Kondisi Sekar mulai membaik dan dokter pun sudah memperbolehkan Ardan membawa Sekar pulang dengan syarat Sekar tidak boleh mengalami pendarahan lagi jika masih ingin mempertahankan bayinya. Kondisi Sekar yang lemah membuat Ardan belum bisa mengambil keputusan tentang rencana apa yang akan dia lakukan selanjutnya setelah mengetahui tentang kehamilan Sekar.
Ardan menutup pintu dan menguncinya setelah dokter meninggalkan mereka berdua, senyum yang tadi ia keluarkan saat berbincang dengan dokter langsung lenyap dan berganti wajah dingin tanpa ekspresi. Ardan memilih duduk di depan ranjang Sekar dan duduk menyilang sambil menatap Sekar yang masih diam tanpa kata.
"Jangan pikir kehamilan itu akan membuat saya berhenti crew kamu," akhirnya Ardan mulai membahas masalah kehamilan Sekar. Sekar takut Ardan menggunakan kehamilannya ini untuk menindasnya dan untuk itu Sekar memilih diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Cukup lama keheningan terjadi di antara mereka. Mata Ardan melihat wajah pucat Sekar sedangkan Sekar melihat wajah Ardan yang berubah sejak terakhir kali ia lihat sebelum jatuh pingsan. Wajah Ardan dipenuhi bulu-bulu halus dan kantong matanya semakin menebal dan menghitam.
"Apa yang Tuan inginkan dari saya?" pertanyaan Sekar memecahkan keheningan malam.
Ardan tersenyum sinis dan berdiri dari kursinya tadi. "Kamu tahu apa yang saya inginkan." Ardan lalu berdiri dan mendekati jendela yang sudah terbuka lalu menghirup udara malam yang cukup menyegarkan dan membuat otaknya yang tadinya kusut mulai normal. Sebuah ide muncul di otaknya. Ide membalas sakit hatinya tanpa perlu mengotori tangannya dengan darah Sekar.
"Saya lelah dengan semua ini, saya lelah menerima hukuman atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Lebih baik Tuan membunuh saya dan akhiri semua dendam itu," balas Sekar lagi dengan nada putus asa. Ardan tertawa sinis dan melihat ke arah Sekar dengan mata tajamnya.
"Mati hanya akan mengakhiri semua kisah ini. Awalnya saya ingin menghancurkan kamu tapi sebuah berita mengejutkan membuat saya mengubah semua rencana yang sudah saya susun. Bukankah kehilangan anak lebih menyakitkan dibandingkan kehilangan nyawa?" tanya Ardan.
"Ma … maksud Tuan?" tanya Sekar dengan suara bergetar. Sekar memegang perutnya yang masih terasa nyeri. Sekar takut Ardan menyakiti anaknya atau lebih buruknya Ardan membunuh anaknya. Bagi Sekar, laki-laki yang berdiri di sampingnya itu tidak lebih dari binatang kejam yang mampu melakukan perbuatan yang sangat kejam sekali pun demi ambisi dan juga dendamnya.
"Saya akan menyingkirkan anak itu dan ingin tahu apa yang kamu rasakan setelah kehilangan orang yang paling kamu sayangi," balas Ardan dengan wajah dinginnya. Sekar langsung memaki, menghujat, dan mengeluarkan kata-kata penuh umpatan. Semua benda yang ada di sampingnya ia lemparkan agar Ardan berhenti membuatnya menderita.
"Setelah anak itu lahir aku akan mengambilnya. Anggap saja anak itu sebagai pengganti anak kandungku yang sudah mati. Kehilangan anak lebih menyakitkan dibandingkan apa pun. Untuk sementara aku hanya bisa menunggu wanita ini melahirkan anakku. Ya, anak yang ada di rahimnya akan menjadi keturunan Mahesa walau darah kami tidak sama," ujar Ardan dalam hati.
Sekar bertingkah seperti induk kucing yang siap menerkam siapa saja yang berani mendekatinya. Ardan tidak marah atau memberi hukuman walau Sekar menghinanya dengan kata-kata kasar. Ardan lebih memilih menunggu sampai anak itu lahir dan barulah melanjutkan kembali rencananya.
