Arjuna dan Ardan bergegas menuju sungai untuk mencari keberadaan Sekar dan dua pengawalnya. Jalan setapak yang mereka lalui cukup panjang dan berliku, beberapa kali Ardan hampir jatuh andai Arjuna tidak sigap menolongnya. Tujuan Ardan hanya satu, memastikan Sekar tidak kabur dari cengkramannya.
"Shit!" maki Ardan saat kakinya terkena ujung pohon yang runcing. Darah segar keluar dari luka itu. Awalnya Ardan ingin melanjutkan niatnya tapi Arjuna menahan kepergiannya.
"Tuan di sini saja. Saya akan pastikan wanita itu tidak akan pernah kabur dari Tuan. Jalan di depan sangat terjal dan saya tidak mau mengambil resiko," ujar Arjuna dengan mimik wajah serius. Ardan melepaskan tangan Arjuna dan meletakkan tangannya di bahu Arjuna.
"Sejak rencana ini kita lakukan saya sudah cukup paham kalau jalan yang kita lalui tidak saja terjal tapi juga berbahaya," Ardan melepaskan tangannya dan kembali menyusuri jalan setapak yang licin dan juga terjal itu. Dalam pikirannya kalau Sekar sampai kabur maka semua rencananya bisa gagal dan ia tidak mau itu terjadi.
Cukup jauh jarak antara rumah tempat penyekapan dengan sungai dan setelah melewati jalan berliku dan terjal akhirnya Ardan dan Arjuna sampai juga di bibir sungai yang lumayan dalam dan berarus deras. Ardan memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mencari keberadaan Sekar dan dua pengawalnya.
"Di mana mereka?" tanya Ardan.
"Tuan tunggu di sini saja dan saya akan coba susuri jalan ini sampai ke ujung. Mungkin mereka ada di sekitar sana," tunjuk Arjuna.
"Saya ikut," Arjuna dan Ardan akhirnya menyusuri jalan di tepi sungai. Cukup jauh mereka berjalan sampai akhirnya Ardan melihat Sekar sedang mencuci baju di tepi sungai sedangkan dua pengawal berdiri di belakang Sekar.
Melihat Sekar masih dalam genggamannya Ardan membuang napas dan mencoba menormalkan napasnya yang sesak sejak tadi. "Ternyata dia masih bisa aku kendalikan. Seharusnya ini kesempatan bagus untuk bisa kabur," ujar Ardan dalam hatinya.
Mendengar grasak grusuk di belakangnya membuat Sekar memutar tubuhnya dan melihat Ardan sedang menatapnya. "Tuan pikir saya akan kabur? Makanya Tuan menyusul saya sampai sejauh ini?" tanya Sekar. Ardan memilih duduk di batu besar yang ada di samping Sekar dan melihat baju kotor yang diberinya tadi sebagian besar sudah bersih dan teronggok dengan rapi di dalam ember.
"Ternyata pemandangan di sini enak juga ya, angin sepoi-sepoi membuat mata saya mengantuk." Ardan sengaja menjulurkan kakinya dan mengenai ember berisi kain yang sudah bersih. Ember itu terbalik dan membuat isinya jatuh ke dalam air.
"Ya ampun jadi kotor lagikan bajunya," gerutu Sekar sambil memungut baju yang jatuh tadi agar tidak terbawa arus.
"Upssss sorry," Ardan mengangkat bahunya dan berusaha menahan tawanya saat melihat Sekar sibuk memungut baju yang jatuh tadi. Arjuna hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap kekanakan Ardan tapi bagi Arjuna lebih baik melihat sikap kekanakan Ardan daripada melihat Ardan menyiksa Sekar dengan rasa takut dan trauma.
"Tuan sengaja melakukan hal tadi agar pekerjaan saya tidak cepat selesai. Tubuh saya rasanya mau remuk setelah mencuci baju sebanyak itu. Saya lelah dan ingin istirahat minimal keluar dari air dingin ini, tapi Tuan membuat saya harus mencuci sekali lagi," oceh Sekar. Saat akan memaki Sekar tiba-tiba mata Ardan melihat baju yang dulu diberikan Maudy sebagai hadiah ulangtahunnya terbawa arus sungai.
"Baju saya!" Sekar memutar tubuhnya untuk melihat arah telunjuk Ardan dan Sekar langsung shock saat melihat sehelai baju terbawa arus sungai. Takut Ardan melampiaskan amarah ke dirinya membuat Sekar reflek masuk ke dalam sungai berarus deras itu untuk mengambil baju Ardan.
