"Kau sudah tidak waras!" umpatku kesal.
Aku tidak ingin melihat wajahnya sama sekali. Baru kali ini aku bertemu pria gigih sepertinya. Daniel sebenarnya tidak buruk. Hanya saja dia hadir di waktu yang tidak tepat. Dan saya terkadang berpikir perilaku buruknya mungkin juga dipengaruhi oleh kekuasaan yang dia miliki dan pengalaman hidupnya. Bagaimanapun dunia ini berbeda dengan masaku.
Disini penghargaan atas hidup seseorang begitu rendah. Apalagi orang-orang pribumi yang berstatus rakyat, mereka seakan tidak memiliki hak atas hidup mereka sendiri.
Sungguh ironi saat dulu aku pernah mengikuti demo bersama para feminist, disini para wanita tak ubahnya seperti barang. Kami dimiliki, bukan independen, hanya bernafas tapi tidak bisa berpendapat.
Daniel menggeser duduknya semakin dekat denganku. Aku tidak bergerak. Aku sudah tidak peduli apapun. Aku hanya ingin pulang. Aku ingin pulang ke duniaku. Aku mungkin bisa mengobati sakit hatiku saat aku sudah tidak lagi disini.
Aku harus menemui dukun itu.
"Bawa aku kembali ke Batavia." kataku.
"Kenapa?" cibir Daniel. "Bukankah kau begitu merindukan pria itu?" lanjutnya, "Seperti yang kau tulis dalam suratmu."
Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak
"Apa kau pikir semua yang keluar masuk rumahku tidak terpantau? Bahkan nyamuk yang masuk pun berada dalam pengawasanku."
Aku menelan ludahku. Aku melihat kepadanya dan memandangnya dengan tajam.
Tunggu dulu! Jangan-jangan surat itu sudah diubah oleh Daniel.
Bisa jadi, surat itu justru membuat Aryo semakin salah paham denganku.
"Kenapa?" tanya Daniel sambil tersenyum. "Kau pikir aku sudah mengubah isinya?"
Dia tahu apa yang kupikirkan.
"Aku tidak melakukannya." lanjutnya. "Aku tidak perlu mengubah isinya, tapi aku sudah membuat pertunjukan yang menarik sesuai isi suratmu."
Aku segera mengalihkan pandanganku. Aku benar-benar sudah muak dengannya.
"Jaga anakku baik-baik." ujarnya sambil mengelus perutku.
"Singkirkan tanganmu!" bentakku.
Dia memandangiku dengan pandangan aneh.
"Apa kau tidak pernah belajar biologi? Tidakkah kau paham tentang proses konsepsi? Dimana dulu kau sekolah?"
"Kenapa? tanyanya bingung." Ya, aku bersekolah tentu saja. Aku belajar sastra dan banyak hal." jelasnya. "Bahkan aku membaca tulisan Descrates, teori Copernicus."
Tentu saja dia sudah merasa hebat dengan itu semua.
Mengingat dia adalah anak dari keluarga bangsawan, tentu dia memiliki kesempatan yang besar untuk mendapatkan pendidikan yang baik.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau hanyalah wanita. Sekolah khusus wanita hanya banyak belajar tentang pelajaran pekerjaan tangan."
Pekerjaan tangan? Apa itu?
Aah.. Pasti semacam merajut dan semua aktifitas wanita.
Aku harus tertawa mungkin, bahkan aku tidak bisa memasak dan tidak tahu bagaimana menggerakkan alat rajut. Aku tidak pernah mempelajarinya.
"Sepertinya tidak ada pelajaran biologi di sekolahmu."
Wajah Daniel tampak bingung.
"Ya, teori konsepsi... Seks.."
"Seks?" tanyanya, "Kau wanita gila, ya?"
Aku mengangguk.
Wajahnya semakin aneh.
"Sekolah mana yang mengajarkan itu? Itu bahasan yang sangat tabu. Kau sudah tidak waras."
"Sudahlah...lupakan! Aku benar-benar malas berdepat denganmu."
Dia menyeringai.
"Kau, wanita... Apa yang kau ketahui tentang seks?"
Aku mengabaikannya.
Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Dia benar-benar menjengkelkan.
"Mundur!" bentakku. "Aku akan jelaskan padamu!"
