Bara sudah kembali sampai di depan rumah Sri, ketika kemudian sosok itu muncul dengan celana jeans dan kaos oblongnya. Wajahnya tampak berseri-seri, pasti soal Bastian.
"Ayo, aku pengen cerita banyak nih!" guman Nindi lalu menarik tangan Bara kembali ke mobilnya.
"Ettt ... kita belum pamit!" tolak Bara sambil mempertahankan tubuhnya agar tidak terbawa tarikan Nindi.
"Bara sudah datang?" sapa Sri ketika Bara tersenyum dan melangkah mendekati dirinya.
"Sudah Oma, izin ajak Nindi keluar sebentar ya." guman Bara sambil mencium tangan Sri dengan sopan.
"Iya, hati-hati ya kalian." Sri tersenyum, ahh ... bukankah mereka pasangan yang serasi?
"Eyang, Nindi pergi dulu ya!" teriak gadis itu sambil melambaikan tangan.
Bara tersenyum kecut, apakah zaman sekarang itu seperti itu cara pamitnya? Astaga! Ia bergegas menyusul Nindi yang sudah masuk ke dalam mobilnya itu.
"Bara, kau harus membantuku!" guman Nindi ketika mereka sudah mulai melaju pergi dari halaman rumah Sri.
"Bantu apa lagi sih? Soal Bastian?" Bara mulai fokus dengan kemudinya.
"Dia putus sama Audrey itu, Bar!" guman Nindi sambil menatap Bara dengan lekat-lekat.
"Lho bagus dong, lantas apa masalahnya?" tanya Bara santai.
"Apa masalahnya katamu? Aku jadi perusak hubungan orang, Bara!" Nindi mendengus, ia sedikit tidak enak hati.
"Ya kalau benar kamu yang merusak, kalau ternyata sebenarnya mereka ada masalah yang kamu tidak tahu, kan bisa jadi juga."
Nindi terdiam, kalau untuk itu sih dia tidak tahu. Bara hanya melirik gadis itu sekilas, fokusnya masih ke jalanan di depannya itu.
"Sudahlah, berarti si Bastian itu benar-benar serius sama kamu, Nin!" terang Bara santai, benar bukan? Kalau sampai ia meninggalkan wanita itu artinya ia lebih serius dan yakin pada Nindi.
"Tapi aku masih merasa tidak enak hati, Bara." gumamnya lirih.
Bara menghela nafas panjang, rasanya ia harus sesegera mungkin membawa gadis itu ke cafenya, ia butuh caffeine untuk mengembalikan moodnya yang sedang tidak baik itu.
***
"Jadi gimana?" tanya Bara ketika Nindi sudah menyeruput kopi kintamani di cangkirnya.
"Ya intinya dia kemarin bilang lagi kalau mau ngajak nikah gitu."
"Yaa ... aku sih yes!" jawab Bara sambil bersandar di kursinya.
"Hei yang dia ajak nikah itu aku, Bar. Bukan kamu, kenapa jadi kamu yang jawab sih?" guman Nindi gemas.
"Lagipula kamu kelamaan sih, apa memang sudah jadi kodrat wanita ya suka memperumit masalah?"
"Bukan memperumit Bara, hanya saja kan untuk masalah ini perlu dipikirkan matang-matang, soal pernikahan lho, bukan main-main." guman Nindi membela diri.
Pernikahan bukan main-main. Yaa ... Hanifa pernah mengatakan itu ketika Bara ingin mengajaknya menikah dulu. Apakah dia juga memikirkan hal yang sama seperti apa yang Nindi pikirkan ini?
"Lagipula aku kenal dia kan belum lama, jadi jujur aku belum bisa kasih jawaban karena belum sepenuhnya ragu."
Jadi seperti ini yang ada di pikiran Hanifa kemarin? Lantas kemudian ia memilih pergi? Ahh ... wanita memang makhluk yang rumit.
"Ya ampun, tinggal bilang kalau kalian butuh waktu untuk saling mengenal kan bisa, Nin. Kenapa di bikin ribet sih?" Bara malah kembali fokus pada Hanifa, apakah alasan dia pergi karena Bara terlalu memaksanya untuk segera ia nikahi?
Tapi bukankah itu lebih bagus daripada ia hanya Bara tiduri bertahun-tahun tanpa status yang jelas seperti dulu saat ia bersama Kirana?
Nindi masih bimbang dengan smartphone di tangannya itu, dengan sigap Bara merebut Smartphone itu dan mengetikkan balasan untuk chat Bastian yang menanyakan kapan Nindi bisa ia lamar.
