Suaranya bergetar. Wajahnya yang tampan tampak pucat. Mata yang biasa menatapku dengan penuh cinta dan kerinduan, kini hanya ada kesuraman dan kemarahan. Dan dengan segera dia memalingkan wajahnya dariku.
'Aryo'.. Dia adalah Aryo-ku.
Setelah sekian lama, aku selalu mengimpikan hari ini. Pertemuan yang kubayangkan, dia akan menarik tubuhku dan menenggelamkanku dalam pelukan hangatnya. Dia akan mencumbuku untuk menghapus semua dukaku, menghapus air mata dan lukaku. Merengkuhku dengan lembut, membuaiku dalam cintanya.
"Apa yang ibunda lakukan disini?" tanyanya dengan datar. Dia berusaha menekan dirinya sekeras mungkin untuk menyembunyikan gemetar dari suaranya.
Dia tidak lagi melihatku. Dia memperlakukanku seakan aku tidak ada sama sekali.
"Ibunda, ayo kita kembali."
Suaranya semakin rendah. Tangannya mengayun meraih tangan Ibu yang masih memegangiku.
"Aryo?"
Ibu menatapnya dengan kebingungan. Dia melihat kearahku aku lalu kembali ke Aryo seakan memintaku untuk menjelaskan sesuatu.
Tunggu!
Aku ingin berteriak keras kepadanya.
Aryo sudah begitu dekat denganku.
Aku ingin memeluknya. Sial sekali kedua tanganku dipegang erat oleh kedua bawahan Daniel.
Dia menarik lengan ibu lebih keras lagi dan segera beranjak dariku.
"Tunggu!" seruku.
Dia menoleh melihatku. Sorot mata itu penuh kepedihan.
"Inikah kejutan yang ingin kau tunjukkan?" tanyanya dengan nada sinis. "Kehamilanmu?"
"Aryo... Iya... Aku..." sial sekali aku tidak tahu bagaimana dalam situasi seperti ini aku harus menjelaskannya.
Ya, benar! Memang aku ingin memberikan kejutan untuknya dalam suratku yang terakhir. Kehamilanku tentu akan sangat membahagiakan Aryo. Karena dia sangat mendambakan seorang anak. Aku rela hamil untuknya.
"Ya, saya sangat terkejut. Terima kasih atas kejutannya." timpalnya dengan nada getir. Senyuman sinis itu kembali muncul di sudut bibirnya.
Aryo, ada apa ini? Aryo pun juga mengira anak ini adalah anak Daniel?
Tidak!
Aryo salah paham dengan situasi ini. Bagaimana aku harus menjelaskan? Bagaimana aku bisa membuktikan?
Aryo tak tahu seberapa banyak aku sudah berjuang mempertahankan diriku. Menjaga tubuh ini hanya untuknya.
Hatiku sakit. Sakit sekali. Aku masih ingat bagaimana Daniel memperlakukanku dengan sangat buruk ketika aku menolaknya.
Aku mengimpikan pertemuan dengan Aryo. Tapi bukan ini yang kuharapkan.
Aryo sudah berpaling dengan menarik tangan ibu. Mereka meninggalkanku. Ibu memandangku dengan kebingungan.
Air mataku mulai berjatuhan. Aku kembali menangis. Semenjak menjadi gadis ini, mudah sekali air mata ini jatuh. Aku tidak pernah membayangkan kisah hidup yang sedemikian tragis.
"Aryoooo!!!" seruku dalam tangisku.
Dia menghentikan langkahnya, tetapi sama sekali tidak menoleh kepadaku.
"Aryo, kau salah! Kau salah!"
"Ya, aku sudah salah. Aku terlalu buta." dia menimpaliku tanpa menoleh kepadaku.
Dan kemudian segera berjalan kembali bersama ibu. Mashita menoleh kepadaku sekali dan kemudian segera berlari kecil mengikuti Aryo dan ibu.
"Aryoooo!!!" panggilku.