"Hey!" teriak Ardan.
Sekar tidak peduli dengan teriakan Ardan dan semakin berenang ke bagian tengah sungai. Air yang cukup deras dan dingin membuat kaki Sekar sulit untuk digerakkan. Arjuna yang melihat dari kejauhan langsung mendekati Ardan.
"Dia bisa tenggelam Tuan," ujar Arjuna.
"Saya tidak pernah menyuruhnya mengambil baju itu," balas Ardan.
"Tuan pikir dia akan membiarkan baju Tuan hilang terbawa arus? Dan ujung-ujungnya Tuan akan kembali menyiksa fisik dan batinnya?" tanya Arjuna. Ardan tidak membantah atau pun menjawab ucapan Arjuna yang terdengar penuh sindiran.
"Saya akan menolongnya meski Tuan akan marah atau memecat saya. Air sungai sangat dingin dan manusia sekuat apa pun tidak akan sanggup menahannya. Apalagi untuk WANITA seperti dia," Arjuna sengaja mempertegas jenis kelamin Sekar supaya Ardan berhenti menyiksa wanita. Arjuna melepaskan sepatunya dan menanggalkan jaket yang terpasang di badannya. Awalnya Ardan acuh dan membiarkan Arjuna masuk ke dalam sungai tapi saat melihat tubuh Sekar semakin lama semakin hilang dari pandangan matanya membuat Ardan tanpa ragu-ragu masuk ke dalam sungai.
"Semoga Tuan bisa berhenti menyiksa Sekar. Aku tahu hati Tuan sedang terselubung api amarah dan dendam. Hanya waktu yang bisa membuat Tuan kembali menjadi Tuan yang aku kenal," ujar Arjuna dalam hati dan membiarkan Ardan menyelamatkan Sekar.
Hampir saja baju itu berhasil ditangkap Sekar tapi arus kencang dan air yang cukup dingin membuat kakinya tiba-tiba kram. Sekar merintih menahan sakit sambil memegang kakinya dan berusaha menggapai batu supaya tubuhnya tidak terseret air.
"Tolongggggg," pegangan di batu semakin lama semakin menggendor. Tidak saja kakinya yang sulit digerakkan tapi juga bagian bawah perutnya yang tiba-tiba sakit dan menegang.
"Ya Tuhan, bayiku!" Sekar memegang perutnya dan rasa sakit tadi semakin membuatnya meringis dan pandangannya mulai gelap. Pegangan di batu akhirnya lepas dan tubuh Sekar hampir terbawa arus andai tangan Ardan terlambat menangkap tubuhnya.
Ardan memeluk Sekar dan samar-samar Ardan mendengar suara lirih Sekar di telinganya, "Tolong … tolong bawa saya ke rumah sakit," bisiknya di telinga Ardan. Awalnya Ardan kira itu hanya igauan, tapi Ardan langsung kaget saat melihat air yang tadinya jernih berubah menjadi kemerahan.
Sesampainya di tepi sungau Ardan langsung membaringkan tubuh Sekar di antara bebatuan,"Hey, kamu kenapa?" tanya Ardan sambil memukul pelan pipi Sekar. Arjuna mendekati Ardan dan melihat rembesan darah di sela kaki Sekar.
"Tuan, ada darah!" ujar Arjuna. Ardan melihat ke arah telunjuk Arjuna dan dengan reflek Ardan menggendong Sekar dan membawa Sekar ke rumah sakit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Seharusnya kamu cari tahu ke mana Ardan pergi," tanya Ibu Marinka saat Tuan Felix masih belum bisa menemukan jejak Ardan sejak kepergiannya beberapa bulan yang lalu.
"Sekretarisnya memberi tahu kalau kemarin Arjuna menghubungi dia dan bertanya perkembangan perusahaan selama Ardan tidak ada," Ibu Marinka meletakkan cangkir kopinya dan menatap Felix dengan kening berkerut, "Tapi saat sekretaris bertanya di mana mereka, Arjuna hanya menjawab anak sialan itu sedang berlibur dan menenangkan diri di sebuah kota. Mbak percaya anak sialan itu menenangkan diri?" tanya Tuan Felix.
