webnovel

17. Pengakuan

Rissa mencoba untuk menemui Tante Astrid pada hari Senin setelah ia pulang kerja. Rumahnya tidak jauh dari kontrakannya. Di sana sangat sepi. Rissa memencet bel beberapa kali, tapi tidak ada jawaban.

Setelah beberapa menit, terdengar suara pintu dibuka. Tante Astrid kemudian membuka pintu pagarnya. Ia terlihat agak terkejut melihat Rissa.

"Eh, Neng Rissa," sapa Tante Astrid hambar sambil membuka kunci gembok.

"Tante, permisi. Boleh saya mengobrol sebentar?" Rissa berusaha ramah.

Tante Astrid ragu sebentar, tapi kemudian ia mempersilahkan Rissa untuk masuk. Rumahnya cukup besar. Rissa duduk di sofa ruang tamu.

"Tante, maaf, kemarin ini James cerita. Katanya saya tidak bisa kontrak di rumah itu lagi. Apa benar ada yang beli rumah itu?"

Tante Astrid nampak sulit untuk memilih kata yang tepat. "Aduh maaf, Neng. Saya mendadak bilangnya. Habis mau bagaimana lagi, orangnya langsung kasih harga yang tinggi. Sebenarnya saya juga tidak berniat untuk menjual rumah itu. Tapi orangnya memaksa."

"Oh... begitu ya. Memangnya orang mana sih?"

"Saya juga tidak tahu. Orangnya itu tinggi, tampan, seperti bule," Tante Astrid tampak tersenyum-senyum mengingat wajah orang itu. "Pokoknya ada lah."

"Tapi Tante, masa saya harus mengosongkan rumah itu tanggal dua tujuh? Saya harus pindah ke mana? Setidaknya beri saya waktu sebulan untuk mencari tempat baru," kata Rissa.

"Sebulan? Tidak bisa, Neng! Pokoknya tanggal dua tujuh." Tante Astrid tampak gelisah.

"Saya bingung harus pindah ke mana, Tante. Tolong saya, Tante. Kali ini saya mohon," pinta Rissa sambil meremas tangan Tante Astrid. "Jangan tanggal segitu..."

Tante Astrid melepaskan tangan Rissa. "Aduh, Neng. Itu bukan urusan saya. Pokoknya Neng harus pindah. Kalau tanggal segitu belum kosong juga, nanti akan ada polisi. Kata orang yang belinya bilang gitu. Maaf ya, Neng."

Tante Astrid bangkit berdiri.

"Tapi Tante... Tolong saya, Tante..." Rissa ikut berdiri.

"Aduh, Neng!" Tante Astrid menahan Rissa dengan tangannya. "Pokoknya tidak bisa ya tidak bisa. Tanggal dua tujuh ini harus sudah kosong. Sudah ya, Neng. Lebih baik sekarang Neng pulang beres-beres. Saya juga masih banyak kerjaan."

Tante Astrid mendorong bahu Rissa dengan kasar. Tapi Rissa masih bertahan.

"Tante... Tapi masa iya saya tidak diberi keringanan? Saya selalu membayar uang kontrakan tepat waktu. Kita kan sudah lama saling kenal. Tolong saya, Tante. Saya bingung harus pindah ke mana."

Buru-buru Tante Astrid membuka pintu.

"Tante... Tolong saya..."

Tante Astrid menggelengkan kepalanya tanpa kata-kata. Perlahan Rissa berjalan keluar, masih memandang Tante Astrid yang sama sekali tidak berani membalas tatapan Rissa.

Rissa merasa pulang seperti pecundang yang kalah dalam pertandingan. Tak ada sedikitpun belas kasihan dari Tante Astrid. Wanita tua yang selama ini sudah ia kenal baik ternyata hanyalah seorang wanita yang mata duitan. Begitu teganya mengusir Rissa dari tempat perlindungannya.

Setetes air mata menetes di pipinya, buru-buru ia lap dengan tangannya. Ia sudah sangat nyaman tinggal di sini, sama sekali tidak ada keinginan untuk pindah. Bagaimana bisa ia harus meninggalkan rumah itu dalam waktu yang sangat singkat?

Ketika ia berjalan, tepatnya menyeret kakinya yang berat, ponselnya bergetar. Rissa mengangkat teleponnya tanpa sanggup mengucapkan kata halo.