"Eh, Bara kembalikan!" gadis itu sontak panik, lalu berusaha merebut Smartphone miliknya dari tangan Bara.
"Diem saja dulu lah!" Bara tidak membiarkan Nindi meraih kembali Smartphone dari tangannya, tak peduli para karyawan dan pengunjung cafenya menatap mereka dengan tatapan aneh, Bara masih mempertahankan Smartphone itu di tangannya.
"Nih, selesai kan!" gumannya setelah pesan yang ia ketik sudah terkirim.
"Bara!" pekik Nindi gemas sambil mencubit lengannya.
"Baca dulu dong, jangan asal ngamuk gitu." Bara terkekeh, dasar wanita!
Nindi tampak tertegun membaca pesan yang Bara kirim, sejenak ia menatap Bara dengan tatapan tidak percaya.
"Gimana, ada salah kata?" tanya Bara santai sambil menyeruput kopinya.
"Sempurna, kok bisa lancar gini sih?"
"Bisa lah, Bara gitu lho!" jawabnya jumawa sambil tersenyum sok kecakepan.
"Ih, PD!" guman Nindi sambil mengerucutkan bibirnya. "Mampus, dia langsung balas, Bar!" Nindi kembali mendekatkan Smartphone itu kepadanya.
"Nah, dia paham juga kan? Intinya langsung to the point gitu loh kalau ngomong sama laki-laki." guman Bara sambil melirik Nindi kesal.
"Terus sekarang ini gimana?" tanya Nindi dengan tatapan polos, entah benar-benar polos atau pura-pura polos, yang jelas itu makin bikin Bara gemas dengan dokter satu ini.
"Nin, kamu itu dokter lho!" desis Bara sambil berusaha menekan suaranya agar tetap lirih berbicara.
"Memang kenapa kalau aku dokter? Apa hubungannya dengan profesiku?" tanya Nindi kolot.
"Ya itu berarti IQ mu diatas rata-rata, Nin. Kenapa masalah seperti ini kamu masih tanya?" jelas Bara makin gemas.
"Bara, ini soal hati bukan otak!" bela Nindi tidak mau kalah.
"Kalau cuma pakai hati nggak pakai otak, jadi goblok dong, Nin! Percuma sekolah tinggi-tinggi."
"Lantas ini gimana?" tanya Nindi seolah tidak peduli dengan nasehat panjang lebar Bara.
Bara mendengus kesal, lalu berusaha meraih kembali Smartphone itu. Namun Nindi lebih gesit menyingkirkan Smartphone miliknya dari jangkauan Bara.
"Ett ... ett ... jangan macam-macam!" ancam Nindi dengan mengepalkan tangannya.
"Kamu kelamaan sih!"
Nindi mengerucutkan bibirnya, sedetik kemudian ia tampak kembali terkejut. "Bara dia kirim pesan lagi."
Bara membaca sekilas, "Nah, gini kan udah jelas. Selamat ya Bu Dokter, punya pacar baru!"
***
Bara terkekeh sendiri ketika pulang dari mengantarkan Nindi. Dia dijodohkan dengan gadis yang sangat potensial, tapi malah ia membantu gadis itu jadian dengan laki-laki lain? Hebat bukan? Sebenarnya Bara itu bodoh atau gimana sih?
Bara sendiri tidak tahu, yang jelas ia tidak ingin memaksakan kehendaknya lagi. Daripada ujungnya kehilangan lagi, ditinggal lagi, lebih baik ia tahu diri bukan?
Tentang besok siapa gadis yang akan datang dalam hidupnya, menjadi teman hidupnya, Bara memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada yang di atas, ia percaya bahwa jodohnya ada kok, mungkin sedang dijaga oleh orang lain, diperjuangkan oleh orang lain, atau malah belum lahir? Astaga! Bara kembali tertawa, kenapa urusan jodoh jadi serumit ini sih?
Padahal dulu Bara sangat santai perihal seperti ini, kenapa sekarang malah jadi begitu rumit semenjak Kirana memilih pergi?
Kirana lagi, Kirana lagi ... sampai kapan sih Bara masih memikirkan istri orang? Sampai kapan Bara masih membiarkan diri terluka oleh kenyataan? Bara menghela nafas panjang, ia sendiri tidak tahu, karena faktanya sangat sulit melupakan gadis itu. Melupakan kenangan mereka, dan tentu saja melupakan sakit yang ditorehkan olehnya.