Kereta tiba-tiba berhenti. Rupanya kita telah sampai di kediaman Daniel.
Rumah itu tampak angkuh sekaligus suram.
Ya, tentu saja. Tanpa listrik malam sangat suram.
Beberapa pelayan bergegas menyambut kedatangan kami. Mereka membantuku turun dari kereta.
Dhayu hanya berdiri di dekat pintu. Dia tidak turun untuk menyambut kami.
Aku segera berjalan sejauh mungkin dari Daniel. Genduk mengekor kami seperti biasanya.
Aku dan Dhayu tidak lagi terlalu dekat seperti dulu. Terkadang aku merasa ngeri mengingat kejadian yang telah menimpanya.
"Dhayu.." sapaku.
Dia hanya mengangguk mengikutiku. Membawakan mantelku yang baru saja kubuka.
"Air hangat untuk Noni mandi sudah saya siapkan." katanya datar.
"Baik.. Terimakasih." jawabku.
Daniel memasuki kamarku, saat Dhayu menyisir rambutku.
Dhayu mengangguk kepadanya.
Dengan isyarat tangannya Daniel memintanya keluar dari kamar.
"Kembalikan aku ke Batavia." pintaku.
"Kenapa?" tanyanya sambil menyeringai. "Inlander itu sudah membuangmu?"
Aku tidak perlu menjawabnya. Sikap Aryo membuatku sangat sakit. Aku hanya perlu melupakannya, supaya aku mampu bertahan.
"Aku ingin kembali ke Batavia."
"Aku masih ingin melihat kalian saling melukai." kata Daniel. "Itu sangat menyenangkan bagiku."
"Kau...."
Aku kehilangan kata-kata karena terlalu marah.
Saat tanganku terayun untuk memukulnya, Daniel segera menangkapnya. Dia mencengkeram lenganku dengan kuat.
"Kenapa kau masih saja keras kepala? Apa yang bisa dia berikan kepadamu?" tanyanya dengan marah. "Kau tahu.. Negeri ini tunduk kepada kita. Kita lebih tinggi daripada mereka. Kita yang membuat hukum disini. Bahkan upacara-upacara dalam istana pun kita ikut mengaturnya. Lalu apa yang kau harapkan dari mereka?"
Aku hanya mencintai. Itu saja. Aku tidak peduli siapa dia.
Suatu saat bangsa ini pun akan menggeliat dan akan memperjuangkan kemerdekaannya. Suatu saat kita akan meninggalkan negeri ini dalam keadaan merdeka. Hanya itu masih lama. Masih hampir satu setengah abad kemudian.
"Aku mencintainya." jawabku pada akhirnya.
"Margaret!"
Didorongnya tubuhku hingga terjengkang diatas ranjang. Memang ini tidak terlalu manyakitkan, tapi seluruh persendianku terasa ngilu.
Dia segera menindihku.
"Daniel, aku mohon. Aku sedang sakit..." pintaku.
Daniel menatapku tajam. Aku masih khawatir dengan kekerasan yang dia lakukan padaku kala itu. Walaupun aku cukup yakin bahwa dia tidak melakukan apapun kepadaku saat aku pingsan. Tapi aku masih tetap khawatir.
Dia sudah berbohong kepadaku.
Dia tidak pernah menyentuhku seperti yang telah dikatakannya. Pria ini sebenarnya cukup baik. Dia tidak memanfaatkan kondisiku yang sedang pingsan dan menyetubuhiku. Daniel masih seorang pria yang cukup bermartabat rupanya.
Dia berusaha mencium bibirku. Aku memalingkan wajahku menghindarinya.
"Daniel... Aku mohon..."
"Andai saja dia bukan keluarga raja, sudah lama dia aku bunuh." geramnya.
Daniel sangat menakutkan.
"Tidak sulit bagiku menjatuhkan hukuman mati baginya. Tapi karena hubungan politis. Dan dia juga sangat dekat dengan pangeran, aku tidak bisa dengan sembarangan melakukannya."
Daniel bangkit dari posisinya. Aku merasa lega.
Tapi aku melihat kemarahan dari sorot matanya.
"Kau harus menyaksikan, aku akan menghancurkannya." ujarnya sebelum kemudian pergi meninggalkan aku yang masih terlentang diatas ranjangku.