"Rissa?" tanya suara dalam ponsel. "Rissa, kamu di mana? Aku ingin bertemu denganmu. Halo?"

"Pamela..." jawab Rissa lirih.

"Kamu kenapa?"

Rissa menghela napas. "Bertemu di mana?"

"Di Black Coffee. Apa perlu aku jemput?"

"Tidak usah. Kita bertemu di sana saja."

"Kamu yakin tidak apa-apa? Suaramu terdengar lemas. Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Nanti aku cerita."

Rissa menutup telepon. Di saat seperti ini ternyata ia masih memiliki seseorang di mana ia bisa mencurahkan isi hatinya. Apa ia sanggup menceritakan segala yang telah ia alami, pada Pamela?

Perjalanan menuju Cafe Black Coffee hanya lima belas menit, tapi rasanya seperti berjam-jam. Rissa berjalan gontai masuk ke dalam cafe. Pamela sudah di sana.

"Rissa!" seru Pamela ketika Rissa menarik kursi di depannya dan duduk. "Kamu kelihatan... kacau sekali. Hidup segan mati tak mau. Oh tepatnya kamu seperti zombie."

Pamela memang benar. Rissa hanya mendesah perlahan kemudian ia mengecap kopinya yang terasa seperti air selokan, ia belum menambahkan gula. Pamela membantunya membuka tiga bungkus gula sekaligus.

"Mel, aku mau mati saja."

Pamela terkesiap. "Jangan sembarangan! Memangnya ada apa? Ayo cerita."

Rissa mengaduk-aduk kopinya yang telah diberi gula. "Aku bingung harus mulai dari mana."

"Dimulai dari huruf A. Pelan-pelan saja. Aku siap mendengarkan." Pamela menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"A? Oke... A, aku jatuh cinta pada Charlos."

"Wow. Berarti pengamatanku selama ini benar," kata Pamela enteng, seolah ia telah mengetahuinya sejak lama.

"Ya, tapi dia tidak menyukaiku. Dia menyukai orang lain." Rissa berusaha terdengar secuek mungkin.

"Benarkah? Justru aku pikir Charlos yang lebih dulu suka padamu. Iya kan? Sejak pertama dia melihatmu saat latihan drama. Yang aku tahu, Charlos itu tidak pernah melirik wanita manapun. Baru kali kali aku melihatnya bisa berkenalan dengan wanita, yaitu kamu."

Rissa terkekeh. Pamela sedang bermimpi. Mana mungkin Charlos menyukainya. Semua itu hanya halusinasi. Tapi lumayan juga, diam-diam ternyata Pamela seorang pemerhati.

"Vivian bilang, dia melihatmu saat Charlos meminjamkanmu jaket. Itu salah satu bentuk perhatian yang jarang dia tunjukkan. Belum lagi gosip yang di internet." Pamela menggigit bibirnya. "Maaf. Aku tidak sengaja melihatnya. Sebenarnya hari ini aku ingin menanyakan tentang hal itu padamu."

"Mel, Charlos itu tidak akan pernah menyukaiku atau wanita manapun."

"Rissa, kamu jangan pesimis seperti dulu. Jangan karena Charlos, kamu sampai ingin mati," kata Pamela. Rissa memejamkan matanya sejenak. "Memang sebenarnya kejadiannya seperti apa saat di pesta pernikahan itu? Aku jadi penasaran. Kalian benar-benar berdansa? Aku hampir tidak bisa mengenalimu . Foto di internet itu seperti bukan kamu, Riss."

"Aku..." Rissa mendesah. "Ya, aku berdansa dengannya. Waktu itu Kak Esther memintaku untuk mewakilkan Kharisma. Aku juga tidak menyangka akan bertemu dengan Charlos di sana."

"Nah. Kalau kalian waktu itu memang berdansa, berarti kamu..." Pamela mempraktekkan gaya dansa dengan mata tertutup dan bibirnya maju-maju seperti bebek. "Begitu?"

"Tidak ada acara seperti itu segala." Rissa menggerak-gerakan tangannya.

Tidak semuanya benar. Rissa teringat akan ciuman paksa itu, sama sekali tidak masuk dalam kategori ciuman.

"Charlos itu sama sekali tidak menyukaiku, Pamela."

"Benarkah? Jika dia memang tidak menyukaimu, lalu bagaimana kamu bisa berdansa semesra itu dengannya?" kata Pamela keras kepala.