Ardan memijit keningnya dan membuang napasnya lagi, "Rencana berubah Arjuna," ujar Ardan. Arjuna meletakkan secangkir kopi di atas nakas. Ia melihat wajah Ardan tidak sama seperti beberapa hari yang lalu saat Ardan belum mengetahui tentang kehamilan Sekar.
"Apa yang akan Tuan lakukan setelah mengetahui tentang kehamilan wanita itu?" tanya Arjuna langsung tanpa basa basi. Ardan mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Arjuna yang menatapnya sama seperti Sekar menatapnya.
"Saya akan melepaskan wanita itu dan melupakan semua dendam di antara kami, tapi dia harus meninggalkan bayinya. Hidup itu ada dua pilihan dan dia harus memilih salah satunya," balas Ardan tanpa ekspresi. Arjuna sedikit kaget mendengar perkataan Ardan tentang mengambil bayi Sekar.
"Tuan akan mengambil bayinya? Untuk apa?" tanya Arjuna tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
"Bayi itu setelah lahir akan menjadi anak Ardan Mahesa. Dia akan menggantikan posisi anak kandung saya yang kini sudah berada di surga. Mau tidak mau dia harus menyerahkan bayinya jika ingin bebas dari tahanan ini," balas Ardan masih tanpa ekspresi.
"Apa yang Tuan lakukan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Memisahkan ibu dan anak yang baru lahir sangat kejam dan tidak bisa dimaafkan," entah kenapa Arjuna berani mengatakan itu. Ekspresi Ardan langsung berubah setelah mendengar ucapan Arjuna tadi.
"Saya memang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sedari awal saya sudah bilang kalau kematian Maudy akan membuat Ardan Mahesa yang arogan, sombong, dan kejam akan lahir untuk kedua kalinya," ujar Ardan sebelum meninggalkan Arjuna. Arjuna membuang napasnya dan hanya bisa berharap Ardan tidak melakukan hal sekejam itu setelah Sekar melahirkan bayinya.
Waktu masih ada sekitar lima bulan sebelum Sekar melahirkan dan Arjuna berharap dengan berjalannya waktu Ardan bisa melupakan dendamnya dan melepaskan Sekar.
Ardan mengurung dirinya di kamar dan baru keluar saat malam mulai menjelang. Makan malam yang disediakan Arjuna langsung habis dilahap Ardan tanpa banyak kata dan setelah makanannya habis barulah Ardan mengeluarkan suaranya.
"Besok kamu kembali ke Jakarta. Saya sudah menyiapkan daftar barang-barang yang harus kamu beli," Ardan mengambil sebuah kertas dari dalam saku jasnya dan menyerahkan ke tangan Arjuna. Sebuah kertas berisi daftar barang keperluan ibu hamil dan beberapa bahan makanan yang sulit ditemukan di tempat terpencil seperti ini.
"Ibu hamil harus mengkonsumsi makanan bergizi agar bayinya tumbuh sehat," ujar Ardan sambil membersihkan mulutnya dengan serbet.
"Ini saja Tuan?" tanya Arjuna. Daftar tadi ia simpan ke dalam saku celananya. Wajah Ardan yang serius membuat Arjuna menarik kesimpulan kalau kepulangannya ke Jakarta tidak saja untuk membeli barang-barang keperluan Sekar tapi ada hal penting yang akan disuruh Ardan.
"Tidak, ada tugas penting yang perlu kamu lakukan tapi jangan sampai ada satu pun orang tahu kalau kamu saya utus melakukan pekerjaan penting. Dalam arti kata jangan sampai ada orang yang tahu kalau kamu sedang ada di Jakarta." Arjuna mengangguk pelan dan mendengar dengan seksama apa yang diperintahkan Ardan.
"Saya bisa paham kalau Tuan menyuruh saya menyelidiki Tuan Felix dan Ibu Marinka selama Tuan tidak ada di Jakarta tapi yang membuat saya sulit berpikir adalah kenapa Tuan menyuruh saya menjemput adik Nyonya Maudy?" tanya Arjuna bingung setelah mendengar perintah Ardan. Bagi Arjuna terlalu sulit membaca isi hati Ardan saat ini.