Air mata mengaburkan pandanganku. Aryo meninggalkanku. Meninggalkan luka yang terasa perih di dadaku. Tiba-tiba Kakiku terasa lemas. Kakiku tak lagi mampu menopang tubuhku.
Kedua prajurit itu berusaha membuatku tetap berdiri. Tapi badanku sudah terlalu lemas. Aku sudah lelah.
"Mevrouw!" kata prajurit itu dengan panik
Duniaku mulai gelap. Saat aku mulai terjatuh sepasang tangan yang hangat menangkap tubuhku dan membopongku dalam pelukannya.
Siapa?
Aku lelah. Kepalaku terlalu sakit. Mataku terlalu berat untuk kubuka.
Aku tidak dapat melihat siapa yang menggendong tubuhku.
Siapapun itu, dia adalah seorang pria. Aroma tubuhnya tidak asing. Aku mengenali aroma tubuh ini.
Aku menikmati aroma tubuhnya yang segar dan begitu maskulin. Ini adalah aroma tubuh kekasihku. Ini adalah aroma tubuh yang luar biasa membuatku mengesampingkan semua prinsip hidupku. Aku hampir tidak percaya, bahwa aku pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Lebih parah lagi, aku menerima kehamilanku dan mempertahankannya, bahkan dalam keadaanku yang sangat sulit. Aku sudah jauh dari prinsip hidup Margaret Ruthger.
Selama ini hidupku realistis dan logis. Aku adalah wanita yang bebas. Tak pernah terbersit sekalipun bahwa aku ingin menikah apalagi memiliki anak. Aku ingin bebas. Kalaupun memiliki pasangan, cukuplah saling berkomitmen untuk bersama. Konsep pernikahan dan berkeluarga tidak pernah ada dalam otakku.
Aryo merubah semuanya. Tak pernah kubayangkan aku bertemu pria seperti itu. Aku bercinta dengan pria yang kusukai tanpa harus berkomitmen kita perlu melakukannya dalam sebuah pernikahan. Tapi kali ini aku menerima semua persyaratan itu. Aryo membuatku menerima semuanya. Aryo mengubah duniaku.
Jika ibu Aryo berkata bahwa aku sudah menjukirbalikkan dunia Aryo, lalu bagaimana dengan aku. Sungguh menggelikan jika aku dianggap menggunakan sihir atau apapun. Akulah yang pasti sudah disihir oleh Aryo.
Apakah ini mimpi? Aku merasakan dada Aryo yang hangat, lengannya yang kokoh memelukku. Benarkah ini adalah dekapan priaku?
Tapi kemudian sensasi itu hilang.
Kemana? Aku masih menginginkannya.
Kenapa aku ditinggalkan? Dadaku kembali perih.
Samar-samar aku mendengar suara Daniel.
Daniel kah tadi yang memelukku? Kenapa seperti Aryo? Apakah karena aku terlalu menginginkannya sehingga dia muncul dalam halusinasiku. Aku membayangkan tubuh Aryo yang sedang menggendongku, memelukku, mendekap erat tubuhku.
Aku pasti sudah menjadi gila karena terlalu merindukannya. Aku menjadi gila karena sudah sangat sakit hati karenanya.
Ruangan yang sebelumnya gaduh kembali tenang. Aku masih belum ingin membuka mataku. Rasanya aku benar-benar ingin membenamkan diriku bersama seluruh masalah ini. Jenuh menguasaiku. Tak pernah aku merasa seputus asa ini dalam hidupku. Aku merindukan kehidupanku yang datar dan membosankan, dulu.
Seseorang menyentuh lenganku. Memeriksa nadiku. Kepalaku masih terasa pening.
"Dari nadinya, dia sepertinya baik-baik saja." kata sebuah suara dengan ragu-ragu.
"Aku akan memanggil dokter Belanda untuk memeriksanya!"
Ini adalah suara Daniel. Dia ada disini. Suaranya masih arogan seperti biasa.
Aku tetap memejamkan mataku. Hingga aku akhirnya benar-benar lelap dalam tidurku.
