Kamar si sulung lebih luas dibangingkan kamar Ilos.
Tetap berbentuk bulat. Lantai dilapisi karpet yang warnanya bisa diatur, tempat tidur melingkar yang melayang, meja-kursi yang tertanam, lemari tabung yang tertanam dinding, pintu menuju kamar mandi, jendela melengkung indah, hologram-hologram, dan bingkai-bingkai foto.
"Kamar si sulung luar biasa," Leo menatap hologram-hologram itu dengan antusias. "Aku mau mandi dulu. Kalian?"
"Tidak," Leta menggeleng.
"Kamu, Na?" tanya Leo.
Aku menggeleng. Jelas sekali Leta tampak amat khawatir dan takut. Mana mungkin aku akan meninggalkan dia dengan Leo yang sedari dulu selalu santai?
"Terserah kalau kalian mau meratapi nasib," cibir Leo. "Tidak ada gunanya."
Leo beranjak masuk ke kamar mandi.
"Na, apa benar kita tidak bisa kembali?" tanya Leta. "Aku ingin pulang, Na."
"Aku juga mau pulang, Let," sahutku. "Aku tau mama dan papa pasti akan khawatir."
"Kalau gitu, coba dengan bukumu itu, Na!" saran Leta. "Siapa tau berhasil, kan?"
Aku mengambil buku itu. Tapi, tidak ada asap hitam.
Aku menggeleng, membuat raut wajah Leta yang tampak berharap berubah menjadi kekecewaan.
"Maaf, Let," ucapku. "Ini salahku. Kalau kamu tidak ikut denganku, pasti kamu saat ini bisa nonton drama korea."
"Ini bukan salahmu," Leta tertawa. "Kalau dipikir-pikir, ini lebih seru dibandingkan dengan menonton drama korea."
Leo keluar dari kamar mandi.
Dia memakai pakaian serba hitam khas orang sini.
"Pakaian dan kamar mandinya luar biasa, Na, Let," Leo tampak antusias. "Kalian harus coba, deh."
Leta memutar bola mata.
"Kamar mandinya canggih, kalian tidak akan basah," lanjut Leo. "Pakaiannya juga terasa ringan dan tidak panas, kalian bisa bergerak serusuh apapun tanpa membuat robek."
Leta mendongak. Sepertinya, ia sudah mulai tertarik dengan topik yang sedang dibicarakan saat ini.
"Bagaimana bisa seperti itu, Le?" tanyaku.
"Aku tidak tau, Na," Leo menggeleng. "Tapi, yang jelas pakaian ini selalu mengikuti gerakan dan bentuk tubuh."
"Terdengar nyaman," komentar Leta.
"Sangat nyaman, malahan," sahut Leo. "Kalian harus coba."
"Aku mau mandi dulu, kalau begitu," Leta segera berdiri. "Kalau kamu, Na?"
"Ini sudah sangat larut," ucapku. "Aku mau istirahat saja."
"Baiklah," Leta mengangguk. "Selamat tidur, Na. Semoga kamu bermimpi indah."
Aku bergegas naik ke ranjang yang kini turun.
Setelah aku berbaring nyaman, ranjang itu berdesing naik. Ternyata, ranjang ini mengayun luar biasa lembut.
Aku bergelung di balik selimut.
"Selamat malam, Na," gumam Leo yang sepertinya sedang merapihkan ranselnya yang berantakan.
"Selamat malam, Le," balasku. "Lebih baik, kalian tidak tidur terlalu malam. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi besok."
Aku memejamkan mata dan terlelap.
___________________________________
Keesokan harinya...
Aku bangun pertama. Leta tidur di sebelahku dan Leo tidur di sofa bawah. Rupanya, sofa itu bisa diatur menjadi tempat tidur.
Aku bergegas ke kamar mandi.
Kamar mandi itu berupa lantai-dinding-atap yang memancarkan cahaya biru redup (bisa diatur) dengan sisi kiri berupa kaca dan wastafel. Di sisi kanan, terdapat 5 bilik tabung yang terbuat dari kaca buram.
