Aku, Leta, dan Leo hanya mematung di sudut ruangan itu.
"Apakah kalian habis melewati lorong koordinat sebelum sampai kemari?" tanya lelaki itu.
Aku tidak tau apa "lorong koordinat" yang dia maksud, tapi aku mengangguk saja. Kenapa? Karena pusaran yang kami lewati tadi, kayak lorong. Bodoh, kan?
Lelaki itu mengangguk mengerti.
"Aku mengerti sekarang, Vynete," Lelaki itu tersenyum kecil. "Mereka tidak bermaksud kemari. Di berita sudah dijelaskan bahwa entah kenapa, koordinat di seluruh negeri kacau balau. Mungkin, mereka hendak pergi ke tempat lain."
"Kalau begitu, mereka kasihan sekali..." ucap wanita itu, Vynete. "Lucas, bukankah jauh lebih baik mereka dibiarkan tinggal di sini? Kita bisa membantu mereka pulang besok. Kasihan sekali jika mereka harus tidur di jalan. Ini sudah larut."
Larut?! Apa yang wanita ini maksud? Saat ini masih sore. Matahari tenggelam pun belum.
Lelaki itu, Levi, mengangguk. Dia menatap kami ramah dan tersenyum.
"Aku tau kalian bingung sekali saat ini," ucap Levi. "Tapi, tidak baik jika kalian pergi lagi malam-malam seperti ini. Lebih baik kalian tinggal di sini dan kembali besok."
"Tinggal di sini?" Aku memastikan. "Apakah boleh?"
"Tentu saja, Nak," Vynete tersenyum. "Sungguh kebetulan, kami punya kamar kosong."
"Aku yang akan mengantar kalian," sambung Levi. "Vynete, kamu antar Ilos tidur saja."
Levi beranjak ke pintu. Aku bergegas mengikuti, segera disusul kedua temanku yang sejak tadi diam.
"Ilos, sampaikan 'selamat malam' kepada kakak-kakak," perintah Vynete.
Ilos mengerjap dan tersenyum lebar, "Selamat malam..."
"Selamat malam..." Aku tersenyum.
Kedua temanku hanya tersenyum dan bergegas menyusulku yang sudah mengikuti Levi keluar.
Ini ruangan paling aneh yang pernah kulihat. Atap yang memancarkan cahaya, dinding yang dipasang foto-foto yang bisa bergerak, sofa-sofa bulat yang melayang 3cm dari lantai, lantai yang bisa berubah warna, meja kaca tanpa kaki, dan vas berisi bunga ungu aneh.
"Bunganya cantik, Na..." gumam Leta.
"Gak ada bunga kayak gitu di negara kita," sahut Leo. "Kita ada dimana, Na?"
Levi menatap kami dan tersenyum simpul. Ia menghampiri kami dan memandang vas yang dimaksud Leta.
"Itu bunga Shadowell," jelas Levi. "Bunga langka di sini. Indah bukan? Mereka hanya bisa mekar ketika malam tiba, aromanya seperti apa yang kita suka."
"Indah sekali," Aku mengangguk setuju. "Aku belum pernah melihat bunga seperti itu."
"Benarkah?" tanya Levi.
"Na, ini mau kemana?" bisik Leta.
"Apakah kamu bertanya mau kemana kita?" tanya Levi. "Kita mau ke lantai atas. Tidak usah khawatir, cuma melihat-lihat kota di lantai tertinggi rumah ini saja."
Aku berbalik untuk menatap Leta yang masih bertanya-tanya dan Leo yang masih tampak tertarik dengan ruangan ini.
"Katanya, kita akan melihat pemandangan kota dari ketinggian," jelasku.
"Heh...?!" Leta tampak terkejut. "Di sore hari seperti ini?"
4 lempeng logam pipih bulat melayang 3cm di atas lantai, dihadapan kami masing-masing.
Melihat Levi yang naik ke lempeng itu, kami bergegas naik juga. Lempeng itu berdesing naik, ketika tinggal beberapa cm dari atap, aku memejamkan mata. Kami akan menabrak atap kan?
Tidak terasa apa-apa. Ketika aku membuka mata, atap itu merekah untuk membuat jalan bagi lempeng. Setelah lempeng itu melewatinya, atap tadi menutup.
"Woah..." Leo menatap atap (yang sudah menjadi lantai sekarang) dengan antusias. "Itu keren sekali. Tanpa tangga, lift, atau eskalator."
Lempeng itu berdesing turun. Ruangan ini berbentuk melingkar.
Kami menjejak di lantai berkarpet hitam. Dinding dan atap ruangan ini terbuat dari kaca. Ruangan ini dibagi dua, dipisahkan oleh rak buku marmer.
Bagian kami menjejak adalah deretan kursi hitam yang dipisahkan oleh meja tanpa kaki.
Bagian yang satu lagi, merupakan tempat baca berupa meja-meja rendah dan bantal-bantal duduk.
"Kemarilah, Nak," Levi berjalan mendekati dinding.
Tampak jelas ada balkon di luar sana. Tapi, mana pintunya?
Tepat sebelum Levi menabrak dinding, dinding itu merekah.
Kami bergegas mengikutinya.
Balkon itu berbentuk bulat dengan atap yang bisa diatur. Ada vas-vas bunga, meja-kursi, dan ayunan.
"Anak-anakku suka sekali bermain di sini," ucap Levi. "Sayang, si sulung sedang di akademi. Dia belum pulang."
Leta masih melongo karena yang kami lihat adalah langit malam.
Kota ini berupa puluhan rumah berbentuk bulat yang melayang 3m dari pucuk pepohonan di bawah sana. Rumah-rumah itu berotasi amat pelan. Diantara puluhan rumah itu, terdapat 2 gedung oval, 1 memiliki patung-patung burung membawa buku yang bergerak mengelilinginya.
"Apakah di sini hanya ada puluhan rumah?" tanyaku. "Itu terdengar sedikit untuk sebuah kota."
"Tidak, Nak," Levi menggeleng. "Kamu salah paham. Sebagian besar rumah berada di dalam tanah."
Aku mengangguk-angguk.
"Kalian pasti datang dari jauh, kalian bahkan tidak tau informasi umum seperti itu," kekeh Levi.
Aliran hijau mengkilap muncul. Levi tersenyum kecil.
"Sepertinya, Vynete memanggil," ucap Levi. "Ayo kembali."
Kami berjalan di belakang.
"Na, ini dimana?" tanua Leta. "Kok, udah malem aja sih?"
"Ini di kota kita, Let," jawab Leo. "Buktinya, letak bintangnya sama."
Leta menatap Leo, "Tapi ini semua aneh! Rumah melayang. di dalam tanah, berotasi!"
"Sejak kita datang, segalanya sudah aneh," Leo berjalan menyusul Levi.
Kami menaiki lempeng seperti tadi.
Ruangan awal masih tampak sama. Hanya saja, di meja tanpa kaki itu sudah ada 5 cangkir berisi coklat panas yang mengepulkan asap.
Melihat Levi dan Vynete yang mempersilahkan kami duduk, kami duduk dengan hati-hati di sofa melayang.
"Ini coklat panas untuk kalian," ucap Vynete. "Supaya lebih nyenyak tidurnya."
Kami mengucapkan terima kasih serempak, walaupun yang mereka mengerti hanya ucapanku saja.
"Siapa nama kalian?" tanya Levi.
"Namaku Kanna," jawabku. "Yang di sampingku Leta dan yang laki-laki Leo."
Kedua orang itu mengangguk.
Kami mengobrok sebentar dan diantar ke kamar si sulung.