Tidak ada lagi yang ingin dilakukan oleh Rania. Tidak ada lagi. Ia kini cukup dengan mendengarkan dirinya sendiri. Masa bodo dengan apa yang dibicarakan teman-teman, Muku hingga keluarganya sendiri tentang dirinya.
"Sudah lebih dari cukup aku hidup lebih dari sembilan belas tahun. Ya, mama. Usiaku dua puluh tahun. Hari ini. Tepat saat engkau tak mau mengakui aku sebagai anakmu lagi," kata Rania di depan kaca.
Perempuan dengan rambut sebahu itu membuka selimut yang melingkupi tubuhnya. Di depan kaca, ia saksikan dirinya sendiri. Tanpa atribut dan aksesoris yang membuatnya disebut perempuan.
"Aku perempuan ya, Ma. Sepertimu."
Rania tersenyum. Ia menepuk dadanya. Puk... puk..., "Dan ketika sakit, aku ingat Mama yang menjaga tidurku. Sejak aku belum tidur, hingga bangunku pukul tujuh. Lalu ganti mama yang sakit."
Ia lepaskan tangan dari dadanya, lalu ke meraba ke bahu, lalu kembali ke bagian yang menyembul di dadanya. "Dan ini. Ini yang memberiku kehidupan kan Ma? Apa ini akan bekerja untuk bayiku kelak?"
Rania cekikikan, "Ah tidak. Aku tidak mau menikah Ma. Aku tidak mau menikah. Aku tidak menolak Tuhan menjadikan usiaku semakin tua, tapi aku tidak mau menikah, Ma. Aku tidak mau menikah. "
Angin dari jendela menyapu kulitnya yang terbuka. Membuat Rania merasa kedinginan. Lalu menggigil. Ia ambil kembali handuknya. Menutup dada hingga atas luturnya. Ia benamkan kembali tubuhnya di atas lantai. Menggulung tubuhnya dengan selimut dan kembali menatap jendela dari lantai dua yang memperlihatkan kehidupan tetangga-tetangganya.
Kebahagiaan ada di setiap kepala. Ia meyakinkan dirinya soal itu. Ia lahir di keluarga yang tidak kurang apapun. Menjadikannya berjarak dengan teman-teman yang bahkan untuk membeli baju baru saja menunggu hari raya idul fitri. Setiap tahun. Hanya sepasang baju baru untuk setiap hari dikenakannya di dua hari fitri bersilaturahmi.
"Dulu, Ma. Teman-teman bilang, aku seberuntung-beruntungnya menjadi anak perempuan. Yang bisa makan kue tart sejak ulang tahun ke tujuh dan membeli sembarang pita semauku. Tapi rasaku, aku tidak merasa sebahagia itu."
Rania berjalan menuju tikar yang disiapkan di atas lantai. Telah ia kumpulkan semua barangnya di dua katung besar di pojokan kamar.
"Sudah baik aku hanya mengunci kamar. Tidak menyapa mama dan tidak menemuimu, Muku. Sudah kubilang, aku tidak percaya kamu. Hubungan. Dan apa yang kamu janjikan soal kebahagiaan pernikahan."
Rania menutup matanya. Berharap matahari segera tenggelam. Menyajikan malam. Dan matahari membangunkannya di hari yang berbeda. []