"Gimana Nindi, cantik kan?" tanya Tari begitu Bara kembali pulang ke rumah.
"Bukan cuma cantik lagi, Oma. Bidadari mah itu!" Bara langsung ambruk di sofa, tangannya memeluk bantal sofa, matanya terpejam.
"Nah berarti kamu setuju kan dijodohkan dengan dia?" senyum Tari mengembang sempurna di wajah renta itu.
"Tidak, Bara tidak setuju!" jawab Bara lalu bangkit dan melangkah ke kamarnya.
"Lho, gimana sih, Bara!" Tari benar-benar tidak mengerti, apa sih kurangnya gadis itu? Katanya tadi bidadari?
"Bara nggak mau pokoknya, Oma!"
"Lantas kamu cari wanita yang kayak gimana sih?" Tari benar-benar heran, jangan bilang kalau cucunya itu masih berharap pada Kirana itu!
"Entahlah, Bara belum mau memikirkan hal itu." jawab Bara lalu masuk ke kamarnya, menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Bara mengunci pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar. Kenapa dia jadi seperti ini sekarang? Kenapa semuanya jadi rumit setelah Kirana pergi? Hanifa, dia juga pergi. Dan sekarang ia dipaksa untuk berjodoh dengan Nindi? Bagaimana mungkin gadis seperti Nindi mau dijodohkan dengan dirinya?
Setelah dua gadis itu pergi dari hidup Bara, rasanya rasa percaya diri Bara lenyap seketika! Ia selalu merasa tidak pantas bersanding dengan siapapun, termasuk dengan sosok sesempurna Nindi! Tidak, ia sudah punya laki-laki yang ia cintai, yang ia harapkan. Dan itu bukan Bara.
Bara memejamkan matanya, bayangan Kirana yang hadir di sana. Wajah itu, senyum itu! Astaga! Bara benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri, dia sebenarnya kenapa?
***
"Bara, coba pikirkan lagi!" Tari masih mencoba membujuk Bara.
"Apalagi yang harus dipikirkan sih, Oma?" guman Bara cuek, ia sibuk dengan ayam bakarnya.
"Tentang perjodohan mu dengan Nindi lah!" Tari benar-benar kesal, apa sih kurangnya Nindi?
"Bara tidak mau, Oma. Pokoknya tidak mau! Bara cuma mau bersahabat saja sama Nindi, itu aja."
"Kamu cari gadis yang kayak gimana sih?"
"Gadis yang tidak pergi, gadis yang mau bertahan bersama Bara sampai kapanpun." jawab Bara singkat.
"Astaga, memangnya Nindi tidak mau?" tanya Tari gemas.
"Entah, tapi pokoknya Bara tidak mau!" Bara benar-benar sangat santai menjawab pertanyaan-pertanyaan Tari itu, membuat Tari makin tidak mengerti.
"Terserah kau saja lah!" Tari menyerah, memang dasar Bara kepala batu!
Bara hanya melirik sekilas, akhirnya ia bisa tenang juga tanpa harus membahas perihal perjodohan itu. Ia yakin suatu saat akan datang gadis yang ia cari itu, gadis yang bersedia tetap bertahan di sampingnya apapun yang terjadi. Gadis yang tidak akan pergi meninggalkan dia sendiri.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam, Bara masih terjaga diatas ranjangnya. Malam ini ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia merasa aneh, ada yang ia rindukan, tapi siapa? Apakah Kirana? Atau Hanifa? Hati Bara mendadak pedih, rasa itulah yang membuat Bara masih ragu kembali membuka hati, ia sangat takut jika harus kembali ditinggalkan, dicampakkan.
Ia hendak memejamkan matanya, ketika kemudian Smartphone miliknya berdering, nomor baru? Nomor siapa? Jangan-jangan ...
"Hallo, Hanifa?" hanya nama itu yang otomatis muncul di pikiran Bara, meskipun tadi pikirannya dikuasai oleh Kirana.
"Ha ... Hanifa? Siapa dia?"
Sontak Bara terkejut, suara ini kan ....
"Ka ... kamu ...."
"Aku Kirana, Bara! Siapa Hanifa?"
"Apa urusanmu?" tanya Bara gusar. Apa urusan Kirana sampai ia harus mengintrogasi Bara tentang siapa itu Hanifa.
"Secepat itu kamu melupakan tentang kita, Bar?"
Sontak Bara terkekeh, sadar tidak Kirana mengatakan itu? Siapa yang memulai? Kalau dia tidak memulai lebih dulu, Bara juga tidak akan berulah kan?