"Mungkin saja, kematian Maudy membuatnya kembali seperti dulu bahkan lebih kejam dan arogan. Sedikit demi sedikit kita harus membuat anak itu merusak dirinya sendiri atau buruknya kita buat anak itu gila, gimana?" tanya Ibu Marinka. Tuan Felix mengangguk dan menuangkan kopi ke dalam gelas kakaknya itu.
"Wah, selain kejam Mbak juga pintar ya. Sayangnya aku belum bisa menemukan kartu AS yang bisa membantu kita," Ibu Marinka langsung meletakkan cangkirnya di atas meja dengan kasar.
"Kamu mau hidup miskin seperti dulu? Kalau kita tidak kejam dan pintar maka orang-orang di luar sana akan menginjak-injak kita. Kamu mau dihina terus karena miskin?" tanya Ibu Marinka. Tuan Felix langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak sulit membunuh Ardan tapi Mbak tidak mau mengotori tangan ini dengan darahnya. Kita akan buat anak itu memilih mati daripada hidup dan satu-satunya cara kita harus temukan wanita yang diperkosa Ardan lalu menggunakan wanita itu sebagai senjata," ujar Ibu Marinka dengan senyum licik.
Perbincangan Ibu Marinka dan Tuan Felix tanpa sengaja didengar Renata. Renata menutup mulut dan meneteskan airmatanya saat mengetahui ternyata kebaikan yang selama ini ditunjukkan Ibu Marinka hanyalah sebuah kebohongan. Renata mundur beberapa langkah agar Ibu Marinka dan Tuan Felix tidak tahu kalau ia mendengar semua perbincangan mereka termasuk tentang Ardan memerkosa seorang wanita.
"Aku harus memberi tahu Ardan dan memperingatinya tentang rencana Mami dan Paman Felix. Aku juga harus mencari tahu tentang wanita itu dan menjauhkannya dari mereka. Ya Tuhan Ardan, apa yang kamu lakukan sampai kejadian itu bisa terjadi?" tanya Renata dalam hatinya. Renata berusaha menghubungi Ardan dan sialnya nomor ponsel Ardan sedang tidak aktif.
"Hamil?" tanya Ardan sekali lagi saat dokter memberitahunya tentang kondisi Sekar yang hampir keguguran andai Ardan tidak langsung membawanya ke rumah sakit.
"Usia kandungannya jalan empat bulan dan sangat lemah, seharusnya ibu hamil tidak boleh terlalu lama berendam di air dingin," jawab dokter lagi. Ardan dan Arjuna sama-sama saling menatap dan tidak tahu mesti berkata apa. Semua rencana yang disusun Ardan kacau saat tahu Sekar sedang hamil.
"Empat bulan? Dan saya sama sekali tidak tahu?" tanya Ardan.
"Saya juga tidak tahu tentang kehamilannya Tuan, bahkan tubuhnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Perutnya masih datar dan kondisinya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda sedang mengandung,"
"Shit, seharusnya dokter yang mengoperasinya dulu memberi tahu kita tentang kondisinya," bisik Ardan sepelan mungkin. Arjuna membuang napas, apa sih yang bisa diharapkan dari klinik illegal di mana Ardan mengoperasi wajah Sekar. Bagi mereka yang terpenting biaya operasi dibayar secara tunai.
"Apa yang harus kita lakukan Tuan?" tanya Arjuna.
"Nanti kita bicarakan," Ardan menyuruh Arjuna tetap menunggu di luar sedangkan ia masuk ke dalam kamar perawatan Sekar. Sekar masih tergolek lemah di atas ranjang dengan wajah pucat. Ardan berdiri di samping Sekar dan matanya tertuju ke daerah perut Sekar yang mulai terlihat menonjol. Mata Ardan juga melihat adanya kain putih tergeletak di atas kursi, sepertinya kain itu digunakan Sekar untuk melilit perutnya agar Ardan tidak pernah tahu tentang kehamilannya.
"Andai Maudy masih hidup …."
Ardan hendak meletakkan tangannya di atas perut Sekar andai perawat tidak masuk untuk memeriksa kondisi pasien.
"Wah selamat ya Pak bayinya ternyata masih kuat di rahim Ibu," ujar perawat dengan riang.
"Anak itu …."
"Anak pertama ya Pak?" tanya perawat itu lagi. Ardan ingin membantah tapi lidahnya terasa kelu.
"Anak kedua," balas Ardan dengan reflek.