V tidak sempat menjawab. Karena langit kini berkedip merah, amat cepat.
"Apa yang terjadi, V?" tanya Levi panik. "Arti kedipan cepat berwarna merah adalah bahaya yang amat besar. Apa bahaya itu?"
V tidak menjawab ia mengetuk meja itu lagi. Muncul hologram berita.
Wajah V menegang.
"Ya ampun," gumamnya.
"Ada apa, V?" desak Levi. "Jangan membuatku takut."
"Kudeta," Kata itu sudah cukup untuk membuat suasana hening.
"Kudeta?" Aku mengernyit. "Apa maksud anda tentang itu? Siapa pelopornya?"
"Kita sudah tau, Nak," jawab V. "Siapa yang hendak menculik 'Empress', mengambil alih kekuasaan..."
"Siapa lagi kalau bukan Thanatos?" potong Leo.
"Cerdas," V mengangguk.
"Apa yang harus kita lakukan?" Leta tampak ketakutan.
"V, jika mereka sampai tau bahwa Kanna ada di sini," gumam Levi. "Mereka akan membawanya. Kita tidak tau apa yang akan Thanatos rencakanan kepada 'Empress'."
"Levi, bawa anak-anak malang ini ke rumah liburan keluarga kita," ucap V. "Mereka aman di saja."
Levi mengangguk patuh.
"Masuklah ke lemari," perintah V. "Akan ada pintu di bagian bawah, turuni tangga di baliknya, maka kamu akan tiba di hutan."
"Baik, V," Levi mengangguk takzim. "Pastikan kamu baik-baik saja."
"Tak usah kamu pedulikan orang tua ini, Levi," kekeh V. "Pastikan bibit unggul dunia ini selamat ketimbang bunga yang telah mekar."
Levi mengangguk. Ia mendorong kami menuju lemari.
Ketika kami masuk, kami dapat melihat V yang berjalan mantap ke pintu. Ia melirik kami dan tersenyum.
Aku dapat melihat bibirnya berkomat-kamit. Tapi, aku tidak tau yang dia katakan.
Pintu ditutup oleh Levi.
Leo beringsut, mencari pintu di bagian bawah. Ia mengangkatnya.
Terlihat lorong dengan obor di kedua sisinya dan tangga batu terjal yang diapit dinding batu.
"Astaga!" keluh Leta. "Aku tidak bisa melihat dasarnya."
"Masuk, Anak-anak," desis Levi. "Waktu kita tidak banyak."
Leo menuruni tangga duluan. Disusul Leta, aku, dan Levi setelah menutup pintu kembali.
Remang-remang.
Leta beberapa kali sempoyongan hingga terpaksa berpegangan di dinding. Leo juga mulai bosan hingga jalannya semakin lambat.
"Ayolah, Leo," ucap Levi gemas. "Percepat jalanmu. Semakin cepat kamu jalan, semakin cepat pula kita sampai."
Ucapan Levi cukup untuk membuat Leo berjalan cepat.
Kami tiba di dasar.
Pohon-pohon tumbuh rapat dan menjulang. Sulur-sulur merambat, ada yang berduri. Semak-semak blueberry dan mawar dipenuhi kupu-kupu sebesar telapak tangan.
"Ya ampun!" pekik Leta ketika salah satu kupu-kupu terbang melintasinya. "Besar sekali kupu-kupu itu. Makan apa saja dia?"
Kami berjalan, menimbulkan suara pijakan akibat menginjak daun kering.
Dzing!
Kami menoleh.
"Suara apa itu, Levi?" tanyaku waswas.
"Apakah sudah ada yang mengejar kita?" tanya Leo.
"Oh, tidak..." desah Leta.
"Aku tidak tau, Anak-anak," Levi menggeleng. "Aku hanya warga sipil."
Zig! Zig! Zig!
Suara itu terdengar serempak.
Kami menoleh dan melihat 5 robot berjarak 7 meter dari kami.
"Lari, Anak-anak!" seru Levi.
Kami tidak bisa bertanya kenapa, karena Levi sudah mendorong kami untuk terus berlari.
"Ada apa, Levi?!" seru Leo.
"Robot Bayangan!" jawab Levi. "Robot tempur dan patroli yang dapat digunakan oleh Anggota Pasukan Rembulan divisi Ilmu dan Teknologi!"
Mendengar kata 'TEMPUR' membuat kami mempercepat lari.
"Kanna!" pekik Leo. "Serang mereka atau apa, kek!"
Aku berputar dan mengarahkan tangan ke arah salah satu robot.
Rantai-rantai melilit 2 robot dan membanting mereka ke segala arah.
"Beres 2," Leo mengangguk. "Sisa 3."
Dzing!
"Sepertinya tidak," ucap Levi.
4 robot bergabung ke 3 robot yang tersisa.
"Sial!" gerutu Leo.
"Itu lebih parah," Levi menatap ke belakang. "Robot Rembulan II."
"Apa maksudnya?" tanya Leta.
"Lebih kuat dari yang tadi," jelas Levi. "Yang ini..."
Aku mengarahkan tanganku ke salah satu robot yang baru muncul.
Rantai muncul. Ketika hendak menyerang, robot sasaranku membuat tameng.
"Bisa membuat tameng," jelas Levi.
Kami terus berlari. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain berlari.
"Kanna!" pekik Leta. "Kenapa tidak kamu coba kekuatan anehmu itu."
Aku menggeleng tegas.
"Itu seperti kekuatan pasif," jelasku. "Aku tak bisa sembarangan memakainya."
Kami terus berlari. Sampai...
Pip!
Hologram lelaki yang tadi membantuku muncul. Ia tampak memakai pakaian serba hitam, lengkap dengan jubah.
"Hallo, Ayah!" sapanya.