"Kamu serius bilang kayak gitu? Kamu sadar bilang itu tadi? Siapa sih yang mulai? Kamu atau aku? Kamu bisa seenaknya menikah setelah dengan laki-laki lain dengan posisi aku sudah melamarmu, apakah itu hal yang benar?"
"Bar ... aku .... aku ...."
"Apa? Kamu mau bilang apa? Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu benar? Sampai kamu berani-beraninya protes perihal Hanifa?"
"Bisa aku jelaskan, Bar!"
"Sudahlah, aku nggak perlu penjelasan mu! Gimana enak kan jadi menantu presiden? Sekarang nikmati saja peran barumu sebagai orang penting! Menantu presiden, istri dari perwira angkatan darat. Membanggakan bukan? Semua orang tunduk kepadamu!" sindir Bara sambil tersenyum sini.
"Bara! Bukan seperti it ...."
"Sudahlah, aku sudah tidak mau membahas apa-apa lagi denganmu! Oh ya, suamimu tidak protes perihal malam pertama kalian bukan? Sampaikan permohonan maaf ku kepadanya ya!" guman Bara lalu menutup sambungan telepon.
Bara sontak tertawa, bisa-bisanya gadis itu bersikap demikian! Memang apa haknya? Dia saja bisa seenaknya seperti itu, kenapa Bara tidak? Namun Bara sedikit heran, ia sudah sangat membenci gadis itu, tapi kenapa ia tidak bisa melupakan dirinya dari ingatan dan pikiran Bara? Apa alasannya?
Kenapa bayangan itu selalu menganggu dirinya? Membuat Bara sangat sulit melupakan sosok gadis itu meskipun ia telah mengkhianati dan melukai hati Bara sampai sebegitunya. Apa karena ia adalah gadis pertama yang Bara sentuh tubuhnya? Gadis pertama yang menyuguhkan kenikmatan surga dunia itu?
Bara menghela nafas panjang, apapun itu ia harus berusaha melupakan gadis itu, menyembuhkan luka di hatinya, mencintai gadis lain, memulai hidup baru. Itulah yang harus Bara lakukan, karena hidupnya tidak berhenti hanya karena ditinggal pergi, benar bukan?
Bara mencoba memejamkan matanya, doanya hanya satu ... ia minta agar ia mendapat ganti yang lebih baik, yang terbaik. Yang senantiasa ada di sampingnya apapun kondisinya, yang selalu bisa mengerti akan dirinya, dan yang mau berjanji tidak akan meninggalkan dirinya.
***
"Kamu mau kemana, Bar?" tanya Tari ketika Bara muncul begitu rapi dengan celana bahan dan kemejanya.
"Mau ke kantor bea cukai, Oma." jawab Bara singkat sambil mengancingkan kancing lengannya.
"Ngapain ke sana?"
"Urus surat izin impor untuk barang pesanan Bara dari London, Oma."
"Kamu itu, kenapa sih tidak fokus mengurusi perusahaan papamu saja sih? Perusahaan papamu banyak, Bara." desis Tari heran.
"Ahh ... Oma nih sama saja sama papa! Sukanya bikin Bara down! Memang apa sih salahnya kalau Bara punya usaha Bara sendiri?" Bara mendengus kesal.
"Bara, itu perusahaan papamu bikin buat kamu, lantas siapa yang besok mewarisinya"
"Masih besok kan, Oma? Kenapa sih dibahas sekarang? Bahas yang dekat-dekat saja lah?" Bara benar-benar tidak mengerti, papanya masih segagah itu pada didoakan mati? Bahas warisan Mulu!
"Namanya juga masa depan, dibahas dari sekarang." Tari berkelit, dasar benar-benar keras kepala anak satu ini!
"Oma, papa masih sehat bugar, pamali ah bahas warisan." Bara mendekati Tari lalu mengulurkan tangannya. "Bara pergi dulu, Oma!"
"Hati-hati dijalan!"
Bara tidak menjawab, ia buru-buru melangkah dan masuk ke dalam mobil sport mewahnya itu. Setelah ini ia ada janji dengan Nindi, tampaknya dokter cantik itu benar-benar suka dengan cafenya. Bara tersenyum simpul, lalu mulai membawa mobil itu melaju meninggalkan halaman rumah neneknya.
Siapa tahu tentang hari esok bukan? Bara juga tidak tahu, namun Bara harap semuanya akan baik-baik saja dan ramah kepadanya!