Sungguh Xu Shuai yang sial. Ia baru saja mengumbar jika benda yang dibawanya akan menyenangkan hati Gu Yu. Sayangnya setelah melihat video itu, Gu Yu justru membanting ponselnya hingga hancur berkeping-keping.
Xu Shuai pun terkejut, bahkan Asisten Gu Yu yang kebetulan bersandar pada pintu, tidak kalah terkejut saat mendengar suara keras itu.
Ia mengira Xu Shuai benar-benar bisa mengembalikan suasana hati bosnya. Nyatanya, Xu Shuai bukan mengubah mendung di hati Gu Yu menjadi cerah, tapi mengubah mendung menjadi badai.
Xu Shuai, sadarkah dirimu telah membuat situasi yang tidak terduga?!
Setengah detik kemudian, pintu ruangan Gu Yu terbuka. Keluarlah Xu Shuai sedang meratapi ponselnya yang rusak dalam genggaman. Dengan sakit hati yang amat sangat, ia menggerutu, "Ini ponsel edisi terbatas yang baru kubeli kemarin! Aku juga baru menggunakannya satu hari!"
Asisten Gu Yu kasihan melihat keadaan Xu Shuai yang seperti itu. Padahal ia sudah bilang bahwa suasana hati Gu Yu sedang tidak baik. Sayangnya Xu Shuai malah berani seperti menerjang ujung pistol. Masih beruntung ponsel Xu Shuai yang rusak, bukan yang lain.
Akhirnya, ia hanya menepuk bahu Xu Shuai, sama seperti Xu Shuai yang menepuk bahunya sebelum ini. Dengan nada menenangkan ia berkata, "Sabar ya, Tuan."
Setelah Xu Shuai pergi, asisten Gu Yu menutup pintu ruangan Gu Yu sambil mengintip melalui celah pintu yang akan ditutupnya. Dari sana ia melihat Gu Yu duduk di belakang meja yang sangat besar.
Pada posisinya, Gu Yu seperti sedang memandang sesuatu yang ada di depannya, tapi tidak ada yang tahu hal yang dilihatnya. Anehnya, pandangannya seperti tenggelam dalam kekosongan dan pasrah. Si asisten ikut tertegun memikirkan hal yang membuat pikiran atasannya berat.
Sebenarnya, ia juga belum pernah melihat sikap bosnya yang semengerikan hari ini. Namun bersamaan dengan itu, ia juga belum pernah melihat bosnya sedang melamun dan terlihat pasrah seperti itu.
Memikirkan hal ini, asisten Gu Yu heran melihat sikap bosnya yang seperti ini.
Menurutnya, Gu Yu adalah lelaki yang kuat dan tidak terkalahkan oleh siapapun. Bagaimana bisa ia pasrah tidak berdaya seperti itu?
*****
Di rumah kediaman Xu, Xu Weilai sudah tertidur selama seharian. Pada akhirnya ia terbangun di keesokan paginya.
Setelah mencuci muka, ia turun ke lantai bawah untuk sarapan. Di sana, ternyata sekretarisnya juga ada untuk membawakan tas dan jaketnya. Benar saja, saat dalam keadaan mabuk dan ditolong oleh Kakek Gu malam itu, kedua barang itu tertinggal di meja makan restoran.
Anehnya, tidak ada surat kontrak dari Xu Shuai di dalam tasnya.
Si sekretaris menunduk dengan hormat, "Maaf Nona Xu, saya tidak bisa membawa surat kontrak itu. Tuan Muda Xu bilang dia tidak mau tandatangan kontrak itu karena Nona pergi."
Xu Weilai hanya menarik kedua sudut bibirnya.
Pada akhirnya, Xu Shuai memang sudah tidak pernah berniat untuk menandatangani kontrak sejak awal. Ia hanya sengaja mempermainkan Xu Weilai.
Meskipun merasa sudah jelas seperti itu, namun Xu Weilai masih harus menggenggam harapan tanda tangan kontrak dari Xu Shuai ini. Ia tidak punya pilihan lain selain menagih janjinya.
"Baiklah, aku tahu. Terima kasih sudah membawakannya. Kau kembalilah ke kantor dulu, aku mau ke rumah sakit."
Sekretarisnya hanya mengangguk, lalu meninggalkan tempat.
Xu Weilai kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja rias untuk mendandani dirinya agar terlihat baik-baik saja, setelah itu segera pergi ke rumah sakit.
Beberapa hari ini, kesehatan ayah Xu tidak kunjung membaik. Saat Xu Weilai masuk ke ruangan ayahnya, sang ayah sedang batuk. Di sampingnya, Ibu Xu membantu Ayah Xu dengan menepuk-nepuk punggungnya.
"Pa…! Ma…!"
Ibu Xu melihat ke arah anaknya ini. Pandangan itu penuh dengan kesusahan dan kesedihan. Saat bicara pun juga tidak ada tenaga, "Weilai, kau sudah datang!"
Ayah Xu melihat putrinya itu penuh harap dengan mata sayunya, "Xu Weilai, kudengar kau menemui Tuan Xu untuk membicarakan keuangan. Bagaimana? Dia bersedia membantu kita?"
Xu Weilai hanya menundukkan mata, ia hanya bisa menggigit bibirnya. Kemudian ia mulai berbicara dengan suara yang serak dan berat, "Pa, maafkan aku, aku belum bisa membicarakannya."
Harapan Ayah Xu seketika langsung lenyap. Ia pun kembali berbaring, seperti orang yang mau mati. Kemudian mengepalkan tangannya dengan emosi.
"Jangan-jangan... Keluarga Xu benar-benar ingin keluarga kita hancur?" Ucap Ibu Xu sambil tidak bisa mengontrol air matanya.
Xu Weilai tidak sanggup melihat ibunya menangis putus asa seperti itu. Namun dengan hasil yang didapatkannya, Xu Weilai hanya bisa diam. Apapun yang ingin ia katakan seperti tidak bisa dikeluarkan dengan benar.
Namun, takdir berkata lain, suasana sedih di ruangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara ketukan pintu. Kemudian, seseorang datang masuk ke ruangan itu.