Rissa menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya perlahan.

"Charlos itu gay, Mel."

"Apa?" seru Pamela, hampir saja ia menyemburkan kopi yang ada di mulutnya.

"Kamu tidak tahu apa itu gay? Dia menyukai laki-laki. Dia tidak menyukaiku, Mel. Aku sudah memberitahumu sejak tadi." Mata Rissa dibutakan oleh air mata yang menggenang dan siap untuk menetes.

Pamela mendekap dadanya yang naik turun dengan cepat. "Tidak mungkin. Rissa, kamu jangan sembarangan bicara. Tidak mungkin Charlos itu gay." Lidahnya nyaris tergigit saat mengucapkan kata 'gay'. "Dia itu dulu pernah berpacaran dengan... dengan Esther. Aduh aku jadi bergegosip. Tapi benar, Charlos itu pernah bersama Esther. Jadi tidak mungkin kalau dia itu gay."

"Lalu, jika dia berciuman dengan laki-laki, belum berarti dia itu gay, begitu?" tanya Rissa nyaris tanpa emosi.

Pamela meringis mendengarnya. "Rissa, bagaimana ceritanya kamu bisa melihatnya berciuman? Kamu tidak salah lihat kan. Aduh... Charlos." Ia menaruh tangannya di kepala.

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia berciuman dengan Aldo Manson, pemain saxophone yang terkenal itu, yang kemarin bermain di Festival Jazz." Rissa menjelaskan. Pamela membelalak. "Nama panjangnya adalah Revaldo. Charlos menyebut Aldo itu Reva."

Sekarang air mata membanjiri pipinya. Pamela mengusap bahu Rissa, padahal ia sendiri juga shock.

"Aku pikir... aku pikir Reva itu adalah nama perempuan. Aku malah mendukung Charlos supaya dia menyatakan perasaannya pada Reva. Aku itu bodoh, Mel. Kalau saja waktu itu aku tidak ke rumahnya untuk mengembalikan jaketnya, mungkin aku tidak perlu melihat Charlos... berciuman... dengan..."

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Bahunya bergetar. Rissa merasa dirinya menjadi semakin rapuh setiap kali ia mengingat kejadian waktu itu. Ingatan itu tidak akan pernah bisa hilang dari kepalanya, bagaikan racun yang terus menerus merusak organ tubuhnya.

"Rissa. Sudah. Sudah. Kamu tidak perlu menyia-nyiakan hatimu untuk Charlos. Dia itu tidak pantas kamu tangisi. Lebih baik kamu membuka hatimu untuk orang lain."

"Maksudmu Satria?" isak Rissa sambil mengusap air matanya dengan tissue.

Pamela mendesis. "Iya, Satria. Dia mengatakan kepada semua orang kalau dia sangat menyukaimu. Katanya dia akan menyatakan cintanya padamu di acara ulang tahunnya. Tapi sayangnya kamu tidak datang."

"Aku datang, Mel." Suaranya sengau. "Waktunya benar-benar tidak tepat. Aku hanya bisa menangis seperti bayi waktu Satria menyatakan cintanya. Aku tidak menyukainya, Mel. Aku tahu, sia-sia saja aku menyerahkan hatiku untuk Charlos. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghilangkan perasaanku padanya. Aku mencintainya. Yang aku mau hanya dia." Setitik air mata kembali meluncur.

Pamela mengelus-elus punggung Rissa, mencoba menenangkannya.

"Sekarang ini yang aku cemaskan adalah... Reva menghampiriku dan mengancamku."

"Maksudmu si Revaldo itu?" Pamela mengerutkan dahinya.

"Iya," isak Rissa. "Dia mengancamku. Dia bilang bahwa aku tidak boleh bertemu lagi dengan Charlos. Jika tidak, maka dia akan melakukan apa saja."

"Aduh. Kita harus bagaimana?" Pamela menaruh tangannya di dada.

"Tenang saja, pria ceking itu tidak akan bisa mengganggu hidupku. Aku juga sudah kembali mengancamnya. Aku bilang bahwa aku akan mengekspos hubungannya dengan Charlos di media sosial. Karirnya pasti akan terganggu dengan berita itu. Aku tidak takut padanya!" Rissa mengelap air matanya.

"Tapi, Rissa, jika kamu mengumbar hubungannya dengan Charlos di internet, bukankah nanti karir Charlos juga akan terganggu?"