Seorang anak lelaki kecil mendatangiku. Aku tidak mengenalnya. Dia memandangku dengan tajam, dengan matanya yang bulat dan hitam pekat. Sorot mata itu mengingatkanku pada Aryo.
Siapa anak ini?
Dia mendekatiku. Menyentuh lenganku dan tersenyum.
Senyum itu. Itu adalah senyuman Aryo. Tidak tapi dia bukan Jawa. Lelaki kecil itu sangat tampan.
Aku terbangun. Aku bermimpi.
Siapakah anak kecil itu? Kenapa aku merasa mengenalnya?
Tapi sungguh aku tidak pernah ingat, pernah bertemu dengan anak kecil sepertinya
Aku membuka mataku lebar-lebar.
Ini bukan kamar yang ada di rumah itu.
Dimana ini?
Kamar ini didesain seperti kamar-kamar di rumah Aryo. Perabot-perabot berukir memenuhi kamar itu. Aroma kayu cendana menyeruak. Ini bukan rumah Aryo.
Rupanya hari sudah malam. Lubang angin diatas jendela memperlihatkan rembulan yang sudah tinggal setengah.
Cahaya lilin berayun tertiup angin. Membuat suasana kamar ini tampak lebih suram.
Aku sendirian di kamar ini. Aku berjalan menuju pintu.
Aku berharap terlempar lagi ke lubang waktu yang lain. Aku hanya berharap bahwa aku bukan lagi Margaret van Jurrien.
Aku buka pintu kayu itu perlahan.
Seorang abdi berpakaian separuh badan duduk bersila di lantai, didepan pintu kamar itu.
"Ndoro..." ucapnya pelan.
Dia segera berdiri dan membungkukkan badannya dihadapanku.
Dari arah lain berlarian seorang wanita menuju ke arahku.
"Akhirnya Noni sudah siuman." ujarnya sambil tersenyum lebar memperlihatkan baris giginya yang kemerahan karena ramuan daun sirih dan entah apalagi yang sering dikunyahnya. Dia adalah Genduk.
"Dimana ini?" tanyaku kepadanya.
"Kita masih di keraton, Noni." jawabnya. "Ini adalah kaputren."
Dia melihat kearah abdi yang masih membungkuk di depan kami.
"Kowe...bilang ke orang-orang kalo Nyonya de Bollan sudah siuman dan akan kembali ke kediamannya. Suruh segera siapkan keretanya!" perintahnya dalam bahasa Jawa.
"Mevrouw, baru kali ini saya masuk keraton. Kalo dulu cuma bisa melihat dari luar saja. Saya seneng sekali." jelasnya dengan girang. "Orang-orang di keraton pada manut sama saya." ujarnya dalam Bahasa Belanda. "Aku kok koyo nyonya-nyonya." sambungnya dalam bahasa Jawa.
Dia kegirangan. Dia sungguh aneh.
Genduk memapahku untuk keluar. Daniel sedang menikmati teh nya bersama seseorang yang selalu dipanggil dengan sebutan pangeran.
Daniel segera berdiri menyambutku seperti seorang suami yang baik.
"Baiklah, Pangeran. Kami akan kembali ke kediaman kami."
"Tentu... Tentu saja, Tuan de Bollan."
Aku masuk kedalam kereta dengan dibantu Daniel. Kemudian Daniel masuk mengikutiku. Ketika Genduk akan ikut masuk, dia menghentikannya.
"Kau naik kereta lain!" perintahnya.
Genduk tetap tersenyum walau dia dihentikan. Dia mengangguk dengan patuh dan beranjak menuju kereta lain yang sudah disiapkan.
"Kau sudah baikan?" tanyanya. Suaranya lembut seperti berbicara kepada kekasihnya. "Apakah anakku baik-baik saja?"
Aku sebelumnya tidak ingin menanggapinya, tapi pertanyaan terakhirnya benar-benar membuatku muak dan marah.
"Kau!!"