"Kita butuh kehadiran wanita yang bisa dipercaya di rumah ini dan Nimas adalah orang yang bisa saya beri kepercayaan,"
"Maaf Tuan, tapi sejujurnya sedari awal sampai detik ini saya terlalu masih sulit mempercayai dia. Kenapa kita tidak mencari ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah ini. Bukankah lebih aman dan polisi tidak akan pernah tahu kalau kita sedang menyekap dan menculik dia," ujar Arjuna mengeluarkan isi hatinya. Terlalu sulit memberikan kepercayaan kepada Nimas untuk tinggal dan mengetahu semua rencana Ardan.
"Anak itu … anak itu setelah lahir butuh sosok wanita untuk mengurus dan menjaganya. Nimas pasti bisa menyayanginya. Saya bisa meninggalkan anak itu di tangan dia," sambung Ardan. Arjuna membuang napas dan tidak menyangka Ardan serius dengan niatnya untuk mengambil bayi Sekar.
"Tuan pasti paham kalau dekapan ibu kandung berbeda dengan dekapan ibu yang tidak punya hubungan darah. Maaf saya mengatakan ini, tapi Tuan sendiri pernah merasakan kepedihan saat berpisah dari ibu kandung Tuan. Tolong pikirkan sekali lagi dengan hati dan pikiran yang tenang," Arjuna meninggalkan Ardan yang kehilangan kata-kata setelah Arjuna mengungkit masalah ibu kandungnya. Ardan mencengkram pisau dengan tangan bergetar.
Rasa was-was membuat Sekar tidak bisa menutup matanya untuk sekedar menghilangkan rasa kantuk yang sedari tadi mengganggunya. Sejak pertengkaran mereka di rumah sakit sekali pun Ardan belum menemuinya atau memberinya pekerjaan berat. Sekar lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang.
Tok tok tok
Sekar mengambil senjata berbentuk sebuah pena dengan ujung tajam yang dibawanya dari rumah sakit untuk dijadikan senjata jika Ardan ingin menyakiti bayinya. Sekar menyembunyikan pena itu dibalik bantal dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Pintu terbuka dan Arjuna masuk sambil membawakan sebuah baki berisi makanan dan minuman bergizi.
"Tuan menyuruh saya meletakkan baki ini," ujar Arjuna dengan senyum ramah.
"Saya tidak akan pernah memakan makanan itu, siapa yang tahu kalau ternyata di dalamnya ada racun? Atau jamu yang bisa membuat saya keguguran," balas Sekar dengan curiga.
"Tuan memang arogan dan berhati kejam tapi dia tidak akan pernah membunuh bayi yang tidak berdosa. Saya bisa jamin makanan ini bersih dari dua hal yang kamu takutkan tadi," Sekar menatap mata Arjuna yang terlihat bersungguh-sungguh.
"Lebih baik kamu tinggalkan saya sendiri," usir Sekar sambil kembali berbaring lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut agar Arjuna tidak mengganggunya lagi.
"Jangan lupa semua makanan ini dihabiskan. Bayi kamu butuh asupan gizi setelah beberapa hari ini Tuan memperlakukan kamu dengan keras, makanan itu asupan gizinya cukup tinggi untuk janin."
"Keluar, saya butuh isirahat." Usir Sekar sekali lagi. Arjuna pun keluar dan melihat Ardan sedang berdiri dan melihatnya tanpa ekpresi.
"Tuan …" Ardan mendekati Arjuna lalu menyuruhnya untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah Arjuna pergi, Ardan lalu masuk ke dalam kamar Sekar.
Saat mendengar pintu kamarnya kembali terbuka, dengan kesal Sekar membuka selimutnya untuk menghardik Arjuna yang masih tetap menganggunya, "Jangan ganggu saya!" teriak Sekar tanpa sadar jika ternyata Ardan-lah orang yang masuk ke dalam kamarnya.
"Tu … Tuan," panggil Sekar dengan gugup. Tangannya merogoh pena yang disimpannya di bawah bantal tadi dan jika Ardan berniat menyakiti anaknya maka Sekar tidak akan segan-segan menusukkan pena itu ke tubuh Ardan.