"Oh tidak. Kamu benar, Mel." Rissa menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Pamela bangkit berdiri untuk pindah duduk ke sebelah Rissa dan kemudian memeluknya.

"Rissa, sabar ya. Aku tahu tidak mudah untuk menghilangkan perasaan cinta kita. Tapi kali ini mungkin kamu salah. Mungkin bukan Charlos orangnya."

Rissa masih cegukan. Air matanya membasahi kemeja Pamela.

"Kamu akan sadar suatu hari nanti bahwa ternyata masih banyak orang di sekitarmu yang sayang padamu. Yaah bukan berarti Satria juga orangnya. Kita tidak akan pernah tahu."

"Iya, Mel. Aku mengerti. Banyak orang yang sayang padaku. Terima kasih ya, Mel."

Rissa mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia meraih gelas kopi dan meneguknya perlahan. Tangan Pamela masih mengusap-usap punggungnya sambil membelai rambutnya.

Ia menoleh untuk menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat khawatir dan kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. Otot-otot wajahnya seperti tertarik benang tak kasat mata. Pamela balas tersenyum. Rissa mengelap wajahnya dengan tissue yang entah telah berapa helai ia habiskan.

"Ya sudah," kata Pamela, "mulai sekarang kita tidak perlu membahas lagi tentang Charlos ya. Kita lupakan saja."

Rissa mengangguk lalu meneguk kembali kopinya yang telah dingin. Ia teringat akan dirinya yang diusir dari tempat tinggalnya.

"Mel, apa kamu tahu ada kontrakan atau tempat kos yang dekat tempat kerjaku, tidak? Kontrakanku mau dijual."

Pamela mendesah, wajahnya terlihat semakin khawatir. "Rissa, kamu ya. Sudah masalah soal Charlos, sekarang kontrakanmu mau dijual lagi. Kamu kenapa sih?"

"Aku harus pindah tanggal dua tujuh ini. Aku tidak tahu harus pindah ke mana. Kamu ada saran tidak?"

"Sudahlah, kamu tinggal di rumahku saja. Orang tuaku tidak akan keberatan," saran Pamela.

"Jangan," tukas Rissa. "Aku tidak mau merepotkanmu. Barang-barangku banyak. Aku tetap harus mencari kontrakan baru atau kos-kosan juga boleh."

"Ya sudah nanti aku coba cari tahu. Kalau tidak salah sepertinya aku pernah melihat ada rumah yang mau dikontrakkan di daerah sana." Pamela tampak sedang berpikir. "Aku akan segera memberitahumu ya."

"Mudah-mudahan ada ya. Terima kasih, Mel. Aku mengandalkanmu." Rissa memeluk Pamela.

"Sudah seharusnya kita saling menolong."

Setidaknya sedikit beban Rissa berkurang. Ternyata hatinya lebih lega setelah cerita pada Pamela. Permasalahannya tentang Charlos benar-benar harus ia lupakan. Pamela benar, mungkin ia telah salah menyerahkan hatinya pada Charlos. Bukan Charlos orangnya.

Tapi ia juga tidak bisa memaksakan hatinya pada Satria. Pria malang itu tak lebih dari sekedar kakak baginya. Masih banyak yang sayang padanya. Sejenak ia berpikir bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan tentang hari esok. Tuhan telah menyediakan segalanya yang terbaik baginya. Ia hanya perlu percaya dan menerimanya.

Sahabat yang baik bahkan lebih dari segalanya. Walaupun saat ini hatinya masih terluka, ia merasa bisa melalui semuanya. Seorang sahabat mampu membalut lukanya yang paling menyakitkan sekalipun.

Hari-hari berjalan sangat berat. Kalender semakin menuju tanggal dua puluh tujuh. Rissa mencari informasi tentang rumah yang dikontrakkan di koran. Ia menelepon beberapa, tapi masih belum mendapatkan harga yang sesuai.

Rissa bersyukur karena sikap Esther sudah mulai ramah padanya. Mereka tidak pernah membahas tentang Charlos lagi. Rasanya sedih sekali kalau harus terus menerus bermusuhan dengan Esther.

Sore itu cuaca cerah. James mengiriminya pesan singkat bahwa sore itu dia akan pergi bersama teman-temannya ke acara ulang tahun. Jadi Rissa pulang kerja lebih awal untuk menyiapkan makan malamnya sendiri.