Bilik pertama berupa pakaian kotor. Dengan tabung-tabung kaca yang tertanam di dinding. Kita tinggal memasukan pakaian kotor, dan pakaian itu akan dibersihkan.
Bilik kedua berupa tempat mandi. Dengan beberapa lempeng bulat yang berputar di atas, memancurkan udara (kehangatan bisa disetel). Dan logam di dinding yang bisa merekah untuk menyerahkan handuk (dapat kering dalam 1 menit).
Bilik ke-3 berupa tempat penyimpanan. Dengan rak-rak berjajar melingkar berisi alat-alat mandi.
Bilik ke-4 berupa tempat pakaian bersih. Dengan kursi logam melayang, tabung-tabung kaca buram. Kita tinggal masuk ke tabung itu, pintu akan tertutup, hologram akan muncul dan kita dapat memilih pakaian (langsung terpakai).
Bilik ke-5 tempat pengambilan pakaian yang habis di cuci.
Aku bergegas mandi dan berpakaian.
Ternyata, perkataan si biang kerok itu benar juga. Pakaian ini terasa ringan dan tidak membatasi gerakan. Bahkan sepatunya terasa ringan, aku bisa menggerakkan jemariku dengan bebas.
Aku keluar kamar mandi, melihat Leo yang tampak jauh lebih kusut.
"Leta belom bangun?" tanyaku.
Leo menunjuk tempat tidur yang masih melayang sambil menggeleng singkat, sebelum dia masuk ke kamar mandi.
"Kalo gitu, biar aku yang ngebangunin," gumamku.
Aku bergegas menempelkan tangan di dinding. Kabut biru sedingin es menjalar lewat dinding. Aku berkonsentrasi agar kabut itu mengarah ke Leta, tidak menyebar.
1 detik...
2 detik...
3 detik...
4 detik...
5 detik...
"AAAAAA!!!" Lengkingan Leta cukup untuk membuatku terlonjak kaget hingga kabut dingin itu menyebar sebelum lenyap.
Leta meloncat turun dan memandangku kesal.
"Duh, bangunin pake cara yang normal, dong..." sungut Leta.
"Emang dingin banget, ya?" tanyaku.
"Jauh lebih dingin dari freezer," jawab Leta.
Leo keluar sambil bersungut-sungut. Ia menatap Leta kesal.
"Lengkingan-mu itu bisa membuat orang lain jantungan tau gak, sih?!" sewot Leo.
"B-O-D-O A-M-A-T!" Leta menjulurkan lidah dan masuk ke kamar mandi.
Leo memandang pintu itu kesal dan mendengus. Ia kembali sibuk dengan ranselnya.
"Kamu suka membuat sesuatu berteknologi, kan, Le?" tanyaku.
"Ya," Leo mendongak. "Memang kenapa?"
"Kalau kamu gak mau jantungan gara-gara lengkingan cetar membahana-nya Leta," jelasku sambil menahan tawa. "Sekali-kali buat penutup telinga berteknologi tinggi 'Penutup telinga anti suara cetar membahana'. Lumayan laku, kan?"
3 detik setelah mengucapkan itu, aku bergegas berkelit menghindari lemparan buku dari tas Leo.
Leo hanya menatapku yang masih tertawa-tawa dengan pandangan sebal.
Leta keluar dan menatap kami dengan bingung.
Aku yang tertawa dan Leo yang memunguti buku sambil bersungut-sungut sebal.
"Wajahmu kenapa masam banget, sih, Le?" tanya Leta.
"Kebanyakan makan jeruk nipis dia," kekehku.
"Beneran, Le?" Leta memandang Leo dengan antusias.
"Ya enggak, lah," ucap Leo ketus. "Asem!"
"Iya asem," Aku mengangguk. "Tapi, lebih manisan jeruk nipis ketimbang muka kamu, Le."
Leta terbahak-bahak karena mendengar ucapanku. Leo? Tentu saja dia kembali memparkan buku kepadaku.
Candaan kami terputus ketika Ilos masuk dengan wajah polosnya. Duh... imut banget...
"Kak, ayo sarapan," ucapnya. "Mama udah masak enak buat kita semua. Ayo, Kak!"