? Apa kamu benar-benar bertemu dengannya? Untuk apa? Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya."

"Kamu tidak perlu berbohong lagi! Dia memiliki perasaan padamu! Dia... dia berani mengancamku, Charl. Wanita busuk itu!"

"Wanita busuk apa? Tidak mungkin dia mengancammu kalau bukan kamu yang duluan."

"Beraninya kamu membela wanita itu!" Reva membelalak.

"Jelaskan, Rev! Apa saja yang kamu bicarakan dengannya?" Charlos telah habis kesabaran.

"Bukan urusanmu!"

Charlos mendengus kesal. "Aku tidak suka dengan sikapmu yang terlalu posesif. Selama ini aku menunggu waktu yang tepat untuk bisa memiliki hubungan yang serius denganmu. Tapi yang kulihat, kamu terlalu sibuk untuk cemburu. Untuk apa hubungan kita diteruskan?"

Reva terkesiap, wajahnya berubah pucat. "Charlos, kamu bercanda kan. Aku bukannya posesif, Charl. Wanita itu dulu yang..."

"Aku serius!" sergah Charlos. "Kita putus saja, Rev."

"Charlos!" bentak Reva.

Pemikiran tentang putus terasa sangat bijaksana dan masuk akal. Charlos memantapkan hatinya sekalipun sebenarnya hatinya juga terluka. Ia harus memilih. Dan keputusan sulit itu harus menempatkan Reva di posisi yang paling menyedihkan.

"Aku benar-benar tidak tahan lagi denganmu. Aku lelah." Charlos bangkit berdiri, meninggalkan Reva.

"Charlos!"

Reva mengejarnya sampai ke parkiran, menarik tangannya sebelum Charlos mencapai pintu mobil.

"Please, Charl." Reva memohon. Matanya menatap Charlos putus asa. "Jangan tinggalkan aku. Aku minta maaf. Aku memang terlalu cemburu. Aku tadi hanya mengobrol biasa saja dengan wanita itu. Tidak ada yang..." Reva menghentikan kalimatnya kemudian memutar bola matanya. "Baiklah aku memang mengancamnya." Charlos menghela napas dengan kesal. "Tapi aku belum melakukan apa-apa."

Charlos berbalik dan menatapnya dingin. Seorang Reva yang selalu ia puja dan dambakan telah berubah kejam dalam sekejap dan beraninya mengancam Rissa.

"Belum melakukan apa-apa?" ulang Charlos. "Memangnya kamu mau melakukan apa padanya? Kamu mau membunuhnya sekalian biar kamu puas? Itu tidak akan merubah apa-apa, kecuali satu. Aku jadi semakin benci padamu."

Charlos agak menyesal mengatakannya. Reva tampak sangat terluka.

"Kenapa kamu jadi seperti ini, Rev?"

"Ini semua karenamu!" teriak Reva. "Kamu yang memaksaku untuk berbuat seperti ini. Kamu kencan dengan wanita itu begitu bebasnya, tanpa harus repot-repot membuat janji terlebih dahulu. Kamu bisa bertemu dengannya sesuka hati kamu. Tapi kamu tidak mau meluangkan satu malam saja bertemu denganku dengan alasan menghadiri acara pernikahan. Padahal kamu bersenang-senang dengan wanita itu. Kamu menciumku hanya karena penasaran apakah kamu benar-benar mencintaiku. Dan aku tahu sekarang dengan jelas kalau kamu sejak awal memang tidak pernah mencintaiku. Kamu hanya penasaran dan senang mempermainkan perasaanku. Dan sekarang kamu bilang kalau kamu membenciku, hah? Kamu puas, Charl? Kamu puas sudah menghancurkan hatiku?"

Charlos begitu tersentak mendengar pengakuan Reva. Ia mempermainkan perasaan Reva? Ia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti Reva seperti itu. Ia sungguh pernah tulus mencintai Reva walaupun itu hanya sekejap. Bagaimana ia menjelaskan semuanya?

Hatinya kini telah berubah karena Rissa. Saat bibir mereka bertemu, walaupun hanya sedetik, Charlos merasa ada sesuatu yang berbeda. Masihkah ia memiliki pilihan untuk tidak menjadi gay lagi?

Ia menunduk, tak sanggup menatap Reva. Pria itu pasti sedih sekali. Ia merasa buruk.

"Reva... Aku minta maaf."

"Jangan minta maaf, Charl! Aku tidak butuh itu! Aku hanya ingin kamu kembali padaku. Kita tetap bersama. Aku mencintaimu, Charl. Aku tidak bisa tanpamu. Aku mohon."

Reva mendekat dan mencium Charlos. Dengan cepat Charlos melepaskan diri. Ia menengok ke kanan kiri, takut ada yang melihat. Tampaknya cukup sepi.

"Hentikan, Rev! Aku tidak bisa bersamamu lagi. Aku tahu, aku pria yang buruk. Aku tidak pantas untukmu. Jadi kita sudahi saja."

Charlos memalingkan wajahnya sementara Reva masih terus memandanginya dengan sorot terluka.

"Aku harus pulang."

Ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Reva.

Reva hanya bisa memperhatikannya saat ia melaju dengan kecepatan tinggi.

Dengan kesal dan sambil mengumpat, Charlos memukul stir mobilnya. Dalam sekejap saja ia telah menyakiti Rissa dan Reva. Ia teringat saat bersama Reva di Bali. Hatinya sungguh bahagia walaupun kebahagiaan itu terasa ganjil. Bersama Reva terasa sulit karena ia harus kucing-kucingan dengan media. Ia tidak ingin diketahui publik bahwa dirinya adalah gay.

Semudah itukah ia berubah? Sungguhkah Rissa yang telah mengubah hatinya? Ia hanya beberapa kali saja bertemu dengan wanita itu, tidak benar-benar mengenalnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ia memang mengagumi wanita itu. Segala hal tentang Rissa membuatnya tersenyum. Dan bahkan ia tidak perlu ambil pusing saat media menggosipkannya dengan Rissa. Ia tampak lebih percaya diri dan tahu solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Tapi ia tidak bisa mengatasi dirinya sendiri kalau media sampai tahu kalau ia seorang gay, pernah menjadi gay. Setidaknya sekarang ia sadar bahwa ia mungkin bukan gay lagi.

Ia kembali teringat saat ia memaksa Rissa untuk menciumnya. Lalu wanita itu menamparnya keras sekali. Rissa pasti membencinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat memberikan penjelasan yang masuk akal atas sikapnya yang kasar itu.

Charlos harus bersiap-siap bila suatu saat Reva akan melakukan sesuatu yang berbahaya pada Rissa. Meskipun wanita itu membencinya, ia akan tetap berusaha untuk melindunginya. Tidak ada yang tahu hal apa yang akan mungkin Reva lakukan pada Rissa.

Next chapter