Apa yang akan dilakukan Daniel?
Tapi apapun itu, itu akan mencelakakan Aryo.
Bagaimana aku bisa menolongnya?
Bagaimana aku bisa bertemu dan berbicara dengannya?
Gundukan kecil di perutku semakin tampak. Semoga saja dia cukup sehat dan kuat.
Aku harus bertemu dengan Aryo. Aku harus menemuinya.
Pagi itu cukup tenang. Aku tidak melihat Genduk yang biasanya sangat berisik di sekitarku.
Penjagaan tidak seketat sebelumnya. Mungkin karena Daniel yakin bahwa aku dan Aryo sudah saling membenci.
Tidak ada lagi penjaga di pintu kamarku. Hanya Dhayu dan beberapa pelayan.
Kamarku menghadap ke sebuah area perkebunan. Aku harus menyusun rute pelarianku.
Aku bahkan dengan sengaja mengajak kedua penjagaku untuk mengikutiku berjalan-jalan mempelajari situasi. Aku beralasan khawatir jika tiba-tiba pingsan.
Wajah mereka berubah.
"Mevrouw, apa tidak sebaiknya ditunda, jalan-jalannya?" tanya salah satu dari mereka.
Wajah mereka tampak khawatir.
"Mevrouw tolong jangan menyulitkan kami."
"Justrus itulah... Aku harus membawa kalian untuk menjagaku." ucapku dengan keras kepala. "Aku bosan!"
Kami akhirnya berjalan berkeliling di sekitar rumah itu. Aku mempelajari bagaimana situasinya. Berapa banyak penjaga yang bertugas dan bagaimana caraku untuk kabur.
Aku sudah melihat celah itu. Aku harus membuat rencana. Dan jika aku tertangkap, maka harus ada rencana cadangan.
Selama tiga hari berturut2 aku mengajak penjaga dan dua orang pelayan untuk mengikutiku. Aku bertanya banyak hal ke pelayan-pelayan yang merupakan penduduk lokal tentang hal-hal di sekitar. Bahkan aku meminta mereka mengantarkan ke pasar setempat. Aku ingat pasar ini. Aku pernah kesini.
Hari ke empat, waktu ku menyusun strategi. Aku minta pelayan memanggilkan dokter untukku.
Daniel hanya sudah beberapa hari tidak berada disini. Tidak seorang pun yang memberitahuku kemana dia. Tapi aku juga tidak ingin mengetahuinya.
Aku meminta Dhayu membawa sebuah catatan untuk seorang pedagang di pasar. Pedagang yang sebelumnya kutemui.
"BAMBU DUA BELAS"
Hanya itu tulisan di catatan itu.
Penjaga pasti memeriksanya.
Aku sudah memberitahu pedagang itu sebelumnya.
Semoga pesan itu bisa sampai.
Hari ke lima, Daniel kembali ke rumah. Aku masih berpura-pura tidak enak badan. Dokter mengatakan aku kurang istirahat dan kurang vitamin. Jadi sementara aku aman dari gangguan siapapun. Daniel hanya sesekali mendatangiku. Itu pun tidak banyak bicara.
Genduk tidak lagi sering menemaniku. Tanpa ada Daniel di rumah ini, dia malah sering keluyuran entah kemana.
Terkadang aku mendapatinya sedang menggoda prajurit-prajurit Belanda anak buah Daniel. Aku lebih senang seperti itu. Dia tidak lagi mengawasiku. Hanya Dhayu yang tetap menjagaku. Walau senyap menyelimuti keberadaannya, aku tetap merasa lebih nyaman bersamanya dibanding yang lain.
"Dhayu, aku ingin kau keluar ke pasar lagi."
"Apa yang harus saya sampaikan?" tanyanya
"Apa penjaga mencurigai pesanku?" tanyaku
"Saya sudah memberi jawaban seperti yang Noni pinta." jawabnya.
"Bagus."
Walau kadang ada rasa sangsi dengan kesetiaan Dhayu, tapi bagiku dia yang terbaik.
"Ini..."
Aku kembali menyodorkan sebuah catatan.
"TELAH SIAP?" itu isi catatannya.
Saat Dhayu pergi, aku juga beranjak dari tempat tidurku. Semua sudah kusiapkan.
Kali ini harus berhasil.