Saat ia berjalan menuju ke gang rumahnya, ia melihat ada mobil sedan hitam sedang terparkir beberapa meter darinya. Sepertinya ia mengenalnya. Jantungnya mendadak berpacu.

Mudah-mudahan bukan dia.

Rissa melangkah dengan cepat. Tiba-tiba seseorang keluar dari mobil itu lalu memanggilnya.

"Rissa!"

Rissa berbalik. Dan benar saja. Itu Charlos. Ia membuka kacamata hitamnya. Rissa masih sempat mengagumi wajahnya yang tampan. Terbukti satu hal, tidak ada yang bisa mencegah Charlos untuk bertemu dengannya.

Tangan Charlos memberi tanda agar ia mendekat. Ia tidak bisa bergerak. Ia berjanji tidak akan bertemu lagi dengan Charlos. Tapi mengapa justru ia merasa sangat sedih.

Rissa meringis. Dadanya terasa sakit. Ia tidak kuasa melihat Charlos lebih lama lagi. Ia tidak ingin Charlos melihat wajah sedihnya, jadi ia berbalik, berjalan secepat mungkin masuk ke dalam gang rumahnya, berharap Charlos tidak akan mengikutinya. Tapi Charlos berlari, menghadang jalan dengan badannya yang tinggi.

Rissa menabrak bahu Charlos yang bidang, masih sempat menghirup aroma parfum dari tubuhnya. Ia tidak sanggup menatap mata Charlos.

"Rissa! Please!"

Rissa menunduk. "Untuk apa kamu datang ke sini?"

"Aku... aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Kenapa wajahmu murung begitu? Apa terjadi sesuatu?"

"Sebaiknya kamu pergi." Rissa mendorong badan Charlos ke samping.

"Rissa, ayolah..." Charlos menahan bahu Rissa dengan tangannya. "Aku ingin berbicara sesuatu denganmu."

"Aku tidak bisa. Menyingkirlah!" Rissa mendorong tangan Charlos dari bahunya. "Sebaiknya kita tidak perlu bertemu lagi." Lalu Rissa terus berjalan.

"Tunggu dulu, Riss. Apa terjadi sesuatu? Kamu baik-baik saja kan? Aku tidak tahan meeting seharian dan menunggu sore hari supaya bisa bertemu denganmu!" seru Charlos. Ia mengikuti Rissa yang terus saja berjalan dengan cepat.

"Kita tidak ada urusan apa-apa lagi. Jadi kamu tidak perlu repot-repot datang ke sini," sahut Rissa tegas.

"Kamu bisa berhenti tidak?!" seru Charlos.

Langkah Rissa terhenti kemudian ia berbalik, memberanikan diri memandang Charlos. Wajah tampannya tampak letih. Rissa menangkap ada penyesalan di matanya.

"Aku minta maaf atas sikapku waktu itu."

Rissa langsung berbalik begitu Charlos membahas tentang ciuman mengerikan itu.

"Aku tahu itu tidak pantas. Kamu berhak marah." Lalu Charlos mendekati Rissa, membalikkan badannya perlahan. "Apa kamu masih marah padaku?"

"Aku benci padamu," ungkap Rissa. Matanya mulai memerah, setetes air menggenang di matanya. "Aku tidak mau bertemu lagi denganmu. Pergilah!" Isak tangis telah menguasainya. Ia menutup wajahnya dengan tangan.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa dengan bodohnya ia malah mengatakan benci? Seharusnya ia mengungkapkan seluruh isi hatinya. Bisakah waktu diputar kembali? Seandainya Charlos bisa membaca pikirannya. Ingin sekali Rissa berteriak di kepalanya bahwa ia sangat mencintai Charlos dan sangat merindukannya. Ia ingin memeluknya dan membujuknya untuk meninggalkan Reva dan berpaling padanya. Ia ingin agar Charlos tahu bahwa ia adalah wanita yang pantas dicintai.

Rissa berbalik dan berlari ke rumahnya yang tinggal beberapa meter jaraknya. Charlos mengejarnya lagi. Rissa membanting pintu di depan wajahnya. Charlos terus menggedor-gedor pintu sambil memanggilnya.

"Rissa! Buka pintunya, Riss! Rissa!"

Setelah beberapa menit, perlahan suara Charlos melemah. Kemudian hening. Rissa mengintip dari balik jendela. Charlos telah pergi.

Next chapter